Share

7. Pesan Mertua

 “Jika kita mengadopsi bayi saja, kamu mau tidak?” pertanyaan darinya membuatku terlonjak membeku. Kutatap matanya untuk mencari apa maksud dari ucapannya. Adopsi bayi? Tidak, itu bukan solusi. “Aku sudah tak berminat dengan kalungmu, Mas. Aku mau pulang saja!” ucapku ketus sambil menahan air mata. Kutinggalkan ia yang terkejut atas respon dan kepergianku. Tas belanja pun aku tinggalkan begitu saja dengannya. Aku tak perlu semua itu, Mas. Aku perlu dirimu saja yang sehat. Dai berteriak memanggilku, namun kuabaikan. Membiarkannya kerepotan sendiri membawa banyak barang belanjaan.

 Sambil mengusap kasar air mata yang turun membasahi pipi. Tak kupedulikan orang-orang yang memandang iba sekaligus penuh tanya ke arahku. Menjauh sementar dari Mas Edwin adalah salah satu cara aku mengobati rasa sakit hatiku. Entah apa yang ada di dalam pikirannya? Tega sekali menukar nafkah batin dengan mengadopsi seorang anak. Bukannya aku tak bisa memberi anak, tetapi suamiku yang tak mampu menjalankan tugasnya dengan baik.

 Ojek online sudah menjemputku di lobi depan, khusus pengendara ojek yang menurunkan atau menjemput penumpang. Sempat kumenoleh ke belakang untuk melihat di mana posisi suamiku. Namun tidak terlihat. Baguslah, paling tidak kami tak perlu menjadi tontonan orang-orang karena berdebat.

 Tujuanku saat ini adalah rumah orang tuaku. Sepertinya menginap di sana adalah pilihan tepat di hari sabtu. Toh, Mas Edwin tidak bekerja besok. Aku memilih menenagkan pikiran, agar saat aku kembali ke rumah, aku  bisa menghadapi suami egoisku.

 Kurasakan ponsel yang bergetar dari dalam tas. Ini pasti Mas Edwin. Aku enggan menganggkatnya. Kubiarkan getar itu berulang kali, hingga akhirnya tak bergetar lagi. Aku butuh teman curhat, tetapi tidak mungkin dengan kedua orang tuaku. Mereka pasti tidak akan terima jika tahu, bahwa anaknya masih perawan sampai saat ini. Dua orang cucu dari anak adikku kata mereka tak cukup. Mama dan papa menginginkan juga cucu dariku. Namun aku bisa apa, jika Mas Edwin tak mampu memberikannya.

 Kehadiranku sendirian di rumah mama, tentulah membuat wanita paruh baya itu cukup kaget. Kegiatan memangkas daun kering dan rusak pada koleksi tanamannya, ia hentikan untuk menyambutku.

 “Ada apa, Sayang? Mana Edwin? Kamu sendirian aja?” cecarnya dengan aneka pertanyaaan. Karena tak pernah sekalipun aku ke rumah mama seorang diri, pasti ada Mas Edwin yang menemani. Kuletakkan bokong untuk melepas penat di kursi taman yang sudah di alas bantal kecil berbentuk buah jeruk. Segelas jus melon yang ada di atas meja, langsung saja kuminum untuk melepas dahaga. Mama masih memperhatikanku dengan seksama, tanpa bertanya lagi. Ia memilih duduk di kursi yang sama tepat di seberangku, sambil menantikan aku membuka suara.

 “Ria mau nginep malam ini, Ma. Bilang sama Reno untuk membawa anak dan istrinya kemari. Maria kangen,” alasanku dengan membuat mimic muka merayu.

 “Yakin cuma itu? Bukan karena yang lain?” tanya mama yang tak percaya dengan alasan yang aku berikan. Aku menggeleng, lalu bangun dari dudukku untuk segera naik ka lantai dua. Kamar kesayanganku yang sampai saat ini masih dalam posisi yang sama persis saat aku masih menempatinya.

 Ponselku kembali bergetar, saat aku baru saja mengeringkan rambut dengan handuk kecil. Mandi dan membersihkan rambut adalah salah satu cara agar kepalaku tidak panas memikirkan ide konyol dari Mas Edwin. Kuberjalan ke arah ranjang, karena ponselku berada di sana. Benar saja, masih nama Mas Edwin yang tertera di layar ponsel. Sebenarnya aku malas untuk berbincang dengannya, tetapi ia harus tahu saat ini aku berada di mana.

 “Halo, assalamaualaykum.”

 “Kamu di mana, Maria? Aku jemput ya?”

 “Aku di rumah mama. Mau nginep dan gak usah di jemput.”

 “Loh, kenapa gak ijin dulu? Pulang! Aku gak mau kamu nginep.”

