Share

Sang Phoenix Api

Author: Minang KW
last update Last Updated: 2023-07-15 02:57:17

“Apakah kami butuh izin dari kalian?” Nona Huang menghunus pedangnya.

Swiing!

Dan lantas menyerang selusinan orang yang telah membunuh dua murid Guru Ma.

Sementara itu, Feng menyarungkan kembali pedangnya, dan bergegas menghampiri Guru Ma.

“Shan cai, shan cai …” Guru Ma masih tertunduk menatap jasad A Mien dan A Chen.

Feng memeriksa kondisi kedua biksu muda yang berlumuran darah. Dia mendesah panjang. Yaah, mereka telah mati, pikirnya.

“Guru Ma, maafkan aku, tapi kedua muridmu …”

“Amithaba,” Guru Ma sedikit membungkukkan badannya. “A Mien dan A Chen telah memilih takdir mereka. Tidak ada yang bisa kulakukan untuk itu selain membacakan Sutra untuk arwah mereka.”

Swiing!

Crasss!

Gerakan pedang bergagang merah di tangan Nona Huang begitu terfokus dan terarah, laksana tarian seekor Phoenix Api yang begitu indah. Sekali gerakan saja, dua penjahat terkapar dengan tubuh dipenuhi sayatan luka, menggeliat sesaat, lalu mati.

“Pe-Pedang Surga!” Si pemimpin kawanan penjahat menelan ludah dengan wajah pucat. “Ternyata rumor itu benar. Dia menguasai jurus sakti yang langka itu!”

“Ketua!” Seorang mendekat padanya. “Apa yang harus kita lakukan sekarang?

Akan tetapi, demi tidak dipandang sebelah mata, alih-alih disangka sebagai seorang pecundang, sang ketua justru memaksakan kawanannya untuk menyerang Nona Huang.

“Bagaimanapun, kita harus mendapatkan emas itu demi meneruskan perjuangan kita!” ucapnya dengan mencoba terlihat gagah. “Jangan takut. Jumlah kita lebih banyak. Serang betina itu!”

Nona Huang yang berpakaian didominasi warna merah seperti gagang dan sarung pedangnya itu menyeringai tipis.

“Jangan kira aku akan ragu-ragu pada kalian,” gumamnya dengan mengibaskan pedangnya ke samping.

Swiing!

“Dasar sisa-sisa kaum pemberontak, lihat seranganku!”

Wuush!

“Tuan Muda Feng,” ujar Guru Ma. “Kenapa tidak membantu Nona Huang?”

“Tidak apa-apa,” Feng tersenyum saja menanggapi. “Nona Huang akan tidak suka bila aku membantu dia tanpa dia minta. Jangan khawatir, Guru Ma. Nona Huang tidak akan mudah dikalahkan begitu saja.”

“Shan cai, shan cai …” Guru Ma mendesah panjang. “Bukan Nona Huang yang aku khawatirkan, Tuan Muda. Pedang Surga adalah jurus yang sangat mematikan, bagaimanapun, meski mereka adalah orang-orang yang telah berbuat dosa, nyawa mereka tetaplah berharga.”

Feng menghela napas yang dalam. “Saya yakin Nona Huang memahami itu, Guru Ma. Akan tetapi, menilik dari pakaian dan ikat kepala yang mereka gunakan, mereka pasti sisa-sisa dari pemberontak Dinasti Sui.”

“Amithaba … rencana langit tak dapat diperkirakan, takdir buruk sepertinya akan membasahi tanah ini.”

Pemuda berpakaian serbabiru sebagaimana dengan gagang dan sarung pedangnya itu hanya bisa terdiam merenungi kata-kata Guru Ma. Dia memahami bahwa ada alasan baik tersendiri di balik kekhawatiran Guru Ma meskipun orang-orang yang menjadi lawan Nona Huang dapat dikatakan bukanlah orang-orang baik.

