Share

Chapter 3. Bloody One Night Stand

FALL

Aku menghirup napas dalam-dalam, menggosok-gosok telapak tanganku pada kain chino di pahaku. "Ayo ayo..." ajakku gugup, berdiri, dan mengulurkan tanganku yang langsung dia sambut dengan mata menari-nari. 

Saat yang bersamaan terdengar erangan di belakangku.

Ketika berbalik, aku disuguhi cengiran dan jempol dari Nick, juga gaya konyol Cody. Dan tentu saja tampang cemberut dari Lanie.

Bloody hell, aku benar-benar melupakannya. Dan ini semua gara-gara gadis yang tangannya sekarang berada di genggamanku. Aku balas memberikan jempol pada Nick dan Cody, sebelum kami berjalan ke luar dari RB.

Kuremas tangannya pelan. "Ke mana, kita? Aku belum punya tempat tinggal. Kamar temanku juga lumayan jorok. Gimana kalau tempatmu?"

Sam menggeleng. "O-té."

"Hotel? Di mana?" senyumku geli. Dia balas tersenyum, menunjuk ujung jalan, lalu belok kiri. "Jalan saja, nih? Atau naik taksi?"

Sam langsung menarik tanganku menyebrangi jalan. Kami terus tersenyum, tidak ada yang berbicara, dan hanya menikmati kebisingan Jalan Madison Avenue di malam Minggu--hingga kami tiba di hotel bintang empat, The Rogers.

Wangi jeruk yang menyegarkan tercium saat kami memasuki ruangan nyaman yang cukup luas, yang semuanya dikelilingi kayu, foto-foto, dan sofa beludru biru.

Aku memesan kamar premium terrace king pada resepsionis--yang sudah pasti terpesona pada Sam.

Entah kenapa, aku mulai melepas genggaman tangan Sam, dan merangkul pinggangnya. Untungnya dia menyandarkan kepalanya di bahuku hingga aku bisa memberikan seringaian sombong pada pria muda itu. 

Setelah itu, kami masuk ke dalam lift menuju lantai lima. Dadaku semakin berdentum tak karuan ketika membuka pintu kamar PH09. 

Aku mendesah perlahan saat masuk ke dalam kamar yang tidak terlalu besar yang herannya sangat nyaman. Sam malahan membuka heels abu-abunya, menaruh tasnya di ranjang, menggeser pintu kaca, lalu berjalan ke arah teras. 

Aku duduk di ranjang, lalu membuka sepatu kulit cokelat sambil memandangi tubuh langsing berlekuk Sam yang cukup tinggi. Beda dengan seleraku, yang biasa memacari gadis-gadis mungil. "Aku belum pernah melakukan ini sebelumnya."

Sam berbalik, matanya membelalak, lalu dia memberikan senyuman sekaligus menjentikan telunjuknya. 

Ada yang aneh dari gerak-geriknya. Apa dia bisa mendengar omonganku? Namun ketika dia kembali menjentikkan telunjuknya, aku mengenyahkan prasangka itu dan mendekatinya.

"Apa?" tanyaku.

Sam mengalungkan tangannya ke leherku, ternyata tingginya mencapai daguku. Dia mengecup hidung dan pipiku yang membuatku terkesiap. Kami bertatapan lagi, tersenyum dikulum. 

Bloody hell.

Seumur hidupku, belum pernah aku melihat kombinasi wajah cantik, manis, sekaligus menggemaskan seperti Sam.

Mata Sam berkedap-kedip, tangannya memainkan ujung rambutku, mungkin bingung dengan tatapanku.

Aku menghirup napas dalam-dalam. "Wangimu tubuhmu memikatku. Gula dan vanila, bukan?" Dia mengangguk, mengangkat rambutnya ke hidungku yang langsung kuhirup. Benar-benar memabukkan. Lalu kukecup pipinya, turun ke lehernya. Malahan membuatku semakin menggila.

Sam mendesah, menciumi rambutku. Jariku meraba denyut di lehernya, kembali menatap wajahnya, lalu mengecup hidung, juga bibirnya. 

Sekali.

Dua kali.

Yang ketiga kalinya, bibir kami mulai bermain. Rasanya lembut...

Bibir terlembut yang pernah kucium.

Lidahku mulai masuk ke dalam rongga mulutnya. Dia menyambutnya penuh semangat. Rasanya dingin...

Bukan mulut terdingin, tapi ada rasa mint dari mojito yang diminumnya.

Jari-jarinya meremas rambutku, mengerang pelan. Aku malahan meremas bokongnya, dan menggilas Warrior-ku ke perutnya. Tentu saja ciuman kami pun semakin menggelora.

"Ke dalam," gumamku di mulutnya.