 “Mas, aku benar-benar ingin sendiri dulu sambil memeikirkan ide konyol kamu.”

 “Konyol darimana? Harusnya kamu senang dong aku berinisiatif adopsi anak. Biar kamu gak kesepian dan terhibur. Anggap saja kamu latihan punya anak.”

 “Mas, masalahnya bukan karena aku kesepian, tetapi kamu yang tidak bisa menafkahi batinku sebagai istri. Kalau pun aku mengurus anak, aku maunya anak dari suamiku. Anak kita, bukan anak orang lain. Ah, sudahlah! Aku mau salat Ashar dulu. Kamu menginap saja di rumah Ibu. Assalamualaykum.”

 Kubanting ponsel kembali ke atas ranjang. Kupijat pelipis dengan kuat, sembari menghentakkan bokongku dia atas ranjang. Isi kepalaku tak sanggup memikirkan ucapan Mas Edwin yang menurutku sangat egois. Biarlah dia marah, aku pun bisa marah. Semoga dengan ini, dia bisa berpikir ulang untuk menjalankan idenya tersebut.

 Selepas magrib, adikku Reno dan istrinya—Silvi, serta kedua anak mereka sudah berkumpul di rumah mama. Hanya papa yang tidak ada karena sedang ada tugas keluar kota. Suasana hangat memenuhi isi rumah. Nampak sekali jikalau mama sangat senang dengan kehadiran dua cucunya dan juga anak menantunya. Aku pun sangat senang dengan kehadiran mereka yang mampu membuatku sejenak lupa akan masalahku dengan Mas Edwin.

 “Mas Edwin sehat, Mbak?” tanya Reno saat kami tinggal berdua saja di ruang televisi. Mama membantu menidurkan Dea anak sulung Reno yang berusia tiga tahun. Sedangkan Silvi sedang ke kamar mandi membawa Fardo untuk mengganti pampers sebelum tidur.

 “Sehat,” jawabku singkat tanpa menoleh padanya. Fokusku saat ini ada pada film Jet Li yang sedang di putar di TV kabel.

 “Lagi gak ada masalah’kan?” tanyanya lagi. 

 “Namanya rumah tangga, gak mungkin gak ada masalah. Kenapa emangnya?” tanyaku balik. Aku berusaha bersikap biasa saja di depan Reno. Seolah tak ada apapun yang terjadi.

 “Mm … dua hari lalu, sepertinya aku melihat Mas Edwin di rumah sakit, Mbak,” katanya dengan suara ragu-ragu.

 “Ya, mungkin ke dokter gigi langganannya seperti biasa,” jawab mencoba tak curiga sedikitpun.

 “Mas Edwin keluar dari poliklinik kelamin dan kesehatan reproduksi.”

 “Apa?! Kamu yakin, Ren?” seketika hatiku membuncah gembira dengan kabar yang dibawa oleh adikku. Benarkah suamiku ternyata sudah dengan inisitif sendiri berobat ke dokter.

 “Yakin, Mbak. Emangnya Mas Edwin sakit apa, Mbak?”

 “Oh, itu. Ada luka di pahanya. Gak parah sih, tapi dia berobatnya ke sana,” jawabku asal. Tak mungkin aku bilang pada Reno suamiku mengobati impotennya,kan?

 Sebelum tidur, aku yang sedari tadi ngobrol dengan keluargaku sama sekali tidak membawa ponsel. Iseng kumelihat apakah ada pesan masuk dari Mas Edwin. Ternyata tidak ada, tetapi ada tiga pesan masuk dari mertuaku. Tiba-tiba saja perasaan tidak nyaman menyelimutiku. Sambil menelan ludah, kukuatkan diri untuk membaca pesan dari wanita yang selalu saja menuduhku tak bisa punya anak.

 “Besok kamu pulang ya, Ria. Edwin jadi mengadopsi anak temannya. Ibu tidak mau dengar kamu menolak.”

 “Istri itu adalah makmum. Jadi harus menurut apapun yang dilakukan suami, selagi demi kebaikanmu.”

 “Anggap saja sebagai pemancing agar kamu segera memiliki anak. Kamu paham maksud Ibu’kan?”

 Aku sudah tak sanggup membaca kalimat pesan selanjutnya dari mertuaku, yang kini aku rasakan adalah kepala dan hatiku yang terasa begitu sakit, bagaikan terbentur batu karang.

 “Haruskah aku mengurus anak orang lain?” pandangangku pun menggelap. Aku harap terbangun dalam keadaan baik-baik saja.

Bersambung~

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
Heran dh kesannya tkt amat ksh tau ortunya sama mertuanya? Biar mereka tau yg sebenarnya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status