Share

03 Leader

Author: Jahikunie
last update Last Updated: 2021-08-16 21:53:24

"Duduk dulu, nak. Tante ambilin minum," wanita dengan daster itu berbalik menuju dapur untuk mengambil minum.

"Jadi, kamu pacarnya Vanes?" Tanya ayah Vanessa mengintimidasi, maniknya menyorot lensa Revan tegas. Vanessa yang disebut-sebut, menggelengkan kepalanya kuat.

"Bukan, Om. Cuma teman aja. Ini dari papa," Revan menyerahkan rantang yang tadi ia bawa ke hadapan Hardi, ayah Vanessa. Lelaki itu segera membuka dan tersenyum melihat isinya.

"Jadi kamu Revan, anaknya Arief?"

Revan tersenyum canggung. "Iya, Om."

Vanessa membatin, apa-apaan sih ini?

"Ini adik kamu, siapa? Kerei?"

"Kirei, Om. Kalau susah panggil aja Rere." Jawab sang pemilik nama sambil mendengus. Revan menyenggol lengan adiknya dengan siku.

"Apaan, sih?" Geramnya setengah berbisik.

"Ini diminum, ya. Seadanya," ibu Vanessa mengalihkan sorot sengit kedua saudara itu.

"Makasih, Tante." Ucap Revan. Sedangkan yang satu, tanpa berterima kasih langsung mencomot cookies yang dihidangkan.

"Ya udah, kalian teman 'kan? Pasti saling kenal dong. Ngobrol aja dulu. Yuk Bun, lanjut yang tadi." Ucap ayah Vanessa menimbulkan gelagat malu-malu meow sang istri.

"Ihh, Ayah. Udah tua juga," tabokan manja di lengan, diiringi kekehan keduanya, sambil berlalu meninggalkan dua anak manusia, salah, tiga anak manusia yang diselimuti kecanggungan.

"Kak, itu yang di muka oli, ya?" Tanya Rere memecah suasana.

"Enggak. Ini masker," jawab Vanes hati-hati, takut maskernya yang setengah kering retak.

"Ohh, itu." Ucapnya terjeda saat menelan cookies yang dikunyahnya. "Bang Revan juga sering pake kayak gituan, tapi warnanya putih." Revan menyenggol lagi lengan adiknya

"Apaan, sih? Orang bener, kok. Waktu itu, Rere kebangun malem-malem, terus lihat Bang Revan lagi maskeran, matanya ditutupin timun."

"Oh, ya?" Vanessa mulai tertarik dengan topik pembicaraan. Rere mangangguk mantap. Vanessa pikir ia jutek, karena tidak ada feminimnya sama sekali. Rambut dikuncir kuda, kemeja lengan panjang yang kancingnya diceraikan melapisi kaos bertuliskan 'I Love, Yogyakarta', celana jeans pendek, sepatu kets. Menurut Vanessa, itu tidak ada lembut-lembutnya. Memang. Mereka asik membicarakan kebiasaan Revan. Sedangkan yang dibicarakan hanya pasrah.

Opo aku salah..

yen aku cerito opo anane..

Samar-samar terdengar senandung kecil dari luar, semua terdiam, saling tatap, melihat pintu yang terbuka. Siapa gerangan yang datang.

"Assalamu'alaikum!" Ucapnya setengah teriak. Lalu yang di dalam, kompak menjawab.

Remaja tanggung dengan baju koko dan sarung yang melilit pinggangnya, lengkap dengan peci yang sudah diputar versi kabayan. Senandungnya terhenti ketika melihat di rumahnya ada tamu. "Rere?"

"Regan?" Ucap mereka bergantian.

"Kalian kenal?" Akhirnya Revan bersuara.

"Kenal. Dia temenku."

Vanessa menatap adiknya, lalu Regan mengangguk, menyetujui ucapan Rere. Regan terdiam di ambang pintu. "Sini masuk, ngapain di situ? Anak kecil nyanyinya lagu orang dewasa. Siapa yang ngajarin?" Omel Vanessa.

"Aku mau ke kamar," pamitnya.

"Ihh, nggak sopan."

"Bang, pulang yuk?" Ucap Rere tiba-tiba.

