Share

Part 7 : Peradilan

Ayam jantan berkokok saling bersahut-sahutan, membangunkan penduduk kerajaan Damar Langit dari peraduan yang hangat. Kicauan burung cucak rowo yang bernyanyi di dahan pohon, menambah syahdu suasana pagi.

Sialnya, suasana syahdu pagi ini sangat bertolak belakang dengan nasib malang Elang Taraka.

Sejak matanya terbuka, atau lebih tepatnya dipaksa terbuka oleh tendangan Prajurit penjaga penjara, dia sudah harus kembali bergumul dengan rasa ngilu di seluruh tubuhnya yang terluka. Lebih mengenaskan lagi, ketika dia mulai diarak berjalan menuju alun-alun istana untuk diadili. Dia hanya bisa pasrah menjadi tontonan orang-orang, layaknya seorang penjahat kelas kakap.

Sungguh keadaan yang sangat mengenaskan.

Pemuda yang tubuhnya penuh luka itu hanya pasrah ketika Prajurit menyuruhnya duduk bersimpuh di tanah, untuk diadili.

Gusti Prabu Maheswara Kamandaka sengaja mengadakan peradilan terbuka di alun-alun Istana, sebagai peringatan bagi siapapun yang mempunyai niat buruk mencelakai keluarga kerajaan akan bernasib sama dengan Elang. Diarak, dipermalukan dan diadili di depan umum.

Sidang peradilan untuk Elang sebentar lagi dimulai.

Bagi Elang Taraka, suasana alun-alun istana kali ini terasa sangat mengerikan, serupa ruang eksekusi mati. Singgasana Gusti Prabu Maheswara Kamandaka yang berada di Sitinggil ---tempat yang tinggi tempat duduk Raja--- terlihat begitu jumawa. Di samping kanan dan kiri Gusti Prabu ada Gusti Ratu, Paman Patih, Raden Ayu Kenes Kirana, Penasehat Kerajaan dan para Menteri.

Beberapa Prajurit berdiri dengan gagah berani di sisi Elang Taraka. Memastikan sang penjahat yang telah merusak Tuan Putri mereka tidak akan berbuat yang tidak-tidak.

Ekor mata Raden Ayu sedari tadi terus menatap ke arah pemuda yang tengah duduk di samping Prajurit Kerajaan. Namun, Elang tak sekalipun berani mengangkat wajah. Dia lebih banyak diam dan menunduk.

"Kapan dimulai?" Kenes bersuara. Sepertinya dia sudah tidak sabar. Tabib yunior ini telah mencelakainya. Mana mungkin dia bisa tenang sebelum Elang mendapatkan ganjaran setimpal.

"Sabar, Kenes. Masih menunggu saksi dulu," ucap Gusti Prabu pada sang Putri.

"Prajurit, cepat panggil para saksi," titah Gusti Prabu.

Gadis yang sudah mulai tak sabar itu kini mendekati Gusti Prabu. Sepertinya dia sudah mulai bosan. Padahal, belum lama dia ikut bergabung.

"Elang, saya harap nanti kamu berkata dengan jujur! Katakan sesuai apa yang kamu tahu."

"Sendiko dawuh, Gusti Prabu," jawab Elang lemah seraya memandang ke arah Rajanya. Lalu, dia kembali menunduk. Meratapi nasibnya yang entah nanti seperti apa?

Terdengar suara langkah kaki yang berjalan mendekat ke arahnya, membuat Elang menoleh. Agra, Gentala, dan Mbok Sumi hadir sebagai saksi untuk Elang. Begitu melihat simboknya, tatapan Elang hanya tertuju pada Mbok Sumi, Biyung yang selama dia dipenjara tak pernah sekali pun menengok.

'Biyung,' batin Elang dalam hati.

Mbok Sumi langsung menghampiri anak semata wayangnya. Memeluknya lama. Tangis yang sedari tadi dia tahan, tumpah sudah. Tidak bisa lagi menutupi sesaknya dada, ketika melihat anaknya terlihat mengenaskan.

Ibu mana yang menginginkan anaknya di penjara, apalagi dia tahu, itu semua bukan salah Elang.

Semuanya sudah duduk, Agra, Gentala dan Mbok Sumi, jejer bersisihan bersimpuh di tanah menantikan peristiwa yang akan terjadi selanjutnya.

***

"Elang, apa kamu tahu daun jelatang dan bawang putih itu bisa membuat kulit panas? Kenapa kamu membuat ramuan dengan bahan itu untuk Raden Ayu Kenes Kirana?" tanya Gusti Prabu.

"Tidak, Gusti Prabu. Itu bukan ramuan saya. Bahan ramuan saya adalah akar wangi, kayu cendana, dan bahan lain yang mempunyai khasiat bagus untuk kulit. Bahkan saya sudah saya mengujinya berulang kali pada dayang Istana. Mereka baik-baik saja." Elang mencoba menjelaskan.

"Tapi sisa ramuan yang ada di kamar Kenes adalah tumbukan daun jelatang dan bawang putih. Kamu jangan mengelak!" Gusti Prabu mulai geram karena mengira Elang berbohong.

"Ada yang sengaja menukar ramuan saya, Gusti Prabu."

Elang berkata dengan nelangsa. Penyesalan terhadap kecerobohannya teramat dalam di hati.

Kenapa dia tidak memastikan sendiri dengan menunggui Dayang yang membalurkan ramuan itu di wajah Raden Ayu.

"Seberapa yakin kamu jika ramuan itu ada yang menukar?" tanya Gusti Prabu.

