Home / Romansa / Editor Dingin Bikin Bucin / Bab 6: Masa Lalu Nate

Share

Bab 6: Masa Lalu Nate

Author: Nikma
last update Last Updated: 2024-03-15 10:38:33

Ruangan itu dipenuhi ketegangan ketika Elena duduk di hadapan Gabriel dan Camilia, ayah dan ibunya. Suasana hening memenuhi ruangan sebelum Elena dengan berat hati menyampaikan niatnya. “Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan pada kalian berdua.”

Gabriel dan Camilia saling bertukar pandang, merasakan bahwa pembicaraan ini tidak akan mudah. Elena memandang kedua orangtuanya, memasang ekspresi serius.

“Aku ingin pergi ke Jepang,” ucap Elena. Gabriel dan Camilia seolah tersentak mendengar pengakuan tersebut. Wajah mereka penuh dengan ekspresi kekecewaan.

“Ke Jepang? Kenapa, Elena?” tanya Gabriel.

“Aku ingin menemui Matsumoto, mantan kekasihku. Ada beberapa hal yang perlu aku bicarakan dengannya.”

Camilia dengan tegas menggelengkan kepalanya, “Jadi kau masih terus memikirkan pria itu? Kau sudah tahu betapa buruknya dia.”

Gabriel menghela nafas panjang, kesal dengan keputusan putrinya. “Elena, dia pria berengsek yang telah menyakitimu. Mengapa kau masih ingin bertemu dengannya?”

Kedua mata Elena berkaca-kaca. “Kalian tidak akan pernah mengerti. Bagaimanapun juga, Matsumoto adalah ayah kandung Nathaniel.”

Gabriel dan Camilia terdiam. Sejenak, atmosfer ruangan menjadi semakin tegang. Camilia akhirnya memecah keheningan. “Kami tidak akan membiarkanmu mempertemukan Nate dengan pria berengsek itu. Kau hanya akan menyakitinya,” ucap Camilia.

Airmata Elena kali ini benar-benar mengalir. “Ibu, aku mohon… Kita tidak bisa selamanya menyembunyikan ini dari Nate— kenyataan bahwa Nate adalah putraku dan Matsumoto.”

Gabriel tidak dapat menahan diri dan tertawa sarkas. “Kau selalu menyebut Matsumoto ayah kandung Nathaniel. Kau mengatakan itu, seolah pria itu bertanggung jawab atas perbuatannya. Pria itu mungkin sudah lupa jika putranya sudah remaja.”

Ketika mereka berada di tengah-tengah keheningan penuh ketegangan, langkah Nathaniel terdengar begitu gontai. Dengan ekspresi datar, ia memasuki ruangan. Elena, Gabriel, dan Camilia terkejut menyadari bahwa Nathaniel sudah ada di sana dan mendengar semua pembicaraan mereka.

“Apa maksudnya ini?” tanya Nathaniel dengan suara bergetar, dia lalu menoleh pada Elena. “Elena— kau… bukan kakakku? Tapi ibuku?” Nathaniel masih sulit mempercayai ini.

Selama ini yang Nathaniel tahu, dia merupakan putra bungsu keluarga Alexander. Ayahnya— Gabriel Alexander, seorang aktor senior yang masih aktif di dunia hiburan. Dan ibunya adalah Camilia Leclair, seorang penyanyi papan atas. Dua bakat hiburan yang juga langsung menurun pada anak sulung mereka Elena Alexander, yang saat ini tengah naik daun berkat film layar lebarnya yang sukses di pasaran.

Tapi pembicaraan antara keluarganya barusan membuat Nathaniel seolah mengorek misteri yang selama ini dipendam begitu rapat. “Kenapa diam? Kenapa tidak ada yang menjawab pertanyaanku?” tanya Nathaniel, sambil menatap Gabriel, Elena dan Camilia bergantian, menunggu orang-orang di rumah ini menjawab pertanyaannya.

Wajah Gabriel dan Camilia pucat, menyadari bahwa rahasia panjang kelam masa lalu mereka akhirnya terkuak di hadapan Nathaniel. Tatapan mata Nathaniel yang berkaca-kaca membuat Gabriel dan Camilia tercekat.