"Udah gibahin kakaknya sendiri?" Tanya Revan datar, tapi tajam.

Rere meringis. "Udah. Udah kenyang juga,"

"Pulang dulu ya, Kak. Bye," pamit Rere diikuti Revan. Cowok itu tak mengucapkan apapun, padahal tadi bersikap manis di hadapan orang tua Vanessa. Sampai derum knalpot vespanya terdengar, ia tidak bersuara sama sekali. Justru malah Rere yang menyepatkan untuk melambaikan tangan.

Vanessa membanting pintu kamarnya, ia mendumal tidak jelas sampai masker yang ia gunakan retak-retak. "Berisik tau, Kak!" Teriak dari kamar sebelah. Tak lama suara gedabak-gedebuk terdengar, pintu kamarnya berderit.

"Tadi ngapain, Kak?" Vanessa mengamati gerak-gerik adiknya yang berguling di atas kasurnya.

"Siapa?" Tanya Vanes menatap adiknya dari pantulan cermin sambil menguliti maskernya.

"Rere sama kakaknya,"

"Bawa makanan buat ayah. Kenapa emang?"

"Nggak apa-apa. Aku mau tidur, jangan berisik, Kak. Ngedumel nggak jelas,"

"Udah-udah sana pergi, huss." Venessa mengibaskan tangannya, mengusir Regan.

Lalu, gadis itu mencuci muka dan beranjak tidur. Karena esok adalah hari yang menggemparkan di mana seluruh siswa menanti-nanti siapa yang akan menggantikan posisi ketua tim basket putri, setelah sebelumnya dipegang oleh Yuna yang terpaksa harus lengser kerena suatu hal yang tidak mengenakan.

Vanessa sudah tahu semuanya, karena sebelum adanya pemutusan di depan publik, ia sudah diberi tahu. Maka dari itu, ia menyiapkan semuanya serba rapi hari ini.

Hampir seluruh siswa perempuan berdiri di depan mading sambil bergosip ria. Bisa dilihat, di kelas Vanessa hanya ada dirinya dan Mila, si kutu buku yang tidak tertarik sama sekali dengan apa yang terjadi di luar sana. Si jenius yang kepintarannya melebihi rata-rata, sekaligus sahabat Vanessa.

Yuki, siswi kelas 12, kandidat yang digadang-gadang akan menggantikan posisi Yuna. Dia berjalan tegak menuju mading sekolah, matanya menatap depan lurus, diiringi kedua anteknya yang setia berada di samping Yuki. Mereka berjalan seolah, koridor ini milik nenek moyangnya.

"Gue sih, lebih setuju Yuna yang jadi kapten basket," pendapat Wisnu. Mereka, Revan cs sedang duduk di bawah pohon beringin yang sangat teduh, sambil menatap Yuki yang berjalan dengan sombongnya. Berbeda dengan Reyhan, cowok itu mengayunkan tubuhnya dengan berpegangan pada akar-akar beringin yang menjuntai.

"Menurut gue juga gitu." Ucap Reyhan.

"Alah monyet! Ikut-ikutan aja," sarkas Eshar, membully Reyhan habis-habisan.

"Ganteng gini kok, dibilang monyet."

"Gelantungan di pohon tuh, kalo bukan monyet apa?" Wisnu menambah tim pro untuk Eshar dalam rangka membully Reyhan. Yang dibully hanya diam, lantas mengangkat tubuhnya lagi. "Yuhuuu," teriaknya girang.

"Bilang aja iri! Mana bisa kalian gelantungan kayak gini. Jungkir balik, masuk koper juga gue jabanin," ucap Reyhan membela diri.

"Iyain biar fast. Sapu lidi mah beda,"

"Woi, Van! Diem-diem bae, sini main gelantungan sama aa' Reyhan." Reyhan mengayunkan kakinya, nyaris sepatu butut bau tai kebo itu mengenai wajah mulusnya.

"Idih, jijik!" Ucap Revan tepat di muka Reyhan lalu ia menepuk bokongnya yang terkena pasir dan berlalu. Eshar dan Wisnu terbahak tanpa ampun, lalu ikut beranjak mengejar Revan.

"Makannya lo berhenti deh, nyemilin garem. Gini 'kan jadinya. Jeglek sampe edan!" Lagi-lagi Eshar bersuara saat Reyhan sudah berada di sampingnya.

