Memandang sebelah mata anak beasiswa dan kalangan orang miskin sudah menjadi budaya yang terjadi hampir di seluruh sekolah elit. Taruna Bangsa salah satunya. Meski gadis itu memegang jabatan sebagai ketua OSIS, sayangnya ia tak pernah dihormati. Eksistensinya tak pernah mendapat respect oleh sekitar. Ketika hampir seluruh siswa/i menunjukkan secara terang-terangan ketidaksukaan mereka pada sosok gadis bernama lengkap Eva Nur Shafaah itu, maka ketua geng terkenal seantero Jakarta Selatan ini tak pernah sedikit pun peduli. Namun, hal itu tak berlaku lagi karena suatu kejadian yang membuat Eva harus bermasalah dengan sosok Artanabil Hibrizi, ketua geng Kompeni yang paling ditakuti dan berkuasa dalam ranah Taruna Bangsa. Selain menjabat sebagai ketua geng legendaris tersebut, Arta juga merupakan cucu dari pemilik sekolah hingga ia begitu mudah mendapatkan posisi tertinggi yang paling dihormati di kalangan murid TB. Penderitaan yang Eva topang makin terasa ketika Arta mengklaimnya sebagai 'babu'. Bukankah ketos TB terlalu dipandang rendahan? Melakukan apa pun yang diperintahkan Arta tanpa boleh melawan sedikit pun. Hubungan toxic yang dilalui antara sepasang insan. Bukankah si gadis itu terlalu polos dan tulus untuk disandingkan dengan lelaki brengsek itu? Sayangnya di dunia ini semua hal yang tak mungkin dapat menjadi sebuah kemungkinan.
View MorePernah malas sekolah karena dimusuhi satu circle?
Seperti seorang gadis yang saat ini berdiri di samping podium seorang diri. Ia menunduk dalam tak kuasa menerima terpaan sinar mentari yang begitu menyengat.
Padahal sedari tadi ia hanya diam tanpa ada sepatah kata dan tindakan apapun. Namun karenanya pula seluruh siswa yang menghadiri upacara Senin pagi ini mendemo pihak guru bagian pengurus OSIS. Hingga OSIS tahun lalu turun tangan mengamankan para siswa yang semakin ricuh.
Ketika sudah tenang, bu Rani selaku guru pembimbing OSIS berdiri di atas podium untuk menyampaikan beberapa hal. Semua yang telah beliau sampaikan sangatlah masuk akal, tapi tetap saja para siswa tak setuju akan hal itu. Lebih tepatnya mereka tak mau menerima.
Kerumunan siswa dibubarkan setelah mereka dinyatakan kalah telak dalam argumen. Akhirnya dengan terpaksa menerima keputusan sepihak oleh pembimbing OSIS tahun ini.
Sementara seorang gadis yang menjadi alasan kericuhan tetap terlihat tenang. Bola mata coklat terang yang indah itu melirik sekilas ke arah lelaki tampan satu angkatan dengannya di sekolah ini.
Ke-duanya saling berjabat tangan dan berjanji akan mensukseskan sekolah bersama. Tak lupa pula bagian dokumentasi memotret momen itu.
Gadis bernama lengkap Eva Nur Shafaah itu bedeham pelan. Sedikit mendongak untuk menatap wajah ganteng lawan bicaranya ini. Kelopaknya menyipit akibat terpaan cahaya mentari pagi.
"Banyak yang bilang gue sama lo bertolak belakang. Gue yang dikenal cewek pemalu dan gak pandai bergaul. Sedangkan lo cowok dingin dan cuek sama sekitar."
Jeda sejenak. Saat ini Eva mencoba mengatur detak jantungnya yang berpacu kelewat cepat entah memburu apa. Eva yang kurang bisa bergaul hanya punya empat orang teman semasa hidupnya. Semuanya segender. Jadi jujur, baru kali ini Eva berbicara sedalam ini pada seorang cowok.
