Share

03 Leader

"Duduk dulu, nak. Tante ambilin minum," wanita dengan daster itu berbalik menuju dapur untuk mengambil minum.

"Jadi, kamu pacarnya Vanes?" Tanya ayah Vanessa mengintimidasi, maniknya menyorot lensa Revan tegas. Vanessa yang disebut-sebut, menggelengkan kepalanya kuat.

"Bukan, Om. Cuma teman aja. Ini dari papa," Revan menyerahkan rantang yang tadi ia bawa ke hadapan Hardi, ayah Vanessa. Lelaki itu segera membuka dan tersenyum melihat isinya.

"Jadi kamu Revan, anaknya Arief?"

Revan tersenyum canggung. "Iya, Om."

Vanessa membatin, apa-apaan sih ini?

"Ini adik kamu, siapa? Kerei?"

"Kirei, Om. Kalau susah panggil aja Rere." Jawab sang pemilik nama sambil mendengus. Revan menyenggol lengan adiknya dengan siku.

"Apaan, sih?" Geramnya setengah berbisik.

"Ini diminum, ya. Seadanya," ibu Vanessa mengalihkan sorot sengit kedua saudara itu.

"Makasih, Tante." Ucap Revan. Sedangkan yang satu, tanpa berterima kasih langsung mencomot cookies yang dihidangkan.

"Ya udah, kalian teman 'kan? Pasti saling kenal dong. Ngobrol aja dulu. Yuk Bun, lanjut yang tadi." Ucap ayah Vanessa menimbulkan gelagat malu-malu meow sang istri.

"Ihh, Ayah. Udah tua juga," tabokan manja di lengan, diiringi kekehan keduanya, sambil berlalu meninggalkan dua anak manusia, salah, tiga anak manusia yang diselimuti kecanggungan.

"Kak, itu yang di muka oli, ya?" Tanya Rere memecah suasana.

"Enggak. Ini masker," jawab Vanes hati-hati, takut maskernya yang setengah kering retak.

"Ohh, itu." Ucapnya terjeda saat menelan cookies yang dikunyahnya. "Bang Revan juga sering pake kayak gituan, tapi warnanya putih." Revan menyenggol lagi lengan adiknya

"Apaan, sih? Orang bener, kok. Waktu itu, Rere kebangun malem-malem, terus lihat Bang Revan lagi maskeran, matanya ditutupin timun."

"Oh, ya?" Vanessa mulai tertarik dengan topik pembicaraan. Rere mangangguk mantap. Vanessa pikir ia jutek, karena tidak ada feminimnya sama sekali. Rambut dikuncir kuda, kemeja lengan panjang yang kancingnya diceraikan melapisi kaos bertuliskan 'I Love, Yogyakarta', celana jeans pendek, sepatu kets. Menurut Vanessa, itu tidak ada lembut-lembutnya. Memang. Mereka asik membicarakan kebiasaan Revan. Sedangkan yang dibicarakan hanya pasrah.

Opo aku salah..

yen aku cerito opo anane..

Samar-samar terdengar senandung kecil dari luar, semua terdiam, saling tatap, melihat pintu yang terbuka. Siapa gerangan yang datang.

"Assalamu'alaikum!" Ucapnya setengah teriak. Lalu yang di dalam, kompak menjawab.

Remaja tanggung dengan baju koko dan sarung yang melilit pinggangnya, lengkap dengan peci yang sudah diputar versi kabayan. Senandungnya terhenti ketika melihat di rumahnya ada tamu. "Rere?"

"Regan?" Ucap mereka bergantian.

"Kalian kenal?" Akhirnya Revan bersuara.

"Kenal. Dia temenku."

Vanessa menatap adiknya, lalu Regan mengangguk, menyetujui ucapan Rere. Regan terdiam di ambang pintu. "Sini masuk, ngapain di situ? Anak kecil nyanyinya lagu orang dewasa. Siapa yang ngajarin?" Omel Vanessa.

"Aku mau ke kamar," pamitnya.

"Ihh, nggak sopan."

"Bang, pulang yuk?" Ucap Rere tiba-tiba.

"Udah gibahin kakaknya sendiri?" Tanya Revan datar, tapi tajam.

Rere meringis. "Udah. Udah kenyang juga,"

"Pulang dulu ya, Kak. Bye," pamit Rere diikuti Revan. Cowok itu tak mengucapkan apapun, padahal tadi bersikap manis di hadapan orang tua Vanessa. Sampai derum knalpot vespanya terdengar, ia tidak bersuara sama sekali. Justru malah Rere yang menyepatkan untuk melambaikan tangan.

Vanessa membanting pintu kamarnya, ia mendumal tidak jelas sampai masker yang ia gunakan retak-retak. "Berisik tau, Kak!" Teriak dari kamar sebelah. Tak lama suara gedabak-gedebuk terdengar, pintu kamarnya berderit.