"Kata emak gue aja, waktu gue disapih, 'dot' nya dikasih garem sekilo. Gue pantang, tuh." Jawab Reyhan.

"Pantang menyerah maksud lo?" Imbuh Revan yang sedari tadi hanya menyimak.

"Beuh, kayak apa tuh rasanya? Yang originalnya manis-manis gurih jadi seasin air laut." Eshar yang dari dulu mulutnya kurang konten edukasi, memang selalu begitu, ditambah lagi filternya yang ambles.

Mereka segera mendekat saat ada ribut-ribut di depan mading. Ternyata Yuki yang mencak-mencak, kurang sajen mungkin. Semua siswa mengerubunginya seperti sedang menyaksikan pertunjukan barong di pulau dewata. "Dia bukan anak basket. Kok bisa?! Ayo jawab, nggak ada yang tau, hah?!" Semuanya menggeleng, Yuki makin menjadi.

Revan menerobos masuk kerumunan, ia melihat pengumuman yang tertera di mading. Ini toh, yang bikin Yuki kesetanan. Ia tidak terpilih menjadi ketua tim basket putri. Revan berbalik, tapi tak lama ia kembali lagi. Di sana tertera nama ketua tim basket putri yang baru, VANESSA RISNA HILLABY, Kelas XI MIPA 5.

Revan melotot. What, Vanessa?!

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Extraordinary Captain   19. Geli

    Untuk orang yang tidak bisa diam, suasana seperti ini sangat Vanessa hindari sebenarnya. Mau memulai obrolanpun rasanya wajah Revan tidak bersahabat sama sekali, dari tadi datar tidak ada ekspresi, sampai-sampai ia tidak berani berpegangan pada jaket Revan dan menjadikan jok pertahanannya."Turun," ucapnya datar setelah sampai di depan pagar rumah Revan. Pertama kalinya Vanessa diajak main ke sini."Iya, tau.""Bukain!" kalau bukan dalam rangka meminta maaf, tidak semudah itu menuruti perintah Revan. Yang Vanessa hentak-hentakkan conversnya berjalan menuju pagar. Membersilahkan si kuda besi antik dan tuannya masuk."Revan pulang!" Vanessa mengikut saja di belakang."Kebiasaan deh, ka

  • Extraordinary Captain   18 Wejangan

    Biasanya Vanessa akan pulang bersama Revan, tapi kali ini ia harus berjalan kaki menuju rumahnya yang tidak terlalu jauh. Revan benar-benar marah padanya, sampai senyuman Vanessa tidak diindahkan sama sekali. Bahkan, ia terang-terangan melewati Vanessa yang berjalan di pinggir jalan. Semarah itukah? Padahal hanya 1 minggu."Papa benar-benar kecewa sama kamu, Revan. Apa cowok yang pandai berkelahi menurut kamu hebat? Memang hebat, tapi lebih hebat cowok berkelahi pakai otak, bukan otot," suasana ruang tengah rumah Revan sangat tidak bersahabat. Tidak ada yang berani menyela saat ayahnya sedang marah, apalagi beliau tidak pernah marah kecuali ada sesuatu yang sudah keterlaluan."Papa nggak pernah mengajarkan kamu jadi sok jagoan, Papa membebaskan apapun hobi kamu selagi itu positif. Papa nggak mau apa yang Papa alami menimpa kamu.""Papa yang pemberontak baru merasakan akibatnya setelah berkeluarga. Mengorbankan mama kamu untuk ikut banting tulang, men

  • Extraordinary Captain   17 Benteng

    Vanessa berjalan sambil bersenandung kecil, membawa kantong plastik putih berisi dua bungkus nasi goreng. Menuruti keinginan Regan yang aneh-aneh, ngidam nasi goreng. Paling ngeri sebenarnya jika melewati tembok bicara. Saat semua ungkapan lisan tidak diindahkan, tindakan para begajulan mencoret-coret tembok sengketa, meluapkan isi pikirannya. Macam bentuk grafiti dan kata misuh-misuh diabadikan dengan pilox berbagai warna. Memperburuk pemandangan. Tak jauh dari tempat itu, bunyi rusuh terdengar di seberang sana. Vanessa mendekat, mendapati sepeda motor yang terparkir awuran. Vanessa makin mendekat saat menemukan motor yang tidak asing. Itu vespa Revan! Di waktu yang bersamaan, ia melihat Revan sedang adu jotos entah dengan siapa. Vanessa menjatuhkan kreseknya lalu menerobos kerumunan. "Stop!!!" "Vanessa!" Tepat setelah itu Vanessa memejamkan mata, seseorang mendekapnya erat dari belakang. "Cabut, woi!" Setelah sese