Merasa gadis di depannya ini tak jua melanjutkan ucapannya yang terhenti, cowok berkulit putih bersih kemerah-merahan bernama lengkap Brian Adam Girikan itu menaikkan sebelah alis dengan tatapan merunduk ke bawah demi dapat melihatnya.
"Jadi?" Suara Adam yang berat akhirnya mengudara.
Hal yang membuat lamunan Eva buyar seketika. Berdiri berdepanan begini membuat perbedaan warna kulit mereka tampak kentara. Eva yang kuning langsat sedikit kecoklatan dan cowok itu justru putih bersih. Eva yang sedikit pesek sedangkan cowok itu dikaruniai hidung mancung. Alis dan bulu mata tebal berwarna hitam. Indah sekali dipadukan dengan kulitnya yang seputih susu. Meski demikian ia selalu tampak cool di setiap saat. Ketika olahraga perut sixpack-nya begitu tercetak jelas oleh keringat. Dia pejantan perkasa walau kulitnya seputih susu.
Menyudahi pemikiran membanding-bandingkan diri, Eva menarik napas dalam kemudian menghembuskannya perlahan. Masih mengusahakan diri untuk tetap tenang. Tak ingin terlihat gugup hingga bertindak bodoh di depan Adam.
"Jadi gimana bisa kita kerja sama secara totalitas buat mensukseskan sekolah sedangkan kita bertolak belakang?"
Adam mendengkus. "Bisa kalo kita kerja profesional."
Eva langsung mengerti. Cewek itu mengangguk pelan. Ternyata begini, ya? Profesional yang Adam maksud ialah tidak menyangkutpautkan urusan pribadi dengan project OSIS yang akan mereka kerjakan ke depan.
Menatap lamat wajah cowok itu, Eva tak ingin pembicaraan ini hanya sampai di sini saja. Dirinya menginginkan lebih lama. Karena suatu alasan yang jelas. Kelemahannya yang kurang bisa bergaul sering kali membuat Eva kagok sendiri ketika menjalin hubungan pendekatan dengan seseorang. Rasa tak nyaman seketika melingkupi sanubari meski Eva sudah mengusahakan semaksimal mungkin.
Dan saat ini Eva tengah berusaha menampik itu semua. Tak mau mengacaukan project ini dengan miskomunikasi karena buruknya ia ketika bersosial.
"Lo nggak masalah?" Eva bertanya penuh kehati-hatian.
Adam berdecih mendengarnya. Cowok berkulit putih bersih itu mengendikkan bahu. "Gue gak ngerti lo lagi bahas apa."
Ungkapan yang membuat Eva meringis pelan. Dengan ragu Eva menjelaskan. "Yang selama ini digadang-gadangkan sebagai ketos kan lo. Tapi tadi pas pelantikan justru gue yang naik jabatan dan lo turun."
Eva perhatikan sedari tadi raut cowok itu tak berubah. Tetap setia tampilkan wajah datarnya. "Mending lo pikirin nasib lo sendiri ke depannya. Gue rasa hati lo masih berfungsi buat ngerasain sakit. Posisi lo gak diinginkan di sini. Paham?"
"Iya, gue dibenci sama satu circle," ujar Eva murung. "Circle-nya satu sekolahan," lanjutnya lagi. Tapi kali ini senyuman tipis bertengger indah di bibir peach miliknya.
Hal yang membuat Adam termangu. Bisa-bisanya gadis itu tersenyum padahal sudah jelas satu sekolah menolak keberadaannya. Siapa yang tak tahu? Eva anak beasiswa. Ia yatim. Ibunya bekerja sebagai penjual kue di pasar. Latar belakang yang rendah bagi siswa Taruna Bangsa yang notabane-nya adalah anak para pebisnis kaya raya.
Jika Eva jadi ketos, mereka semua tak sudi berada di bawah kekuasaan si gadis miskin itu. Bahkan kompak untuk menjadi murid pembangkang dan tak peduli lagi pada kebijakan OSIS yang sekarang.
Pertentangan yang mereka lakukan di lapangan tadi ditentang balik oleh bu Rani hingga seluruh siswa kalah telak kehabisan argumen untuk melawan. Karena pada dasarnya Eva memang layak memegang jabatan ini.
