Ayam jantan berkokok saling bersahut-sahutan, membangunkan penduduk kerajaan Damar Langit dari peraduan yang hangat. Kicauan burung cucak rowo yang bernyanyi di dahan pohon, menambah syahdu suasana pagi.
Sialnya, suasana syahdu pagi ini sangat bertolak belakang dengan nasib malang Elang Taraka.Sejak matanya terbuka, atau lebih tepatnya dipaksa terbuka oleh tendangan Prajurit penjaga penjara, dia sudah harus kembali bergumul dengan rasa ngilu di seluruh tubuhnya yang terluka. Lebih mengenaskan lagi, ketika dia mulai diarak berjalan menuju alun-alun istana untuk diadili. Dia hanya bisa pasrah menjadi tontonan orang-orang, layaknya seorang penjahat kelas kakap.Sungguh keadaan yang sangat mengenaskan.Pemuda yang tubuhnya penuh luka itu hanya pasrah ketika Prajurit menyuruhnya duduk bersimpuh di tanah, untuk diadili.Gusti Prabu Maheswara Kamandaka sengaja mengadakan peradilan terbuka di alun-alun Istana, sebagai peringatan bagi siapapun yang mempunyai niat buruk mencelakai keluarga kerajaan akan bernasib sama dengan Elang. Diarak, dipermalukan dan diadili di depan umum.Sidang peradilan untuk Elang sebentar lagi dimulai.Bagi Elang Taraka, suasana alun-alun istana kali ini terasa sangat mengerikan, serupa ruang eksekusi mati. Singgasana Gusti Prabu Maheswara Kamandaka yang berada di Sitinggil ---tempat yang tinggi tempat duduk Raja--- terlihat begitu jumawa. Di samping kanan dan kiri Gusti Prabu ada Gusti Ratu, Paman Patih, Raden Ayu Kenes Kirana, Penasehat Kerajaan dan para Menteri.Beberapa Prajurit berdiri dengan gagah berani di sisi Elang Taraka. Memastikan sang penjahat yang telah merusak Tuan Putri mereka tidak akan berbuat yang tidak-tidak.Ekor mata Raden Ayu sedari tadi terus menatap ke arah pemuda yang tengah duduk di samping Prajurit Kerajaan. Namun, Elang tak sekalipun berani mengangkat wajah. Dia lebih banyak diam dan menunduk."Kapan dimulai?" Kenes bersuara. Sepertinya dia sudah tidak sabar. Tabib yunior ini telah mencelakainya. Mana mungkin dia bisa tenang sebelum Elang mendapatkan ganjaran setimpal."Sabar, Kenes. Masih menunggu saksi dulu," ucap Gusti Prabu pada sang Putri."Prajurit, cepat panggil para saksi," titah Gusti Prabu.Gadis yang sudah mulai tak sabar itu kini mendekati Gusti Prabu. Sepertinya dia sudah mulai bosan. Padahal, belum lama dia ikut bergabung."Elang, saya harap nanti kamu berkata dengan jujur! Katakan sesuai apa yang kamu tahu.""Sendiko dawuh, Gusti Prabu," jawab Elang lemah seraya memandang ke arah Rajanya. Lalu, dia kembali menunduk. Meratapi nasibnya yang entah nanti seperti apa?Terdengar suara langkah kaki yang berjalan mendekat ke arahnya, membuat Elang menoleh. Agra, Gentala, dan Mbok Sumi hadir sebagai saksi untuk Elang. Begitu melihat simboknya, tatapan Elang hanya tertuju pada Mbok Sumi, Biyung yang selama dia dipenjara tak pernah sekali pun menengok.'Biyung,' batin Elang dalam hati.Mbok Sumi langsung menghampiri anak semata wayangnya. Memeluknya lama. Tangis yang sedari tadi dia tahan, tumpah sudah. Tidak bisa lagi menutupi sesaknya dada, ketika melihat anaknya terlihat mengenaskan.Ibu mana yang menginginkan anaknya di penjara, apalagi dia tahu, itu semua bukan salah Elang.Semuanya sudah duduk, Agra, Gentala dan Mbok Sumi, jejer bersisihan bersimpuh di tanah menantikan peristiwa yang akan terjadi selanjutnya.