[Disclaimer: Cerita ini hanyalah fiktif semata. Tidak ada kaitannya dengan sejarah yang sesungguhnya.]
Tahun 643 Masehi, di tahun ketujuh belas kepemerintahan Kaisar Taizong sebagai kaisar generasi kedua setelah menggantikan posisi Kaisar Gaozu yang wafat dalam silsilah Dinasti Tang, Negeri Tiongkok yang besar itu mengutus seorang pendeta Budha bermarga Ma untuk mengunjungi kerajaan-kerajaan yang ada di sekitar Laut Melayu.
Pada masa itu, Kekaisaran Tiongkok telah maju pesat. Terutama dalam bidang seni, sastra, kebudayaan, dan militer.
Guru Ma, 50 tahun, begitu dia biasa disapa, diutus untuk mempelajari dan menerjemahkan berbagai Sutra yang tersebar di seluruh kawasan Aisa. Terutama, Asia Timur, Selatan, dan Tenggara.
Di saat yang bersamaan, Istana Terlarang digemparkan dengan kematian seorang gadis yang merupakan anak dari salah seorang selir Kaisar Taizong. Pelakunya adalah bernama Hoaren, kerabat dekat seorang kasim istana yang berjuluk Kasim Utara. Hoaren memperkosa dan kemudian membunuh gadis tersebut dalam upayanya melarikan diri.
Untuk memburu dan menangkap pelakunya, maka diutuslah dua orang yang merupakan pasangan romantis yang banyak diidolakan oleh masyarakat Tiongkok pada masa itu.
Seorang adalah Tuan Muda dari marga Feng yang berusia 25 tahun, putra dari salah seorang komandan militer kekaisaran. Dia seorang pemuda tampan dan gagah. Hanya dengan melihat dia berjalan saja, maka para gadis akan tersipu malu karena kharismanya.
Dan Nona Huang, 20 tahun, seorang gadis berparas jelita, telah banyak para lelaki yang jatuh hati dan tergila-gila padanya. Dia juga seorang kerabat jauh dari Kaisar Taizong sendiri. Sama seperti Tuan Muda Feng, Nona Huang juga sangat ahli memainkan pedang.
***
Sore di kawasan Yangjiang, berdekatan dengan sungai besar Moyang di sisi timur.
“Guru Ma, terima kasih karena telah mengikutkan kami dalam perjalanan ini.”
“Itu benar, Guru. Kami berdua sangat bersyukur. Ini adalah sebuah jalan kebaktian bagi kami pada Sang Budha.”
“Terberkatilah kalian berdua,” Guru Ma tersenyum. Meski telah sangat jauh berjalan, pria paruh baya itu masih saja terlihat segar. “Jangan berterima kasih padaku, A Mien, A Chen. Ini adalah takdir baik kalian. Dan aku, aku hanyalah perantara dari takdir itu sendiri.”
Dua biksu muda tersenyum, langkah mereka menjadi lebih ringan mengiringi Guru Ma. Satu di kanan, lainnya pula di kiri.
“Guru,” ujar A Mien. “Jika Guru merasa lelah, beristirahatlah barang sebentar. Aku akan memijit bahu dan kakimu, Guru.”
“Benar Guru,” kata A Chen pula. “Aku akan mencari makanan untuk kita bertiga.”
Tapi Guru Ma tahu lebih baik daripada itu. Di kawasan yang masih sangat sepi itu, tidak mungkin kedua muridnya akan mendapatkan sepotong mantau untuk mengisi perut mereka dengan mudah.
“Guru―”
Guru Ma mengangkat tangannya, menahan A Chen. Dan A Mien juga menghentikan langkahnya.
Dua biksu muda baru mengetahui alasan mengapa guru mereka berhenti setelah belasan orang yang mengenakan ikat kepala tiba-tiba muncul di hadapan mereka, berlompatan dari balik semak belukar dengan senjata di tangan masing-masing.
“Guru!” A Mien menelan ludah. “Siapa mereka?”
Guru Ma menghela napas dalam-dalam. Dia cukup tahu siapa orang-orang yang memperlihatkan raut bengis kepadanya dan dua muridnya itu, akan tetapi, dia tak hendak sembarang menuduh.