Adam berdecih. "Bangga lo dibenci sesekolahan?"
Mata indah coklat terang gadis itu akhirnya menatap tajam lawan bicaranya. Melawan Adam yang memborbardir ungkapan sarkas padanya sedari tadi.
"Gue gak pernah mendaftarkan diri jadi OSIS melainkan ditunjuk langsung sama bu Rani. Mereka yang koar-koar di lapangan demi gagalnya pelantikan gue sebagai ketos akhirnya bungkam 'kan? Lo tau artinya apa? Karena emang gak ada yang pantes pegang jabatan ini kecuali gue!"
Setelahnya Eva beranjak pergi dari sana meninggalkan Adam yang terpukau mendengar ucapan Eva yang penuh angkuh tadi. Sampai sini sepertinya Adam sudah bisa menyimpulkan. Alasan Eva tak punya banyak teman selain karena ia tak pandai bergaul, gadis itu juga tak bisa mengerem mulutnya untuk menjaga keramah-tamahan pada sesama. Lihatlah bibir peach-nya tadi. Dalam satu kali pertemuan ia sudah bisa mengeluarkan suara malu-malu kucing, lalu gugup, kemudian tersenyum tipis, sampai tadi ia mengeluarkan kata-kata tajam menusuk hati.
Meski dari keluarga tak punya Eva menjunjung tinggi harga diri. Ia pantang tersentil meski sedikit saja. Mereka membangga-banggakan harta orang tua, maka Eva membanggakan kemampuannya sendiri!
Jadi, siapa yang lebih berkualitas?
⋆•・ั⋆ᩡ🌸ꦿᩡ⋆・ั•⋆
Seorang gadis berseragam SMA Taruna Bangsa, mengenakan pashmina menutup kepala dengan model khasnya yakni melilit leher kemudian terikat rapih di bagian belakang sedang berdiri di depan pintu bertuliskan 'XII IPS 2'. Dipelukannya terdapat sebuah absen.
Pintu itu tertutup hingga menimbulkan senyap. Hampir seluruh ruangan SMA TB memang didesain kedap suara. Kelas ini menjadi salah satunya.
Gadis yang tiada bukan adalah Eva si ketos baru itu menekan knop pintu. Tanpa salam ia membukanya perlahan hingga timbulkan decitan. Suara yang sukses menarik atensi hingga suasana kelas yang tadinya berisik seketika menghening dengan pandangan yang kompak tertuju ke arah pintu masuk.
"Anjir! Gue kira guru tadi!" Salah seorang siswi berbandana maroon yang kebetulan duduk paling depan dekat pintu mengumpat. Rautnya sinis.
"Lo gak sendiri, Bro!" Cowok dengan dasi yang terikat di dahinya menyahut. Tangannya menepuk sok asik bahu cewek tadi yang langsung mendapat pelototan dari sang empu.
"Gak usah megang-megang, Babi!"
"Sensi amat. Pms lo?"
"Bukan urusan lo!"
Sudahlah, ruangan kembali riuh. Eva menyudahi acara menyaksikan drama tersebut. Ia mengedar pandang. Mendapati tak ada seorang pun memperhatikannya.
"Minggir!" Suara berat dengan intonasi angkuh menyapa indera pendengaran Eva. Belum sempat gadis itu menoleh ke belakang, tubuhnya sudah lebih dulu terhuyung. Nyaris tersungkur jika saja Eva tak sigap menyeimbangkan diri.
Detik setelahnya laki-laki paling berkuasa di sekolah ini melewatinya begitu saja. Disusul anggota geng terkenal seantero Jaksel ini yang berada di bawah kendali cowok tadi. Namanya Artanabil Hibrizi. Ketua geng Kompeni, sang legendaris yang telah berdiri sejak setengah abad silam. Selain itu ia juga merupakan cucu Arif Wijaya, pemilik SMA Taruna Bangsa. Sekolah terfavorit yang menjadi incaran para siswa, guru, dan orang tua.
