Langit kelabu, sesekali menampakkan kilatan di jauh sana, setelah gelegar bunyinya masuk ke pendengaran. Walaupun hujan akan turun, tapi tidak meredam bunyu pantulan basket di tengah lapangan. Bola yang dipantulkan, tetapi hati yang terpacu. Dari sinilah semua dimulai.
View MoreLangit kelabu, sesekali menampakkan kilatan di jauh sana, setelahnya bunyi gelagar akan mengepung pendengaran. Walaupun hujan akan turun, tapi tidak meredam bunyi pantulan bola basket dan decitan sepatu yang dibawa kabur sana-sini di lapangan sekolah, larut bersama sorakan dari para pemain. Bau itu datang lagi, bau yang hadir di beberapa hari terakhir. Karena cuaca penghujan, bau selokan di samping bangku tunggu menguar ke seluruh penjuru.
Berjam-jam gadis itu menunggu jemputan, tapi tak kunjung datang, penyebabnya karena ia lupa tak membawa handphone. Converse-nya terus menari-nari, kepalanya terus menoleh ke kanan dan kiri, tapi tetap tak ada tanda-tanda seseorang menghampiri.
Benar saja, tak lama hujan turun. Para pemain basket ikut memenuhi bangku tunggu, gadis itu sedikit bergeser, memberi ruang untuk mereka. "Kok belum pulang, Dek?" Tanya salah satu cowok di sampingnya. Astaga, dia yang merupakan salah satu cowok yang masuk list most wanted, Eshar.
"Nunggu jemputan, Kak." Cowok itu hanya ber-oh-ria.
"Eh, ada degem. Jangan mau dideketin sama Eshar, pacarnya banyak tuh," ucap Reyhan, yang termasuk dalam anggota para cowok-cowok ganteng.
Satu botol kosong, mendarat tepat di kepala Reyhan, membuat sang empu mengaduh.
Cuaca dingin membuat gadis itu bolak-balik kamar mandi karena kebelet pipis. Seperti saat ini, ia melenggang pergi, meninggalkan barisan cowok-cowok ganteng.
Bruk!
"Akh!!" Teriak gadis itu ketika ada yang merasa ganjal, menyandung kakinya.
"Aduh, sorry." Cowok itu membantu bangkit. Namun naas, saat dilihat ke bawah, lututnya berdarah.
"Gue bantuin, kita ke UKS, ya emm?" Cowok itu mengulurkan tangannya.
"Vanessa, Kak. Panggil aja Vanes."
"Oke, Vanes."
Cowok itu memapah Vanessa sampai UKS. Jantung Vanessa seperti cacing kepanasan, bahkan rasa sakit di lututnya terasa nikmat bersama cowok di sebelahnya ini. Revan, seorang kapten basket, anggota Penshit Boys yang merupakan pentolan sekolah, pacar sejuta umat. Kini ada di sampingnya. Munafik jika ia mengatakan tidak suka Revan, walau sekedar suka seperti cewek kebanyakan. Belum sampai tahap cinta.
Revan membersihkan luka Vanessa dengan hati-hati, sesekali cewek itu menjerit.
"Kok lo belum pulang sih, Van?"
"Nunggu jemputan, Kak." Jawab Vanessa, menahan rasa sakitnya.
Revan bangkit lalu membantu Vanessa berjalan. "Gue anter pulang."
Vanessa terbelalak, "ha? Nggak usah, Kak."
"Jangan bikin gue ngerasa bersalah. Lo jatuh karena barang gue."
"Oke." Cicit Vanessa.
Saat mereka sampai di tempat parkir motor Revan, di mana lagi kalau bukan parkiran yang merangkap jadi basecamp anggota Penshit Boys, gerombolan cowok-cowok famous di SMA Pelita Malam. Hanya berjarak 100 meter dari area sekolah, sedikit masuk gang. Tatapan orang-orang yang berada di sana langsung terfokus pada Vanessa.
Reyhan yang merasa familiar dengan wajah gadis di samping Revan, memincingkan matanya. "Loh, dedek emes, kamu diapain sama Revan? Lututnya kenapa tuh?"
"Dia punya nama, Han." Jawab Revan sambil mengenakan helm-nya.
