"Saya terima nikah dan kawinnya Milariani binti Ahmad Muzakki dengan mas kawin seperangkat alat salat dan cincin emas tujuh gram dibayar tunai."Pernikahan siri ini pun terjadi juga. Setelah sepekan ibuku keluar dari rumah sakit. Wajah Mila nampak sumringah dan merona. Dia memang cantik, mirip sekali dengan Eva. Tak heran jika aku bisa jatuh cinta padanya, setelah kepergian Eva untuk selamanya. Aku memang menyukai dan mencintai Ria, tetapi kedekatanku dengan Mila karena adanya Raka, membuat perasaan ini terbagi dua. Aku menginginkan keduanya menjadi wanita-wanitaku, walau aku tak bisa memberi nafkah batin untuk mereka.Jika Ria bisa diberi pengertian tentang hal itu, asal rekeningnya gendut. Namun bagi Mila, aku masih bingung. Khawatir ia kecewa dengan keadaanku yang sebenarnya. Biarlah, untuk beberapa bulan ini aku beri obat tidur saja sebelum kami berhubungan."Saya mandi dulu ya, Mas," katanya dengan wajah menundu
Akhirnya aku sampai juga di Garut menjelang Subuh. Mobil sengaja kukemudikan dengan kecepatan sedang, karena mengendarai mobil saat malam hari, aku masih belum terlalu percaya diri.Singgah di masjid begitu memasuki azan Subuh, membuatku sempat beristirahat sebentar. Baru kali ini aku mengendarai mobil dalam jarak cukup jauh.Selesai salat berjamaah, aku memutuskan untuk memejamkan mataku sejenak. Tidak ada rasa was-was sama sekali, karena sedang ada taklim yang berlangsung setelah salat. Untunglah bilik salat perempuan, dibatasi oleh gorden panjang, sehingga saat kuterlelap, tak ada jamaah yang menyadarinya.Alamat Mas Dirman sebenarnya tidak jauh lagi, tetapi mataku sungguh tak dapat diajak bekerja sama. Daripada terjadi apa-apa di jalan, lebih baik aku tidur sejenak di masjid.Entah berapa lama aku tertidur, yang jelas saat kumembuka mata, langit sudah terang dan lalu-lalang kendaraan mulai padat. Seger
Akhir pekan yang aku harapkan bisa kulewati dengan tenang di Garut, harus pupus. Mas Edwin lagi-lagi mengganggu dengan terror kampungannya. Aku tak menyangka, lelaki sepintar Mas Edwin melakukan cara konyol untuk masuk ke dalam rumahku. Ya, sekarang itu benar-benar rumahku. Bukan lagi rumah bersama. Apalagi sekarang dia sudah menikah dengan Mila, tidak sudi sepeser pun aku memberikan harta gono-gini pada lelaki itu.Untunglah Mas Dirman memberitahu temannya yang bertugas sebagai satpam komplek perumahanku, sehingga Mas Edwin dan orang-orangnya bisa diusir saat itu juga. Aku juga minta tolong pada Herman untuk mengamankan rumahku sementara. Tepatnya, aku rela membayar satu orang petugas kepolisian untuk menjaga rumah mewah yang aku punya. Jangan sampai rumah seharga tiga milyar itu jatuh kembali pada Mas Edwin dan istri sirinya. Harta yang didapat lelaki itu selagi berumah tangga bersamaku dan sudah atas namaku, tentu tidak akan mau aku kembalikan.