Sam mengangguk, kembali menciumku dengan panasnya. Kami berjalan terantuk-antuk ke dalam kamar. 

Dia yang pertama tidur di ranjang, aku sedetik kemudian, dan langsung menciumi lehernya juga meremas payudaranya yang pas di genggaman tanganku.

 

Sam mengerang, tangannya mencoba melepas kemeja putihku. Dengan cepat aku melepasnya, memperlihatkan tubuh atletisku--lengkap dengan bulu halus kecokelatanku.

Mata Sam membulat, menggelap. Giginya menggigit bibir bawahnya, tangannya bergerak membelai bulu di perutku.

 

Perlahan.

"Aku menginginkanmu, Sam," geramku.

Sam tersenyum dengan seksinya, alisnya bertaut, lalu dia menunjuk kamar mandi. 

Aku mendesah. "Ya sudah, jangan lama-lama."

Sam mengedipkan sebelah matanya, duduk, lalu mengecup bibirku. Tidak, tapi melumatnya sampai aku kembali menggeram.

"Aku serius, jangan lama-lama, ya, kecupku di keningnya. 

Sam mengangguk, mengecup mataku, dengan cepat mengambil tasnya dan turun dari ranjang.

Bloody hell. 

Kecupan di kening.

Kecupan di mata.

Ini terlalu intim hanya untuk sekedar one night stand, kan?

Apa yang kau ketahui tentang one night stand dan tata caranya, Fall?

 

Bloody zero.

Aku melepas celana cokelatku, menggantungnya di lemari. Apa aku harus melepas boxer brief-ku juga?

 

Jangan!

Biar dia yang melepaskannya saja. 

Aku tersenyum sendiri menyetujui rencana barusan. Tapi masalah baru muncul, apa aku harus menunggunya di ranjang? Atau bersandar ke lemari sambil menyilangkan dada?

"Bollocks!" Aku menepuk dadaku, berbalik. "Kau mengangetkanku, tahu."

Sam tertawa.

Tawa yang cukup aneh. 

Tersendat-sendat dan parau.

Tapi kenapa Warrior-ku malah semakin membesar?

"Apa?" Aku bersandar ke lemari, supaya dia bisa mengagumi bentuk tubuhku.

Tawanya mereda, digantikan dengan sapuan matanya dari atas sampai ke bawah, lalu berhenti di Warrior-ku. 

"Menyukai apa yang kau tatap, Sugar?" cengirku. Pipinya merona, lalu menepuk dadaku. "Apa?"

Sam menunjuk selangkangannya. "Ed."

"Red." Aku menghela napas. "Kau lagi code red?"

Sam mengangguk, alisnya bertaut. "O-li."

"Tidak apa-apa," senyumku pilu. Memang ini terlalu bagus untuk menjadi kenyataan.

Sam mendekat, mengecup bibirku.

 "Whoa, apa ini?" Kupegangi kedua bahunya, "kau mau menyiksa kami berdua, apa?"

Sam tersenyum-menggeleng, lalu naik ke ranjang, dan masuk ke dalam selimut. Beberapa detik kemudian, terdengar suara dia menepuk kasur dua kali.

"Kau mau aku tidur di sampingmu?" tanyaku tidak percaya. 

Sam mengangguk. "Bi-ca-yaa..."

Dia ingin bicara? Apa dia tidak tahu kalau aku masih blue balls? "Aku butuh waktu." Aku kembali memakai kemejaku tanpa mengkancingkannya sambil berjalan ke teras. Baru saja aku akan duduk, terdengar suara bunyi loading game yang aku hapal betul.

Clash Of Clans.

Aku berbalik. Ternyata Sam sedang memencet-mencet layarnya. Dari suaranya, jelas dia sedang memanen elixir dan emas. Dengan cepat aku naik ke ranjang. "Aku nggak percaya ini. Kau suka COC?"

Sam mengangguk, lalu menunjukku.

"Absobloodylootely," cengirku. "Wow, keren, kau hampir TH13 maksimum."

Sam kembali menunjukku, lalu ke ponselnya.

"Aku masih TH11. Sebentar," aku mengambil ponsel di nakas. "Ini punyaku, Princess Sexy," godaku, menyebut nama akunnya.

Sam tersenyum lebar sambil melihat nama akunku yang sederhana, hanya FWR, dan sudah pasti melihat ke dalamnya. Dia mengacungkan jempol padaku.

Aku bersandar ke kepala ranjang, mengikutinya. "Trims, tapi punyamu lebih keren."

Sam mengangguk. "Wal."

"Yeah, aku ada war yang kedua. Yang pertama, aku cuma dapat dua bintang." Dia menunjuk dirinya sendiri, mengacungkan tiga jarinya, lalu menunjukku. "Kau mau war punyaku? Yakin akan tiga bintang?" Mataku menari-nari.

Sam langsung membuat pasukanku. Lalu dia memperlihatkan dirinya yang akan war di clan-nya. Kepalanya menyentuh bantal. Aku juga ikutan, penasaran dengan gaya bermainnya.

Ketika dia bisa membumihanguskan TH13 maksimum dengan gaya santai, aku hanya bisa berpikir, terlepas dari kekurangannya dan ketikmujuranku hari ini...

Sam gadis terkeren yang pernah kukenal.

•••

Kelopak mataku perlahan terbuka, gara-gara mendengar ketukan di pintu.

Tidak ada Sam di sampingku.

Mataku menyapu ruangan, dia tidak ada di teras. Apa mungkin di kamar mandi?

Buru-buru kupakai celana panjangku, lalu membuka pintu, menerima hidangan breakfast untuk dua orang, sekaligus senyuman lebar dari gadis petugas room service. Yeah, karena aku memberikan tip yang cukup besar, ditambah bonus melihat dada telanjangku.

Setelah menaruh hidangan kami di teras, aku mengetuk pintu kamar mandi beberapa kali. 

Tidak ada jawaban.

Perasaanku makin tidak enak ketika tidak terdengar suara air, atau kegiatan apa pun di dalam. Apa dia kabur begitu saja setelah semalaman kita...?

Bloody moron, Fall! Lihat... sepatu dan tasnya saja sudah tidak ada, kan?

Namun aku tetap membuka pintu kamar mandi.

Aku tertawa kering.

Gadis yang semalam kuanggap keren, hanya memperdayaiku, dan menganggap aku bukan....

Selamat datang di hutan belantara New York yang kejam, Fall!

•••

Sepanjang perjalanan pulang ke apartemen Corbin, aku berkali-kali merutuki ketololanku. 

Bloody one night stand.

Ketika aku memasuki apartemen Corbin, samar-samar terdengar suara musik mengentak, bertema campuran rap, tapi bukan musik berbahasa Inggris. Dan jangan lupa harum makanan yang benar-benar menggugah selera.

Yeah, karena terbawa kesal, aku tidak nafsu makan dan hanya menghabiskan kopi--di The Rogers. 

Ini jelas bukan pekerjaan Corbin.

Pasti teman seapartemennya yang memasak. Siapa namanya? Oh, Sam...

Aku mengerang dalam hati. Bahkan namanya saja sama--seperti Sam si penipu. Anehnya, tidak ada satu barang pun yang dia ambil, padahal jam tangan Omega-ku tersimpan di atas nakas.

Sudahlah, aku harus melupakannya. Kalau tidak, suasana hatiku pasti akan memburuk.

Aku mengangguk-angguk, menuang seteko teh panas ke dalam cangkir, lalu meniupnya sebentar dan menyesap sedikit-sedikit.

Terdengar nyanyian seseorang dari arah dapur. Yeah, suara Sam pada bagian yang bukan rap. Aku terkekeh geli sambil membawa cangkir tehku ke arah dapur. 

Apa yang kulihat benar-benar mengejutkanku. Mataku terbius dengan tarian Sam yang ala penari striptis kelas atas. 

Dia menghadap ke kompor, membelakangiku. Bokong penuhnya yang terbalut celana yoga--bergoyang sampai ke bawah lalu ke atas lagi. 

Luar biasa seksi. 

Dia menuangkan telur ke dalam wajan, mengecilkan apinya, dan kembali bernyanyi dengan parau menggunakan ujung sodet sebagai mikrofonnya sembari bergoyang dengan sensualnya. 

Rambut pirangnya dicepol, memperlihatkan leher yang jenjang. Aku yakin kalau vampir itu ada, pasti tidak kuat ingin menggigitnya. 

Bloody hell.

Jackpot untuk Corbin.

Ternyata Warrior-ku ikut mengedut. Benar, dia juga suka dengan atraksi Sam.

"Tehnya enak, dan tarianmu luar biasa sensual," celetukku serak.

Terdengar suara terkesiap dari Sam, lalu dia berbalik. 

"Kau!" teriak kami bersamaan.

Saking terkejutnya dengan apa yang kulihat, cangkirku sampai jatuh ke lantai.

Takdir senang mempermainkanku. 

Aku menyilangkan lengan di dada, berdecak. "Sam Reese, ternyata kau bisa mendengarkan musik, dan bernyanyi. Oh, jangan lupa, kau juga fück buddy sobatku," sindirku sesinis mungkin, "ada lagi yang perlu kutambahkan?"

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Kikiw
wkkwkwkw makan tuh Fall
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status