“Tenanglah,” ucapnya dengan tenang. “Jangan terprovokasi.”
Guru Ma maju dua langkah yang semakin membuat dua muridnya menjadi khawatir.
A Mien dan A Chen saling pandang sebelum akhirnya menyusul sang guru.
“Amitabha,” Guru Ma bahkan berlaku sangat sopan pada belasan orang bersenjata di hadapannya meskipun orang-orang itu terlihat sangat tidak bersahabat. “Salam. Adakah yang bisa aku bantu untuk Tuan-Tuan sekalian?”
“Biksu botak!” Seorang yang terdepan menghampiri Guru Ma. Dengan gayanya yang angkuh, dia memandang rendah sembari mengitari sang biksu.
“Hei!” A Chen maju selangkah. “Jaga ucapanmu terhadap guru kami!”
“A Chen.”
Satu sahutan kecil dari Guru Ma telah mampu membuat A Chen untuk menghentikan keinginannya mendamprat si pria angkuh.
“Guru?”
“Mundurlah.” Guru Ma masih saja tersenyum. Lalu kembali pada pria yang mendelik padanya. “Apa yang kau inginkan dariku, Tuan?”
“Kami mendengar kau adalah seseorang yang diutus oleh kaisar bodoh itu.”
“Kau benar-benar lancang!” A Chen mengepal tinjunya.
“A Chen,” lagi-lagi Guru Ma memberi amaran pada muridnya dengan suara lembut. “Apa yang akan kau lakukan?”
“Tapi Guru, dia sangat kurang ajar!”
“Kau ingin melawanku, hah?” Pria tersebut terkekeh, lalu memandangi rekan-rekannya, dan rekan-rekannya tertawa-tawa. “Biksu muda?”
“A Chen,” kata Guru Ma, lagi. “Sesuatu yang keras hanya akan menghasilkan kehancuran bila kau paksakan dengan yang keras pula.”
“Guru …” Meski A Chen sangat geregetan namun dia lebih memilih untuk menuruti ucapan sang guru.
“Tuan,” Guru Ma kembali pada pria di hadapannya. “Kau benar. Yang Mulia Li Shimin memang mengutusku untuk mengunjungi Kerajaan Swarnadwipa di Laut Melayu,” lanjutnya dengan menyebutkan nama kecil Kaisar Taizong.
Pria dengan ikat kepala itu terkekeh lagi dan teman-temannya tertawa-tawa.
“Katakan saja apa yang kalian inginkan?” A Mien maju selangkah. “Kalian sudah menghalangi perjalanan suci guru kami.”
“Oh, kau si kecil ini!” Pria dengan pedang besar di tangannya itu menyeringai memandangi A Mien. “Kau hanyalah debu. Jadi, jangan bicara bila tidak kuminta. Paham?”
“Tuan,” kata Guru Ma. “Murid-muridku masihlah belia. Tolong jangan diambil hati.”
“Oh, kau si tua botak ini ternyata lebih memahami keadaan, hah?” Pria itu menjulurkan tangannya. “Berikan padaku. Buntalan yang kalian bawa, berikan!”
“Kau―”
Guru Ma lagi-lagi menahan gerakan A Chen. “Tuan,” lanjutnya pada pria di hadapannya. “Aku hanyalah seorang biksu yang mengabdi pada Sang Budha. Aku tidak mungkin berbohong. Jika yang kau cari adalah uang dan harta, maka kau tidak akan mendapatkan apa-apa dari kami.”
“Aku tidak ingin mendengar ocehan seorang biksu botak dan pembohong sepertimu, kau mengerti?” Pria itu semakin menjadi-jadi dengan menghardik Guru Ma. “Berikan sekarang juga, atau kau akan tahu apa yang akan terjadi!”
“Tuan, kau tidak perlu―”
“Guru, maafkan aku!”
Wuush!
A Chen melompat dan lantas menyerang si pria kurang ajar tersebut dengan jurus cakarnya.
“Shan cai, shan cai, shan cai …” Guru Ma menundukkan wajah kesedihannya.
A Mien memerhatikan sang guru dengan gelisah. Namun itu hanya sesaat sebelum dia memutuskan untuk membantu A Chen.