Elena terdiam sejenak sebelum mencoba menjelaskan, “Nate, aku—”

Nathaniel dengan tegas memotong, “Siapa Matsumoto yang kau sebut ayah kandungku itu?”

Camilia yang mencoba untuk bersuara, “Nate, kau adalah putraku. Jangan dengarkan perkataan Elena.”

Nathaniel hanya menatap Elena dengan penuh kekecewaan, “Aku bertanya padamu, Elena? Apakah benar aku adikmu? Atau justru putramu?”

Elena terdiam, air mata menggenang di wajahnya. Ia tidak tahu bagaimana menjelaskan kebenaran yang teramat pahit ini kepada Nathaniel. Gabriel dan Camilia juga terlihat terpaku, tak tahu apa yang harus dikatakan.

“Aku ingin tahu kebenarannya!” tegas Nathaniel.

Gabriel, Camilia, dan Elena terdiam tanpa mampu memberikan jawaban yang memadai atas pertanyaan Nathaniel. Wajah Nathaniel penuh dengan kekecewaan.

Nathaniel kembali bicara, suaranya gemetar, “Sebenarnya— aku memang pernah membaca berita di media yang membahas soal rumor tentang Elena yang hamil saat dia masih duduk di bangku sekolah menengah. Tapi aku tak pernah percaya itu— aku menganggapnya rumor belaka. Tapi ternyata… itu benar?”

Mendengar pertanyaan tersebut, Elena menutup wajahnya dengan kedua tangan, tidak mampu menahan tangisnya. Camilia mencoba untuk bersikap tegar, tetapi matanya tak bisa menyembunyikan kesedihan.

Nathaniel melanjutkan, suaranya tajam dan penuh emosi, “Elena, benar kan? Kau memang bukan kakakku, melainkan ibuku? Sekian lama kau menyembunyikan fakta itu— karena takut jika skandal kehamilanmu membuat karirmu hancur?”

Gabriel masih berusaha menyangkal dengan tegas. “Itu tidak benar, Nate. Kau adalah anakku.”

Nathaniel menatap Gabriel dengan ekspresi kecewa dan marah. “Jadi kalian masih ingin menutupi semua ini? Kalian menganggapku apa? Aku benar-benar hanya menjadi beban di hidup kalian? Hanya hasil dari kesalahan yang tidak bisa kalian terima?”

Gabriel mencoba mendekati Nathaniel, “Nate, ini tidak sesederhana itu. Kami hanya ingin melakukan yang terbaik.”

Nathaniel tersenyum sinis, “Terbaik? Aku juga pernah membaca berita jika kau memaksa Elena untuk melakukan aborsi. Apakah itu 'yang terbaik' bagimu?”

Elena menangis sambil mencoba berkata, “Nate, maafkan aku. Aku tahu aku melakukan kesalahan, tetapi aku mencintaimu.”

Nathaniel yang sudah tak bisa menahan lagi kekecewaan dan amarah, langsung meninggalkan ruangan dengan langkah-langkah yang cepat. Gabriel dan Camilia hanya bisa menatap punggung Nathaniel yang menjauh, merasakan betapa hancurnya hubungan mereka saat ini.

Elena yang terus menangis, berusaha mengejar Nathaniel. “Nate, tunggu! Biarkan aku menjelaskan semuanya.”

Nathaniel terus melangkah tanpa merespons apa pun. Elena terisak, tak sanggup lagi menahan kesedihannya. “Nate, aku mohon…”

Nathaniel akhirnya berhenti di teras rumah, menatap keluar dengan tatapan menerawang. Dalam bisikannya, yang lebih terdengar seperti jeritan hati, ia berkata, “Kau tau Elena… dulu aku sering sekali menertawakan berita di media, yang mengatakan bahwa dulu kau sering minum obat-obatan penggugur kandungan, hingga kau dan bayimu hampir mati. Aku mengira berita itu omong kosong,” ucapan Nathaniel begitu lirih, seolah dia tidak memiliki energi untuk mengucapkannya. “Tapi aku tidak menyangka, jika bayi yang ingin kau bunuh adalah aku.”

