“Jika kita mengadopsi bayi saja, kamu mau tidak?” pertanyaan darinya membuatku terlonjak membeku. Kutatap matanya untuk mencari apa maksud dari ucapannya. Adopsi bayi? Tidak, itu bukan solusi. “Aku sudah tak berminat dengan kalungmu, Mas. Aku mau pulang saja!” ucapku ketus sambil menahan air mata. Kutinggalkan ia yang terkejut atas respon dan kepergianku. Tas belanja pun aku tinggalkan begitu saja dengannya. Aku tak perlu semua itu, Mas. Aku perlu dirimu saja yang sehat. Dai berteriak memanggilku, namun kuabaikan. Membiarkannya kerepotan sendiri membawa banyak barang belanjaan.
Sambil mengusap kasar air mata yang turun membasahi pipi. Tak kupedulikan orang-orang yang memandang iba sekaligus penuh tanya ke arahku. Menjauh sementar dari Mas Edwin adalah salah satu cara aku mengobati rasa sakit hatiku. Entah apa yang ada di dalam pikirannya? Tega sekali menukar nafkah batin dengan mengadopsi seorang anak. Bukannya aku tak bisa memberi anak, tetapi suamiku yang tak mampu menjalankan tugasnya dengan baik.
Ojek online sudah menjemputku di lobi depan, khusus pengendara ojek yang menurunkan atau menjemput penumpang. Sempat kumenoleh ke belakang untuk melihat di mana posisi suamiku. Namun tidak terlihat. Baguslah, paling tidak kami tak perlu menjadi tontonan orang-orang karena berdebat.
Tujuanku saat ini adalah rumah orang tuaku. Sepertinya menginap di sana adalah pilihan tepat di hari sabtu. Toh, Mas Edwin tidak bekerja besok. Aku memilih menenagkan pikiran, agar saat aku kembali ke rumah, aku bisa menghadapi suami egoisku.
Kurasakan ponsel yang bergetar dari dalam tas. Ini pasti Mas Edwin. Aku enggan menganggkatnya. Kubiarkan getar itu berulang kali, hingga akhirnya tak bergetar lagi. Aku butuh teman curhat, tetapi tidak mungkin dengan kedua orang tuaku. Mereka pasti tidak akan terima jika tahu, bahwa anaknya masih perawan sampai saat ini. Dua orang cucu dari anak adikku kata mereka tak cukup. Mama dan papa menginginkan juga cucu dariku. Namun aku bisa apa, jika Mas Edwin tak mampu memberikannya.
Kehadiranku sendirian di rumah mama, tentulah membuat wanita paruh baya itu cukup kaget. Kegiatan memangkas daun kering dan rusak pada koleksi tanamannya, ia hentikan untuk menyambutku.
“Ada apa, Sayang? Mana Edwin? Kamu sendirian aja?” cecarnya dengan aneka pertanyaaan. Karena tak pernah sekalipun aku ke rumah mama seorang diri, pasti ada Mas Edwin yang menemani. Kuletakkan bokong untuk melepas penat di kursi taman yang sudah di alas bantal kecil berbentuk buah jeruk. Segelas jus melon yang ada di atas meja, langsung saja kuminum untuk melepas dahaga. Mama masih memperhatikanku dengan seksama, tanpa bertanya lagi. Ia memilih duduk di kursi yang sama tepat di seberangku, sambil menantikan aku membuka suara.
“Ria mau nginep malam ini, Ma. Bilang sama Reno untuk membawa anak dan istrinya kemari. Maria kangen,” alasanku dengan membuat mimic muka merayu.
“Yakin cuma itu? Bukan karena yang lain?” tanya mama yang tak percaya dengan alasan yang aku berikan. Aku menggeleng, lalu bangun dari dudukku untuk segera naik ka lantai dua. Kamar kesayanganku yang sampai saat ini masih dalam posisi yang sama persis saat aku masih menempatinya.
Ponselku kembali bergetar, saat aku baru saja mengeringkan rambut dengan handuk kecil. Mandi dan membersihkan rambut adalah salah satu cara agar kepalaku tidak panas memikirkan ide konyol dari Mas Edwin. Kuberjalan ke arah ranjang, karena ponselku berada di sana. Benar saja, masih nama Mas Edwin yang tertera di layar ponsel. Sebenarnya aku malas untuk berbincang dengannya, tetapi ia harus tahu saat ini aku berada di mana.
“Halo, assalamaualaykum.”
“Kamu di mana, Maria? Aku jemput ya?”
“Aku di rumah mama. Mau nginep dan gak usah di jemput.”
“Loh, kenapa gak ijin dulu? Pulang! Aku gak mau kamu nginep.”
