Share

Chapter 2. Bloody Prank!

FALL

Gadis itu tersenyum, lalu mengedipkan sebelah matanya.

Padaku?

"Dia mengedip padaku, Man," sambung Cody.

"Nah--tidak. Sudah jelas aku yang tepat sejajar dengannya. Dia mengedip padaku, tahu!" balas Nick.

Gadis itu bertolak pinggang, mengedip lagi sambil menunjukku.

Aku menoleh ke kiri dan kanan. Ternyata semua serigala merasa--gadis itu mengedip dan menunjuk pada mereka.

Apa aku yang terlalu percaya diri?

Atau mereka?

Kepala gadis itu miring ke kiri, memanggilku dengan menjentikan telunjuknya.

"Aku?" Cody menunjuk dirinya sendiri, tapi gadis pirang itu menggeleng. Kami semua jelas menertawainya.

Akhirnya aku dan Nick menunjuk diri sendiri dengan bersamaan. Gadis itu tergelak, karena serigala lain ikut menunjuk diri sendiri.

Masa bodoh deh, dipilih atau tidak, aku memutuskan menghampiri gadis yang sekarang sedang tersenyum dan mengangguk padaku. Astaga, mimpi apa aku semalam? "Kau memanggilku?" cengirku.

Mata yang sebiru bunga cornflower di halaman rumah ibuku itu membulat, tersenyum, lalu mengangguk.

Sudah pasti dia terpesona dengan aksenku.

Terdengar erangan dan sumpahan di belakang sana yang membuatku tergelak dan gadis di hadapanku tersenyum.

"Hai, aku Fall Reed," aku mengulurkan tanganku, "penduduk baru Manhattan."

Dia tersenyum, menyambut tanganku, lalu menunjuk tenggorokkannya.

"Lagi sakit?"

Dia menggeleng tapi mengangguk, lalu menunjuk tempat duduk yang kosong.

"Astaga, di mana kesopananku. Ayo kita duduk!" 

Dia memberikan senyuman angelic. Otomatis aku membalasnya dengan senyuman-desahan, dan sekuat tenaga menahan diri untuk tidak merangkul pinggangnya yang bergaun merah muda--saat kami berjalan ke sofa di dekat bar.

"Mau minum apa?" tanyaku.

Gadis cantik ini mendesah sambil memejamkan mata, lalu membukanya dan mata kami beradu. "Moiho."

"Apa?" 

"Mo-hii-ho." Dia mengucapkannya sepatah-sepatah dengan mata berkaca-kaca.

Tubuhku mendekat. "Aku enggak mengerti. Kau lagi sakit tenggorokan, ya?"

Dia kembali memejamkan mata dan menarik napas dalam-dalam, tangannya merogoh sesuatu di dalam tas abu-abunya. Ternyata dia mengeluarkan buku kecil merah muda dan menulis sesuatu di sana. Tak lama kemudian dia memperlihatkan padaku.

- Aku mau mojito. Setelah itu, mau nggak, kita pergi ke suatu tempat?

Suatu tempat? "Ke mana?" senyumku.

Dia menggigit bibir merah seksinya dengan cara mengundang yang membuatku menelan ludah.

Astaga, gadis-gadis New York benar-benar serba cepat.

Aku menggeleng-geleng. "Apa kau yakin?"

Tangannya membelai cambang yang baru tumbuh di pipiku. Sudah jelas aku merinding kenikmatan.

Aku masih terpaku. Tidak menyangka dengan keberuntunganku. 

Atau ini...?

"Bloody prank! Di mana kameranya?" Mataku menyapu sekeliling. "Aku bukan lelaki murahan!" Dia tertawa tanpa suara, memperlihatkan gigi putih yang tidak simetris di bagian depan bawahnya. "Nggak mungkin gadis yang hella beautiful sepertimu, datang ke bar ini sendiri, dan dan langsung memilih pria dengan jentikan jarinya. Ini pasti ada yang tidak beres!"

Dia cukup lama menulis sesuatu di buku kecilnya, lalu memperlihatkannya padaku.

- Ini bukan prank, & nggak ada kamera di sini!

- Aku kemari ada janji dengan temanku. Saat mencarinya, mata kita beradu. Selanjutnya itu terjadi begitu saja. Aku juga nggak tahu.

Aku terus menatapnya, mencari ada gerakan-gerakan aneh atau tidak. Dia hanya memiringkan kepalanya ke kiri, bibir penuhnya tetap tersenyum.

Bloody hell, dia serius, Fall!

"Sori," kugenggam tangannya dengan lembut, "aku pesankan dulu mojito-nya. Ada tambahan lain?"

"Hahos."

"Maksudmu, nachos?" cengirku. Dia mengangguk. "Astaga, kau pasti amat kesakitan, ya?"

Dia terdiam sejenak, lalu mengangguk.

"Tunggu sebentar." Aku memanggil pelayan wanita, kemudian menyebutkan pesanan kami. Lalu kami kembali bertatapan, saling tersenyum dikulum. "Suaramu, kenapa bisa habis begitu?"