Semuanya berlomba-lomba memasukkan anak mereka ke sekolah paling bergengsi se-Indonesia ini. Bukan sekolah internasional, tetapi prestasinya harum semerbak sampai ke seluruh dunia. Tak jarang dalam ajang perlombaan tingkat dunia, Taruna Bangsa merupakan sekolah dengan utusan paling banyak mewakili Indonesia.
Masuknya anggota inti Kompeni ke dalam kelas ini benar-benar menarik perhatian semua orang.
"Badan lo mungil? Disenggol langsung sempoyongan tidak?" Adelion Bramasta, cowok yang kerap dipanggil Yoyon itu menyuarakan tanya dengan nada khas sound yang tengah viral saat ini di aplikasi TikTok.
"Tidak?!" katanya terpekik histeris. "Ahh lemah!!" Demi mendalami peran, setelah berkata demikian Yoyon langsung berjoget pargoy dengan musik manual yang keluar dari mulutnya sendiri.
Cowok dengan jabatan sebagai wakil ketua geng Kompeni bernama lengkap Reza Pahlevi yang saat ini berdiri di sebelah Yoyon langsung menggeplak keras kepala cowok itu. "Gak usah ngedesah goblok!!"
Tristan adalah anak bungsu dari tiga bersaudara. Kedua saudara perempuannya tidak tinggal serumah dengan orang tuanya. Tertinggal hanya Tristan yang masih duduk di bangku kelas 12 di SMA Garuda, salah satu SMA unggulan di Bandung. Kakak pertamanya menikah dengan seorang prajurit nasional yang bergabung dengan angkatan laut. Dia saat ini sedang mengandung keponakan pertama Tristan. Sedangkan adik keduanya sedang menjalani semester akhir pendidikan kedokteran di Spanyol."Kak Keinara belum lahir? Aku belum pernah mendengarnya," ucap Eva merasakan betapa sepinya rumah sepupunya.Betapa tidak, Tristan yang kerap berada di markas karena menjabat sebagai ketua geng motor membuat orang tuanya harus selalu menyendiri di rumah. Beruntung om Abian dan tante Azka bekerja di bidang yang sama. Mereka sukses membuka cabang restoran yang mereka kelola di pusat kota setiap provinsi di Indonesia. Bahkan untuk rencana ke depan, mereka akan memperluasnya hingga ke luar negeri.“Tujuh bulan lagi, Eva,” uc
Baru saja pikiran Eva terganggu karena sikap Bima yang tetap jahat padanya padahal Eva sudah berbesar hati hendak berdamai dengan cowok itu, kini Eva dikejutkan kembali dengan keadaan kelasnya yang jauh dari kata baik-baik saja.Kursi di sebelahnya, artinya tempat duduk teman sebangkunya. Telah habis diorat-oret menggunakan tinta hitam hingga tampak kotor sekali. Pelakunya adalah seorang cheerleader Taruna Bangsa. Tahu? Merusak satu aset saja milik Taruna Bangsa maka akan dikenakan denda yang tak main-main. Mungkin bagi mereka para anak orang kaya ini, hal itu bukanlah sesuatu yang dipermasalahkan karena mereka sangat mampu. Namun Uma? Bisa saja mereka yang merusak, tapi justru Uma yang diwajibkan membayar denda karena bangku ini adalah bangku Uma.Eva sangat tahu persis bagaimana sulitnya ekonomi sahabatnya itu. Membayar sekolah saja sudah mati-matian bahkan sering tak bawa uang jajan. Sering melihat Uma setiap hari membawa bekal ke sekolah? Itu karena dia tak bawa uang. Ingat dia p