Reyhan tersenyum jahil. "Ciee..udah kenalan aja. Nyolong start, nih."
Vanessa hanya diam, perasaannya sabar, bar-bar, ambyar di waktu yang bersamaan. Mungkin rasa ambyar lebih dominan, siapa yang bisa menolak pesona Revan, wajahnya saja tetap menawan meskipun penuh keringat.
"Ayo naik," deruman motornya menyadarkan lamunan Vanessa. Ia segera naik, bukan, bukan motor ninja atau sport keluaran terbaru, melainkan vespa klasik yang berbadan kinclong seperti wajah pemiliknya.
Vespa tua itu berdecit, rem ditarik mendadak karena aba-aba yang mendadak juga. Vanessa segera turun dan merapikan rok-nya. "Mau masuk dulu, Kak?"
"Nggak perlu," jawab Revan datar. "Ingat. Gue nganterin lo atas dasar kemanusiaan, jangan anggep lebih." Lanjutnya. Cowok itu langsung memutar stang vespanya tanpa pamitan.
Vanessa yang tadi sudah terbang, dijatuhkan begitu saja. Ia kira, Revan benar-benar baik, ya walaupun seantero sekolah juga tahu sifatnya yang urakan dan cuek. "Gila! Siapa juga yang baper sama situ. Tampang lebih dikit aja sombongnya selangit. Ihh, sebel." Vanessa menghentakkan kakinya, membuka pagar rumahnya kasar. Entah kenapa itu menusuk dan membuat sakit hati. Mungkin karena dirinya yang belum pernah berpengalaman soal cinta.
Vanessa masuk ke dalam kamarnya yang penuh poster-poster bintang Korea. Ia berlari ke arah jendelanya yang terbuka lebar, mengakibatkan gordennya sedikit basah karena air hujan. "Hujannya nggak mau terus terang, sih." Gerutunya. Meletakkan tasnya di meja belajar lalu menghampiri satu-satunya poster terbesar, seorang laki-laki tampan yang berpose menopang dagu, seolah menatapnya. Ini dipasang untuk memenuhi kebutuhan halunya. Ia juga ikut menopang dagu seolah mereka duduk berhadapan.
"Halo, Jae. Udah makan siang belum? Sama aku juga belum, nanti kita lunch bareng, deh." Seolah poster itu berbica, ini sudah biasa.
"Tahu nggak sih, Jae? Tadi aku pulang sama Kak Revan, aku kira dia baik, eh tapi ucapannya yang nggak seberapa itu kayak dicabe-in. Pedesnya ngalahin sambal matah buatan bunda. Bener kata kamu, aku kudu hati-hati sama cowok yang terkenal urakan kayak gitu. Iya-iya, Jae. Aku minta maaf. Gantengan juga kamu kemana-mana, makasih kamu udah balikin moodku. Ihh, gemes deh." Ia beranjak sambil seolah mencubit pipi 2 dimensi lelaki itu, kadang gilanya berlebihan. Ia bisa lebih gila lagi kalau terus memikirkan manisnya perlakuan cowok itu beberapa jam yang lalu. Kembali tersadar, itu semua atas dasar 'kemanusiaan'. Atas dasar kemanusiaannya itu ternyata membuat sial, ia berdiri berkacak pinggang sambil memperhatikan vespa kesayangannya itu.
"Sial, bensinnya abis lagi." Gumamnya sebal. Karena jarak basecamp sudah dekat, ia memutuskan untuk medorong saja.
Jersey dalam balut jaket yang sudah basah, tambah basah lagi karena gerimis yang dari tadi tidak berhenti, tidak juga hujan. "Wahh, kenapa tuh si vespa, Van?" Tanya Eshar. Revan menyentakkan standar motornya dan melepas helm-nya.
"Biasa, dehidrasi." Jawabnya singkat.
"Uda, bensin full, ya?" Pesan Revan pada Uda Rusli, pemilik warung nasi padang sekaligus tempat mereka nongkrong.
"Siap!" Jawabnya sambil mengacungkan jempol.
"Degem lo udah pulang, Van, nggak lo apa-apain kan?" Tanya Reyhan mengintimidasi Revan yang sedang meneguk air mineralnya.