***"Elang, apa kamu tahu daun jelatang dan bawang putih itu bisa membuat kulit panas? Kenapa kamu membuat ramuan dengan bahan itu untuk Raden Ayu Kenes Kirana?" tanya Gusti Prabu."Tidak, Gusti Prabu. Itu bukan ramuan saya. Bahan ramuan saya adalah akar wangi, kayu cendana, dan bahan lain yang mempunyai khasiat bagus untuk kulit. Bahkan saya sudah saya mengujinya berulang kali pada dayang Istana. Mereka baik-baik saja." Elang mencoba menjelaskan."Tapi sisa ramuan yang ada di kamar Kenes adalah tumbukan daun jelatang dan bawang putih. Kamu jangan mengelak!" Gusti Prabu mulai geram karena mengira Elang berbohong."Ada yang sengaja menukar ramuan saya, Gusti Prabu."Elang berkata dengan nelangsa. Penyesalan terhadap kecerobohannya teramat dalam di hati.Kenapa dia tidak memastikan sendiri dengan menunggui Dayang yang membalurkan ramuan itu di wajah Raden Ayu."Seberapa yakin kamu jika ramuan itu ada yang menukar?" tanya Gusti Prabu."Mohon ampun, Gusti Prabu. Saya ceroboh tidak memastikan ramuan itu saat dayang membalurkannya di wajah Raden Ayu."Gusti Prabu terdiam. Persoalan ini ternyata lebih pelik dari yang dia bayangkan sebelumnya. Awalnya dia mengira, Elang memang salah membuat ramuan. Namun, ternyata ada kasus penukaran ramuan.Gusti Prabu menghela napas panjang. Dia tidak boleh gegabah memutuskan, karena jika dia gegabah bisa jadi akan memberikan hukuman kepada orang yang salah. Sementara penjahat yang sebenarnya masih melenggang bebas di istana.Gusti Prabu membayangkan, kejahatan ini sudah serupa konspirasi besar untuk menghancurkan anggota keluarganya dan harus diusut dengan tuntas.Ditengah kekalutan Maheswara Kamandaka, Mbok Sumi memberanikan diri angkat bicara."Mohon ampun, Gusti Prabu, demi Pemilik Langit dan Bumi, anakku ndak salah membuat ramuan. Saya saksinya Gusti Prabu. Kumohon percaya sama saya."Mbok Sumi berlutut di hadapan sang Raja, agar bisa berbelas kasihan tidak menghukum anaknya."Atau ... tukar saja dengan saya. Biarkan anak saya bebas," bela Mbok Sumi. Suaranya serak, karena menahan tangis. Melihat anaknya yang begitu menyedihkan.Mbok Sumi masih bersimpuh di hadapan Gusti Prabu Maheswara Kamandaka. Wanita itu bahkan rela mencium kaki sang Raja, jika memang bisa membuat anaknya bebas dari tuduhan."Berdiri, Sumi! Biarkan anakmu yang bertanggung jawab. Sidang saya tutup. Untuk hukuman, nanti akan ada satu sidang lagi. Saya beri kesempatan bagi Elang untuk mencari bukti."Gusti Prabu menutup sidang dengan tutur kata yang penuh kewibaaan. Kini tubuh kokoh yang berbalut mantel berhiaskan sulaman benang emas itu meninggalkan Sitinggil dengan diikuti Gusti Ratu. Sementara Gendhis dan Kenes masih berada di sana.Elang masih tertunduk. Dia sedang berpikir bagaimana caranya membuktikan bahwa ramuannya itu ditukar.Elang menghela napas panjang."Elang, kenapa kamu jahat sekali padaku?" Kenes berkata dengan nelangsa.Elang kaget mendengar suara Raden Ayu Kenes Kirana menyapanya. Mendengar tuduhan itu membuat hatinya kembali mengalirkan tersayat, seolah darah terus mengalir dari luka yang tercipta."Ndak papa jika Andika menyebut saya jahat. Saya memang bersalah, ndak memastikan ramuan dulu sebelum dayang yang ada di sisi Andika mengoleskannya di wajah Andika."Pemuda yang di sebagian tangannya terdapat bekas siksaan itu akhirnya berani bicara. Selama peradilan tadi, dia lebih banyak diam. Mulutnya semakin takut mengeluarkan pembelaan, jika pada akhirnya, dia tidak bisa lagi membuka kebenaran.Kenes hanya melirik, tanpa menjawab lagi. Wajahnya memang masih ditutup kain sutera warna keemasan, tetapi matanya masih begitu jelas, jika sedari tadi Raden Ayu tak bisa berpaling menatap Elang."Tuan Putri, izin