“Mas, aku benar-benar ingin sendiri dulu sambil memeikirkan ide konyol kamu.”
“Konyol darimana? Harusnya kamu senang dong aku berinisiatif adopsi anak. Biar kamu gak kesepian dan terhibur. Anggap saja kamu latihan punya anak.”
“Mas, masalahnya bukan karena aku kesepian, tetapi kamu yang tidak bisa menafkahi batinku sebagai istri. Kalau pun aku mengurus anak, aku maunya anak dari suamiku. Anak kita, bukan anak orang lain. Ah, sudahlah! Aku mau salat Ashar dulu. Kamu menginap saja di rumah Ibu. Assalamualaykum.”
Kubanting ponsel kembali ke atas ranjang. Kupijat pelipis dengan kuat, sembari menghentakkan bokongku dia atas ranjang. Isi kepalaku tak sanggup memikirkan ucapan Mas Edwin yang menurutku sangat egois. Biarlah dia marah, aku pun bisa marah. Semoga dengan ini, dia bisa berpikir ulang untuk menjalankan idenya tersebut.
Selepas magrib, adikku Reno dan istrinya—Silvi, serta kedua anak mereka sudah berkumpul di rumah mama. Hanya papa yang tidak ada karena sedang ada tugas keluar kota. Suasana hangat memenuhi isi rumah. Nampak sekali jikalau mama sangat senang dengan kehadiran dua cucunya dan juga anak menantunya. Aku pun sangat senang dengan kehadiran mereka yang mampu membuatku sejenak lupa akan masalahku dengan Mas Edwin.
“Mas Edwin sehat, Mbak?” tanya Reno saat kami tinggal berdua saja di ruang televisi. Mama membantu menidurkan Dea anak sulung Reno yang berusia tiga tahun. Sedangkan Silvi sedang ke kamar mandi membawa Fardo untuk mengganti pampers sebelum tidur.
“Sehat,” jawabku singkat tanpa menoleh padanya. Fokusku saat ini ada pada film Jet Li yang sedang di putar di TV kabel.
“Lagi gak ada masalah’kan?” tanyanya lagi.
“Namanya rumah tangga, gak mungkin gak ada masalah. Kenapa emangnya?” tanyaku balik. Aku berusaha bersikap biasa saja di depan Reno. Seolah tak ada apapun yang terjadi.
“Mm … dua hari lalu, sepertinya aku melihat Mas Edwin di rumah sakit, Mbak,” katanya dengan suara ragu-ragu.
“Ya, mungkin ke dokter gigi langganannya seperti biasa,” jawab mencoba tak curiga sedikitpun.
“Mas Edwin keluar dari poliklinik kelamin dan kesehatan reproduksi.”
“Apa?! Kamu yakin, Ren?” seketika hatiku membuncah gembira dengan kabar yang dibawa oleh adikku. Benarkah suamiku ternyata sudah dengan inisitif sendiri berobat ke dokter.
“Yakin, Mbak. Emangnya Mas Edwin sakit apa, Mbak?”
“Oh, itu. Ada luka di pahanya. Gak parah sih, tapi dia berobatnya ke sana,” jawabku asal. Tak mungkin aku bilang pada Reno suamiku mengobati impotennya,kan?
Sebelum tidur, aku yang sedari tadi ngobrol dengan keluargaku sama sekali tidak membawa ponsel. Iseng kumelihat apakah ada pesan masuk dari Mas Edwin. Ternyata tidak ada, tetapi ada tiga pesan masuk dari mertuaku. Tiba-tiba saja perasaan tidak nyaman menyelimutiku. Sambil menelan ludah, kukuatkan diri untuk membaca pesan dari wanita yang selalu saja menuduhku tak bisa punya anak.
“Besok kamu pulang ya, Ria. Edwin jadi mengadopsi anak temannya. Ibu tidak mau dengar kamu menolak.”
“Istri itu adalah makmum. Jadi harus menurut apapun yang dilakukan suami, selagi demi kebaikanmu.”
“Anggap saja sebagai pemancing agar kamu segera memiliki anak. Kamu paham maksud Ibu’kan?”
Aku sudah tak sanggup membaca kalimat pesan selanjutnya dari mertuaku, yang kini aku rasakan adalah kepala dan hatiku yang terasa begitu sakit, bagaikan terbentur batu karang.
“Haruskah aku mengurus anak orang lain?” pandangangku pun menggelap. Aku harap terbangun dalam keadaan baik-baik saja.