Akan tetapi, menumpas habis pemberontak Dinasti Sui terhadap Dinasti Tang memang harus dilakukan. Setidaknya, agar Dinasti Tang terus berjaya dan tidak menyengsarakan rakyat jelata akibat dari aksi pemberontakan itu sendiri.

Inilah yang menjadi kemelut dalam pikiran seorang Tuan Muda Feng. Terlebih lagi, dia berada di pihak Tang sebab Nona Huang adalah kerabat jauh Kaisar Taizong, Kaisar Tang generasi kedua. Dan gadis jelita itu adalah tunangannya.

“Ini seperti memakan buah simalakama.”

“Shan cai, shan cai …” Guru Ma juga mengetahui hal ini dengan sangat baik. Dan memaksakan kehendak kepada orang lain, itu bukanlah ajaran yang ia dalami selama ini.

Triing! Tring!

Wuush!

Hujan pedang, golok, dan tombak tidak menyurutkan langkah Nona Huang. Dia menahan semua itu dengan merendahkan tubuhnya, dan melintangkan pedangnya di depan tubuhnya hingga serangan-serengan itu tak menyentuhnya sedikit pun.

Yah, bertarung di tempat terbuka jauh lebih baik daripada bertarung di dalam sebuah ruangan. Feng yang menyaksikan sang kekasih bertarung hanya bisa menghela napas dalam-dalam.

Dengan sangat lihai, Nona Huang memutar tubuh lebih rendah, bertopang satu tangan ke permukaan tanah, dan satu kakinya terjulur dalam gerakannya berputar tersebut.

Wuush!

Duakh! Duakh!

Tiga orang terpental dan lainnya melompat jauh ke belakang demi menghindari serangan balasan Nona Huang.

Swiing!

“Jangan gentar!” teriak si pemimpin penjahat. “Serang dia terus! Siapa pun di antara kalian yang berhasil menjatuhkannya, maka dia lah yang akan pertama kali memperkosa Nona Huang yang cantik jelita itu sampai puas!”

Sang gadis menyeringai tipis, lalu melentingkan tubuhnya lebih tinggi di saat para penjahat itu semakin terpancing untuk menyerangnya dengan lebih ganas.

“Cih! Dasar penjahat rendahan bermulut kotor!” gumamnya.

“Serang!”

“Tangkap dia!”

“Tangkap gadis itu!”

Di saat tubuhnya masih mengambang di udara, Nona Huang mengambangkan kedua tangannya, dan itu terlihat laksana seekor Phoenix Api yang sedang merentangkan sayapnya lebar-lebar.

Dalam kecepatan yang sulit diikuti oleh mata biasa, Nona Huang mengibaskan pedang merahnya ke arah para penjahat yang melesat ke arahnya.

Swiing!

“Jatuhkan dia―” Si pemimpin penjahat tercekat dan membelalak melihat jurus tebasan yang dikeluarkan oleh Nona Huang.

Dia masih sempat untuk menghentikan gerakannya, lalu memanfaatkan seorang rekannya dengan menjejak bahu dan kepalanya, si pemimpin penjahat lantas melentingkan diri ke arah belakang, bersalto beberapa kali hingga kembali menjejak tanah.

Crass! Crass!

“Cakar Phoenix Menghujani Bumi!” Pimpinan penjahat mereguk ludah, wajahnya bertambah pucat.

Bilah pedang merah di tangan Nona Huang seakan menjadi banyak, berlipat ganda dalam gerakan jurusnya. Seperti hujan pedang yang menghunjam bumi. Enam penjahat terkena serangan itu, terkapar dan tewas dengan tubuh tercabik-cabik.

“Shan cai, shan cai …” Guru Ma kembali bersedih. Kematian demi kematian sepertinya sudah tidak terhindarkan lagi dan menjadi satu kepastian. Dan hal ini semakin membuatnya bersedih hati.

Sementara itu, Feng hanya bisa berdiri mematung saja di samping sang guru besar.