Elena berdiri di belakangnya, menangis tersedu-sedu, “Nate, aku tidak pernah menginginkan hal itu terjadi. Aku tidak ingin kau tahu kebenaran itu dengan cara seperti ini.”

Nathaniel menoleh, tatapannya dingin dan penuh kekecewaan. “Jadi, diriku adalah konsekuensi dari kesalahan dan keputusanmu yang bodoh, bukan?”

Elena berlutut di depan Nathaniel, “Aku minta maaf, Nate. Aku tidak tahu cara menjelaskan semua ini padamu.”

Nathaniel mengangguk, “Kau benar. Kau tidak tahu bagaimana menjelaskannya, karena kau tidak tahu seberapa sakit rasanya menjadi anak yang tidak pernah diinginkan.”

Elena terisak, “Tapi aku mencintaimu, Nate. Aku mencintaimu sebagai anakku. Aku menyesal.”

Nathaniel menatap tanpa ekspresi, “Cinta dari seorang ibu? Maaf, tapi itu sudah terlambat. Aku tidak butuh cinta yang terlambat.”

Dengan hati yang hancur, Nathaniel berjalan meninggalkan Elena yang masih terduduk di lantai, memandang punggung putranya yang semakin menjauh.

Nathaniel keluar dari rumahnya, melangkah di atas jalan setapak yang berliku. Dia terus berlari, menembus kegelapan malam, seolah-olah berusaha melarikan diri dari kenyataan kelam yang membuat hatinya hancur.

Dia merasakan napasnya memburu, dan kakinya berat seperti terikat oleh fakta yang kejam. Ketika Nathaniel mencapai taman yang sepi, dia terhenti, berlutut di atas rerumputan yang dingin. Tatapannya kosong, melihat ke langit malam yang penuh bintang. Keheningan taman hanya terganggu oleh isakan dan rintihan getir Nathaniel, yang mencoba menyembunyikan kelemahannya.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Editor Dingin Bikin Bucin   Bab 139. Ending

    Sore itu, Nathaniel melangkah keluar dari kantor dengan langkah cepat, wajahnya menunjukkan jelas kemarahan dan frustrasi. Pertengkarannya dengan Isabella tadi masih terasa panas di benaknya. Ketika Isabella mencoba mengikutinya, Nathaniel berusaha untuk tidak memperdulikannya.“Nate, tunggu!” panggil Isabella sambil mempercepat langkahnya untuk mengejar Nathaniel yang sudah berada di depan pintu utama.Nathaniel menghentikan langkahnya sejenak, namun tidak berbalik. “Apa?” suaranya terdengar dingin dan tegang.Isabella mendekat, meraih lengan Nathaniel. “Aku minta maaf soal tadi. Aku hanya kesal karena kau terus menerus menerima pesan dari Olivia,” katanya, suaranya merendah, berusaha menenangkan suasana.Nathaniel menatap Isabella dengan tajam, melepaskan tangannya dari genggaman Isabella. “Olivia yang mengirimiku pesan, Isabella. Bukan aku. Kenapa kau harus cemburu karena hal itu?”Isabella menghela napas, mencoba mengendalikan emosinya. “Karena aku merasa dia hanya mencari alasan

  • Editor Dingin Bikin Bucin   138. Kerjasama Lagi

    Nathaniel dan Isabella duduk berdampingan di ruang kerja mereka, suasana penuh dengan semangat dan produktivitas. Mereka telah menghabiskan beberapa minggu terakhir dengan bekerja keras, dan kini Isabella baru saja menulis penutup untuk novelnya. Ia merasa lega dan antusias untuk menunjukkan hasil kerjanya kepada Nathaniel.“Nate, bagaimana menurutmu?” Isabella bertanya, suaranya penuh harap sambil menatap layar komputer yang menampilkan paragraf akhir dari novelnya.Nathaniel yang sedang sibuk dengan catatannya, menggeser kursinya lebih dekat ke layar Isabella. Ia membaca dengan cermat setiap kata, matanya fokus pada kalimat-kalimat terakhir yang menggambarkan penyelesaian cerita.Isabella tersenyum, menikmati momen ini karena posisi Nathaniel yang sekarang sangat dekat dengannya. Kehangatan tubuhnya terasa nyaman di sebelahnya, membuat jantungnya berdetak sedikit lebih cepat.Melihat peluang yang tak ingin dilewatkan, Isabella perlahan melin