Bersambung~
Enam Tahun Tanpa Malam Pertama 8Sebenarnya aku sangat malas untuk pulang ke rumah hari ini, tetapi mama memintaku untuk menuruti keinginan Mas Edwin. Beliau masih berpikir bahwa memang aku kesepian karena memang memiliki momongan. Anak yang aku urus nanti anggap saja sebagai pancingan agar aku segera memiliki momongan. Ingin rasanya mulut ini mengatakan yang sebenarnya, tetapi aku sungguh amat malu jika sampai keluargaku mengetahui kekurangan suamiku.Taksi online sudah bersiap di depan rumah. Sudah lima menit dia menunggu di sana, sedangkan bokongku masih menempel erat di kursi teras. Benar-benar enggan beranjak. Ditambah lagi minggu pagi yang biasanya hari santai bagiku, kini harus menegang dengan perbuatan Mas Edwin.“Ria, ayo barangkat! Itu taksinya kelamaan nunggu loh,” tegur mama sambil menggelengkan kepalanya. Aku menoleh, lalu menampilkan mimic wajah memohon agar aku tak perlu pergi saja. Namun sayang se
Senin adalah hari yang berat untuk siapa saja. Itu yang selalu aku dengar dari sebagian orang. Di mana setelah dua hari berlibur di hari Sabtu dan Minggu, maka Senin kalian wajib menyemangati diri dan pikiran. Walau sebenarnya kalian begitu enggan.Sama seperti diriku yang selalu membenci Senin. Terutama Senin pagi ini, di mana aku harus bangun lebih pagi karena sudah ada Raka yang mulai kemarin menjadi anak angkatku.Aku mengusap malas sisi kiri ranjangku, tempat biasa Mas Edwin terlelap. Tak ada dia di sana. Aku bangun dari posisi berbaring, lalu sambil mengucek mata kupastikan lagi bahwa benar tak ada suamiku tidur di sana. Lalu ke mana dia? Aku bertanya dalam hati. Lalu menoleh ke arah pintu kamar.Sepertinya semalam ia tidur di sampingku. Apakah kemudian dia pindah ke kamar Raka? Jika ia, kenapa anak lelaki itu nampak begitu spesial bagi suamiku? Kupakai sandal kamar. Kubetulkan letak piyama tidurku sebelum keluar dari kamar.Lampu teng
Enam tahun tanpa malam pertama 10Mas Edwin sudah berangkat bersama Raka. Lelai kecil itu tak mau jika aku yang mengantarnya sekolah pagi ini. Katanya belum kenal. Ya Tuhan, aku adalah ibu angkatnya, bukan orang lain yang sama sekali tidak ia kenal. Sumpah aku begitu bingung dengan pendidikan yang diberikan oleh orang tuanya. Segitu antipatinya dengan orang lain. Kupandang mangkuk besar berisi nasi goreng buatanku yang masih tersisa sangat banyak. Mas Edwin tidak mau memakannya. Suamiku menemani Raka makan sosis bakar dan juga roti. Sarapan buatanku tak tersentuh samak sekali dan itu sangat membuatku kecewa.“Bik, ini semua beresin aja, Bik. Kalau ada pemulung kasikan pemulung aja. Bibik pisahkan lebih dahulu untuk dimakan,” pintaku pada Bik Isa. Dengan langkah malas, aku masuk kembali ke dalam kamar. Jika pagi hari seperti ini, aku selalu bingung mau melakukan apa, karena tidak memiliki keahlian lagi selain memasak dan membuat kue. Namun pagi ini suasana h
Aku mencoba menenangkan hatiku yang panas. Pemaparan data siswa yang diberitahukan oleh petugas administrasi sekolah tadi, sangat membuatku syok dan sakit kepala. Suamiku impoten. Senjatanya tidak bisa bangun. Jadi, bagaimana bisa ada namanya di data orang tua Raka, dan kenapa juga nama anak lelaki itu sama seperti suaminya. Hidayat; adalah nama keluarga dari Mas Edwin. Raka anak angkat dan tidak mungkin langsung secepat itu menyematkan nama keluarga di belakang namanya.Ini adalah sebuah teka-teki yang harus segera aku temukan jawabannya dari suamiku. Tak mungkin aku bertanya pada anak sekecil Raka. Walau aku tahu ia anak yang cerdas, ia pasti bisa menjawab dengan jujur apa yang akan aku tanyakan, tetapi tidak akan baik bagi kondisi hatinya saat ini.“Bagaimana sekolah hari ini, Raka?” tanyaku saat kami sudah berada di dalam mobil menuju jalan pulang.“Baik. Ada PR matematika,” jawabnya singkat dan padat. Kepalanya sama sekali tidak meno
