Share

Sebuah Kegagalan

Author: Minang KW
last update Last Updated: 2023-07-15 02:56:28

“Ya, itu sudah pasti.” Feng menghunus pedang bergagang birunya. “Jika kau tidak dihentikan, mungkin akan ada skandal-skandal lainnya yang muncul bersamamu di negeri ini.”

Hoaren terkekeh. “Sombong sekali!”

“Kakak Feng,” sahut Nona Huang. “Tidak ada gunanya berbicara dengan penjahat yang satu ini!”

Wuush!

Nona Huang sepertinya tak lagi hendak berlama-lama mendengarkan kata-kata dari mulut Hoaren sehingga dia melesat terlebih dahulu dengan pedang bergagang merahnya.

Feng hanya mendengus pelan sebelum dia pun bergerak menyerang Hoaren dari sisi yang berbeda.

Hoaren tahu pasti bahwa dia tidak akan selamat jika berhadapan dengan dua sejoli yang merupakan pasangan pendekar muda yang sedang naik daun di daratan Tiongkok ini.

Memutar otak di tengah situasi yang sekarang ini adalah yang terbaik dibandingkan otot, pikirnya.

Dia mengentakkan satu kakinya ke lantai. Sebuah balok kecil dari puing-puing rak yang ancur melesat ke atas dan disambar oleh Hoaren, lalu dengan cepat dia memutar tubuhnya ke arah kanan Nona Huang, dan menggunakan balok kecil itu untuk menahan bilah pedang.

Tweng!

Tusukan pedang Nona Huang dapat dipentalkan oleh Hoaren, namun dia harus menjatuhkan tubuhnya ke lantai untuk berpindah ke belakang sebab Nona Huang langsung menggunakan jurus telapak dengan tangan kirinya.

Wuush!

Blarr!

Si gadis yang tangannya terikat terpekik ketika lontaran tenaga dalam dari telapak tangan kiri Nona Huang menjebol lantai hingga batu lantai berterbangan dan terbentuk sebuah rongga seperti kubangan kecil.

Bersamaan dengan itu, selagi tubuh Hoaren meluncur ke arah kiri ruangan, Feng datang dengan deru pedangnya yang memancarkan hawa sejuk, berkebalikan dengan apa yang dikeluarkan oleh pedang di tangan Nona Huang.

Dalam posisi masih di udara, Feng menusukkan ujung pedangnya, mengincar perut Hoaren.

Dengan balok kecil yang masih di tangannya, Hoaren mencoba menghalau serangan Feng.

Crass!

Feng mengubah serangannya dengan sangat cepat. Dari gerakan menusuk menjadi menebas hingga balok kecil di tangan Hoaren putus setengahnya.

Hoaren melemparkan patahan balok yang tersisa di tangannya begitu saja dan itu memaksa Feng untuk menggunakan pedangnya lagi demi menepis patahan balok yang mengarah ke wajahnya.

Sementara itu, Hoaren sendiri langsung melakukan gerakan seperti menampar permukaan lantai dengan kedua tangannya. Gerakan tersebut membuat tubuhnya terangkat dan berjumpalitan ke belakang, melenting jauh hingga punggungnya tertahan oleh dinding ruangan di sisi kiri.

“Sepasang pendekar muda tersohor sedang mengeroyok seorang keponakan Kasim Utara, hah?” Hoaren menyeringai lebar.

“Tutup mulutmu!” Nona Huang telah bergerak kembali. “Kasim Utara sekarang sedang menghadapi tuntutan pertanggungjawaban atas ulahmu!”

Begitu kakinya menjejak lantai, Nona Huang berputar cepat satu putaran penuh, lalu membuat gerakan menusuk dengan pedang bergagang merahnya.

Bilah pedang pedang kembali terlihat menjadi banyak, bahkan dengan menguarkan hawa panas yang hebat.

Hoaren menggeram. “Kibasan Sayap Phoenix, hah?”

Sang pendosa menghentakkan satu kaki ke lantai dengan keras, dan melesat ke atas balok-balok yang menjadi kuda-kuda atap kuil.

Crass! Stab! Stab!

Dinding di sisi kiri yang sebelumnya juga terkena tebasan angin tajam pedang Nona Huang, kini untuk kedua kalinya terkena serangan. Puluhan lubang menganga tercipta di dinding yang pada akhirnya membuat dinding bagian kiri ambruk setengahnya, menciptakan celah lebar.

Swiing!

“Berengsek!” Hoaren dipaksa untuk bergerak cepat sebab serangan lainnya datang dari Feng. “Terkutuklah kalian berdua!”

Dia melesat ke sudut lain kuda-kuda atap kuil, dan kemudian turun di sisi kanan.