"Gue buang ke rawa-rawa,"
"Astaga, Van! Tobat, anak orang tuh. Kalo mati gimana? Shar, susulin yuk. Kita pungut,"
"Gila lo, ya kali beneran dibuang ke rawa. Apaan lagi dipungut-pungut, kena pasal nanti lo, pungli!" Eshar yang tak habis pikir dengan temannya ini.
"Jadi mana sih yang bener? Bingung gue,"
"Kalo bukan temen gue, udah musnah lo dari bumi!"
Revan hanya geleng-geleng kepala mendengar perbedatan teman-temannya.
"Halo guys, sorry ya gue jarang posting foto, soalnya lagi sibuk. Next time, kalo gue sama curut-curut ini liburan, gue bakal update, kok." Wisnu datang dengan celotehannya yang sedang melakukan live i*******m untuk mengobati kerinduan fans-fansnya, dan mengarahkan kamera ponselnya pada Revan cs.
"Apaan sih, lo?" Revan yang merasa terganggu dengan datangnya kamera Wisnu yang mengarah ke wajahnya.
"Gue bacaan nih, komen mereka," Wisnu menjeda ucapannya. "Ihh, ganteng-ganteng gitu masa dibilang curut?"
"Hahaha." Eshar tertawa paksa.
"Gue mau balik." Ujar Revan, beranjak dari tempatnya.
"Yah, si kapten pulang nih guys. Nggak seru banget 'kan dia? Ya udah lanjut besok lagi, ya, love you all." Wisnu mengakhiri livenya dengan kecup jauh.
"Bicit!"
Untuk orang yang tidak bisa diam, suasana seperti ini sangat Vanessa hindari sebenarnya. Mau memulai obrolanpun rasanya wajah Revan tidak bersahabat sama sekali, dari tadi datar tidak ada ekspresi, sampai-sampai ia tidak berani berpegangan pada jaket Revan dan menjadikan jok pertahanannya."Turun," ucapnya datar setelah sampai di depan pagar rumah Revan. Pertama kalinya Vanessa diajak main ke sini."Iya, tau.""Bukain!" kalau bukan dalam rangka meminta maaf, tidak semudah itu menuruti perintah Revan. Yang Vanessa hentak-hentakkan conversnya berjalan menuju pagar. Membersilahkan si kuda besi antik dan tuannya masuk."Revan pulang!" Vanessa mengikut saja di belakang."Kebiasaan deh, ka
Biasanya Vanessa akan pulang bersama Revan, tapi kali ini ia harus berjalan kaki menuju rumahnya yang tidak terlalu jauh. Revan benar-benar marah padanya, sampai senyuman Vanessa tidak diindahkan sama sekali. Bahkan, ia terang-terangan melewati Vanessa yang berjalan di pinggir jalan. Semarah itukah? Padahal hanya 1 minggu."Papa benar-benar kecewa sama kamu, Revan. Apa cowok yang pandai berkelahi menurut kamu hebat? Memang hebat, tapi lebih hebat cowok berkelahi pakai otak, bukan otot," suasana ruang tengah rumah Revan sangat tidak bersahabat. Tidak ada yang berani menyela saat ayahnya sedang marah, apalagi beliau tidak pernah marah kecuali ada sesuatu yang sudah keterlaluan."Papa nggak pernah mengajarkan kamu jadi sok jagoan, Papa membebaskan apapun hobi kamu selagi itu positif. Papa nggak mau apa yang Papa alami menimpa kamu.""Papa yang pemberontak baru merasakan akibatnya setelah berkeluarga. Mengorbankan mama kamu untuk ikut banting tulang, men
Vanessa berjalan sambil bersenandung kecil, membawa kantong plastik putih berisi dua bungkus nasi goreng. Menuruti keinginan Regan yang aneh-aneh, ngidam nasi goreng. Paling ngeri sebenarnya jika melewati tembok bicara. Saat semua ungkapan lisan tidak diindahkan, tindakan para begajulan mencoret-coret tembok sengketa, meluapkan isi pikirannya. Macam bentuk grafiti dan kata misuh-misuh diabadikan dengan pilox berbagai warna. Memperburuk pemandangan. Tak jauh dari tempat itu, bunyi rusuh terdengar di seberang sana. Vanessa mendekat, mendapati sepeda motor yang terparkir awuran. Vanessa makin mendekat saat menemukan motor yang tidak asing. Itu vespa Revan! Di waktu yang bersamaan, ia melihat Revan sedang adu jotos entah dengan siapa. Vanessa menjatuhkan kreseknya lalu menerobos kerumunan. "Stop!!!" "Vanessa!" Tepat setelah itu Vanessa memejamkan mata, seseorang mendekapnya erat dari belakang. "Cabut, woi!" Setelah sese