“Ketua?!” Seorang penjahat segera bangkit setelah bergulingan di tanah demi menghindari hujan serangan yang mematikan dari pedang di tangan sang gadis. “Ketua?!”

“Bagaimana ini, Ketua?” tanya yang seorang lainnya pula. “Gadis itu ternyata punya jurus yang mengerikan! Ketua?”

Nona Huang menjejak tanah dan kembali melancarkan serangan dengan membuat gerakan menebas ke arah kanan, pada tiga-empat penjahat yang berdiri di sana.

Swiing!

Tiga orang mencoba menahan deru angin tajam yang dilepas Nona Huang bersama pedang merahnya.

Seorang dengan menancapkan tombaknya ke tanah, seorang menahan angin tebasan itu dengan goloknya, dan seorang lainnya menahan dengan pedangnya.

Crass! Crass!

Tidak satu pun dari senjata mereka yang mampu bertahan. Tombak, pedang, bahkan golok yang tebal sekalipun, putus dimakan angin tebasan pedang Nona Huang, berikut dengan mereka sendiri. Ketiganya tewas dengan tubuh terpotong dua.

Si pemimpin penjahat telah lebih dahulu lari lintang-pungkang, meninggalkan orang-orangnya yang masih hidup begitu saja.

“Ketua?!” Seorang pria tercekat dengan wajah pucat pasi. Tidak menunggu lama, dia pun melarikan diri dari sana.

“Lari!” teriak yang lainnya. “Ketua melarikan diri. Ayo, selamatkan diri kalian!”

Penjahat-penjahat yang tersisa tidak seberapa itu memutuskan untuk melarikan diri, berpencar-pencar ke segala arah, menyusul ketua mereka yang telah lebih dahulu menyelamatkan diri.

“Dasar tikus-tikus pengecut!” Nona Huang menendang patahan tombak di tanah.

Takh! Takh!

Jlept! Jlept!

Dua penjahat lagi tewas dengan punggung tertusuk patahan tombak, melenguh pendek, dan ambruk ke tanah.

“Amithaba …” Guru Ma menghela napas dalam-dalam.

Saat Nona Huang mendekatinya, sang biksu senior berkata, “Nona Huang, kenapa harus sekejam itu? Bukankah mereka sudah lari ketakutan?”

“Guru Ma,” Nona Huang mencoba menenangkan hatinya. “Orang-orang seperti mereka akan sangat sulit untuk bertobat. Pasti akan ada kejahatan-kejahatan lain yang akan mereka lakukan. Daripada berjudi dengan hal semacam ini, bukankah lebih baik menuntaskan saja sampai ke akarnya?”

“Shan cai, shan cai …” Guru Ma menundukkan pandangan. “Masa depan tidak ada yang tahu. Langit terlalu tinggi untuk ditakar.”

“Guru Ma,” Tuan Muda Feng mencoba untuk mengalihkan pembicaraan. “Maafkan kelancanganku. Akan tetapi, bukankah akan lebih baik kita mengurusi mayat-mayat mereka untuk saat sekarang? Terutama, mayat dua murid Anda ini?”

“Amithaba …”

Tuan Muda Feng saling pandang dengan Nona Huang. Bagaimanapun, mereka menghormati Guru Ma sebagaimana Kaisar Taizong sendiri juga menghormati beliau.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Feng Huang - Kitab 3: Pedang Surga   Kondisi yang Berbeda