membawa tahanan ke penjara." Prajurit menyela.Prajurit kembali membawa Elang ke penjara bawah tanah. Tersisah Agra, Gentala, Mbok Sumi. Gendhis mengikut Elang di belakang. Entah mau apa gadis itu."Nyuwun ampun Tuan Putri. Biar aku yang menanggung hukuman Elang. Semua yang dia kerjakan atas arahanku. Kumohon!"Berjongkok, Mbok Sumi hampir saja mencium kaki Raden Ayu, jika saja gadis itu tidak menghindar."Lancang!" Kenes Kirana meraung, karena kaget tiba-tiba Mbok Sumi bersujud di depannya.Sang Putri melenggang meninggalkan Mbok Sumi dengan didampingi Dayang yang berbaris di belakangnya.Tersisa Agra dan Gentala di sisi Mbok Sumi, wanita paruh baya itu bicara dengan keduanya dengan wajah diselimuti mendung."Kalian teman Elang, kan? Aku mohon bantu dia, ya. Bantu dia keluar dari penjara." Mbok Sumi meminta belas kasihan kedua teman Elang dengan wajah mengiba."Mbok, besok masih ada sidang kedua, semoga Elang bisa membuktikan ucapannya."Gentala berkata lirih kepada Mbok Sumi.Runtuh. Tubuhnya kini roboh di tempat. Di saat dia sangat berharap anaknya bisa sukses mengikuti jejaknya menjadi Tabib. Elang mendapatkan cobaan yang sungguh berat. Bahkan, dia sendiri sebagai orang yang telah melahirkannya, tidak bisa membantunya sama sekali.Tangis Sumi semakin tak terbendung. Sesak dan sakit hatinya melihat kejadian yang menimpa anaknya. Andai waktu bisa ditukar, dia tidak mau Elang memberikan ramuan itu, jika pada akhirnya nasib buruk kini menimpa hidupnya.BersambungDi jalanan Kotaraja, tiga ekor kuda hitam berlari seperti kesetanan menuju arah istana. Penunggangnya tidak berpakaian sebagaimana umumnya penduduk Damar Langit yang sebagian besar telanjang dada. Tubuh tiga pria itu dibalut pakaian panjang serba hitam dengan tutup kepala hanya menampakkan mata mereka. Penampilan yang tidak biasa ini sejujurnya mengundang perhatian di sepanjang jalan. Alih-alih ada yang berani bertanya, mereka lebih memilih untuk menyingkir.Sejak Damar Langit dikuasai Bratasena, Kotaraja tak ubahnya menjadi kota seribu pertarungan. Ada begitu banyak pendekar berkeliaran. Centeng-centeng bayaran sang Raja baru, siap memenggal setiap kepala yang berani protes dengan kebijakan menyengsarakan rakyat. Penduduk dipaksa tunduk dengan segala cara. Para prajurit jaga di gerbang istana pun tak ada yang berani menghentikan ketika salah satu dari ketiganya mengeluarkan lempengan logam kuningan sebesar telapak tangan anak kecil berukir singa ketika mereka melintas. Itu tanda pen
“Apakah ada kabar dari tempat lain, kabar dari Pangeran Elang atau Pangeran Hadyan, Kangmas Arya Wursita?” Gusti Prabu Maheswara Kamandaka tengah berada di tenda bersama Arya Wursita dan Mahawira. “Mohon ampun, Gusti Prabu. Baru saja saya akan melaporkan.” Arya Wursita tersenyum lebar. Gusti Prabu menganggapnya sebagai pertanda baik. “Kalau begitu, aku siap mendengarnya, Kangmas Patih.” Arya Wursita berdiri tegak. Nyaris saja tak bisa menahan diri untuk tertawa lantang karena hatinya diliputi kebahagiaan, “sesuai dengan prediksi Gusti Pangeran Arya Elang Taraka, Bratasena sungguh memasang jebakan di tengah perjalanan. Pasukan yang dipimpin Gusti Pangeran Arya dicegat para begal dan pendekar dari lembah hitam di Hutan Larangan, Gusti Prabu.” Dengan dada yang dipenuhi ledakan kebahagiaan, Patih Arya Wursita melaporkan kejadian yang menimpa Elang dan pasukannya. Elang mengirimkan satu prajurit untuk menyampaikan kejadian Hutan Larangan pada Gusti Prabu.“Apakah semua baik-baik saja, K