“Cakar apa yang kau gunakan, hah?” Pria dengan ikat kepala menyeringai sembari melompat santai ke belakang menjauhi serangan A Chen. “Cakar anjing?”
Dan disambut gelak tawa oleh rekan-rekannya.
A Mien datang membantu A Chen dan perkelahian pun pecah. Jiwa dua biksu muda itu yang masih mentah hanya dapat disesalkan oleh Guru Ma.
Belasan jurus telah berlalu dengan dua biksu muda kini dikeroyok beberapa orang sekaligus.
Satu, dua, tiga, hingga bertubi-tubi pukulan dan sabetan senjata tajam menghiasi tubuh kedua biksu muda.
Desg! Desg!
Bruuk!
A Mien dan A Chen terhempas di depan kaki Guru Ma dengan kondisi yang sama terluka parah.
“Gu-Guru …” Tangan A Chen yang terjulur itu akhirnya terkulai, terhempas seiring nyawanya melayang.
“Ma-Maafkan aku, Guru …” A Mien tersedak dan menyeburkan darah kental dari mulutnya, kemudian tergeletak mati.
Guru Ma sungguh bersedih dengan apa yang menimpa kedua muridnya.
“Shan cai, shan cai … Kenapa kalian memilih takdir yang buruk?” suara Guru Ma bahkan terdengar serak menahan tangisnya. “A Mien, A Chen?”
“Biksu keparat!” Pria yang sama menunjuk Guru Ma dengan ujung pedangnya. “Berikan buntalanmu itu atau aku tidak akan segan-segan mengirimmu ke Raja Akhirat!”
“Siapa yang berani mengusik Guru Ma?”
Pria tersebut dan lebih dari selusin rekan-rekannya sama kebingungan. Suara seorang pria itu terdengar menggema dari segala arah.
Wuush! Wuush!
Swiing!
Pria yang sepertinya adalah pimpinan kawanan tersebut dengan cepat melontarkan tubuhnya ke belakang.
Crasss!
Dia dan semua temannya membelalak ketika melihat sebuah goresan panjang dan dalam terbentuk di permukaan pasir.
Dan bertambah terkejut ketika melihat siapa yang muncul di hadapan mereka kini, sepasang pendekar yang akhir-akhir ini menjadi buah bibir masyarakat.
“Tuan Muda Feng,” ucapnya dengan mencoba tetap gagah. “Nona Huang. Kenapa kalian berdua bisa berada di sini?”
“Apakah kami butuh izin dari kalian?” Nona Huang menghunus pedangnya.Swiing!Dan lantas menyerang selusinan orang yang telah membunuh dua murid Guru Ma.Sementara itu, Feng menyarungkan kembali pedangnya, dan bergegas menghampiri Guru Ma.“Shan cai, shan cai …” Guru Ma masih tertunduk menatap jasad A Mien dan A Chen.Feng memeriksa kondisi kedua biksu muda yang berlumuran darah. Dia mendesah panjang. Yaah, mereka telah mati, pikirnya.“Guru Ma, maafkan aku, tapi kedua muridmu …”“Amithaba,” Guru Ma sedikit membungkukkan badannya. “A Mien dan A Chen telah memilih takdir mereka. Tidak ada yang bisa kulakukan untuk itu selain membacakan Sutra untuk arwah mereka.”Swiing!Crasss!Gerakan pedang bergagang merah di tangan Nona Huang begitu terfokus dan terarah, laksana tarian seekor Phoenix Api yang begitu indah. Sekali gerakan saja, dua penjahat terkapar dengan tubuh dipenuhi sayatan luka, menggeliat sesaat, lalu mati.“Pe-Pedang Surga!” Si pemimpin kawanan penjahat menelan ludah dengan w
