Darren menatapn ponselnya. Dadanya sudah menggemuruh sendiri melihat peluang yang telah dinanti-nantikannya sejak lama kini terpampang jelas di depannya. Dengan mata berkilat-kilat, dia membalas pesan dari Esme kemudian meletakkan ponsel di meja kerjanya.
“Don Signoraz akan ke London minggu depan,” katanya pada 3 rekannya yang lain: Michael, Trisha, dan Jaymie. Ketiga rekannya itu telah dikirimkan oleh Inspektur Arnold untuk membantunya melacak dan merencanakan penangkapan Marco Bandares. Dengan kedatangan ketiga rekannya itu, apartemen sewaan Darren kini telah disulap menjadi kantor dadakan.
“Lalu bagaimana rencana kita?” tanya Michael dengan pandangan masih tertuju erat pada layar yang menampilkan rekamana CCTV yang diam-diam dipasang Darren di sekeliling kediaman Marco.
Memang, dia tidak bisa memasang kamera pengintai di dalam rumah, tetapi setidaknya keadaan di luar rumah bisa mereka kuasai.
“Michael,
Plok. Plok. Plok.“Baiklah! Perhatian semuanya!” Suara Darren menyita perhatian seluruh anggota tim.Sejak beberapa hari sebelum ini, pasukan level A yang dijanjikan Inspektur Arnold telah tiba di hadapan Darren. Bersama mereka, Darren menyusun rencana penangkapan.“Aku akan membagi 3 tim kita. Trisha dan Jaymie menjadi pemantau. Kalian akan berada di dalam van dan memantau rekaman dari kamera pengintai di sekeliling rumah. Sedangknh Michael! Kau akan memimpin sepuluh anggota pasukan kita, menyelinap melalui pohon-pohon di sebelah timur rumah. Dan aku bersama sisa pasukan menyelinap melalui pohon di sebelah barat. Kita akan bertemu di titik pusat. Setelah pasukan penjagaan di luar rumah dilumpuhkan, kita akan menyergap bagian dalam rumah. Kalian mengerti?!”“Siap, Kapten!”Sudah dari lama Darren tak sabar memimpin penyergapan ini. Kediaman Marco Bandares memang dijaga ketat. Dikawal ketat. Tetapi, pria itu lupa a
Esme mengisi bathtub nya sampai penuh dengan air hangat. Dilemparnya satu buah bath bomb beraroma citrus yang menyegarkan. Setelah bath tubnya penuh dengan busa sabun, Esme berendam di dalamnya, mengendurkan semua otot-ototnya yang kaku. Pikirannya dipenuhi akan kedatangan Darren dua hari lagi. Di hari ayahnya akan berangkat ke London, Darren akan tiba di rumahnya ini. Sungguh suatu hal yang tak pernah mampu dia bayangkan sebelumnya. Esme memejamkan matanya seraya otaknya menyusun-nyusun kegiatan yang bisa dia lakukan selama Darren mengunjunginya di sini. Sedang asyik memikirkan segala jenis kegiatan yang akan dia lakukan bersama Darren, bunyi tembakan tiba-tiba terdengar. Bukan hanya sekali, tetapi beberapa kali, meski tidak berurutan. Segera Esme keluar dari bathtubnya. “Suara apa itu?” tanya Esme pada Catherine begitu dia kelaur dari kamar mandinya. Sayangnya, Catherine sedang mendengarkan iphone-nya dengan headset. K
Pagi ini cuaca begitu cerah. Burung-burung berkicau dengan riangnya bagai alunan music bagi bunga untuk bermekaran. Sayangnya, semua itu tak selaras dengan risau hatinya. Kemarin siang, vonis persidangan telah dijatuhkan. Ayahnya diputuskan bersalah selaku menjadi bandar obat terlarang serta atas pembunuhan James Carter, rekan sejawat Darren. Untuk itu, ayahnya mendapat hukuman penjara selama 35 tahun. Hati siapa yang tak hancur mendengar berita seburuk itu? 35 tahun kemudian, saat ayahnya keluar dari penjara, dia sudah akan berusia 44 tahun. Itu kalau ayahnya masih sehat bugar, karena 35 tahun kemudian, ayahnya sudah akan berusia … 90 tahun! Para anak buah ayahnya juga mendapat hukuman mereka masing-masing. Martinez mendapat hukuman selama 15 tahun. Sedangkan anak buah ayahnya yang lain, masing-masing sekitar 5 tahun saja. Gadis itu melangkah lunglai memikirkan perubahan hidupnya yang terlalu mendadak. Segala miliknya direnggut dengan
