Share

Bab 4. Perasaan Yang Aneh

Masih dalam dekapannya, aku merasakan getaran hebat. Degub jantung seperti genderang perang. Tanganku yang thremor, tak bisa berpegangan sama badannya. Kubiarkan terkulai lemas di samping kanan-kiri badanku. Sedang wajahku sudah menyatu dengan wajahnya. Mataku masih terpejam halus. Tapi bibirku, entah kapan sudah merasakan sesapan dan lumatan yang begitu nikmat. Aku terbawa, aku terhanyut, hingga terdengar lenguhan dari bibirku. Begitu aku menikmatinya. Sampai lupa diri. Dia siapa dan aku siapa.

Rasanya aku seperti tak rela ketika laki-laki tampan itu menyudahi ciuman panas itu. Melepaskan bibirnya dari bibirku. Dengan masih terpejam di seka bibirku yang basah dengan tangan kekarnya dan terdengar bisikan mesranya yang mebuatku berubah ekspresi seketika.

"Sudah jangan nganga begitu, malu dilihat anak buahku. Kalau masih mau kita ke hotel lagi."

Deg! Jantungku seakan mau copot mendengar kata-kata itu. Seketika aku buka mataku. Laki-laki itu menatapku dengan tatapan menggoda.

Kegarangan di mukanya beberapa menit yang lalu seakan sirna. Yang ada sekarang, wajah tampan nan teduh itu, seakan mengkoyak-koyak hatiku  sampai-sampai mau robek, saking aku terpesona dengan ketampanannya itu. Tapi ... jangan senang dulu itu hanya bertahan beberapa saat.

Semenit kemudian, wajah itu kembali menjadi galak dan dingin.

Lagi-lagi aku menciut di buatnya. Aku menundukkan wajahku. Kembali tangan thremorku, mencari pegangan.

"Aku tak akan pernah melepaskanmu!" ucapnya sarkas, membuat ku merinding. Diraihnya daguku, dan ditenggelamkannya bibirnya disela-sela rahangku yang runcing. 

Ciuman itu sedikit dipaksakan, karena aku tidak siap sama sekali dengan sikap frontalnya. Kembali disesapkannya lidahnya kedalam mulutku. Agak tersengal nafasku menerima ciuman panasnya. Kali ini dia yang begitu agresif, diraihnya tubuh kecilku, di dekapnya erat hingga benar-benar aku tidak bisa bernapas. Aku tersengal dan terbatuk. Sesaat kemudian dia melepaskan ciuman dan dekapannya. Aku terhempas, terhuyung linglung.

Kebringasan wajahnya bak laki-laki brengsek yang setiap malam mencari mangsanya. Tiba-tiba aku merasa sangat membencinya, dengan perlakuanya terhadapku. 

Ada yang kurasakan di bibir sensualku. Rasa sakit dan perih. Hisapan dan sesapan bahkan gigitannya luar biasa. Tidak mungkin bisa aku lupakan. 

Laki-laki itu berjalan ke arahku. Dengan spotan aku beringsut mundur. Tanpa aku sadari gerakan cepatnya sudah menangkap tubuhku kembali ke dalam dekapannya.

Oh Tuhan! Lagi-lagi aku tertangkap. Aku tidak mau jadi budak 100 jutanya. Bagaimanapun aku harus memperjelas kondisi ini.

Dengan sedikit berontak aku berusaha melepaskan diri darinya.

"Mau ngapain kamu, mau lari lagi dariku?" Suara tenornya terdengar di malam yang kian larut itu.

Hampir beberapa jam kami ada di luar rumah. Malam yang sebenarnya indah dengan sinar bulan yang begitu terang, bulan purnama. Ada sosok bayanganku dan bayangannya, juga ke dua anak buahnya yang menjauh pergi melihat juragan kayanya melakukan hal yang feminim terhadapku.

Aku menggeleng tegas. Entah keberanian dari mana aku bisa melakukan pemberontakan itu.

"Aku nggak mau jadi budak 100 juta kamu!" ucapku tajam, kuberanikan menatap matanya. Sebelum dia memotong omonganku aku sudah star duluan.

"Masalah cek 100 juta itu, kita sudah sepakat, sudah tawar menawar dan kita setuju dengan transaksi itu! Jadi kamu nggak punya hak lagi mengungkit apalagi menjadikan uang 100 juta itu untuk memanfaatkanku. Itu sudah jadi hak aku dan aku juga sudah mengembalikan kewajiban ku punya hutang 100 juta padamu!"

Jelas! Pria itu melotot dan membulatkan bola matanya. Mendengarkan kalimatku yang panjangnya seperti rel kereta api itu. Bahkan aku tidak bernapas mengucapkan kata per kata itu. Supaya tidak di selah sama dia.

Dengan napas tersengal aku mengakhiri semua ucapanku. Kulihat pria itu hanya diam termangu. Padahal aku sudah waspada barang kali dia kan bersikap frontal lagi.

Lama pria itu terdiam. Aku sempat melirik ke arahnya. Sebenarnya aku takut dengan kondisi tadi, tapi aku modal nekat biar nggak diinjak-injak lagi sama dia. Memang malam itu aku nekad menggadai kevirginanku dengan cek 100 jutanya. Tapi demi Tuhan aku nggak pernah ingin bekerja seperti itu.

Malam itu aku sudah kalut nggak punya jalan keluar. Itupun dia juga yang bikin aku masuk ke keperangkap laki-laki hidung belang seperti dia. Seandainya saja dia nggak menculik adikku, nggak mungkinkan, aku nekad sampai nyari uang dengan cara begitu.

Setelah lama tidak ada reaksi dari dia, aku melenggang saja masuk ke dalam rumah meninggalkannya, tanpa pergerakan untuk menangkapku lagi.

******

Seperti biasa, cafe pasti mulai rame, di jam-jam istirahat siang. Aku sudah mepersiapkan semuanya. 

Gelak tawa terdengar dari meja sebelah, meja langgananan para lelaki jomblo yang sudah berumur. Sebenarnya nggak tua-tua amat sich, sekitar 30-35 tahun. Tapi bagiku pria segitu sudah matang. Bukan waktunya ngumpul-ngumpul lagi, berhaha-hihi seperti kurang kerjaan.

Aku sebenarnya kurang respect dengar orang-orang yang mendamba kebebasan seperti itu. Seolah-olah kurang punya tanggung jawab menurutku. Pengennya bebas tanpa batas. Tanpa aturan, tanpa larangan. Bahkan bisa menghalalkan berbagai cara agar kebebasan itu mutlak milik masing-masing pribadi.

Seperti biasa, aku membawa beberapa minuman dingin yang bersoda ke meja no.7 dan beberapa makanan ringan. Seperti biasa pula, aku tidak pernah melihat tamu-tamu yang datang ke cafe, ketika aku sedang melayani mereka. Entah itu cuma membawakan minuman atau makanan ringan.

Seperti siang ini juga. Walaupun sekelompok laki-laki berumur itu memandangiku seperti menelanjangi aku. Aku whatever aja. Memang ku akui hari ini aku agak feminim. Pakai rok diatas dengkul mini dan atasan agak ketat. Ternyata itu mengundang mata para tamu singgah menatap penampilanku.

Aku sendiri juga nggak tahu, kenapa tiba-tiba aku pengen banget berpenampilan feminim banget hari ini.

Kutaruh minuman itu satu per satu lalu yang terakhir aku menaruh makanan ringan itu tepat di hadapan laki-laki yang aku yakin sudah dari tadi menatapku seperti kucing kelaparan.

"Maaf, makanannya." ucapku sambil menaruh makanan yang terakhir di dekat minuman dingin itu. 

Tapi tiba-tiba tanganku sudah dicekal dengan paksa oleh seseorang yang sedari tadi menatap dan memperhatikanku. Tindakannya itu mengundang reaksi teman-temannya.

"Bos! Apa yang sedang kamu lakukan?" Salah satu temannya bertanya dengan kebingungan, melihat sikap laki-laki ini.

Dengan keberanian maksimal aku tatap wajah laki-laki itu dan berusaha melepaskannya. Alangkah kagetnya aku ketika menyadari siapa laki-laki itu. Aku sudah tidak dapat berkutik.

"Ternyata dia?" gumsmku dalam hati.

Tanganku tiba-tiba thremor tanpa kuminta. Bahkan cekalan itu semakin di eratkan. Sudah dapat dipastikan wajahku sudah pucat pasi.

"Kamu, ikut Aku!" titahnya yang tidak mungkin aku lawan. 

Aku mengikuti gerakan langkahnya tanpa berusaha melepaskan cekalannya lagi. Terseok-seok aku mengikuti langkahnya yang begitu cepat. Tepat di sebelah taman cafe dia menghentikan langkahnya. Hampir saja aku terjerembab menubruk badannya.

"Maksud kamu apa dengan berpakaian begini?" tanya tanpa basa-basi lagi. 

Aku agak bingung dengan pertanyaannya. Memangnya kenapa dengan pakaianku? Toh masih dibatas kesopanan. Kenapa dia yang posesif, yang atur-atur aku harus berpakaian bagaimana. Memang dia siapa aku? 

Dengan bersungut-sungut aku terus ngedumel, tentunya hanya di dalam hati. Nggak mungkinkan aku teriak-teriak marah padanya. Yang ada aku jadi tontonan orang se-rt.

"Mau pamer sama kaum laki kamu punya body bagus, tubuh aduhai! Atau mau tebar pesona sama setiap laki-laki biar bisa kamu ajak ke hotel seperti kemarin!"

Eh! Ini mulut laki kok lemes amat, kayak nggak pernah di sekolahin aja. Aku menggeram dalam hati.

Aku berusaha menggerakkan tanganku yang masih dicekal dia untuk menampar mulutnya. Tapi nggak berhasil. Cekalannya terlalu kuat.

"Nggak usah berusaha namoar mulut Aku. Apa yang Aku katakan itu fakta!" ucapnya dengan nada tegas.

"Tidak! Aku tidak pernah berpikir bekerja begitu. Itu sudah jelaskan kenapa aku berbuat begitu di hotel sama kamu?!" ucapku membela diri.

"Kalau kamu nggak mau aku sebut perempuan seperti itu, maka jangan berpakaian seperti ini?!"

"Lho! Kenapa? Inikan masih sopan, tidak melanggar batas kesopanan, tidak telanjang!" ucapku sarkas membela diri.

"Lagian Kamu siapa Aku, seenak-enaknya mengatur Aku harus berpakaian bagaimana?!"

"Kamu mau tahu Aku ini siapa Kamu?" ucapnya sambil mendekatkan wajahnya padaku. Kembali jantungku berdegub kencang seperti kemarin.

"Orang yang tak akan pernah melepaskanmu sedetik pun!"

Oh! Lemes badanku mendengar ucapannya yang begitu menakutkan. Kenapa aku harus berurusan dengan orang yang jiwanya sakit seperti ini.

Dengan sekali sesapan lidah itu sudah sampai di tenggorokanku. Mengkorek semua isi mulutku. Di hisapnya dalam-dalam lidahku, sampai rasanya luar biasa sakitnya. Kembali aku tersengal dengan perlakuanya padaku. 

Kulihat senyum kepuasan di sudut bibirnya. Aku bilang. Laki-laki ini, sakit! Sakit mental!

******

BERSAMBUNG

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status