Baik Arta maupun Tristan, keduanya sama-sama membatu dan saling melempar tatapan tak menyangka satu sama lain. Bagaimana mungkin Arta baru mengetahui bahwa Eva adalah adik Tristan? Ternyata ada banyak informasi tentang Eva yang Arta belum ketahui. Ia pikir Eva hanyalah siswi miskin biasa yang kebetulan menjadi ketua OSIS. Rupanya Eva tidak sesederhana itu."Lo temen adek gue?" kelakar Tristan tak dapat menutupi rasa terkejutnya."Dia adek kelas gue," ralat Arta segera sembari menunjuk Eva yang hanya setinggi bahunya itu dengan dagunya. "Nyokap Eva nitipin Eva ke gua," lanjutnya kemudian dengan aura keposesifan yang sangat kental. Selebihnya agar Tristan tidak salah paham saja, kenapa adik kelas dan kakak kelas bisa sedekat ini.Mendengar hal itu Tristan semakin terkejut. "Oh lo deket sama adek gue?" berondongnya pada Arta seraya menatap Eva bangga. Pintar juga adiknya ini cari circle. Sementara Eva menyengir polos merespon tatapan abangnya."Kak Arta!" panggil Eva pada Arta, membuat ke
Eva menyukai suasana sejuk dan tenang di malam hari. Ia baru saja selesai mandi. Masih dengan gulungan handuk di kepala, merasa lebih segar dan lebih baik. Mabuk di dalam bus selama perjalanan benar-benar menguras tenaga. Eva lemas sekali dibuatnya.Eva duduk di pinggiran kasur dengan tangan aktif menggosok-gosokkan handuk pada rambut agar cepat kering. Dalam satu kamar ini terdapat empat orang anak OSN, termasuk Eva sendiri.Mereka duduk berkumpul di sofa seraya memakan berbagai macam cemilan yang Eva sendiri ngiler melihatnya. Tentu saja perutnya lapar keroncongan. Seharian ia hanya makan satu gembung pemberian Arta di bus tadi. Namun, untuk minta Eva malu. Dirinya tidak dekat dengan mereka. Pun hendak ngumpul bareng, Eva segan sendiri. Akhirnya ia sok sibuk dengan rambutnya."Gue ada hairdryer tuh di dalam tas kalo mau make," celetuk Cia salah satu teman sekamar Eva di hotel ini.Eva tersenyum kaku. Eva tahu bahwa itu adalah alat untuk mengeringkan rambut. Namun, Eva tidak tahu car
Aurel bersama dua adik kelasnya, Eva dan Uma saling bersenda gurau dan membicarakan hal random untuk mereka bahas. Hingga di mana Selin beserta dua temannya datang memasuki kantin dan duduk di salah satu bangku kosong yang berada di pojok kiri, Eva langsung melirik Aurel memberikan isyarat lewat tatapan mata. Aurel mengangguk pasti menanggapinya. Dia berdiri sembari membawa gelas minumannya yang masih terisi setengah. Tentu saja tindakannya itu diikuti oleh Eva. Sementara Uma yang tidak tahu apa-apa hanya menatap kedua orang itu dengan mata mengerjab bingung. Pada akhirnya ia hanya ikut-ikutan Aurel dan Eva saja menuju bangku di mana Selin bersama dua temannya itu berada. "Hai, Aurel!" sapa salah satu teman Aurel dengan senyum manis tetapi penuh manipulatif. "Are you wanna join here?" tanyanya sok asik. Sayangnya sapaan basa basi tersebut tidak mendapat gubrisan apapun dari Aurel. Justru Aurel mendengus remeh memandang ketiga orang itu dengan tatapan jijik yang sangat kentara. Aurel
Jika hendak menganalisa akun lambe turah masing-masing sekolah favorit di Jakarta Selatan ini, maka sudah pasti Taruna Bangsa akan menjadi miss dalam mencari sensasi. Followers dan jumlah upload-nya nyaris sebanding, terus bertambah setiap hari karena pasti selalu ada saja hal-hal mengejutkan yang diposting oleh adminnya. Diketahui bersama pula bahwa admin akun gosip SMA ternama tersebut tidak hanya segelintir orang saja, tetapi hampir seluruh siswi dari kelas 12. Oleh karena itu sulit bagi mereka yang tidak punya kekuasaan untuk mencari tahu dalang yang sebenarnya jika terjadi sesuatu.Tak peduli hanya kabar burung yang belum pasti kebenarannya seperti separuh video yang dapat mengundang salah paham bahkan menciptakan kontroversi, yang mereka tahu hanya memposting itu semua dan menyebarkannya untuk menarik perhatian para netizen! Mungkin salah satu penyebabnya adalah karena gila kepopuleran sehingga berbagai cara dilakukan sampai kehausan sensasi!Usai menenangkan Eva yang bersedih,