“Kita?” tanya Esme heran. Catherine kan memang tinggal di New York dengan keluarganya. Lalu, kenapa menjadi mengikutinya tinggal sendiri? Tidak mungkin ayahnya akan menyetujuinya. Dan seakan menjawab keheranan Esme, Catherine menjawabnya, “Aku sudah bilang ke ayahku, aku akan menemanimu. Dad setuju. Dia bilang kau memang butuh ditemani.” Esme ingin mengelak ucapan Catherine, tapi hadiah dari Darren telah mengacaukan segala rasa hatinya, hingga dia tidak berniat untuk beradu mulut lagi dengan Catherine. Jadi, Esme mengangguk, mengiyakan. Setelahnya, dia melangkah masuk menuju kamarnya utnuk menyimpan kotak music itu, bersebelahan dengan gift yang telah dia persiapkan untuk Darren. Dia mungkin membenci Darren atas pemanfaatan yang dilakukan pria itu padanya. Tapi kata-kata Darren yang terukir di kotak music itu tidak bisa dia abaikan. Kata-kata itu meresap cepat dalam dirinya. Bersamaan dengan itu, berita dari Catherine bahwa mereka bisa
Tiga tahun kemudian …“Terima kasih, Ma’am. Terima kasih, Sir. Jangan ragu untuk mampir lagi di kemudian hari,” seru Esme seraya tersenyum ramah pada pasangan Tuan dan Nyonya Eideens yang hampir berusia paruh baya. Tuan dan Nyonya Eideens tersenyum lembut pada Esme, sembari mengangguk.“Tentu, Sayang. Kami akan sering mampir ke sini. Kue dan roti buatanmu sangat lezat. Tetapi, bagian yang paling aku sukai adalah rasa yang muncul saat menyantap kue dan roti buatanmu, seakan kembali ke masa lalu. Ada aroma dan rasa yang sudah hampir hilang dari rasa kue dan roti buatan masa kini. Padahal, rasa itulah yang membuat kue dan roti lebih lezat, lebih empuk tapi tetap padat. Dan kau berhasil menghadirkannya di karyamu. Aku sangat menyukainya, membuatku merindukan masa lalu dan semua tersaji dalam karyamu ini.”“Oh, Mrs. Eideens, terima kasih untuk pujianmu. Aku sangat menghargainya, meskipun menurutku kau terlalu b
Dave mengajak Esme turun di sebuah restoran elit di pusat kota New York. Begitu mereka masuk melewati pintunya, lagu Perfect-nya Ed Sheeran mengalun bagai sambutan bagi mereka. Mereka duduk di meja yang sudah di reserved oleh Dave. Pelayan datang membawakan menu. Setelah mereka memesan dan pelayan pergi, Dave mulai menatap Esme kembali. Sebelah tangannya memegang tangan Esme. “Kau suka restoran ini?” tanyanya lembut. “Ya, aku suka. Suasananya enak. Nyaman. Tenang,” jawab Esme apa adanya. “Ini punya kakakku yang laki,” kata Dave lagi. “Oh! Kenapa tak kau bilang dari tadi?” Dave terkekeh. “Tidak apa-apa. Hanya kejutan.” Jari jemari Dave membelai lembut punggung tangan Esme dengan tatapan yang terus terarah pada Esme. Gadis itu sendiri heran. Mereka sudah berkencan hampir satu tahun, tetapi tatapan Dave padanya tak pernah berubah. Selalu memujanya. “Selagi menunggu makanan, ayo berdansa denganku,” ajak Dave
“Datang saja ke Emerald Cake and Bakery. Itu toko miliknya.” Suara Catherine terus bergema dalam benak Darren. Nama yang telah dia kubur selama 3 tahun ini, tiba-tiba mencuat lagi dan didengarnya lagi dari Catherine yang tak sengaja ditemuinya semalam. Nama itu telah membuatnya tak bisa tidur. Dia bolak balik gelisah dengan hati penuh tanda tanya, apakah Esme telah berhasil mengubah hidupnya? Apakah gadis itu berhasil meraih impiannya? Ting tong. Bunyi bel di apartemennya memaksa Darren untuk bangun dan menuju pintu. Trisha di luar menjulurkan wajahnya mendekat ke arah peeping hole, dengan senyum cerianya seperti biasa. Darren membuka pintu unitnya dengan perasaan datar. Dia tak menginginkan Trisha terus-terusan mendatangi apartemennya seperti ini. Tapi, dia pun tak mampu memintanya untuk berhenti. Dia takut gadis itu tersinggung. “Morning, Captain!” sapa wanita itu riang. Darren melebarkan pintunya dan wanita berambut pendek s
“Kalian … apa saling kenal?” tanya Trisha menyadari keheningan tiba-tiba di antara mereka. Darren yang pertama bereaksi. Pria itu mengangguk kecil, meski masih tanpa suara. Sedangkan Trisha menunggu Darren mengenalkan Esme padanya. Tetapi sepertinya Darren lupa semua itu. Dia masih menatap Esme dengan tatapan dalam yang mengandung jutaan emosi dari hatinya. Esme pun memandangi Darren dalam diam. Setelah Darren mengiyakan mengenal Esme, gadis itu akhirnya mengambil napasnya dalam-dalam dan mempersilakan mereka duduk. “Kami punya menu andalan Chocolate Bavarian Torte untuk hari ini.” Thalia menunjuk ke arah rak pajangnya. “It’s so fresh from the oven, literally.” Trisha tersenyum simpul dan geli. Sembari duduk, dia berkata pada Darren, “Kau tidak mau mengenalkannya padaku? Jangan menjadi tidak sopan begitu.” Darren terkesiap. “Oh, maaf. Aku sampai lupa. Esme, ini Trisha, rekan kerjaku. Dan Trisha, ini Esme, err … kenalanku.” Darren seben