Dia kembali memejamkan mata dan menarik napas dalam-dalam, kemudian membukanya dan kembali menulis di bukunya. Kali ini sebentar.

Saat membacanya, aku terkesiap. "Kau... tuli?"

Gadis di hadapanku mengangguk pelan, mata besarnya terus menatapku.

"Apa kau juga...?" Aku menunjuk bibirku dengan jantung berdebar kencang. 

Dia memiringkan kepalanya tampak seperti berpikir, lalu kembali menulis di buku merah mudanya sebentar, dan memberikannya ke tanganku. 

Setelah membacanya aku mengembuskan napas dalam-dalam. Siapa yang menyangka gadis secantik ini tuli dan bisu? Pasti sangat menderita. 

Kugenggam tangannya. Dahinya berkerut. "Aku menyesal mendengarnya. Maaf, aku nggak bisa bahasa isyarat. Tapi kau mengerti kan, pembicaraan kita?"

Dia kembali memiringkan kepalanya, mengangguk, lalu mengambil buku kecilnya dan menulis sesuatu di sana. Setelahnya, dia kembali memperlihatkan padaku.

- Ya, asal kau berbicara tidak terlalu cepat dan menghadap ke arahku. Kau nggak masalah, aku begini?

"Tidak masalah," balasku lambat-lambat. "Tapi aku benar-benar ingin tahu namamu." 

Dia tersenyum lebar, lalu kembali menulis. 

Pada saat bersamaan datanglah pelayan yang membawakan pesanan kami. Aku berterima kasih dan memberi tip.

"Silakan diminum," kataku.

Dia mengangguk, menunjuk buku kecilnya. Aku membacanya. "Sam," desahku, "nama yang indah. Sayang tidak punya nama panjang." 

Sam tersipu, lalu meneguk mojito-nya; sedangkan aku menuang Evian dingin ke dalam gelas. Lucunya, kami tidak melepas pandangan saat sedang meneguk minuman kami. Setelah itu, kami kembali tersenyum dikulum.

Aku berdeham. "Dimakan nachos-nya."

Sam mengangguk, merogoh sesuatu di tasnya. Ternyata hand sanitizer. Setelah menyemprotkan di tangannya, dia mulai mencomot nachos-nya.

Dan aku bersumpah, belum pernah melihat seseorang memakan nachos dengan cara seseksi Sam.

Sam menunjuk nachos-nya, lalu menunjuk bibirnya.

"Trims, aku sudah makan malam," senyumku. Dia membalasnya. "Kau asli dari New York?" Dia menggangguk, lalu menunjukku. Aku bersandar ke sofa. "Aku dari Chicago. Baru saja sampai pagi tadi. Aku bekerja di Andrew Davis Law and Partners sebagai pengacara. Kalau kau?"

Sam menghirup napas dalam-dalam. "Pe-u-iss."

"Apa?" Aku tidak bisa menahan kekehanku, untungnya dia tidak tersinggung, malahan ikut terkekeh tanpa suara.

Akhirnya, salah satu tangan Sam merogoh tasnya, mengambil tisu untuk mengelap tangannya. Dia kembali menyemprotkan hand sanitizer ke tangannya. Aku cuma terkekeh melihat kerepotannya. Dia menulis sesuatu di buku kecilnya, lalu menaruh ke tanganku.

"Keren. Buku apa saja yang telah kau terbitkan?"

Sam menulis lagi. Aku menoleh ke belakang, melihat teman-teman baruku yang memperlihatkan tampang bingung-penasaran padaku. 

"What the, hell, Dude?" tanya Nick tanpa suara. 

Dengan wajah berkerut, Cody malahan menulis di tangan dengan jarinya, lalu memaparkan kedua tangannya. "Apa?" 

Aku cuma memberi jempol pada mereka. Saat aku berbalik Sam memberikan senyuman semanis gula padaku, yang kubalas dengan cengiran.

Aku membaca lagi tulisannya. "Aku pernah baca salah satunya--yang ada di rak buku ibuku. Novel yang manis dan penuh dengan humor. Aku tersanjung, bisa bertemu dengan Sam Reese, penulis contemporary romance New York Times best seller."

Tangannya menempel di dadanya. "Eng-u."

Aku kembali terkekeh ketika dia mengatakan 'thank you'. "Maaf, bukan maksud meledek, tapi sangat menggemaskan saat kau mengatakannya."

Sam hanya menggeleng-geleng, senyuman tidak lepas dari bibir yang terbuat dari dosa dan gairah.

Kami berbicara lagi selama setengah jam berikutnya. Dia menyenangkan, kami juga lumayan nyambung. Namun kesabaranku juga diuji saat dia harus menuliskan semua jawaban dari beberapa pertanyaanku.

Sampai akhirnya dia menuliskan sesuatu yang membuat darahku berdesir saat itu juga.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status