Wajah Eva muram karena buku diary-nya tak kunjung ketemu hingga sekarang. Eva menelungkupkan wajahnya di meja makan. Menghela napas berusaha mengingat-ingat kembali dengan otaknya yang mungil itu di mana buku diarynya, kenapa tidak ditemukan di manapun juga."Mama liat diary aku nggak?" tanya Eva penuh harap kepada mamanya yang baru datang ke dapur."Terakhir kamu taruh di mana emangnya?" jawab Vina tenang dengan mata yang sudah menyorot barang-barang anaknya yang diletakkan begitu saja di atas meja.Eva menghela napas lelah. "Seinget aku terakhir aku taruh di dalam tas. Tapi aneh banget bisa nggak ada!" Tak kunjung mendapat respon dari mamanya, Eva kesal berakhir menelungkupkan wajahnya di lipatan tangan dan mulai menangis. Eva kesal, sangat. Siapa yang sudah mengambil barang rahasianya itu?"Eh, kamu bawa apa nih?" Vina segera mengambil duduk di samping putrinya, berupaya mengalihkan perhatian Eva agar tak bersedih lagi.Eva berdecak kasar karena keadaan hatinya yang buruk. Namun ka
Eva membingkai kotak kado dari Arta. Bungkusnya menggemaskan dengan dihiasi pita-pita kecil. "Ini siapa yang ngebungkus, Kak? Gemoy banget bungkusannya!" celoteh Eva dengan senyum lucu terpatri di bibirnya."Sabila," jawab Arta singkat sembari memperhatikan Eva yang mulai membuka bungkus kado darinya tersebut.Mata Eva membulat kaget. "Seals!" jeritnya tertahan membekap mulutnya sendiri. Eva sampai mengerjab menoleh pada Arta berulang kali.Sebuah boneka anjing laut berwarna cream dengan bentuk yang sangat menggemaskan masih terbungkus plastik sudah berada di tangan Eva sekarang. Ini adalah boneka yang sama persis Eva lihat ketika pergi ke pasar bersama mamanya maupun ketika pergi ke mall bersama Arta kemarin.Hati Eva menghangat melihat tatapan lembut yang Arta berikan padanya. Arta baik sekali sampai bisa mengerti Eva sejauh ini. Eva benar-benar merasa terharu. Pasalnya di umur yang ke-17 tahun ini Eva belum pernah mempunyai boneka. Eva ingin memilikinya walaupun hanya satu. Namun h
Berjejer rapih moge di parkiran markas Kompeni. Arta bersama rekan anggota inti yang lainnya sudah duduk siap di atas motor mereka masing-masing. Saat ini mereka akan pergi ke sekolah untuk latihan basket sebagai persiapan lomba nanti. Tak ada yang berhak untuk pergi mendahului sebelum ketua mereka pergi. Karena Arta masih sibuk mengutak-atik ponselnya, yang lain pun hanya duduk diam di atas motor masing-masing menunggu Arta selesai dengan urusannya.Sebelum melajukan motornya, Arta menelpon Eva lebih dulu menanyakan kondisi cewek itu sekarang. Apakah masih sibuk dengan urusan rumah tangganya itu atau sudah selesai. Hari pun sudah siang, sesuai dengan perjanjian Arta pada Eva sebelumnya bahwa ia akan datang ke rumah Eva sekarang ini.Saat panggilan terangkat, terdengar suara malu-malu Eva yang menyapanya. Arta tersenyum mendengar itu. "Lo hari ini ke sekolah nggak buat latihan atau belajar gitu untuk olimp MTK besok?"Di sana Eva mengernyit bingung Arta menanyakan hal itu padanya. "N
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments