“Kau baik-baik saja?” tanya Dave saat mereka berdua telah berada di dalam mobil lagi, melaju untuk kembali ke rumah masing-masing. Pagi-pagi sekali mereka bangun. Setelah minum segelas kopi, mereka berpamitan pada orang tua Dave. Tidak terjadi apa-apa lagi semalam setelah gerayangan tangan Dave pada Esme. Dan Esme mensyukuri itu.
TEtapi, bukan berarti semua masalah selesai. Esme kesulitan untuk terlelap. Bayangan wajah Darren selalu singgah setiap kali dia memejamkan mata. Segala perasaannya pada pria itu kembali bercampur aduk. Dia benci, dia marah, tapi dia juga rindu pada Darren. Dan itu semua masih sangat menyiksanya.
“Aku baik. Jangan terus menanyai itu, Dave. Kau akan membuatku merasa bersalah telah menolak hal semalam itu,” jawab Esme berusaha tersenyum lembut pada Dave. Pria di sampingnya ini telah banyak melalui hari demi harinya bersama Esme. Dengan sifatnya yang periang dan humoris, ESme merasa nyaman. Bersama Dave, dia
Ting tong. Ting tong.Bunyi bel apartemennya menghentikan Darren dari latihan push up yang dia lakukan. Hitungannya terhenti di angka 133 dan pria itu bangkit berdiri, menyeka sedikit keringatnya dengan handuk, kemudian menuju pintu. Siapa kira-kira yang mengunjunginya di malam hari Jumat seperti ini.Meski begitu, saat kakinya belum tiba di depan pintu, dia sudah bisa menerka siapa tamunya itu.Siapa lagi? Dan benar saja, wajah ceria yang cantik itu yang datang menyapanya.“Hai, Darren. Kau lagi sibuk?” tanya Trisha begitu pintu dibukakan dan dia diperbolehkan masuk. Kedua tangannya memeluk sekantung kertas belanjaan dari supermarket. Dapat Darren lihat jika isinya berupa sayur-sayuran serta beberapa bumbu pelezat masakan. Hanya melihat itu saja, Darren sudah mengetahui niat Trisha.“Aku sedang work out. Ada apa?” tanya Darren basa basi.Trisha berbinar pandangannya mendengar jawaban Darren apalagi saat
Keesokan harinya, sore tiba dengan cepat. Sepanjang pagi dan siang, cukup banyak pelanggan yang datang ke Emerald Cake and Bakery. Esme menjadi super sibuk. Begitu juga Catherine, yaaaa meskipun gadis itu lebih banyak duduk dan bermain ponsel. Hanya sesekali saja dia mengurusi pembayaran dari pelanggan. Meski begitu, saat tiba waktunya menutup toko, Catherine lebih dulu mengeluh.“Uuurgh, pinggangku kayak dipasang batu bata. Capek sekali dari tadi hanya duduk di sini,” keluh gadis berambut pirang pendek itu seraya memutar-mutar pinggangnya.Esme yang mendengarnya sontak memutar bola matanya. Dia pun sengaja menjawab Catherine dengan kata-kata pedasnya. “Kau itu kurang bergerak, makanya pegal. Coba kalau kau ikut rapikan sedikit meja, kursi, dan kue-kue yang ada, aku rasa kau gak akan merasa capek lagi.”“Kalau aku turun dan ikut bekerja, siapa yang mengawasi pembayaran,” kilah Catherine dengan memberengutkan wa
Darren menatap tautan tangan Trisha di lengannya. Pikirannya teringat kejadian kemarin. Masalahnya, dia pun sudah menjawab Trisha dengan tegas tentang perasaannya yang biasa saja pada wanita itu. Tetapi hari ini, wanita ini mulai berlagak mereka pasangan kekasih lagi. Ya, anggaplah ini karena mereka memang sedang menyamar, berbaur menjadi tamu, sebagai pasangan kekasih. Tetapi, kentara sekali jika Trisha melakoni ini semua dengan antusiasme yang mencuat dari dasar hati terdalamnya. Darren hanya bisa menghela napas lega dan berusaha mengabaikan tangan yang menggamit lengannya serta pipi Trisha yang bersandar manja di bahunya. Mereka melangkah masuk, langkah demi langkah, mengamati lukisan demi lukisan. Memang, setiap lukisan Mr. Bautiste sangatlah hidup. Jika disandingkan dengan foto aslinya atau bahkan barang aslinya, lukisan itu tidak aka nada bedanya dengan yang asli. Tangan Mr. Bautiste sangatlah piawai menggoreskan pensil dan mengulas kuas dan cat.