Revan hengkang dari rumah Eshar bersama yang lainnya. Ingin cepat-cepat sampai kasurnya sendiri dan rebahan sampai siang, karena semalam tidurnya tidak aturan, disebabkan polah dua cecunguk yang tidak karuan. Tahu begitu, mending ia tidur di kasur yang ditempati Reyhan. Nyaman, tidak ada yang mengganggu, buktinya Reyhan bangun paling akhir, padahal bawah hidungnya sudah diolesi balsem. Memang dasar kebo.Tapi semua angan Revan gagal setelah mendapat kiriman pesan dari Bimo, teman sekelasnya.Karena weekend, kegiatan Vanessa setelah berbenah, hanya rebahan. Kalau sudah bosan kuadrat, paling nongkrong di depan televisi yang isinya dari pagi kartun. Karena mau nonton yang lainpun tidak bisa, tv selalu dalam kuasa Regan yang menonton tokoh kartun kelinci yang hanya bicara bwabwabwabwaa, tapi auranya menghantar Regan sampai gulingan di karpet.Vanessa memilih keluar rumah, sekedar cari angin menggunakan sepeda Regan. Semburat menguning yang muncul dari ufuk tim
Malam ini Revan cs sudah mengumpul di rumah Eshar. Para bujangga pencari cinta itu berencana menginap di rumah Eshar karena si playboy di rumah sendiri, maklum anak tunggal. Orang tuanya sibuk urusan bisnis.Karena Wisnu yang gila tenar, padahal sudah cukup tenar. Ia membelikan teman-temannya piyama yang didapat dari hasil endors di instagram, sekalian iklan katanya. Untuk pertama kalinya, malam ini Wisnu akan membuat channel youtube dengan konten pertama PESTA PIYAMA dan bintang tamu Revan, Eshar, dan Reyhan. Sebagai anak-anak most wanted mereka sudah terbiasa disorot banyak orang, walau tadi sempat ada perdebatan dengan Revan yang tidak mau gabung, tapi akhirnya dia menurut juga atas iming-iming Wisnu. Jadi konten malam ini tidak ada unsur paksaan. Semua suka rela.Mereka sudah duduk lesehan di karpet bulu kamar Eshar, menggunakan piyama masing-masing lengkap dengan penutup mata. "Van, lo nggak pake ini?" Tanya Eshar yang memakai penutup mata tapi
Vespa biru muda berhenti di depan gerobak bertuliskan LEGEND yang sebagian huruf sudah luntur digerus kerasnya jalanan. Vanessa mengikuti Revan seperti buntut. Setalah memesan, mereka duduk di kursi plastik yang disediakan. Harus mengantri dengan anak-anak bimbel yang berebut minta duluan sambil menyodorkan duit.Vanessa masih bingung dengan perangai Revan yang tidak konsisten. Cowok yang kini duduk di sebelahnya sambil bersenandung kecil. Sembribit angin yang dibawa angkot putih lusuh, pelit oksigen. Benar-benar kental polusi yang mengharuskan Vanessa menutup hidung dan mulut, sesekali terbatuk karena kepulan asap hitam menyergap rongga hidung tanpa permisi melalui celah jari."Emang gini keadaannya, Dek. Sekarang banyak cafe modern, kenapa mau mampir ke sini?" Vanessa dan Revan saling tatap. "Yang dicari kesannya, Pak. Bukan mewahnya." Jawab Revan."Kesannya apa sih, Dek? Cuma kayak gini doang." Ucap bapak itu sambil men
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments