Share

Bab 3. Akhirnya Bertemu

Keyko Khayang Gumelar, sudah sampai di depan rumah yang cukup sederhana, tapi suasananya cukup asri. Disapukan matanya ke sekeliling rumah itu. Tampak hening dan senyap. Padahal hari baru mau menjelang magrib.

Dengan gesture tangannya, anak buah Keyko sudah paham apa maksud bosnya. Segera di langkahkan kakinya menuju pintu rumah itu.

Dan sekali ketuk, pintu itu sudah terbuka.

"Eh-hh, Kalian! Mau apalagi? Bukankah semua sudah selesai. Hutang Saya sudah lunas, kan?!" teriakku histeri di depan pintu, berusaha menutup rapat-rapat pintu rumah ku. Namun sayang kekuatan mereka lebih kuat. Akhirnya aku kalah.

"Juragan mau ketemu dengan kamu!" ucap saha seorang, anak buah penagih hutang itu.

Aku terkejut. Sesaat, aku terdiam. Dan kulayangkan pandangan ku jauh ke depan ke halaman rumah. Ada sosok tinggi tegap dengan rambut cepak pendek dan postur tubuh aduhai. Sudah dapat di pastikan pria itu tampan meskipun tampak dari belakang.

"Mau ngapain lagi? Urusan kita sudah selesai, kan?" ucapan yang bernada pertanyaan itu malah membuat ke dua penagih utang itu beringas.

"Halah-hh, ikut aja napa! Susah banget!"

Tiba-tiba mereka menyeretku dengan paksa. Aku memberontak dan meronta ketika ke dua laki-laki itu menyeret dan menarik ke dua tanganku.

"Lepasin, napa!" teriakku tepat di belakang laki-laki yang disebut juragan itu. Sang juragan tiba-tiba membalikkan badannya.

Deg! 

Seperti pernah lihat wajah ini. Wajah tampan, hidung mancung, binar matanya, itu lho! Ya ampun! Kayak orang bule. Badannya atletis banget bikin aku halu. 

Ku tarik napas sedalam mungkin, supaya kehaluanku ini selesai. Aku kemudian menggelengkan kepala. Mungkin aku salah lihat.

Kutatap wajah pria itu. Pria yang sudah berumur dan tidak bisa dibilang muda lagi. Pria yang seharusnya sudah matang untuk berumah tangga dan pastinya sudah seharusnya punya anak.

Aku menelan salivaku ketika laki-laki tampan itu melihat menatap mata ku. Spontan ku tundukkan wajahku. Rasanya nggak kuat lama-lama bertatapan sama dia. Bisa jatuh cinta nanti.

Sedang, laki-laki di hadapanku ini. Merubah ekspresi mukanya yang dari amarah menggebu-nggebu jadi melunak dan kalem. Entah apa penyebabnya.

"Ka-mu, cari Aku?" tanyaku gugup mencoba mencairkan suasana. "Untuk apa, bukankah urusan kita sudah selesai?" lanjutku sambil memberanikan diri menatap mukanya.

Herannya, cowok itu hanya diam seribu bahasa tanpa berniat menjawab pertanyaanku. Lama-lama aku jadi jengah juga dengan suasana itu.

Karena nggak ada jawaban juga dari laki-laki itu, akhirnya aku melakukan pergerakkan. Aku memutar arah tubuhku untuk masuk ke rumah. Ngapain coba aku di luar rumah malam-malam gelap begitu. Hanya saja sinar bulannya indah banget. Jujur aku baru kali ini lihat bulan purnama di tengah halaman rumah bersama laki-laki yang entah siapa itu.

Dah persis kayak orang pacaran lagi berantem. Diam-diaman nggak jelas apa masalahnya.

Ketika aku mau melangkah, tiba-tiba tangannya dengan cepat mencekal tanganku. Kaget campur deg-degan, aku melihat reaksinya.

"Apaan sich?! Lepasin! Sakit!" kataku sambil meringis dan kembali menghadap ke arahnya.

Dia hanya datar menatapku. Bahkan lebih berkesan dingin, persis mayat hidup. Karena nggak ada yang mau dia ucapkan, aku memberontak dari cekalannya yang sakit.

Uh! Sakit pergelangan tanganku. Kukibas-kibaskan tanganku bekas cekalannya dia. Lantas dengan kesal aku melanjutkan langkahku masuk ke rumah. Tapi lagi-lagi, dia menyakiti aku. Kali ini dicengkramnya rahangku dengan keras.

"Akh-hh!" Otomatis aku berteriak keras dengan kesakitan.

"Apa-apan sich ini?!" ucapku di dalam genggamannya.

Entah setan apa yang merasukinya, dengan reflek wajah tampannya berubah menakutkan dengan seringai di sudut bibirnya yang menyeramkan. Tiba-tiba aku bergidik takut.

Ada apa sama laki-laki ini. Datang tak diundang dan hanya diam membisu ketika berhadapan denganku. Sekarang malah bersikap frontal dan bertingkah menakutkan.

Apakah laki-laki ini phisycophat? Ih! Buluku tiba-tiba meremang. Tubuhku mencoba beringsut mundur. Tapi apa dayaku. Cengkramannya pada rahangku begitu kuat dan sakit. Tanpa aku minta ada air mata sudah meleleh dari sudut mataku.

Entah karena kesakitan apa ketakutan.

"Apa kamu benar-benar tidak mengenalku?!" Suara itu terdengar geram dengan gigi gemeletuk menahan marah.

Untuk pertama kalinya dia mengucapkan kata-kata yang membuat aku menciut seketika. Aku mencoba mengamati wajahnya dengan serius. Memang seperti aku pernah bertemu dengannya. Tapi di mana?

Dengan kesakitan aku menggelangkan kepala.

"Hah ...!"

Dengan marah dia menghempaskan aku dan melepaskan cengkramannya pada rahangku. Aku sempat terhuyung sesaat. Kemudian dengan cepat aku menguasai diri biar nggak jatuh ke tanah.

Laki-laki itu masih dengan kemarahan maksimal mendekatiku kembali dan berusaha meraih lenganku. Aku berusaha mengelak, alhasil tangan kekar itu gagal menarik lenganku.

Ada kekesalan mutlak di wajahnya, karena aku memberontak dengan perlakuannya.

"Apa kamu ingat, kertas apa ini?" 

Dia tiba-tiba menunjukkan selembar kertas putih yang sudah kucel karena diremas-remas. Kertas yang lebih mirip dengan selembar cek.

"Cek!" Tiba-tiba ingatanku kembali ke malam laknat itu. Aku beringsut mundur seolah tak percaya. Kubungkam mulutku dengan ke dua tanganku saking nggak percayanya aku dengan kenyataan itu.

"Sudah ingat sekarang, siapa Aku?" ucapnya bernada pertanyaan sambil mendekati aku. Tubuhku bergetar dan beringsut mundur dengan sendirinya. Tanganku tiba-tiba thremor.

Aku panik, bingung apa yang harus aku lakukan. Mau pegangan, pegangan apa saking aku gemetarannya. Mau lari itu hal yang tidak mungkin. Pasti dengan cepat dia akan menangkapku dan mencincang-cincang tubuhku seperti kemarin malam.

Akh-

Ingat kemarin malam membuat dada ku sesak. Kalau mau jujur sebenarnya aku begitu terkesan terhadap laki-laki ini. Dia sebenarnya laki-laki yang bisa memperlakukan perempuan. Kenyataannya, meskipun dalam keadaan mabok, dia bisa membuatku menikmati permainan malam itu. Menerbangkanku seperti ke langit ke tujuh.

Bahkan bukan seperti aku ini melayaninya karena aku di beli olehnya. Tapi karena seperti kami ini sepasang kekasih yang sedang di mabok cinta. Dan ternyata, aku harus terima kenyataan. Bahwa orang yang sudah mengambil mahkotaku adalah orang yang sudah menculik adikku dan membeliku dengan cek seharga 100 juta.

Oh, Tuhan ...! Apa ini namanya? Takdirkah? Begini amat takdir aku.

"Mau lari kemana kamu?" ucapnya geram sambil meraih tubuhku yang sedari tadi sudah gemetar. Jantungku berdetak kencang ketika tubuh kecilku sudah ada dalam dekapannya dengan erat. Rasanya seperti aku tidak bisa bernapas.

"Apa ini akal-akalan kamu aja agar aku menukar badanmu dengan uang 100 juta dan kamu bisa membebaskan adikmu? Licik sekali kamu, wahai perempuan?!"

Sumpah! Aku benar-benar takut melihat mimik mukanya yang menyeramkan itu. Apa lagi suaranya terdengar begitu menakutkan.

Dengan ketakutan yang luar biasa aku menggelengkan kepala.

"Aku be-nar-benar tidak tahu, kalau kamu yang menculik adikku." suaraku bergetar. Sedari tadi dari sudut mataku sudah meleleh buliran-buliran kristal bening yang tanpa kuminta sudah membasahi pipi ku.

Laki-laki itu semakin mengetatkan dekapannya. Wajahku bersentuhan dengan wajahnya. Hidungku menyentuh hidungnya, bahkan napasnya seolah-olah menyatu dengan napasku. Kupejamkan mata sesaat dan menahan napas sebentar karena degub jantungku sudah tidak terkontrol. Bukan karena ketakutan atau kesakitan dengan perbuatannya. Tapi karena ada getar aneh di hatiku ketika kami bersentuhan.

******

BERSAMBUNG

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Ucing Ucay
semangat thor...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status