“Dipa, setelah mendengar kisah ini, bagaimana kalau kau tinggal di sini untuk sementara?” ucap Eyang Adipramana.
Dipa terdiam, pikirannya masih fokus dengan kisah cinta segitiga yang baru saja diceritakan oleh kakek buyutnya. Basundari, Erion dan Avanindra. Lalu, hubungannya sama dia apa?
Kata Eyang, aku keturunan langsung Basundari dan Avanindra. How cool is that? I don’t know. I never knew about them before. Dipa mengedikkan bahunya, tidak menyadari pandangan heran dari kakek buyutnya.
“Bagaimana, Dipa?” tanya Eyang kembali.
“Eh, ng,” Dipa pun tersadar. Dia sempat ragu bagaimana menjawabnya.
Dia memahami pentingnya pengajaran yang akan diberikan oleh kakek buyutnya. Hanya saja, dia sama sekali tidak menyukai ide tinggal di rumah ini terlalu lama.
Tapi selama ada Papa dan Syifa, sepertinya tidak akan ada masalah.
“Dipa, udah mau aja. Masalah kuliah kamu gampang, nanti aku yang urus,” ucap Syifa.
Dipa
“Pa, kenapa kita ke apartemen?” tanya Dipa saat taksi malah berhenti di depan gedung apartemen jauh dari lokasi rumah mereka. “Ada kemungkinan mereka sudah mengetahui rumah kita. Jadi untuk jaga-jaga, kita akan tinggal di tempat ini. Apartemen ini tidak terdaftar sebagai milik ayah atau kamu. Jadi pasti mereka tidak akan bisa melacaknya,” jawab Jaka membayar taksi dengan dua lembar seratus ribuan. Setelah itu, mereka bertiga turun dari taksi dan menurunkan koper dari bagasi. “Tapi, bagaimana kami bisa kuliah? Semua buku-buku kami ada di rumah,” protes Syifa. Saat ini masih pukul sebelas siang, dia pikir dia masih bisa menghadiri kuliah siang. “Siapa bilang kalian boleh kuliah? Hari ini kalian diam saja di dalam apartemen. Biar Papa yang mengurus semuanya. Papa akan pulang ke rumah dan membawa semua kebutuhan kalian.” “Papa nggak salah ngomong? Bukannya tadi Papa bilang ada kemungkinan mereka sudah mengetahui rumah kita dan pasti sedang mengawa
“Kau pasti tidak mempercayai semua itu?” ucap Jaka tersenyum pada putranya yang saat ini sedang mengernyitkan dahinya, penuh keraguan. “Kalau para penguasa elemen memang sudah ada sejak masa Atlantis, kenapa Atlantis bisa tenggelam? Kan ada pengendali air dan tanah,” tanya Dipa. Jaka menganggukkan kepalanya, Syifa diam-diam menyetujui pertanyaan adik sepupunya. “Alam bisa dikendalikan oleh manusia, tapi bukan berarti alam tunduk pada manusia, karena manusia bukan penciptanya,” jawab Jaka. Dipa terdiam, dia tidak bisa membantah jawaban ayahnya. Hanya saja, dia masih belum merasa puas. “Tapi, apa sebabnya Atlantis tenggelam? Apa yang terjadi pada masa itu?” tanya Syifa kali ini gantian dia yang bertanya. Dia memang pernah mendengar ceritanya, namun saat itu, dia hanya menelan semua legenda yang didengarnya bulat-bulat. Padahal dia tipikal anak yang kritis, namun entah saat itu dia tidak memiliki keinginan untuk menyanggah apapun. Karena
[Dipa, lo kok nggak kuliah-kuliah?]Begitu isi pesan yang dikirimkan oleh Hendra salah satu teman kuliahnya.[Ada masalah keluarga, Dra. Kuliah gue ketinggalan jauh ya?]Dipa membalas pesan itu. Dia pun gelisah karena pasti ada banyak tugas dan materi yang ketinggalan dia pelajari beberapa hari ini.[Nggak juga, sih! Kalau lo pasti bisa nyusul kok. Cuma lo ditanyain sama dosen. Oh iya, lo juga ditanyain sama Blythe sih!]Dipa menarik napas lega membaca pesan itu. Kalau dipikir-pikir, dia memang selalu dua sampai tiga bab lebih cepat mempelajari materi yang akan dipelajari di kampusnya.[Ada tugas apa aja?][Nanti gue email ke lo. Oh ya, Blythe kayaknya bener-bener khawatir sama lo. Sekarang dia lagi ada di samping gue nih. Mau ngobrol sama dia nggak? Eh, kalian nggak saling tukar nomor hape ya?][Ngobrol sama gue? Ngobrolin apa? Nggak usah deh, jangan! Gue lagi males ngomong. Ya