Jatayu mengangkasa di ketinggian. Dari bawah, tubuh raksasanya tak tampak. Hanya seperti burung elang yang terbang di langit. Tenda-tenda sudah rampung didirikan. Elang Taraka pasti merasa puas melihat aktivitas para prajurit dari atas sana. Pasukan elitnya tengah sibuk mengerjakan tugas masing-masing. Ada padang rumput luas yang dipilih untuk menempatkan kuda-kuda mereka. Gentala sudah bergabung dengan prajurit yang bertugas menjaga kuda-kuda perang di padang rumput tersebut. Pangeran Hadyan Ganendra sungguh membuktikan keseriusannya membantu Gusti Prabu Maheswara Kamandaka. Dia memberikan senjata, ransum dan kuda perang kualitas terbaik untuk perang ini. Jenis Kuda Bima yang diberikan Pangeran Hadyan didatangkan khusus dari pulau seberang lautan sebelah timur. Kuda jenis ini dipilih karena kekuatan fisiknya yang mampu bertahan di segala medan. Tidak diragukan lagi ketangguhannya. “Namaku Gentala. Mulai hari ini, Gusti Pangeran menugaskan aku untuk membantu kalian mengurus kuda,” t
Pemuda yang tengah terpuruk dalam penyesalan itu tak berani mengangkat wajah. Tatapannya tertunduk memanah tanah merah tempatnya bersimpuh di depan Elang Taraka. Bahu yang terus bergetar seakan mengisyaratkan penyesalan teramat dalam. “Andaikan dulu Raden Mas Bratasena tidak membutakan mata saya, saya tidak akan kehilangan sahabat terbaik seperti kalian berdua,” isaknya dengan suara parau. Agra membuang wajah. Sulit baginya untuk menerima permintaan maaf orang yang telah berkhianat. Terlebih, pengkhianatan Gentala tidak sederhana. Dia ikut andil dalam kejahatan si Pemberontak Bratasena. Situasinya tidak jauh berbeda dengan Elang Taraka. Pangeran muda itu diliputi kegamangan. Betapa kekecewaanya menggunung selepas mengetahui sahabat yang dipercaya ternyata serigala berbulu domba.Sekian waktu berlalu tanpa kata. Hanya keheningan yang merajai. Gentala melirik Elang yang masih membeku di tempatnya.“Gusti Pangeran, meski saya harus menebus dosa dengan menjadi budak Andika. Saya bersed
Selepas keluar dari Hutan Larangan, pasukan elit yang dipimpin oleh Elang Taraka melanjutkan perjalanan keluar masuk desa menuju Kotaraja. Perjalanan dengan pasukan besar yang terdiri dari kavaleri dan infanteri tentunya memakan lebih banyak waktu. Alih-alih mempercepat, di sebuah tanah lapang yang luas mereka malah membentangkan tenda untuk istirahat. “Gusti Pangeran, bukankah ini akan menghabiskan terlalu banyak waktu?” Agra bertanya selepas usai mendirikan tenda untuk istirahat Kenes Kirana.“Kita akan menghadapi perang habis-habisan dengan Bratasena, Agra. Berperang dengan fisik kelelahan setelah perjalanan panjang tidak menguntungkan kita. Kami sudah memperhitungkan semua ini.” Merpati putih baru saja mengirimkan pesan. Pasukan Tumenggung Mahawira juga melakukan hal yang sama. Hanya Pangeran Hadyan yang berjalan lebih cepat. Agra manggut-manggut. Keberadaannya di tempat ini nantinya tidak terjun langsung dalam pertempuran. Sesuai keahliannya, Agra dan Mbok Sumi bertugas di tend
Balairung Istana Damar Langit diliputi kesunyian beberapa saat lamanya. Jajaran pejabat istana tak ada yang berani mengangkat wajah. Jangankan bicara, mereka bahkan tidak berani mengeluarkan suara napas. Pedang yang terhunus di tangan Bratasena mengucurkan darah. Di tengah ruangan, tergeletak jasad prajurit telik sandi dengan leher digorok. Nasib sial yang menimpa prajurit malang itu terjadi sesaat setelah dia menyampaikan informasi kejadian di Hutan Larangan. Begal dan pendekar dari lembah hitam yang diberi tugas menghadang pasukan Maheswara Kamandaka telah kocar-kacir.“Aku tidak suka mendengar berita buruk. Kalian semua harus tahu itu!” Suara Bratasena menggelegar. Dadanya naik turun penuh gejolak kemarahan. Dia mempunyai harapan besar akan kemenangan garnisun yang mencegat di Hutan Larangan tersebut. Gerombolan begal yang dikenal bengis dan kejam itu diharapkan mampu memadamkan api pemberontakan Maheswara Kamandaka. Alih-alih berhasil meraih kemenangan, sebaliknya mereka justru d
Angin berderu serupa tornado bergulung menerbangkan dedaunan kering. Pusaran itu terus bergerak seakan membentuk ruang untuk arena pertarungan tiga sosok yang ada di dalam sana. Tubuh-tubuh linglung yang sebelumnya terjebak dalam dunia mimpi perlahan mulai terbangun, dipaksa menyaksikan pertarungan yang akan terjadi.Maharesi Acarya berdiri dengan tenang di pinggir. Sementara Elang dan Toh Geni berhadapan layaknya pertemuan dua musuh bebuyutan.“Katakan padaku, apa alasanmu membunuh orang tuaku, Toh Geni?” Suara Elang terdengar tenang, kendati mengandung kemarahan yang begitu dalam. Toh Geni hanya menyeringai. Tak berniat memberi jawaban.“Kau berniat membunuhku, maka lakukan saja jika engkau mempunyai kemampuan!”Elang menyipitkan mata. Dua tangannya terkepal. Kemarahan makin berkobar, merasa diremehkan. “Maka akan aku penuhi keinginanmu.” Elang mulai menyerang. Tiap gerakannya menuju titik-titik mematikan lawan. Tak berniat memberi ampunan. Pria di depannya itu yang telah membuatny
Hiruk pikuk pertempuran seketika menghilang. Hutan yang diliputi peperangan berubah hening seakan tak berpenghuni. Desau angin bahkan tak berani menunjukkan dirinya dikuasai ketakutan. Bukan hanya hewan-hewan penghuni Wono Daksino saja yang terpengaruh dengan suara seruling. Manusia yang mendengar alunan magis itu juga menjadi linglung. Seakan terenggut kesadarannya, mereka terjerembab di dalam mimpi buruk. Peniup seruling berperan sebagai penguasa mimpi bisa sesuka hati mempermainkan siapapun yang terjebak di dalamnya. Waktu seakan berhenti berputar. Tak ada yang bergerak, hanyut dalam halusinasi. Hanya tiga orang yang bisa keluar dari kebekuan sang Waktu.“Kita berjumpa lagi, Teman.” Jiwa semua orang telah dibelenggu di alam mimpi, ketika pria tua itu berhenti meniup seruling. Dengan wajah tanpa dosa, dia menyapa Maharesi Acarya Adiwilaga. Senyuman menghias di bibir keriputnya.“Setelah tujuh belas tahun berpisah, akhirnya kita bereuni kembali, Acarya. Harusnya, pertemuan kita akan
Para begal dan pendekar dari lembah hitam telah siaga melakukan penyerangan begitu Elang dan pasukannya melewati hutan. Kejutan yang disiapkan Bratasena ini tidak main-main. Para begal dipersenjatai militer lengkap siap tempur. Dengan kekejaman alami yang telah mendarah daging dalam naluri penjahat, mereka tidak bisa dihadapi prajurit sembarangan. Ditambah lagi dengan kekuatan dari para pendekar lembah hitam, menjadikan kesombongan mereka terbang ke awang-awang.“Akhirnya tamu istimewa kita telah tiba, Teman-teman. Mari kita sambut dengan hidangan pembuka. Ha-ha-ha….” Gemuruh sorak-sorai seketika meramaikan hutan yang mencekam. Dari balik pepohonan hutan, sosok hitam bermunculan. Berjumlah tidak kurang dari lima ratus orang yang menghadang pasukan yang dipimpin Elang.“Mana Maheswara Kamandaka?! Kalau kamu sujud di bawah kakiku sekarang juga, aku pasti akan mengurungkan niat untuk membantai prajuritmu!” Seorang pria dengan mata sebelah kanannya ditutupi potongan kulit binatang berwarn