“Esmeralda!” seru pria kurus dan tinggi di hadapannya, dengan gaya yang didramatisir, seakan mereka dulunya sangat dekat. “Oh, aku sungguh tak menyangka bisa bertemu denganmu di sini. Bagaimana kabarmu?”Esme merasakan tenggorokannya kering. Otaknya pun tak mampu mencerna bagaimana sepatutnya dia menjawab sapaan mafia norak rekan ayahnya itu. Mereka hanya bertemu satu kali. Tetapi, lagaknya pria itu seakan mereka teman dekat yang sering bertemu.Tanpa sadar, Esme melirik wanita di samping Nicky. Wanita itu cantik, langsing, sama tingginya dengan ESme, juga sama mudanya, itu yang diperkirakan Esme. Apakah wanita itu istrinya?“Baik. Terima kasih atas perhatiannya,” jawab Esme kaku, setelah berusaha keras mengeluarkan suaranya dan membalas meski hanya sebatas ala kadarnya.“Kuharap ayahmu juga baik meski dalam situasi yang sulit,” lanjut Nicky lagi dengan senyum yang seakan penuh simpati.
“Duuuuh, yang lagi mesra-mesraan,” seru Catherine saat menghampiri Esme dan Dave yang sedang berpelukan, membuat suasana romantic itu terhancurkan. Pelukan mereka terurai dan Esme menatap masam pada Catherine.“WAlaupun mansion ini luas, tapi aneh rasanya kalau kita baru bertemu sekarang,” sambut Esme dengan kesal. Dia berharap Catherine bisa lebih cepat datang sehingga dia memiliki alasan untuk mengakhiri percakapannya dengan Nicky Meizzo tadi.Tapi ternyata, Catherine mempunyai jawabannya sendiri. “Aku telah melihatmu dari tadi. Tapi kau sedang bicara dengan seseorang. Karena terliaht serius, aku tidak berani menghampirimu.”“Ck!” seru Esme tak bisa menahan wajahnya untuk tidak memberengut. Karena itulah Catherine jadi mempertanyakannya, “MEmangnya kenapa? Siapa yang bicara denganmu tadi.”MEndapatkan pertanyaan seperti itu, Esme langsung hendak menceritakannya. Tapi kata-katanya
Satu-satunya wanita yang dia inginkan, yang hampir dia dapatkan tiga tahun lalu, kini sedang berciuman dengan lelaki lain di dalam sana. Hati Nicky berkobar api amarah. Berani-beraninya lelaki kunyuk satu itu mencium calon pengantinnya. Sepertinya si kunyuk itu harus tahu siapa yang akan dia hadapi jika mencium Esmeralda. Karena apa? Karena Esmeralda Bandares dulunya adalah calon pengantinnya. Sekarangpun dia tetap menginginkan wanita itu. Nicky meraih ponsel di telepon yang ada di dalam Limousin itu kemudian menekan satu tombol. “Apa Britney sudah tiba di penthouse?” tanyanya pada bawahannya di ujung sana. “Sudah, Tuan!” balas bawahannya itu. “Good!” “Lalu, bagaimana dengan secret lover, Tuan? Mereka semua menunggu perintah,” tanya bawahannya lagi. Nicky menepuk jidatnya sendiri karena dia sampai melupakan misinya itu. Semua ini karena Esme. Dia terlalu menggilai wanita itu hingga sekarang rasanya secret lover tak be
Bunyi alarm membangunkan Esme pagi itu. Tubuhnya sedikit menggigil karena cuaca di luar semakin dingin dalam masa awal memasuki musim dingin. Esme menarik selimutnya hingga ke batas dagunya, untuk membuat tubuhnya kembali merasa hangat. Diliriknya jam, sudah pukul setengah tujuh pagi. Dan seketika otaknya mengingatkannya bahwa dia harus membeli buah-buahan segar untuk menghias frutty cake pesanan customer untuk sore ini. Dengan menyeret langkah kakinya, Esme bangun dari kasurnya dan bersiap. Esme menyempatkan diri melihat kamar Catherine sebelum pergi. Kamar itu ternyata kosong. Catherine tidak pulang semalam. Esme mendesah kemudian turun ke tokonya untuk segera ke pasar. Dalam langkah kakinya pagi itu, ditengadahkannya wajah untuk menyambut udara dingin. Meskipun benaknya terisi oleh bayang-bayang kejadian semalam, Esme berusaha melangkah penuh semangat. Pagi yang dingin itu membuat jalanan masih sepi, terutama di jalanan kecil di mana
Drrrrrtttt … drrrrtttttt … “Ya?” tanya Darren dengan suara serak. “Ada apa?” “Lapor, Sir. Pemilik toko kue Emerald diculik!” “Shit! Shit! Shit!” maki Darren pada dirinya sendiri. Bukan kali ini saja dugaannya sangat tepat, tetapi baru ini pertama kalinya dia membenci keakuratan dugaannya. Darren melompat bangun dan menyambar jaketnya untuk segera berlari ke luar. “Kita bertemu di kantor,” serunya pada Lorry. *** “Ini nomor mobilnya, Sir.” Lorry menyerahkannya pada Darren saat telah di kantor dan agent lainnya sudah dikumpulkan. “Segera cari!” perintah Darren pada agent lainnya. Dia juga memberikan sederet nomor ponsel Esme pada Lorry. “Coba lacak juga nomor ini. Siapa tau masih aktif. Ini nomor korban.” “Baik, Sir!” Selagi menunggu, Darren menghubungi Inspekt