Share

04 Umpan

"Selamat ya, Van. Atas jabatan barunya." Ucap Mila di sela mereka menikmati batagor. Vanessa tersenyum, lalu menyedot es jeruknya untuk membantu jalan batagor itu melewati tenggorokannya. "Tapi gue masih ragu, La. Secara gue bukan anak basket di sini."

"Sekarang emang enggak, tapi dulu lo pernah."

Vanessa berjalan buru-buru menuju ruang kesiswaan, setelah namanya terpanggil melalui speaker yang berada di setiap kelas. Ia membuka pintu perlahan. "Kamu yang namanya Vanessa?" Tanya Pak Budi, guru kesiswaan.

"Iya, Pak. Ada apa, ya, saya dipanggil?"

"Kamu tahu 'kan, sekarang sedang pencarian ketua tim basket putri?" Vanessa mengangguk.

"Jadi, kepala sekolah di sekolah kamu sebelumnya merekomendasikan kamu untuk menggantikan posisi Yuna. Kebetulan beliau kakak ipar saya, tidak sengaja saya cerita-cerita dan ternyata beliau tahu kamu. Kenapa kamu tidak lanjutkan dengan mengikuti ektra basket di sini?" Tanya Pak Budi. Vanessa seperti cacing kepanasan karena sudah tahu mau kemana arah pembicaraan ini.

"Soalnya saya mau jadi murid biasa aja, Pak. Sebelumnya, saya sudah tertinggal banyak materi pelajaran karena disibukkan dengan turnamen-turnamen," jawabnya spontan. Karena hanya itu jawaban yang paling logis.

"Tapi saya butuh kamu untuk menggantikan posisi Yuna. Kamu tahu sendiri, sekolah kita ini terkenal dengan basketnya."

"Aduh gimana, ya. Secara saya bukan anak basket, dan pasti banyak anak lainnya yang sudah mengikuti basket berharap bisa ada di posisi ini. Sedangakan saya, ikut ekstra saja tidak." Vanessa memainkan jarinya di bawah meja, berharap semoga mulutnya ini tidak salah ceplos.

"Baiklah, setelah pulang sekolah nanti, kamu akan saya tandingkan dengan Yuna, tentunya diawasi pelatih basket kita."

"Apa Kak Yuna mau?" Tanyanya hati-hati.

"Bapak rasa mau, jika hanya untuk melihat kemampuan kamu."

"Baik, Pak."

"Oke. Nanti kamu pulang dulu, ganti pakaian, lalu balik ke sini. Nggak keberatankan?" Vanessa mengangguk, lalu pamit undur diri.

"Ragu kenapa lagi sih, Van?"

"Lo tau, La, gimana sangarnya Yuki cs."

"Lo takut sama Kak Yuki?" Tanya Mila sambil melepas kacamatanya dan mengelap pelipisnya dengan tisu.

"Yang nggak mungkin 'lah. Jiwa bar-bar udah melekat di diri gue sejak masih jadi zygot, gue cuma males aja kalo sampe ada ajang jambak-jambakkan, nggak lucu. Kharisma gue turun. Gue yakin nih, setelah ini dia bakal labrak gue,"

Sore itu, setelah Revan pergi dari halaman rumahnya, Vanessa segera berganti jersey, jersey yang sudah lama ia museum-kan dalam almari, kini keluar lagi. Jersey kebanggaan pada masanya, dengan nomor punggung 61, di atasnya terukir nama 'Hillaby'. Cewek itu segera menuju lapangan basket yang di sana sudah ada Yuna sedang mengobrol sesekali tertawa bersama, Vanessa kira itu pelatih basket putri, dari pakaiannya sudah jelas. Ia masih muda, lumayan tampan, badannya apa lagi, bagus. Mereka segera bangkit setelah kedatangan Vanessa. "Hai, Kak." Sapanya ketika sudah berada di depan mereka.

"Hai, Van. Kenalin, ini Bang Lian. Pelatih basket putri." Vanessa menjabat tangan pelatih basket itu, dia tersenyum, ternyata dari dekat lebih tampan apalagi kalau senyum.

"Vanessa,"

"Lian,"

Bola basket berulang kali masuk ke dalam kandang, diiringi suara peluit yang nyaring. Lapangan yang sedikit basah karena gerimis, membuat sepatu mereka berdecit tapi tetap harus hati-hati. Yuna tidak banyak beraksi, ia hanya membuat Vanessa mengeluarkan triknya. Boleh juga. Kuncir kuda Vanessa menari kesana kemari, mengikuti gerak kakinya yang gesit. Gerimis tidak menyurutkan semangat keduanya.

"Yuna, hati-hati!" Teriak Lian. Yuna menoleh, lalu tersenyum dan segera merebut bola dari kendali Vanessa, mengagalkan ambisinya untuk menembak bola ke dalam ring.

Permainan selesai dalam waktu 45 menit dengan tiga kali istirahat. "Lo hebat, Kak. Kenapa bisa lengser?" Tanya Vanessa sambil membuka air mineralnya.