Sepuluh Tahun yang LaluNapas memburu, keringat menetes, dan adrenalin mengalir deras. Namun bukan untuk menyambut kegembiraan, melainkan rasa takut yang semakin menekan saraf. Langkah kakinya semakin cepat, kerikil beterbangan saat dia berlari di atasnya.Jalan di depannya buntu, langkahnya terhenti dan tubuhnya berbalik. Matanya nyalang memeriksa sekelilingnya. Detik sebelumnya dia melihat bayangan itu berada dua puluh meter di belakangnya, namun detik berikutnya bayangan itu tinggal beberapa meter di belakangnya.“HIYAH!” Tangannya terangkat ke udara, membuat aspal jalan terangkat ke atas, pecah di udara, dan menyebar menyerang benda apa pun yang mencurigakan.Namun pengejarnya bergerak sangat cepat, batu-batu itu sama sekali tidak melukainya. Mata gadis itu terbelalak melihat bayangan itu semakin mendekat dan berhasil melukai bahu kanannya. Dia pun menciptakan pusaran kerikil sebagai tameng d
Perjalanan ke kampus pagi ini berjalan lancar. Jalanan tidak terlalu macet, langit cerah dengan sinar matahari yang tidak terlalu terik, sehingga dia tidak perlu kepanasan di balik helm dan jaket motor. Pukul setengah sepuluh, dia sudah sampai di kampus. Masih ada waktu setengah jam sampai kuliah dimulai.Dia berjalan menyusuri koridor, menuju ruangan kelas. Pagi ini, kelompoknya akan presentasi dengan tema anatomi jantung dan penyakit-penyakit yang kemungkinan muncul darinya. Semua bahan sudah selesai, teman satu kelompoknya, Taeyang, berjanji akan mencetak tugas kuliah tersebut sekaligus menjilid dan menjadikannya sepuluh rangkap, untuk dibagikan kepada kelompok lain juga dosen.Syifa meletakkan tas di meja paling depan dekat papan tulis. Tak lama masuk Taeyang, orang yang sudah ditunggu olehnya.“Morning,” sapa cowok itu. “Morning,” balas Syifa. “Mana makalahnya?” tanyanya langsung.
“Aku nggak mau ikut,” ucap cowok berkacamata dengan tinggi 179 cm ini.“Kamu harus ikut, karena semuanya ikut. Kamu akan sendirian di rumah,” Pak Jaka terlihat gusar dengan kekeraskepalaan putra sulungnya ini.“Nggak apa-apa. Aku sudah besar, sudah kuliah, bisa urus diri sendiri.”“Ya, yang ada kamu nggak makan tiga hari, cuma minum air putih aja,” timpal Syifa. Dia sudah selesai makan dan baru saja membawa piring kotor ke bak cuci piring.“Nggak makan nggak akan mati.”“Nggak akan mati, tapi habis itu kamu harus dirawat di rumah sakit. Tangan kamu diinfus, ditusuk jarum. Mau?” ucap Syifa lagi, merasa sangat gemas dengan adik sepupunya ini.“Itu nggak akan terjadi. Aku akan baik-baik saja.”“Dipa Arya!” Pak Jaka menarik napas dalam-dalam, “Kamu kenapa sih, segitu tidak maunya bertemu kakek-nenekmu? Di sana kamu bisa bertemu sepupu yan
Waktu sudah hampir menunjukkan pukul delapan. Blythe mengencangkan ikatan rambutnya. Rambutnya yang berwarna perak dan bola matanya yang biru membuat penampilannya sangat menonjol di antara ratusan mahasiswa di kampus ini. Di mana pun dia berjalan, banyak pasang mata melirik ke arahnya, sebagian merasa iri dan sebagian memujanya. Namun Blythe sudah terbiasa. She’s the perfect girl. Apa pun yang diinginkannya, semua pasti berlomba mewujudkannya. Kemudian dia bertemu cowok itu, kepercayaan dirinya tercabik ketika cowok itu sama sekali tidak menatapnya saat mereka berbicara. Rasa penasarannya semakin bertambah ketika dia merasakan energi yang tidak biasa terasa di seluruh permukaan kulit cowok itu. Dia pun berusaha mendekatinya, namun entah mengapa, rasanya sulit sekali. Seperti biasa, Blythe menunggu di dekat stasiun kereta tempat Dipa biasanya turun. Cowok itu tidak turun dari kereta yang biasa. Rasanya aneh, karena biasanya cowok itu sangat te
Akhirnya perjalanan ke Surabaya dimulai. Mereka berangkat tepat setelah sarapan pukul tujuh pagi, dan bergantian menyetir, meskipun sebagian besar perjalanan Jaka-lah yang mengendarainya. Berangkat dari rumah Dipa yang membawa mobil. Kemudian sehabis beristirahat setelah keluar dari tol Cikampek, gantian dengan Jaka. Setiap lima jam, mereka berhenti untuk beristirahat. Setelah perjalanan hampir sepuluh jam, mereka akhirnya sampai di Semarang dan memutuskan untuk mampir di salah satu tempat peristirahatan. Begitu mobil diparkir, Dipa bergegas keluar karena kebelet kencing. Begitu sampai di toilet, antreannya lumayan panjang. Dipa tidak masalah dengan mengantre, hanya saja yang membuatnya tidak tahan mengantre di toilet umum seperti ini, adalah bau amonia yang menyengat. Dipa menahan napas. Untung saja antrean laki-laki tidak memakan waktu lama. Dengan cepat dia sudah berada di antrean terdepan. Jaka juga terlihat mengantre di belakang. B