“Mas, jawab! Kenapa diam saja? Siapa Raka dan apa hubungan anak itu dengan Mas?” aku berteriak menanti penjelasan darinya. Suamiku nampak semakin gugup dan berkeringat. Aku perhatikan jakunnya naik turun tanda keresahan yang semakin tinggi. Bola matanya saja tidak berani menatapku. Aku tahu Mas Edwin pasti punya rahasia.“Raka itu … sebenarnya … anak ….” Mas Edwin kembali mengusap wajahnya yang berkeringat dengan sapu tangannya. Sedangkan aku masih menanti lanjutan kalimat sampai mulutku setengah terbuka.“Apa, Mas? Kenapa gugup? Jawab saja siapa Raka?” tanyaku lagi yang terus menekannya. Jika sudah tak cinta, ingin sekali aku garuk wajah suamiku yang saat ini sangat menyebalkan.“Raka itu … mm … anak … anak angkat saya, Ria,” ucap Mas Edwin dengan terbata. Aku berjalan mendekat padanya dengan langkah pelan dan penuh penasaran. Lelaki itu, lagi-lagi
Aku keluar kamar dengan langkah gontai. Mas Edwin lagi-lagi menolakku dengan ketusnya. Sekeras apapun aku berusaha mencobanya, sekeras itu pula ia menolakku. Sudahlah, sepertinya mengisi perut terlebih dahulu lebih baik. Setelah itu baru aku memberikan banyak mainan yang sudah kubeli pada Raka. Suara canda tawa dari ruang makan membuat indera pendengaranku terusik. Itu bukanlah suara Bik Isah. Kuambil langkah lebar agar bisa lebih cepat sampai di ruang makan.Mila;guru les Raka masih ada di ruang makanku sedang bercanda dengan anak lelaki itu. aku berjalan mendekat. “Wah, maaf Bu. Tadi saya ketiduran. Sampai lupa kalau ada Bu Mila,” ujarku berbasa-basi sambil menarik kursi tepat di depan wanita itu.“Gak papa, Bu. Maaf juga saya masih di sini, soalnya belum boleh pulang sama Raka,” sahutnya sambil mengusap rambut anak lelaki itu.“Oh, Raka … Bu Mila harus pulang. Ini sudah malam. Kasian keluarga
Aku merasa seperti sedang bermimpi, sampai menyadari bahwa ini adalah sebuah kenyataan pahit yang harus aku telan dalam pernikahanku. Apa yang dilakukan Mas Edwin saat ini sudah kelewat batas dan aku harus bergerak cepat sebelum hal lebih buruk dari ini terjadi dalam rumah tanggaku. Semakin jam berputar cepat, semakin aku khawatir akan suamiku yang sudah cukup larut, tetapi belum juga pulang. Hal pertama yang aku lakukan adalah mencoba menghubungi nomor ponselnya. Sial! Ponsel itu bordering dari atas meja. Nampaknya Mas Edwin melupakan ponselnya.Seketika aku menemukan ide. Segera aku turun dari ranjang, lalu meraih ponsel itu. Kutekan nomor yang biasa suamiku pakai sebagai pin ponselnya. Namun sayang, sepertinya Mas Edwin sudah mengganti pin ponselnya. Aku semakin gusar dengan mengacak-ngacak rambutku yang panjangnya sudah sebahu. Aku berjalan mondar-mandir di dalam kamar sembil menggigit kuku ibu jari karena rasa gugup sekaligus khawatir. &ld
"Jika kamu merasa berat dengan keadaan kamu yang masih perawan sampai saat ini, aku mengijinkanmu poliandri." Ria melotot mendengar ucapan suaminya. Secepat kilat ia duduk, lalu menarik tangan baju piyama Edwin."Mas, maksud kamu apa? Aku kamu suruh punya suami dua? Suami satu aja aku ngurus otaknya aja belum benar! Mikir dong, Mas! Jangan asal bicara. Memangnya istri kamu ini pelacur, bisa digilir seenaknya!" cecarku tak terima. Lelaki itu pun mendengkus kesal, lalu duduk sejajar denganku sambil berwajah masam. Ia mengacak-acak rambutnya dengan kuat."Jadi mau kamu apa, Ria? Bicara yang jelas. Jangan bertele-tele," katanya lagi padaku sambil melotot."Aku mau kamu berobat dan aku mau Bu Mila tidak perlu tinggal di sini. Dia bisa tetap kos di tempat lain. Aku gak suka ada wanita lain di rumah ini, selain Bik Isah dan aku, Mas!""Kamu egois! Dua-duanya maumu takkan aku penuhi. Aku tidak mau ke dokter dan aku tidak mau mengusir Bu Mi