POV AuthorMila duduk di depan cermin sambil menyisir rambut panjangnya. Baju yang ia pakai sungguh sangat terbuka. Malam ini dia sudah bersiap kembali menggoda suaminya. Biasanya, pengantin baru itu setiap hari bisa dua rit bolak-balik;bahkan ada yang sampai tiga kali. Namun, sudah dua hari menikah, tetapi baru satu kali kami melakukannya dan dia tidak merasakannya, karena terlelap.Siang tadi, tidurnya sudah sangat nyenyak sehabis dari salon. Maka dari itu, dapat dia pastikan malam ini akan berlalu dengan sangat panas, bersama suaminya. Mila menurunkan sebelah kiri tali sphageti baju tidur saten yang ia pakai. Kemudian, menyemprotkan parfum di seluruh tubuhnya. Terutama di sekitar leher dan pangkal pahanya.Suara guyuran air shower sudah berhenti. Itu tandanya suaminya akan segera keluar dari sana. Dengan hati berdebar, Mila berjalan menuju ranjang dan memasang pose sangat menggoda."Wah, istriku bajunya
Aku berdebar menanti hasil pemeriksaan hari ini. Ditambah lagi, nanti siang adalah jadwal sidang perceraian pertamaku. Semoga Mas Edwin tidak hadir, agar semua berjalan cepat tanpa sanggahan. Mas Dirman mengantar dan menemaniku dengan sabar dan tanpa complain. Klinik baru saja buka dan dokter belum tiba. Aku yang sudah penasaran, memaksa Mas Dirman untuk segera ke klinik laboratorium ini. Begitu mobil yang dikendari Dokter Vita sampai, aku pun semakin berdebar. Bernapas pun kurasa tersendat-sendat. Wanita yang memakai dress bunga lili itu tersenyum ramah padaku dan beberapa perawat di sana. Kemudian, dia masuk ke dalam ruang praktek.“Silakan Ibu Ria. Sudah ditunggu Dokter Vita,” ujar perawat mempersilakan. Aku masuk ke dalam ruangan dengan hati berdebar. Awalnya Mas Dirman tidak ingin menemaniku, tetapi karena aku bersikeras, maka Mas Dirman akhirnya luluh juga. Kami duduk bersampingan di depan Dokter Vita yang tengah membuka amplop kuning
"Kamu kenapa, Sayang?" tanya Edwin pada Mila. Wanita itu tengah meringkuk di dalam selimut karena merasa kedinginan. Padahal saat ini di luar cuaca sangat terik."Sepertinya aku demam, Mas. Boleh ambilkan aku obat di laci meja, Mas," pinta Mila pada suaminya. Edwin mengangguk, lalu berjalan untuk mengambil bungkusan obat di dalam laci. Dia berikan pada Mila, berikut segelas air yang memang sudah tersedia di kamar. Wanita itu memasukkan dua kapsul sekaligus ke dalam mulut, lalu didorong oleh segelas air hingga tandas."Kamu istirahat saja ya. Mas gak bisa nemenin, harus ke kantor," kata Edwim lagi sambil mengusap rambut Mila. Wanita itu mengangguk, tetapi sambil memejamkan mata."Apakah ini bawaan hamil ya, Mas?" kata Mila lagi dengan senyuman malu-malunya."Wah, emang kamu udah tes pack? Beneran?" Edwin berpura-pura kaget dengan kalimat yang diucapkan Mila. Ia tahu tidak akan mungkin, karena dia sendiri be
"Non, ya Allah!" pekik Mas Dirman saat melihat bibirku berdarah. Lelaki itu sampai melihat ke sana-kemari mencari apa yang sebenarnya terjadi pada diriku."Siapa yang menampar Non Ria? Tuan Edwin?" tanyanya lagi, saat tak mendengar jawaban yang keluar dari mulutku. Bagaimana aku mau menjawab, karena bibirku sakit dan masih sedikit berdarah. Aku hanya bisa menggeleng, dengan air mata mengalir perlahan."Mertua, Non?" tanyanya lagi dan aku kembali menggeleng."Apa istri kuda, eh ... Jadi istri kuda deh. Istri muda Tuan Edwin?" Aku akhirnya tergelak, saat Mas Dirman salah mengucapkan istri muda menjadi istri kuda."Aw! Sakit!" pekikku karena merasa sudut bibir ini sangatlah pedih.Makanan di depanku sudah tak sanggup aku makan. Teh manis yang tadinya sangat ingin kuminum, sudah tak bisa aku teguk dengan benar. Namun, ada yang membuat rasa sakit ini sepertinya segera hilang. Mas Dirman membeli
Sehabis magrib, aku, Mas Dirman, dan Bik Isah duduk di ruang tengah. Kami tengah membereskan satu per satu barang untuk dimasukkan ke dalam box. Beberapa hari lagi, rumah akan ditempati oleh pemilik baru. Begitu dipasang plang rumah dijual dan dengan harga jauh di bawah pasaran, tentulah sangat banyak peminatnya.Harga rumah tiga milyar, dijual dengan harga satu koma delapan milyar. Maka dari itu, selang beberapa jam Ria sudah menemukan pembeli yang cocok. Mereka harus segera pindah besok."Bik, peralatan dapur yang bagus-bagus ambil buat Bibik saja. Saya pakai yang biasa saja," kataku pada Bik Isah."Jangan, Non. Buat saya aja," sela Mas Dirman sambil memperlihatkan tawa renyahnya. Aku dan Bik Isah sontak menoleh, lalu mengerutkan kening tanda tak paham. Buat apa peralatan dapur untuk lelaki itu?"Buat apa, Mas?" tanyaku heran."Buat masak." Kami bertiga akhirnya tertawa. Pekerjaan yang p