  • Extraordinary Captain   16 Firasat burk

    Revan hengkang dari rumah Eshar bersama yang lainnya. Ingin cepat-cepat sampai kasurnya sendiri dan rebahan sampai siang, karena semalam tidurnya tidak aturan, disebabkan polah dua cecunguk yang tidak karuan. Tahu begitu, mending ia tidur di kasur yang ditempati Reyhan. Nyaman, tidak ada yang mengganggu, buktinya Reyhan bangun paling akhir, padahal bawah hidungnya sudah diolesi balsem. Memang dasar kebo.Tapi semua angan Revan gagal setelah mendapat kiriman pesan dari Bimo, teman sekelasnya.Karena weekend, kegiatan Vanessa setelah berbenah, hanya rebahan. Kalau sudah bosan kuadrat, paling nongkrong di depan televisi yang isinya dari pagi kartun. Karena mau nonton yang lainpun tidak bisa, tv selalu dalam kuasa Regan yang menonton tokoh kartun kelinci yang hanya bicara bwabwabwabwaa, tapi auranya menghantar Regan sampai gulingan di karpet.Vanessa memilih keluar rumah, sekedar cari angin menggunakan sepeda Regan. Semburat menguning yang muncul dari ufuk tim

  • Extraordinary Captain   15 Penshit boys

    Malam ini Revan cs sudah mengumpul di rumah Eshar. Para bujangga pencari cinta itu berencana menginap di rumah Eshar karena si playboy di rumah sendiri, maklum anak tunggal. Orang tuanya sibuk urusan bisnis.Karena Wisnu yang gila tenar, padahal sudah cukup tenar. Ia membelikan teman-temannya piyama yang didapat dari hasil endors di instagram, sekalian iklan katanya. Untuk pertama kalinya, malam ini Wisnu akan membuat channel youtube dengan konten pertama PESTA PIYAMA dan bintang tamu Revan, Eshar, dan Reyhan. Sebagai anak-anak most wanted mereka sudah terbiasa disorot banyak orang, walau tadi sempat ada perdebatan dengan Revan yang tidak mau gabung, tapi akhirnya dia menurut juga atas iming-iming Wisnu. Jadi konten malam ini tidak ada unsur paksaan. Semua suka rela.Mereka sudah duduk lesehan di karpet bulu kamar Eshar, menggunakan piyama masing-masing lengkap dengan penutup mata. "Van, lo nggak pake ini?" Tanya Eshar yang memakai penutup mata tapi

  • Extraordinary Captain   14. Nostalgia

    Vespa biru muda berhenti di depan gerobak bertuliskan LEGEND yang sebagian huruf sudah luntur digerus kerasnya jalanan. Vanessa mengikuti Revan seperti buntut. Setalah memesan, mereka duduk di kursi plastik yang disediakan. Harus mengantri dengan anak-anak bimbel yang berebut minta duluan sambil menyodorkan duit.Vanessa masih bingung dengan perangai Revan yang tidak konsisten. Cowok yang kini duduk di sebelahnya sambil bersenandung kecil. Sembribit angin yang dibawa angkot putih lusuh, pelit oksigen. Benar-benar kental polusi yang mengharuskan Vanessa menutup hidung dan mulut, sesekali terbatuk karena kepulan asap hitam menyergap rongga hidung tanpa permisi melalui celah jari."Emang gini keadaannya, Dek. Sekarang banyak cafe modern, kenapa mau mampir ke sini?" Vanessa dan Revan saling tatap. "Yang dicari kesannya, Pak. Bukan mewahnya." Jawab Revan."Kesannya apa sih, Dek? Cuma kayak gini doang." Ucap bapak itu sambil men

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status