"Tadi ngapain, Kak?" Vanessa mengamati gerak-gerik adiknya yang berguling di atas kasurnya.

"Siapa?" Tanya Vanes menatap adiknya dari pantulan cermin sambil menguliti maskernya.

"Rere sama kakaknya,"

"Bawa makanan buat ayah. Kenapa emang?"

"Nggak apa-apa. Aku mau tidur, jangan berisik, Kak. Ngedumel nggak jelas,"

"Udah-udah sana pergi, huss." Venessa mengibaskan tangannya, mengusir Regan.

Lalu, gadis itu mencuci muka dan beranjak tidur. Karena esok adalah hari yang menggemparkan di mana seluruh siswa menanti-nanti siapa yang akan menggantikan posisi ketua tim basket putri, setelah sebelumnya dipegang oleh Yuna yang terpaksa harus lengser kerena suatu hal yang tidak mengenakan.

Vanessa sudah tahu semuanya, karena sebelum adanya pemutusan di depan publik, ia sudah diberi tahu. Maka dari itu, ia menyiapkan semuanya serba rapi hari ini.

Hampir seluruh siswa perempuan berdiri di depan mading sambil bergosip ria. Bisa dilihat, di kelas Vanessa hanya ada dirinya dan Mila, si kutu buku yang tidak tertarik sama sekali dengan apa yang terjadi di luar sana. Si jenius yang kepintarannya melebihi rata-rata, sekaligus sahabat Vanessa.

Yuki, siswi kelas 12, kandidat yang digadang-gadang akan menggantikan posisi Yuna. Dia berjalan tegak menuju mading sekolah, matanya menatap depan lurus, diiringi kedua anteknya yang setia berada di samping Yuki. Mereka berjalan seolah, koridor ini milik nenek moyangnya.

"Gue sih, lebih setuju Yuna yang jadi kapten basket," pendapat Wisnu. Mereka, Revan cs sedang duduk di bawah pohon beringin yang sangat teduh, sambil menatap Yuki yang berjalan dengan sombongnya. Berbeda dengan Reyhan, cowok itu mengayunkan tubuhnya dengan berpegangan pada akar-akar beringin yang menjuntai.

"Menurut gue juga gitu." Ucap Reyhan.

"Alah monyet! Ikut-ikutan aja," sarkas Eshar, membully Reyhan habis-habisan.

"Ganteng gini kok, dibilang monyet."

"Gelantungan di pohon tuh, kalo bukan monyet apa?" Wisnu menambah tim pro untuk Eshar dalam rangka membully Reyhan. Yang dibully hanya diam, lantas mengangkat tubuhnya lagi. "Yuhuuu," teriaknya girang.

"Bilang aja iri! Mana bisa kalian gelantungan kayak gini. Jungkir balik, masuk koper juga gue jabanin," ucap Reyhan membela diri.

"Iyain biar fast. Sapu lidi mah beda,"

"Woi, Van! Diem-diem bae, sini main gelantungan sama aa' Reyhan." Reyhan mengayunkan kakinya, nyaris sepatu butut bau tai kebo itu mengenai wajah mulusnya.

"Idih, jijik!" Ucap Revan tepat di muka Reyhan lalu ia menepuk bokongnya yang terkena pasir dan berlalu. Eshar dan Wisnu terbahak tanpa ampun, lalu ikut beranjak mengejar Revan.

"Makannya lo berhenti deh, nyemilin garem. Gini 'kan jadinya. Jeglek sampe edan!" Lagi-lagi Eshar bersuara saat Reyhan sudah berada di sampingnya.

"Kata emak gue aja, waktu gue disapih, 'dot' nya dikasih garem sekilo. Gue pantang, tuh." Jawab Reyhan.

"Pantang menyerah maksud lo?" Imbuh Revan yang sedari tadi hanya menyimak.

"Beuh, kayak apa tuh rasanya? Yang originalnya manis-manis gurih jadi seasin air laut." Eshar yang dari dulu mulutnya kurang konten edukasi, memang selalu begitu, ditambah lagi filternya yang ambles.

Mereka segera mendekat saat ada ribut-ribut di depan mading. Ternyata Yuki yang mencak-mencak, kurang sajen mungkin. Semua siswa mengerubunginya seperti sedang menyaksikan pertunjukan barong di pulau dewata. "Dia bukan anak basket. Kok bisa?! Ayo jawab, nggak ada yang tau, hah?!" Semuanya menggeleng, Yuki makin menjadi.

Revan menerobos masuk kerumunan, ia melihat pengumuman yang tertera di mading. Ini toh, yang bikin Yuki kesetanan. Ia tidak terpilih menjadi ketua tim basket putri. Revan berbalik, tapi tak lama ia kembali lagi. Di sana tertera nama ketua tim basket putri yang baru, VANESSA RISNA HILLABY, Kelas XI MIPA 5.

Revan melotot. What, Vanessa?!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status