  • Editor Dingin Bikin Bucin   Bab 137. Kejutan

    Nathaniel kesal mendengar ucapan Gabriel. “Ayah, aku bukan anak kecil lagi. Aku tahu apa yang kulakukan. Kau tidak bisa memaksaku untuk meninggalkan Isabella. Kita harus mencari solusi, bukan menambah masalah.”Isabella yang duduk mendengarkan pertengkaran itu dengan cemas, akhirnya berdiri. Hatinya terasa campur aduk, antara perasaan bersalah dan keinginan untuk mendukung Nathaniel. Dia berjalan mendekat, menatap Nathaniel dengan tatapan lembut.“Nate, tenanglah,” katanya dengan suara lembut, meski berusaha keras menahan emosinya. “Aku tahu ini sulit, tapi kita tidak akan mendapatkan solusi dengan bertengkar seperti ini.”Nathaniel menatap Isabella. Perlahan, dia menghela napas dan menurunkan suaranya. “Maafkan aku,” katanya dengan nada lebih tenang, mencoba meredam emosinya.Gabriel masih tampak tegang, wajahnya kaku dengan emosi yang bergolak. Nathaniel kembali duduk di samping Isabella, yang segera mengg

  • Editor Dingin Bikin Bucin   Bab 136. Meminta Maaf

    Pagi itu, sinar matahari menerobos tirai tipis jendela kamar Isabella, menerangi ruangan dengan kehangatan yang lembut. Udara pagi yang segar merayap masuk melalui jendela yang sedikit terbuka, menambah semangat baru untuk hari yang penting. Isabella berdiri di depan cermin kamarnya, merapikan gaun putih sederhana yang dipilihnya. Gaun itu memberikan kesan elegan namun rendah hati, sesuai dengan niatnya hari ini.Di sisi lain rumah, Emilia sedang merapikan rambutnya di depan cermin di kamar tidur. Wajahnya kini tampak sedikit tegang. Hari ini, dia akan melakukan sesuatu yang belum pernah dia lakukan seumur hidupnya: meminta maaf kepada keluarga selebriti. Emilia tahu jika mungkin ini akan lebih sulit dari yang dia bayangkan, tapi setidaknya dia akan berusaha demi putrinya.“Ibu, kau sudah siap?” Suara Isabella memecah keheningan, membawa Emilia kembali dari lamunannya. Isabella berdiri di ambang pintu, menatap ibunya dengan senyum lembut namun penuh doronga

  • Editor Dingin Bikin Bucin   Bab 135. Membersihkan Nama

    Di salah satu sudut tenang café yang berada tidak jauh dari jantung kota, Nathaniel duduk sendirian di meja kecil yang dikelilingi oleh dekorasi kayu dan lampu-lampu hangat yang menambah nuansa damai. Sambil menunggu kedatangan Olivia, ia meraih ponselnya dari saku, melihat layar penuh dengan pesan dari Isabella. Senyum tipis mengembang di wajahnya ketika ia membaca pesan-pesan itu yang kebanyakan tak begitu penting itu.Isabella, kau masih sakit. Harusnya banyak istirahat. Jangan melulu menggunakan ponselmu.Nathaniel mengirim pesan tersebut. Tak lama kemudian balasan dari Isabella masuk.Aku merasa bisa cepat sembuh jika aku terus terhubung denganmu.Sebelum Nathaniel sempat membalas pesan itu, terdengar suara dering keras dari ponselnya. Ia melihat nama Isabella muncul di layar sebagai panggila

  • Editor Dingin Bikin Bucin   Bab 134. Rindu Suaramu

    Isabella baru saja berbaring— siap untuk tidur setelah hari yang melelahkan di rumah sakit. Namun, tiba-tiba ponselnya berdering. Nada dering yang familiar membuatnya meraih ponsel di meja samping tempat tidur, dan melihat nama Nathaniel yang terpampang di layar membuat kantuknya sirna seketika.Isabella segera menjawab telepon itu, senyum terbentuk di wajahnya. “Halo, Nate,” sapanya semangat. “Halo, Isabella,” suara Nathaniel terdengar agak ragu. “Apa aku mengganggumu? Sudah larut.”Isabella tertawa kecil. “Tentu tidak, Sayang. Aku selalu rindu mendengar suaramu.”Nathaniel tertawa pelan, suara tawanya terdengar sedikit lega.“Aku serius, Nate,” lanjut Isabella dengan nada setengah menggoda. “Jangan tertawa.”“Baiklah, aku tidak akan tertawa lagi,” jawab Nathaniel dengan nada yang lebih serius, meski senyuman masih terasa dalam suaranya.

  • Editor Dingin Bikin Bucin   Bab 133. Tidak Salah Menerima Bantuan

    Nathaniel menarik napas panjang, berusaha mengendalikan emosinya. “Aku tahu ini tidak mudah, tapi kita harus mencoba. Isabella dan aku... kami saling mencintai, dan kami berhak mendapatkan kesempatan.”Elena menggigit bibirnya, tampak bimbang sejenak sebelum menegakkan punggungnya lagi. “Cinta tidak selalu cukup, Nate. Kadang ada hal-hal yang lebih penting dari perasaan itu.”“Apa yang lebih penting?” Nathaniel menatap Elena.Tepat saat itu, beberapa wartawan muncul, mengelilingi mereka di parkiran. Kilatan kamera dan rentetan pertanyaan yang mendesak membuat suasana semakin kacau.“Bagaimana kelanjutan hubungan Anda dengan Isabella setelah kecelakaan sebelumnya?”“Nathaniel, bukankah hubunganmu dengan keluarga Isabella sedang tidak baik?”“Nathaniel, bagaimana tanggapan Anda tentang situasi ini?”“Apakah ini terkait dengan skandal sebelumnya?”

  • Editor Dingin Bikin Bucin   Bab 132. Konflik

    Emilia mengingat bagaimana kelakuannya hingga membuat berita di media makin panas, menambahkan api ke situasi yang sudah kacau. Dia tahu bahwa dia paling merugikan Nathaniel, yang sebenarnya tidak pernah berbuat salah apa pun padanya. Dengan rasa bersalah yang menyelimuti, Emilia melangkah mendekat, wajahnya menunduk, merasa tak berdaya di hadapan dua orang muda yang telah dia sakiti.Nathaniel dan Isabella melepaskan pelukan mereka dengan perasaan hangat namun canggung. Nathaniel menoleh ke arah Emilia yang terus menatapnya dengan ekspresi serius.“Nate, bisa kita bicara sebentar?” tanya Emilia dengan ekspresi agak ragu. Nathaniel terkejut oleh permintaan itu, merasa resah, mengingat penolakan Emilia sebelumnya. Ia ragu-ragu sebelum akhirnya bertanya, “Kita bicara di luar?”Emilia mengangguk. Isabella, yang memperhatikan mereka, memberikan senyuman yang meyakinkan kepada Nathaniel, mencoba menenangkannya. “Semuanya akan baik-baik s

  • Editor Dingin Bikin Bucin   Bab 131. Kerinduan Terobati

    Hugo memandang Emilia dengan mata penuh kebencian. “Aku tidak akan pergi kecuali kau mentransfer uang padaku sekarang. Aku butuh uang itu, dan aku tahu kalian bisa memberikannya.”Emilia tersentak, hampir tidak percaya dengan sikap Hugo yang tidak tahu malu. “Uang? Kau datang ke sini untuk meminta uang? Ini rumah sakit, Hugo! Isabella sedang sakit, dan kau hanya memikirkan dirimu sendiri!”Hugo menyeringai sinis, melipat tangan di dadanya. “Ya, aku butuh uang itu. Dan aku tidak akan pergi sampai kau memberikannya.”Isabella menatap ayahnya penuh kebencian. “Kau benar-benar tidak punya hati, Ayah. Aku tidak akan memberikan apa pun padamu. Keluar dari sini!”Emilia akhirnya bangkit dari tempat duduknya, tubuhnya gemetar karena marah. “Keluar, Hugo. Sekarang juga!” teriak Emilia, matanya menyalak dengan kemarahan yang tertahan terlalu lama.Wajah Hugo berubah merah karena marah, pria itu mela

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status