"Ada hal yang murid-murid lain nggak tau." Ucapnya tersenyum lalu menatap Lian, ia juga membalas dengan senyuman. Vanessa memincingkan matanya, ada yang nggak beres.

"Kecewa memang, sempat ada penyesalan juga di awal. Tapi lama kelamaan, gue mulai terbiasa. Btw, lo juga hebat. Gue aja kualahan." Vanessa hanya menyengir.

"Strategi lo mempertahankan bola bagus. Pertahankan." Ucap Lian, Vanessa hanya mengangguk.

"Kami balik dulu. Yuk, Na." Ucap Lian, menunggu Yuna yang membereskan barang-barangnya.

"Kalian bareng?" Tanya Vanessa polos.

"Searah." Jawab Yuna sambil melambaikan tangannya.

Brak!

Bunyi pintu dihempas secara kasar, membuat murid-murid di dalamnya cukup terkejut. "Mana yang namanya Vanessa?!"

"Di sini." Seperti dugaannya, Vanessa yang baru datang dari kantin langsung disambut Yuki. Mila menahan tangan Vanessa agar tidak meladeninya.

"Ada apa, Kak Yuki? Mau ngucapin selamat ke Vanessa, ya? Aduh, makasih. Terharu deh," ucap Vanessa yang ternyata menyulut emosi Yuki.

"Besar juga nyali, lo?" Vanessa memejamkan matanya saat Yuki ingin melayangkan tangannya ke pipi Vanessa. Tapi lengannya dicekal oleh seseorang.

"Stop, Kak!" Mila, gadis itu yang menahan lengan Yuki.

"Eh, si cupu. Kalian tuh friendship goals banget, ya? Sampe lo, cewek cupu, berani sama gue?!" Yuki menepis cekalan Mila kasar.

"Pasang telinga lo baik-baik ya, Kak Yuki. Walaupun Mila cupu, tapi dia punya akal, tau tatakrama, tau unggah-ungguh." Ucap Vanessa menggenggam tangan Mila.

"Tatakrama? Unggah-ungguh? Lo pikir kita hidup di lingkungan kraton?" Yuki tertawa remeh diikuti kedua temannya, Lisa dan Zila.

"Satu lagi, dia punya IQ tinggi. Nggak kayak lo, ndelosor! Ngesot, tuh." Semua mulai tertarik pada pertikaian Yuki dan Vanessa karena gadis itu berani melawan Yuki. Yuki menatap Vanessa tajam. "Pemenang sejati, akan lapang dada menerima kekalahannya. Sedangkan pecundang, apapun yang terjadi, tetap akan tertanam dendam di dadanya. Itu pepatah lama, dan lo nggak tau? Jangan-jangan lo nggak pernah baca buku, nggak pernah dapet wejangan, nggak pernah dapet siraman rohani, ya?"

"Van, udah." Ucap Mila berbisik. Memang Vanessa ada dendam kesumat dengan Yuki, sejak dulu masa orientasi. Tapi ia tidak mau cari masalah kalau tidak ada yang memulai duluan.

"Gue cuma kasihan sama dia, La. Enggak ada orang yang memotivasi kayaknya, karena semua orang takut." Habis sudah kesabaran Yuki, ia menarik rambut Vanessa yang tergerai. Vanessa yang tak terima langsung membalas, semua murid yang ada di kelas itu bersorak, ada juga yang mengambil video.

"Aduh Vanessa udah, dong. Eh, Ahmad, ini bantuin. Ketua kelas gimana, sih?" Ahmad selaku ketua kelas langsung turun tangan, dengan terpaksa meninggalkan game onlinenya.

"Stop!" Revan datang seperti pahlawan kesiangan karena berhasil menghentikan acara jambak-jambakan antara Yuki dan Vanessa.

"Apaan, sih? Berantem kayak anak kecil."

"Dia dulu yang mulai, Van. Aku bela diri dong,"

Vanessa berdecih.

"Siapa yang mulai duluan?!" Tanya Revan kepada semua yang menyaksikan.

"Kak Yuki!" Jawab semuanya kompak.

"Yuki, lo tuh udah kelas 12. Seharusnya lo kasih contoh yang baik, bukan malah ngajak ribut kayak gini. Banyak-banyakin minta maaf ke adek kelas, biar mereka mau bantu doa kelancaran ujian kita." Yuki yang kena semprot Revan, malu setengah mati.

"Gue bakalan bilang ke papi." Ucapnya lalu meninggalkan kerumunan. Vanessa mengernyit, memang siapa ayahnya?

"Papinya pemilik restoran Deburo, bintang lima." Seolah tahu isi pikiran Vanessa, Mila berbisik.

"Apalah daya bokap gue yang cuma supir!" Teriak Vanessa, Yuki masih dapat mendengarnya. Jelas.

"Udah kalian bubar!" Usir Wisnu kepada anak-anak yang masih setia jadi penonton.

Vanessa merapikan rambutnya. Entah dorongan dari mana, Revan menyelipkan anak rambutnya sambil mendekat, dari samping terlihat seperti ia sedang mencium Vanessa, padahal tidak. "Gue tunggu pulang sekolah, di lapangan basket." Bisiknya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status