Enam Tahun Tanpa Malam Pertama 8
Sebenarnya aku sangat malas untuk pulang ke rumah hari ini, tetapi mama memintaku untuk menuruti keinginan Mas Edwin. Beliau masih berpikir bahwa memang aku kesepian karena memang memiliki momongan. Anak yang aku urus nanti anggap saja sebagai pancingan agar aku segera memiliki momongan. Ingin rasanya mulut ini mengatakan yang sebenarnya, tetapi aku sungguh amat malu jika sampai keluargaku mengetahui kekurangan suamiku.
Taksi online sudah bersiap di depan rumah. Sudah lima menit dia menunggu di sana, sedangkan bokongku masih menempel erat di kursi teras. Benar-benar enggan beranjak. Ditambah lagi minggu pagi yang biasanya hari santai bagiku, kini harus menegang dengan perbuatan Mas Edwin.
“Ria, ayo barangkat! Itu taksinya kelamaan nunggu loh,” tegur mama sambil menggelengkan kepalanya. Aku menoleh, lalu menampilkan mimic wajah memohon agar aku tak perlu pergi saja. Namun sayang sekali, mamaku menggeleng—bahkan ia mengibaskan tangannya agar aku segera pulang.
“Tak boleh berlama-lama menyimpan masalah dengan suami, harus degera diselesaikan,” tambah mamaku lagi sambil mengusap lenganku naik turun. Aku hanya bisa menghela napas panjang, lalu bangun dengan malas dari dudukku. Sebelum benar-benar beranjak dari teras, aku sempatkan mencium punggung tangan wanita yang sudah melahirkanku itu. Lalu memberikan ciuman di pipi.
“Ria pulang ya, Ma. Assalamualaykum,” pamitku padanya sambil memberikan senyuman mansi yang sangat aku paksakan. Bukan kaena mamaku yang mendukung ide Mas Edwin, tetapi lebih karena rasa malasku untuk mengurus anak orang lain.
“Bawa mobilnya pelan aja, Mas,” kataku pada lelaki muda yang sedang fokus mengemudi.
“Baik, Mbak,” jawabnya singkat.
Mobil benar-benar melaju dalam kecepatan sedang, cenderung santai. Aku tak ingin segera sampai di rumah. Ada banyak hal yang kini ada dalam pikiranku perihal harus melakukan apa, saat sampai di rumah nanti. Apa yang akan kukatakan pada mertuaku nanti dan juga anaknya, sudah dari saat ini aku pikirkan. Seakan ada batu besar yang mengganjal di hatiku kini.
Saat mobil yang kutumpangi sampai di depan rumah, dengan rasa enggan aku turun, lalu membuka pagar besar rumahku yang tidak ditutup rapat. Sudah ada mobil Mas Edwin dan juga mobil sedan lama milik ibu mertuaku. Namun ada yang aneh dalam penglihatanku saat ini, di mana ada seorang anak laki-laki cukup besar sedang bermain bola di halaman samping rumah kami bersama Mang Dirman, dan di dekat mereka ada Mas Edwin yang dengan senyuman memotret adegan itu. Siapa anak itu? Tidak mungkin anak yang akan aku adopsi’kan? Aku mencoba abai. Berpura-pura tidak melihatnya. Langsung saja aku masuk ke dalam rumah untuk bertemu dengan ibu mertuaku.
Benar saja, wanita paruh baya dengan sanggul tingginya sudah berada di sofa ruang TV ku tengah menikmati membaca majalah mode.
“Assalamualaykum, baru sampai Bu?” sapaku sambil tersenyum padanya. Mertua cantikku pun meletakkan majalah di atas meja, lalu memperhatikan diriku dengan pandangan tajam. Mulai dari atas sampai bawah.
“Udah dari tadi,” sahutnya malas dengan bibir sengaja ia miringkan. Aku langsung saja duduk di depannya setelah menyimpan tas di atas nakas. “Mana bayi yang akan diadopsi oleh Mas Edwin, Bu?” tanyaku to the point. Kedua bola mataku mencari keberadaan bayi itu. Bisa saja sedang digendong Bik Isah’kan?
“Siapa yang bilang bayi? Itu, anak lelaki yang sedang bermain bola di samping. Anak itu yang akan kamu adopsi,” terang mertuaku santai. Jari-jemarinya yang dipenuhi emas dan berlian bergerak manis meraih cangkir yang berisi teh, lalu mengarahkan pada bibirnya yang merah bak bendera partai.
“Hah? Kok udah gede, Bu? Atuh susah Ria mengurusnya,” rengekku tidak terima.
“Justru sengaja yang udah gede, biar kamu gak harus capek nyebokin dan mandiin. Dia sudah bisa sendiri semua,” balas ibu mertuaku tidak mau kalah. Aku tak ingin bertengkar, jadi aku hanya diam saja sambil memainkan ponsel.
Suara derap langkah kaki memasuki rumah membuat aku menoleh dan mendapati suami serta seorang anak lelaki tampan masuk ke dalam rumah sambil tersenyum. Kedua mata kami saling pandang dan mengunci. Si anak lelaki nampak sedikit takut saat melihatku. Dia bersembunyi di balik tubuh Mas Edwin sambil memegang erat jemari suamiku.
“Halo, ganteng. Siapa namanya?” sapaku ramah sambil menyunggingkan senyum. Sengaja kusambut anak kecil itu, lalu menariknya untuk duduk di dekatku. Ia menurut, walau sesekali melihat ragu-ragu pada Mas Edwin.
“Kenalkan, nama Tante, Tante Ria. Nama kamu siapa?” tanyaku sekali lagi sambil mengusap pucuk kepalanya.
“Raka,” jawabnya sambil menunduk malu.
“Oh, Raka. Nama yang bagus. Raka mau tinggal di sini?” tanyaku berbasa-basi. Jujur, lidahku kelu tak tahu mau bertanya apa lagi pada anak kecil itu.
“Mau,” sela Mas Edwin yang kini sudah duduk di seberang kami. Anak itu terdiam dan aku pun ikut diam. “Maaf, Bu. Saya boleh bicara dengan Mas Edwin?” tanyaku pada ibu dengan wajah dibuat selembut mungkin. Ibu mertuaku mengangguk. “Jangan sampai terbujuk Ria, Win,” ujarnya lagi membuatku sampai membuka mulut tak percaya. Sampai seperti itukah ibu mertuaku yang menunjukkan rasa tak senangnya. Suamiku mengangkat ibu jarinya, lalu merangkulku untuk berjalan menuju kamar. Sudah kutepis, tetapi lelaki itu sepertinya tak menyerah.
“Raka, Papa ke kamar dulu ya,” ujar Mas Edwin pada anak kecil itu. Kenapa bisa secepat itu mereka dekat? Ah, iya. Raka adalah anak teman dari suamiku, tentulah keduanya sudah sangat kenal.
Pintu kamar kututup, lalu kunci. Aku berbalik manatap suamiku yang tengah berjalan santai menuju ranjang.
“Mas cuci kali dulu! Baru saja main bola, pasti banyak debu yang menempel. Jangan langsung naik ke Kasur!” ujarku mempringatkannya. Lelaki itu mendengkus kesal, lalu dengan langkah malas berjalan masuk ke kamar mandi. Aku sudah menunggunya di ranjang sambil melipat kedua tangan di dada.
“Ada apa?” tanyanya saat mendekatiku.
“Mas tahu’kan kalau aku gak mau ada anak adopsi di rumah ini. Kenapa masih saja membawanya kemari?” tanyaku dengan suara ketus.
“Aku kepala keluarga di rumah ini, Ria. Jadi terserah aku mau bawa siapa. Kalau kamu keberatan, maka akan ada pembantu khusus yang mengurus Raka,” jawabnya sambil membuang pandangannya ke arah pintu.
“Mas, masalah kita sebenarnya bukan ini. Kamu tahu betul itu. Aku hanya mau kamu sehat dan berhasil memerawani serta menghamiliku, Mas. Bukan malah adopsi anak.”
“Kenapa sih, Ria? Selalu itu saja yang ada di kepala kamu. Pernikahan itu bukan hanya sekedar urusan seks! Aku tak menyangka, istriku otaknya semesum ini.” Aku melotot tak percaya dengan ucapannya. Otakku mesum katanya.
“Mas, kalau otakku mesum, aku sudah mencari lelaki lain untuk memuaskanku di ranjang. Bukan bersabar seperti ini selama enam tahun. Kamu egois!” aku tak bisa menahan air mata yang jatuh perlahan membasahi pipi ini. Sebenarnya aku tak ingin terlihat cengeng, tetapi aku kalah. Aku lelah dengan sikap Mas Edwin. Haruskah aku saja yang menyerah?
“Suami itu wajib egois!” ucap Mas Edwin dengan ketus, lalu pergi meninggalkanku sendiri.