"Mohon ampun, Gusti Prabu. Saya ceroboh tidak memastikan ramuan itu saat dayang membalurkannya di wajah Raden Ayu."

Gusti Prabu terdiam. Persoalan ini ternyata lebih pelik dari yang dia bayangkan sebelumnya. Awalnya dia mengira, Elang memang salah membuat ramuan. Namun, ternyata ada kasus penukaran ramuan.

Gusti Prabu menghela napas panjang. Dia tidak boleh gegabah memutuskan, karena jika dia gegabah bisa jadi akan memberikan hukuman kepada orang yang salah. Sementara penjahat yang sebenarnya masih melenggang bebas di istana.

Gusti Prabu membayangkan, kejahatan ini sudah serupa konspirasi besar untuk menghancurkan anggota keluarganya dan harus diusut dengan tuntas.

Ditengah kekalutan Maheswara Kamandaka, Mbok Sumi memberanikan diri angkat bicara.

"Mohon ampun, Gusti Prabu, demi Pemilik Langit dan Bumi, anakku ndak salah membuat ramuan. Saya saksinya Gusti Prabu. Kumohon percaya sama saya."

Mbok Sumi berlutut di hadapan sang Raja, agar bisa berbelas kasihan tidak menghukum anaknya.

"Atau ... tukar saja dengan saya. Biarkan anak saya bebas," bela Mbok Sumi. Suaranya serak, karena menahan tangis. Melihat anaknya yang begitu menyedihkan.

Mbok Sumi masih bersimpuh di hadapan Gusti Prabu Maheswara Kamandaka. Wanita itu bahkan rela mencium kaki sang Raja, jika memang bisa membuat anaknya bebas dari tuduhan.

"Berdiri, Sumi! Biarkan anakmu yang bertanggung jawab. Sidang saya tutup. Untuk hukuman, nanti akan ada satu sidang lagi. Saya beri kesempatan bagi Elang untuk mencari bukti."

Gusti Prabu menutup sidang dengan tutur kata yang penuh kewibaaan. Kini tubuh kokoh yang berbalut mantel berhiaskan sulaman benang emas itu meninggalkan Sitinggil dengan diikuti Gusti Ratu. Sementara Gendhis dan Kenes masih berada di sana.

Elang masih tertunduk. Dia sedang berpikir bagaimana caranya membuktikan bahwa ramuannya itu ditukar.

Elang menghela napas panjang.

"Elang, kenapa kamu jahat sekali padaku?" Kenes berkata dengan nelangsa.

Elang kaget mendengar suara Raden Ayu Kenes Kirana menyapanya. Mendengar tuduhan itu membuat hatinya kembali mengalirkan tersayat, seolah darah terus mengalir dari luka yang tercipta.

"Ndak papa jika Andika menyebut saya jahat. Saya memang bersalah, ndak memastikan ramuan dulu sebelum dayang yang ada di sisi Andika mengoleskannya di wajah Andika."

Pemuda yang di sebagian tangannya terdapat bekas siksaan itu akhirnya berani bicara. Selama peradilan tadi, dia lebih banyak diam. Mulutnya semakin takut mengeluarkan pembelaan, jika pada akhirnya, dia tidak bisa lagi membuka kebenaran.

Kenes hanya melirik, tanpa menjawab lagi. Wajahnya memang masih ditutup kain sutera warna keemasan, tetapi matanya masih begitu jelas, jika sedari tadi Raden Ayu tak bisa berpaling menatap Elang.

"Tuan Putri, izin membawa tahanan ke penjara." Prajurit menyela.

Prajurit kembali membawa Elang ke penjara bawah tanah. Tersisah Agra, Gentala, Mbok Sumi. Gendhis mengikut Elang di belakang. Entah mau apa gadis itu.

"Nyuwun ampun Tuan Putri. Biar aku yang menanggung hukuman Elang. Semua yang dia kerjakan atas arahanku. Kumohon!"

Berjongkok, Mbok Sumi hampir saja mencium kaki Raden Ayu, jika saja gadis itu tidak menghindar.

"Lancang!" Kenes Kirana meraung, karena kaget tiba-tiba Mbok Sumi bersujud di depannya.

Sang Putri melenggang meninggalkan Mbok Sumi dengan didampingi Dayang yang berbaris di belakangnya.

Tersisa Agra dan Gentala di sisi Mbok Sumi, wanita paruh baya itu bicara dengan keduanya dengan wajah diselimuti mendung.

"Kalian teman Elang, kan? Aku mohon bantu dia, ya. Bantu dia keluar dari penjara." Mbok Sumi meminta belas kasihan kedua teman Elang dengan wajah mengiba.

"Mbok, besok masih ada sidang kedua, semoga Elang bisa membuktikan ucapannya."

Gentala berkata lirih kepada Mbok Sumi.

Runtuh. Tubuhnya kini roboh di tempat. Di saat dia sangat berharap anaknya bisa sukses mengikuti jejaknya menjadi Tabib. Elang mendapatkan cobaan yang sungguh berat. Bahkan, dia sendiri sebagai orang yang telah melahirkannya, tidak bisa membantunya sama sekali.

Tangis Sumi semakin tak terbendung. Sesak dan sakit hatinya melihat kejadian yang menimpa anaknya. Andai waktu bisa ditukar, dia tidak mau Elang memberikan ramuan itu, jika pada akhirnya nasib buruk kini menimpa hidupnya.

Bersambung

Komen (2)
goodnovel comment avatar
taqiyyuut aja
ibu memang luar biasa
goodnovel comment avatar
Indah Syi
duuuh kasihan ya dijadikan kambing hitam
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status