“Guru Ma,” Tuan Muda Feng menunjuk ke arah timur. “Lihat! Di sana ada sebuah dermaga kecil dan dua kapal.” Guru Ma bersama Feng dan Huang berdiri di atas sebuah bukit pasir, di antara rumput dan ilalang yang tumbuh tidak begitu rapat. “Ayo, Guru Ma,” Huang mempersilakan sang biksu senior untuk melangkah terlebih dahulu. “Silakan.” “Shan cai, shan cai … Aku merasa senang ditemani oleh Nona Huang dan Tuan Muda Feng yang terkenal. Akan tetapi, aku takut merepotkan kalian berdua. Jadi, kurasa sebaiknya di dermaga itu nanti adalah perpisahan kita.” Huang melirik sang kekasih, begitu juga sebaliknya. “Guru Ma, Anda tidak perlu sungkan,” balas Feng dengan lembut. “Lagi pula, bukan satu kebetulan jika aku dan Nona Huang juga berada di kawasan Yangjiang ini.” “Shan cai, shan cai …” Guru Ma mengangguk-angguk. Pasangan muda dan menarik hati itu sudah membantu Guru Ma dalam mengkremasi jenazah dua biksu muda sebelumnya. Juga, dengan mayat-mayat penjahat yang terbunuh dalam pertarungan merek
“Hei!” Seorang pemuda berdiri dan menatap pada semua orang, pun begitu sebaliknya. “Sepertinya aku mendengar tentang hal ini kemarin dari seorang yang datang dari Daratan Tengah.”“Nah, itu dia!” Hoaren tersenyum lebar, umpannya telah dimakan oleh seseorang. Ini akan lebih mudah lagi, pikirnya.Jika seseorang di antara mereka yang berbicara, maka besar kemungkinan orang-orang itu akan percaya. Hal inilah yang hendak dimanfaatkan oleh Hoaren.“Lalu, apa hubungannya dengan kami?” tanya si pria dengan golok besar di bahunya, lagi. “Apa yang ingin kau sampaikan, hah?”“Hadiah!” Hoaren berkata dengan sangat percaya diri.“Hadiah?” Orang-orang kembali saling pandang.“Ya, hadiah yang besar!” balas Hoaren. “Sangat besar!”“Itu benar!” timpal si pemuda yang tadi. “Aku tidak tahu pastinya, tapi, menurut orang-orang Tengah itu, wang emas yang sangat banyak.”Dan tampaknya hal ini telah mengusik pikiran semua orang. Terlebih lagi, rata-rata mereka adalah masyarakat menengah ke bawah. Tentu saja,
Kelompok pria bergolok lebar melirik tajam pada Haoren.“Apa jawabanmu hei, A Niu?!” Pria bergolok lebar sepertinya pemimpin bagi rekan-rekannya.Hoaren tersenyum lagi meski dalam hati dia mengutuk habis-habisan si perempuan tua yang dengan satu dan lain alasan seolah selalu menentang ucapannya.Kubunuh kau nanti, perempuan tua keparat!“Apakah kau tahu siapa pendeta itu, Nenek?” Hoaren membalikkan pertanyaan untuk menutupi kekesalannya.“Tentu saja aku tidak tahu. Kau yang seharusnya memberi tahu pada kami!” kata si nenek dengan wajah tak senang. “Cih, kau tidak punya sopan santun sama sekali terhadap wanita tua sepertiku!”“Dia adalah seorang Pendeta Budha sesat!” Hoaren menebar lagi fitnahan lainnya di atas fitnah pertama. “Kalian pernah mendengar bahwa di wilayah Barat ada segerombolan Pendeta Budha yang menyiksa pengikut Tao, bukan?”Mendengar itu, orang-orang di sana yang rata-rata berkepercayaan Taoisme menjadi geram dengan sorot mata dipenuhi hawa membunuh yang kuat.Ya, Hoare
Sementara itu, Feng mengernyitkan dahi ketika melihat salah satu dari dua kapal di dermaga telah berlayar terlebih dahulu.“Oh, tidak!” ucapnya. “Salah satu kapal telah berangkat!”“Shan cai, shan cai …” Guru Ma tetap bersabar sebagaimana dengan sifatnya sendiri.“Tidak perlu khawatir, Kakak Feng,” ujar Huang sembari membimbing Guru Ma dari sisi kiri. “Sungai Moyang termasuk salah satu jalur yang sibuk. Pasti akan ada kapal-kapal lainnya yang datang dari arah utara.”“Yah …” Feng mendesah halus. “Semoga saja.”“Amitabha,” Guru Ma tersenyum tipis. Dia dapat menangkap kegelisahan di diri Feng meskipun pemuda itu sudah berupaya menyembunyikannya. “Tuan Muda Feng.”“Guru Ma?” Feng sedikit membungkuk dan terus membimbing guru besar tersebut dari sisi kanan.“Tidak ada yang perlu dikhawatirkan,” lanjut Guru Ma pada Feng. “Tidak perlu tergesa-gesa. Jika memang sudah ditakdirkan, kau dan Nona Huang pasti akan bisa menemukan Hoaren. Mungkin dia berada di kapal itu, mungkin pula tidak. Manusia