Bersambung
Senin adalah hari yang berat untuk siapa saja. Itu yang selalu aku dengar dari sebagian orang. Di mana setelah dua hari berlibur di hari Sabtu dan Minggu, maka Senin kalian wajib menyemangati diri dan pikiran. Walau sebenarnya kalian begitu enggan.Sama seperti diriku yang selalu membenci Senin. Terutama Senin pagi ini, di mana aku harus bangun lebih pagi karena sudah ada Raka yang mulai kemarin menjadi anak angkatku.Aku mengusap malas sisi kiri ranjangku, tempat biasa Mas Edwin terlelap. Tak ada dia di sana. Aku bangun dari posisi berbaring, lalu sambil mengucek mata kupastikan lagi bahwa benar tak ada suamiku tidur di sana. Lalu ke mana dia? Aku bertanya dalam hati. Lalu menoleh ke arah pintu kamar.Sepertinya semalam ia tidur di sampingku. Apakah kemudian dia pindah ke kamar Raka? Jika ia, kenapa anak lelaki itu nampak begitu spesial bagi suamiku? Kupakai sandal kamar. Kubetulkan letak piyama tidurku sebelum keluar dari kamar.Lampu teng
Enam tahun tanpa malam pertama 10Mas Edwin sudah berangkat bersama Raka. Lelai kecil itu tak mau jika aku yang mengantarnya sekolah pagi ini. Katanya belum kenal. Ya Tuhan, aku adalah ibu angkatnya, bukan orang lain yang sama sekali tidak ia kenal. Sumpah aku begitu bingung dengan pendidikan yang diberikan oleh orang tuanya. Segitu antipatinya dengan orang lain. Kupandang mangkuk besar berisi nasi goreng buatanku yang masih tersisa sangat banyak. Mas Edwin tidak mau memakannya. Suamiku menemani Raka makan sosis bakar dan juga roti. Sarapan buatanku tak tersentuh samak sekali dan itu sangat membuatku kecewa.“Bik, ini semua beresin aja, Bik. Kalau ada pemulung kasikan pemulung aja. Bibik pisahkan lebih dahulu untuk dimakan,” pintaku pada Bik Isa. Dengan langkah malas, aku masuk kembali ke dalam kamar. Jika pagi hari seperti ini, aku selalu bingung mau melakukan apa, karena tidak memiliki keahlian lagi selain memasak dan membuat kue. Namun pagi ini suasana h
Aku mencoba menenangkan hatiku yang panas. Pemaparan data siswa yang diberitahukan oleh petugas administrasi sekolah tadi, sangat membuatku syok dan sakit kepala. Suamiku impoten. Senjatanya tidak bisa bangun. Jadi, bagaimana bisa ada namanya di data orang tua Raka, dan kenapa juga nama anak lelaki itu sama seperti suaminya. Hidayat; adalah nama keluarga dari Mas Edwin. Raka anak angkat dan tidak mungkin langsung secepat itu menyematkan nama keluarga di belakang namanya.Ini adalah sebuah teka-teki yang harus segera aku temukan jawabannya dari suamiku. Tak mungkin aku bertanya pada anak sekecil Raka. Walau aku tahu ia anak yang cerdas, ia pasti bisa menjawab dengan jujur apa yang akan aku tanyakan, tetapi tidak akan baik bagi kondisi hatinya saat ini.“Bagaimana sekolah hari ini, Raka?” tanyaku saat kami sudah berada di dalam mobil menuju jalan pulang.“Baik. Ada PR matematika,” jawabnya singkat dan padat. Kepalanya sama sekali tidak meno
“Mas, jawab! Kenapa diam saja? Siapa Raka dan apa hubungan anak itu dengan Mas?” aku berteriak menanti penjelasan darinya. Suamiku nampak semakin gugup dan berkeringat. Aku perhatikan jakunnya naik turun tanda keresahan yang semakin tinggi. Bola matanya saja tidak berani menatapku. Aku tahu Mas Edwin pasti punya rahasia.“Raka itu … sebenarnya … anak ….” Mas Edwin kembali mengusap wajahnya yang berkeringat dengan sapu tangannya. Sedangkan aku masih menanti lanjutan kalimat sampai mulutku setengah terbuka.“Apa, Mas? Kenapa gugup? Jawab saja siapa Raka?” tanyaku lagi yang terus menekannya. Jika sudah tak cinta, ingin sekali aku garuk wajah suamiku yang saat ini sangat menyebalkan.“Raka itu … mm … anak … anak angkat saya, Ria,” ucap Mas Edwin dengan terbata. Aku berjalan mendekat padanya dengan langkah pelan dan penuh penasaran. Lelaki itu, lagi-lagi
Aku keluar kamar dengan langkah gontai. Mas Edwin lagi-lagi menolakku dengan ketusnya. Sekeras apapun aku berusaha mencobanya, sekeras itu pula ia menolakku. Sudahlah, sepertinya mengisi perut terlebih dahulu lebih baik. Setelah itu baru aku memberikan banyak mainan yang sudah kubeli pada Raka. Suara canda tawa dari ruang makan membuat indera pendengaranku terusik. Itu bukanlah suara Bik Isah. Kuambil langkah lebar agar bisa lebih cepat sampai di ruang makan.Mila;guru les Raka masih ada di ruang makanku sedang bercanda dengan anak lelaki itu. aku berjalan mendekat. “Wah, maaf Bu. Tadi saya ketiduran. Sampai lupa kalau ada Bu Mila,” ujarku berbasa-basi sambil menarik kursi tepat di depan wanita itu.“Gak papa, Bu. Maaf juga saya masih di sini, soalnya belum boleh pulang sama Raka,” sahutnya sambil mengusap rambut anak lelaki itu.“Oh, Raka … Bu Mila harus pulang. Ini sudah malam. Kasian keluarga
Aku merasa seperti sedang bermimpi, sampai menyadari bahwa ini adalah sebuah kenyataan pahit yang harus aku telan dalam pernikahanku. Apa yang dilakukan Mas Edwin saat ini sudah kelewat batas dan aku harus bergerak cepat sebelum hal lebih buruk dari ini terjadi dalam rumah tanggaku. Semakin jam berputar cepat, semakin aku khawatir akan suamiku yang sudah cukup larut, tetapi belum juga pulang. Hal pertama yang aku lakukan adalah mencoba menghubungi nomor ponselnya. Sial! Ponsel itu bordering dari atas meja. Nampaknya Mas Edwin melupakan ponselnya.Seketika aku menemukan ide. Segera aku turun dari ranjang, lalu meraih ponsel itu. Kutekan nomor yang biasa suamiku pakai sebagai pin ponselnya. Namun sayang, sepertinya Mas Edwin sudah mengganti pin ponselnya. Aku semakin gusar dengan mengacak-ngacak rambutku yang panjangnya sudah sebahu. Aku berjalan mondar-mandir di dalam kamar sembil menggigit kuku ibu jari karena rasa gugup sekaligus khawatir. &ld
"Jika kamu merasa berat dengan keadaan kamu yang masih perawan sampai saat ini, aku mengijinkanmu poliandri." Ria melotot mendengar ucapan suaminya. Secepat kilat ia duduk, lalu menarik tangan baju piyama Edwin."Mas, maksud kamu apa? Aku kamu suruh punya suami dua? Suami satu aja aku ngurus otaknya aja belum benar! Mikir dong, Mas! Jangan asal bicara. Memangnya istri kamu ini pelacur, bisa digilir seenaknya!" cecarku tak terima. Lelaki itu pun mendengkus kesal, lalu duduk sejajar denganku sambil berwajah masam. Ia mengacak-acak rambutnya dengan kuat."Jadi mau kamu apa, Ria? Bicara yang jelas. Jangan bertele-tele," katanya lagi padaku sambil melotot."Aku mau kamu berobat dan aku mau Bu Mila tidak perlu tinggal di sini. Dia bisa tetap kos di tempat lain. Aku gak suka ada wanita lain di rumah ini, selain Bik Isah dan aku, Mas!""Kamu egois! Dua-duanya maumu takkan aku penuhi. Aku tidak mau ke dokter dan aku tidak mau mengusir Bu Mi
Mobil Mas Edwin baru saja meninggalkan pekarangan rumah. Suamiku itu ke kantor sambil mengantar Raka ke sekolah, sekaligus menumpangi Bu Mila sampai di TK-nya. Sungguh pemandangan yang sangat manis dan harmonis antara ibu, anak, dan ayahnya. Jika ada orang yang melihat sekilas, tentulah takkan ada yang tahu, bahwa ketiganya orang yang tak memiliki garis keturunan sedarah.Aku mengintip dengan jengah dari jendela kamar. Beberapa foto sudah aku dapatkan saat mereka sarapan pagi bersama sambil bercengkrama, dan juga foto manis saat memasuki mobil barusan. Yah, buat jaga-jaga saja, siapa tahu suatu saat foto ini aku butuhkan.Mang Dirman segera menutup pintu pagar, lalu kembali ke pos jaganya. Suamiku yang paling anti menggunakan mobil ke kantor, pagi ini mendadak bersembangat. Apakah ia berniat untuk menikahi guru les Raka? Mau dia buka perawannya pakai apa? Tang? Martil? Mesin bor? Sungguh lucu suamiku ini. Aku terus saja bermonolog dengan gemas sekaligus kesal