    “Yah, di sini memang pas untuk dijadikan tempat beristirahat,” ucap Dangmudo Basa.Puncak perbukitan rendah terlihat memang bergelombang, akan tetapi, secara garis besar justru terlihat rata.“Lihat!” dia menunjuk ke arah tenggara. “Ujung perbukitan ini sepertinya melandai.”Puti Champo tidak begitu menggubris sang Putra Mahkota, dia terlihat asyik memandangi bebungaan liar di sekitar.“Baiklah,” Kirawah mengangguk. “Saya dan Kanteh akan mencari kayu bakar untuk membuat perapian.”“Mungkin pula ada kelinci-kelinci liar yang hidup di atas sini,” sambung Kanteh pula. “Setidaknya, sesuatu untuk kita makan malam ini.”Dangmudo Basa mengangguk dan kedua pengawalnya itu berpencar.Meski pepohonan besar tidak banyak yang terlihat di sana, tapi pastinya akan ada ranting-ranting mati yang bisa digunakan.“Aku tidak pernah tahu tempat ini sebelumnya,” sang Putra Mahkota melirik pada Saliah.Si pemuda lugu menghela napas lebih dalam. “Sa-Saya juga tidak,” balasnya. “Ta-Tapi … mungkin disebabkan

  • Feng Huang - Kitab 3: Pedang Surga   Bukan Sebuah Perlombaan

    “Me-Mereka pasti tidak mau jauh-jauh dari Pu-Putra Mahkota.”“Aah!” sang gadis mengangguk-angguk menanggapi ucapan Saliah.“Kau keberatan?” Dangmudo Basa tersenyum lebar sembari meluruskan punggung. “Nona Champo?”“Dasar manja!” kikik sang gadis. “Kemana-mana harus dikawal.”“Ayolah, Nona,” balas sang Putra Mahkota dengan wajah sedikit merah. “Beri sedikit muka untukku di sini. Lagi pula, sudah menjadi tugas mereka untuk selalu mendampingiku. Aku sendiri pun tidak bisa berbuat apa-apa.”Puti Champo terkikik tanpa suara seraya mengendikkan bahu.“Paduko,” ucap Kirawah begitu dia dan Kanteh telah berada di dekat Dangmudo Basa. “Lain kali, jangan pergi begitu saja.”“Ya!” Kanteh mengangguk-angguk. “Setidaknya, tolong pikirkan juga nasib kami jika hal semacam ini diketahui oleh Datuak Rajo Tuo.”Dangmudo Basa menyeringai pada Puti Bungo, “Kau dengar itu?”“He-emm, terserah!” jawab sang gadis acuh tak acuh.Dia melangkah ke sisi barat telaga.“Hei, hei!” Dangmudo Basa langsung menyusul. “J

  • Feng Huang - Kitab 3: Pedang Surga   Di Bukit Tiga Puluh

    “Tidak ada lagi yang tersisa di sini!” Kanteh mengangkat tangannya tinggi-tinggi. “Kita turun sekarang!”Salah satu pengawal Putra Mahkota Minanga membawa sekitar seratus orang prajurit bersamanya menuruni lereng perbukitan, dari sudut utara.Sementara Kamba yang berada di sudut timur perbukitan besar itu juga melakukan hal yang sama, bersama seratus prajurit bersamanya.Juga, Kirawah di sisi barat dengan seratus prajurit yang mengikuti perintahnya.Mereka baru saja selesai menyisir semua sisi dari kawasan Bukit Tiga Puluh. Tidak ada lagi penjahat-penjahat di bawah pimpinan Amugar alias si Mata Malaikat yang bersarang ataupun bersembunyi di kawasan itu.Bahkan goa besar dan alami yang menjadi markas Amugar beserta kroni-kroninya juga ditemukan dan telah disisir dengan baik.Para prajurit membawa semua barang-barang milik Penjahat Bukit Tiga Puluh. Mulai dari perhiasan perak, emas, kain-kain sutra, dan benda-benda berharga lainnya.Barang-barang tersebut sejatinya adalah hasil rampasan

  • Feng Huang - Kitab 3: Pedang Surga   Tapak Suci Bodhisatva

    Dengan menahan geram dan kekesalan luar biasa terhadap Hoaren, Daiyun mengangkat jasad sang kusir.“Apa yang harus aku lakukan, Guru?”“Amitabha,” sahut Guru Ma. “Orang-orang di Swarnadwipa lebih suka menguburkan jasad daripada mengkremasinya.”Sang Biksu Muda langsung mengerti apa yang harus dia lakukan.Akan tetapi, langkahnya tertahan sebab Hoaren melesat ke arahnya dengan melancarkan serangan dahsyat.“Kau tidak perlu menguburkan bangkai pria itu, Biksu busuk!”Wuush!Daiyun membelalak sebab mengenali jurus telapak yang dilepas oleh Hoaren.“Kau―”Teph!Hoaren sempat terkejut ketika mendapati jurus telapaknya ditahan seseorang, dan seseorang itu adalah Guru Ma sendiri.Dia menyeringai.“Sudah kuduga!”“Kau berlebihan, Tuan Muda Zhou,” ucap Guru Ma yang beradu telapak tangan kanan dengan telapak tangan kanan Hoaren. “Sangat berlebihan, shan cai, shan cai.”Swoosh!Dhumm!Akibat paksaan pada tekanan tenaga dalam oleh Hoaren, kekuatan itu pecah dan mementalkannya beberapa langkah ke

  • Feng Huang - Kitab 3: Pedang Surga   Tidak Pandang Bulu

    “Saya tidak yakin apakah di orang yang kalian kejar,” ujar Galang. “Akan tetapi, kendatipun dia menutupi sebagian wajahnya dan mencoba mengubah gaya bicaranya, saya masih bisa menduga bahwa dia bukanlah pribumi Sriwijaya.”Feng dan Huang saling pandang.“Tidak mungkin tidak,” Huang terlihat begitu geram. “Kak Jian, aku yakin, dia pasti si Hoaren!”Sang suami menghela napas dalam-dalam.“Aku juga berpikiran yang sama,” tanggapnya. “Komandan Galang … tidak ada orang yang mengenal kami di Swarnadwipa ini, kecuali mereka yang telah menjadi sahabat baru bagi kami. Terlebih lagi, seseorang dari Tiongkok. Selain Guru Ma dan Biksu Muda bernama Daiyun itu, tidak ada.”“Zhou Hoaren itu orang yang sangat licik,” sambung Huang pula pada sang komandan. “Dia sangat berbahaya!”Galang mengangguk-angguk dengan tangan merangkap di dada.Dia berada di dalam sel tahanan Feng dan Huang tanpa penjagaan dari prajurit lainnya.Lagi pula, dia sangat yakin bahwa orang-orang seperti suami-istri muda di hadapan

  • Feng Huang - Kitab 3: Pedang Surga   Tekad Hoaren

    Datu Agung Sarta mendengus pelan, itu lebih terdengar seperti sedang menahan tawa.Komandan Galang menghela napas lebih dalam, lalu berkata, “Maaf, Datu, saya tidak bermaksud―”“Kalaupun benar,” sahut sang datu, “di mana salahnya? Sudah menjadi keharusan bagi mereka untuk melindungi suami-istri muda itu, bukan? Aku juga akan melakukan hal yang sama, Galang. Mencari dan mengumpulkan bukti sebanyak mungkin, menghubungi seseorang berpengaruh yang dapat membantuku. Yaah, tidak ada yang salah. Jadi, biarkan saja mereka.”Sang komandan mengangguk-angguk. Setidaknya, pemikirannya menjadi semakin tercerahka oleh ucapan sang Datu Panglima.“Yang jadi pertanyaan sebenarnya adalah,” lanjut sang datu, “pada siapa mereka hendak meminta bantuan? Kita semua tahu, Guru Ma dan Biksu Muda itu belum setahun jagung di Andalas ini. Begitu juga dengan Feng dan Huang.”“Mungkinkah Dangmudo Basa?” tebak Galang. “Putra Mahkota Minanga?”Sang datu mendesah halus. “Sulit untuk dipastikan,” ujarnya. “Lagi pula,

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status