“Adik Huang, apakah kau membutuhkan bantuanku?”Huang tersenyum tanpa berpaling menanggapi tawaran dari Feng. “Tidak,” ucapnya seraya memutar dan mengarahkan pedangnya ke depan. “Kurasa cukup aku saja. Kau lindungi saja Guru Ma, Kakak!”Pria besar dengan golok lebar terkekeh dengan tatapan membunuh yang kental terhadap Huang.“Kau sungguh takabur, Nona,” ucapnya. “Kuakui, kau menggunakan pedangmu dengan baik. Tapi, jangan besar kepala dulu!”Dia tiba-tiba melakukan gerakan melompat. Meski berbadan besar, namun gerakannya terlihat cukup ringan, pertanda dia menguasai ilmu meringankan tubuh yang baik.Swuung!Golok panjang dan lebar berdengung keras ketika diayunkan pemiliknya.“Berikan nyawamu, Nona manis!”Huang melompat ke kiri untuk mengindari serangan tebasan tersebut, sementara Feng membawa Guru Ma melompat ke sisi kanan.Crass!Satu garis lebar dan panjang terbentuk di permukaan tanah. Seandainya Feng tidak awas dengan membawa Guru Ma menjauh, mungkin angin tebasan itu juga akan
Swiing!Tring! Tring!Feng mampu menepis tiga jarum beracun yang dilepas si pria kurus ke arah Huang, bahkan masih sempat untuk membalikkan serangan.Wuush!Crass!Sebuah gerobak kayu terpelanting dan terbelah dua, tepat di belakang posisi si pria kurus menghentikan langkah sesaat sebelumnya.Beberapa penduduk yang berada di sekitar gerobak langsung tunggang-langgang dengan menjerit keras. Mereka bergidik membayangkan serangan Feng barusan mengenai tubuh mereka.“Amitabha …” Guru Ma sedikit lega atas kelihaian Feng menggunakan jurusnya hingga tidak salah sasaran.Pria kurus menggeram menatap pada gerobak yang kembali terhempas ke tanah.“Kau menggunakan jarum beracun,” ucap Feng dengan nada datar pada si pria kurus, “apakah itu sikap seorang pendekar? Menggunakan racun?”“Tutup mulutmu!” balas si pria kurus dengan membentak. “Untuk seorang laki-laki hina sepertimu, apa pun pantas dilakukan!”“Hina?” Feng mengernyit dengan kepala sedikit miring.“Bukankah kau laki-laki yang menyukai se
Crass! Crass!Wanita kedua mengertakkan rahang, lalu melontarkan tubuhnya jauh ke belakang.“Keparat kau!” geramnya dengan tangan yang memegang pedang lentur terkulai sebab dihiasi begitu banyak luka dan mengalirkan darah, menetes ke permukaan tanah.Huang menyeringai tipis dengan mengibaskan pedangnya ke samping.Bersamaan dengan serangan balasan dari Huang pada wanita kedua, pria kurus yang berlindung di antara penduduk kembali melancarkan serangannya pada Feng.Feng berkelit ke sana kemari sembari memikirkan satu cara untuk melumpuhkan si pria kurus tanpa harus melukai orang-orang di sekitar.Dia melompat lagi ke belakang sembari mengibaskan pedang bergagang birunya.Tring!Jarum terakhir berhasil ia tepis dan lenyap ke dalam tanah.Feng menjejakkan kaki ke tanah dengan posisi setengah berlutut dan pedang mengembang ke samping. Dia tersenyum tipis dan telah meraih sebuah kerikil kecil dengan tangan kirinya tanpa diketahui oleh si pria kurus.Pancingan Feng berhasil. Pria kurus meng