Serangan dari pedang bergagang biru di tangan Feng menyebabkan atap kuil tua yang sudah rusak menjadi bertambah tak keruan. Belubang-lubang dan sebagian lalu runtuh sehingga memaksa Nona Huang untuk menghindar ke kanan.

Akan tetapi, kerusakan yang diciptakan oleh serangan Feng tidaklah separah yang dilakukan oleh Nona Huang.

Pasangan muda itu baru saja memperagakan dua jurus yang sama. Kibasan Sayap Phoenix. Jika Nona Huang menggunakan jurus berintikan api, maka Feng pula menggunakan jurus berkekuatan inti es.

“Kalian kombinasi yang menjengkelkan!” Hoaren meludah ke lantai.

Apa yang harus aku lakukan, pikirnya. Lalu tatapannya tertuju pada gadis yang sebelumnya telah dia perkosa di lingkungan Istana Terlarang. Juga, terhadap jasad Guru Liu. Satu senyuman tipis menghias wajahnya.

“Ayo,” hasutnya. “Serang aku lagi jika kalian mampu!”

“Adik Huang,” bisik Feng pada sang kekasih. “Jangan tergesa-gesa. Jangan keluarkan kekuatan besar sebab kuil ini bisa hancur!”

Bagaimanapun, Feng menyadari bahwa bertarung di dalam sebuah ruangan yang tidak begitu besar akan mempersulit gerakannya dan gerakan sang kekasih yang sama-sama menggunakan pedang.

“Aku tidak peduli!” balas Nona Huang dengan berbisik pula dan tanpa memandang pada Feng. “Kuil ini bisa dibangun kembali, tapi menangkap penjahat terkutuk itu adalah yang utama!”

Belum hilang suaranya, Nona Huang telah kembali bergerak menyerang Hoaren.

Feng menghela napas lebih dalam. Dia tidak punya pilihan selain bergabung dengan sang kekasih untuk menangkap Hoaren.

 “Oh, lihatlah kalian berdua!” Hoaren tertawa-tawa. “Pasangan serasi apanya? Kalian malah bertengkar satu sama lain.”

“Tutup mulut jahanammu itu!” Nona Huang mengibaskan pedang di tangannya seiring tubuhnya melesat ke arah Hoaren.

“Kau tahu,” ujar Hoaren seraya ujung matanya tertuju pada meja-meja pendek di sebelah kanannya. “Mulutku ini bahkan dapat memberikan kesenangan yang hebat kepada tubuhmu!”

Duakh!

Dengan cepat, Hoaren menendang sebuah meja. Meja melayang ke arah Nona Huang, menghadang angin tajam tebasan pedangnya.

Stab!

Crass!

Meja hancur berantakan dimakan tebasan pedang Nona Huang. Sayangnya, Hoaren telah bergerak ke sudut paling  kanan, lalu melemparkan dua meja rendah berturut-turut kepadanya.

Nona Huang menggeram kencang. Namun Feng telah lebih dahulu berada di depannya dan mengayunkan pedang bergagang birunya.

Crass! Crass!

Dua meja hancur berantakan dalam dua kali tebasan pedang di tangan Feng.

Bersamaan dengan dua meja itu terpotong-potong oleh tebasan Feng, Hoaren melompat jauh laksana gerakan menerkam seekor harimau ke tengah-tengah ruangan.

Dia berdiri dengan cepat, satu langkah saja dari jasad Guru Liu dan si gadis, putri dari seorang selir senior sang kaisar.

“Kupikir, nama besar kalian hanyalah isapan jempol semata,” Hoaren kembali terkekeh dengan bertolak pinggang. “Kemampuan kalian sangat payah!”

“Keparat bermulut tajam!” Nona Huang mengibaskan pedangnya ke samping. “Teruslah berkata semaumu sebab sebentar lagi, aku akan membuatmu tak lagi mampu berbicara!”

Hoaren mengernyit ketika menyadari bahwa bilah pedang di tangan Nona Huang seperti memerah. Meski samar-samar, tapi dia dapat melihat hal tersebut dengan baik.

Dia sangat terpancing, pikirnya sembari tertawa di dalam hati.

“Kakak Feng,” teriak Nona Huang. “Serang dia, sekarang!”

 Wuush! Wuush!

Sepasang pendekar muda melesat bersamaan dengan pedang masing-masing yang memancarkan aura yang saling bertolak belakang.

Hoaren menyeringai. “Kena kalian,” gumamnya setengah tak terdengar.

Dan selagi kedua pendekar itu melesat ke arahnya, Hoaren dengan cepat melompat ke belakang si gadis di samping kanannya.

“Tidak!” teriak sang gadis. “A-Apa yang akan kau lakukan?!”

“Kau menjadi tamengku, gadis manis!” bisik Hoaren dan dengan satu tangan, dia mengangkat ketiak sang gadis. “Pergilah ke Neraka!”

“Tidak…!” sang gadis menjerit panjang.

Stab!

Hoaren dengan keji menusuk punggung sang gadis, lima jarinya menembus hingga je bagian dada sang gadis.

Tidak itu saja, setelah sang gadis tewas mengenaskan, dia melemparkan tubuh sang gadis ke arah sepasang pendekar yang melesat ke arahnya.

Lalu dengan gerakan yang sama cepatnya, Hoaren mencengkeram bagian punggung pakaian Guru Liu, lantas dengan kasar dan tanpa empati sama sekali, dia juga melemparkan tubuh yang sudah tak bernyawa itu, menyusul tubuh sang gadis.

Tentu saja, dalam posisi mereka masih di udara seperti itu, Feng dan Huang terpaksa menghentikan serangan mereka demi menyambut dua tubuh yang mengarah kepada mereka.

Feng berhasil menangkap tubuh sang gadis namun sayangnya, sang gadis telah tewas dengan darah yang masih menyembur dari luka di punggung dan dadanya.

Sedangkan Nona Huang berhasil menangkap jasad Guru Liu.

Akan tetapi, begitu kaki mereka menjejak lantai, Hoaren telah melemparkan sebuah bola kuning sebesar jempol kaki ke arah mereka.

Ctas!

Bola kuning pecah dan meletup, menciptakan asap putih tebal kekuningan yang menutupi pandangan.

Takut akan ada racun yang tersembunyi di dalam asap tersebut, Feng dan Huang dengan segera menutup pernapasan mereka sembari tetap memegangi jasad Guru Liu dan putri selir senior.

“Adik Huang, hati-hati―”

Desgh! Duakh!

Baru saja Feng berkata demikian, Nona Huang telah melenguh pendek dan terjengkang bersama jasad Guru Liu sebab Hoaren ternyata menyerangnya dari balik asap.

Begitu juga dengan Feng sendiri yang merasakan satu tendangan keras mendarat di bahunya sehingga ia terpental bersama jasad sang gadis, lalu bergedebukan ke lantai.

“Keparat!” Nona Huang mencoba bangkit namun terhenti, tersedak, dan muntah darah. Tendangan keras Hoaren sebelumnya itu mengenai dada dan punggungnya.

Di tengah kepulan asap putih tebal kekuningan itu, Feng dan Huang tidak berani bergerak sembarangan lagi. Selagi menunggu asap menghilang, keduanya bersiap siaga dengan pedang di tangan dan untuk sementara, mengabaikan jasad di dekat mereka masing-masing.

“Keparat kau, Hoaren!” Nona Huang berteriak kencang.

Hoaren tidak lagi berada di dalam kuil setelah asap menghilang.

“Aku pasti akan menemukanmu dan membunuhmu, bajingan!”

“Adik!” Feng mencoba menenangi kekasihnya. “Lupakan tentang dia terlebih dahulu.”

Feng menyarungkan pedangnya, lantas mendekati dan mengangkat jasad putri selir senior.

“Kita harus membawa jasad adik ini dan Guru Liu ke Istana Terlarang sekarang.”

Meski kesal setengah mati, namun Nona Huang tidak punya pilihan. Lagi pula, dia tidak tahu ke mana larinya si penjahat terkutuk yang telah memperkosa bahkan membunuh gadis dalam bopongan Feng. Juga, membunuh Guru Liu.

“Kita pasti akan menemukannya,” ujar Feng pada Huang. “Pasti!”

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
batik mida
loba bacot
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Feng Huang - Kitab 3: Pedang Surga   Kondisi yang Berbeda

    “Yah, di sini memang pas untuk dijadikan tempat beristirahat,” ucap Dangmudo Basa.Puncak perbukitan rendah terlihat memang bergelombang, akan tetapi, secara garis besar justru terlihat rata.“Lihat!” dia menunjuk ke arah tenggara. “Ujung perbukitan ini sepertinya melandai.”Puti Champo tidak begitu menggubris sang Putra Mahkota, dia terlihat asyik memandangi bebungaan liar di sekitar.“Baiklah,” Kirawah mengangguk. “Saya dan Kanteh akan mencari kayu bakar untuk membuat perapian.”“Mungkin pula ada kelinci-kelinci liar yang hidup di atas sini,” sambung Kanteh pula. “Setidaknya, sesuatu untuk kita makan malam ini.”Dangmudo Basa mengangguk dan kedua pengawalnya itu berpencar.Meski pepohonan besar tidak banyak yang terlihat di sana, tapi pastinya akan ada ranting-ranting mati yang bisa digunakan.“Aku tidak pernah tahu tempat ini sebelumnya,” sang Putra Mahkota melirik pada Saliah.Si pemuda lugu menghela napas lebih dalam. “Sa-Saya juga tidak,” balasnya. “Ta-Tapi … mungkin disebabkan

  • Feng Huang - Kitab 3: Pedang Surga   Bukan Sebuah Perlombaan

    “Me-Mereka pasti tidak mau jauh-jauh dari Pu-Putra Mahkota.”“Aah!” sang gadis mengangguk-angguk menanggapi ucapan Saliah.“Kau keberatan?” Dangmudo Basa tersenyum lebar sembari meluruskan punggung. “Nona Champo?”“Dasar manja!” kikik sang gadis. “Kemana-mana harus dikawal.”“Ayolah, Nona,” balas sang Putra Mahkota dengan wajah sedikit merah. “Beri sedikit muka untukku di sini. Lagi pula, sudah menjadi tugas mereka untuk selalu mendampingiku. Aku sendiri pun tidak bisa berbuat apa-apa.”Puti Champo terkikik tanpa suara seraya mengendikkan bahu.“Paduko,” ucap Kirawah begitu dia dan Kanteh telah berada di dekat Dangmudo Basa. “Lain kali, jangan pergi begitu saja.”“Ya!” Kanteh mengangguk-angguk. “Setidaknya, tolong pikirkan juga nasib kami jika hal semacam ini diketahui oleh Datuak Rajo Tuo.”Dangmudo Basa menyeringai pada Puti Bungo, “Kau dengar itu?”“He-emm, terserah!” jawab sang gadis acuh tak acuh.Dia melangkah ke sisi barat telaga.“Hei, hei!” Dangmudo Basa langsung menyusul. “J

  • Feng Huang - Kitab 3: Pedang Surga   Di Bukit Tiga Puluh

    “Tidak ada lagi yang tersisa di sini!” Kanteh mengangkat tangannya tinggi-tinggi. “Kita turun sekarang!”Salah satu pengawal Putra Mahkota Minanga membawa sekitar seratus orang prajurit bersamanya menuruni lereng perbukitan, dari sudut utara.Sementara Kamba yang berada di sudut timur perbukitan besar itu juga melakukan hal yang sama, bersama seratus prajurit bersamanya.Juga, Kirawah di sisi barat dengan seratus prajurit yang mengikuti perintahnya.Mereka baru saja selesai menyisir semua sisi dari kawasan Bukit Tiga Puluh. Tidak ada lagi penjahat-penjahat di bawah pimpinan Amugar alias si Mata Malaikat yang bersarang ataupun bersembunyi di kawasan itu.Bahkan goa besar dan alami yang menjadi markas Amugar beserta kroni-kroninya juga ditemukan dan telah disisir dengan baik.Para prajurit membawa semua barang-barang milik Penjahat Bukit Tiga Puluh. Mulai dari perhiasan perak, emas, kain-kain sutra, dan benda-benda berharga lainnya.Barang-barang tersebut sejatinya adalah hasil rampasan

  • Feng Huang - Kitab 3: Pedang Surga   Tapak Suci Bodhisatva

    Dengan menahan geram dan kekesalan luar biasa terhadap Hoaren, Daiyun mengangkat jasad sang kusir.“Apa yang harus aku lakukan, Guru?”“Amitabha,” sahut Guru Ma. “Orang-orang di Swarnadwipa lebih suka menguburkan jasad daripada mengkremasinya.”Sang Biksu Muda langsung mengerti apa yang harus dia lakukan.Akan tetapi, langkahnya tertahan sebab Hoaren melesat ke arahnya dengan melancarkan serangan dahsyat.“Kau tidak perlu menguburkan bangkai pria itu, Biksu busuk!”Wuush!Daiyun membelalak sebab mengenali jurus telapak yang dilepas oleh Hoaren.“Kau―”Teph!Hoaren sempat terkejut ketika mendapati jurus telapaknya ditahan seseorang, dan seseorang itu adalah Guru Ma sendiri.Dia menyeringai.“Sudah kuduga!”“Kau berlebihan, Tuan Muda Zhou,” ucap Guru Ma yang beradu telapak tangan kanan dengan telapak tangan kanan Hoaren. “Sangat berlebihan, shan cai, shan cai.”Swoosh!Dhumm!Akibat paksaan pada tekanan tenaga dalam oleh Hoaren, kekuatan itu pecah dan mementalkannya beberapa langkah ke

  • Feng Huang - Kitab 3: Pedang Surga   Tidak Pandang Bulu

    “Saya tidak yakin apakah di orang yang kalian kejar,” ujar Galang. “Akan tetapi, kendatipun dia menutupi sebagian wajahnya dan mencoba mengubah gaya bicaranya, saya masih bisa menduga bahwa dia bukanlah pribumi Sriwijaya.”Feng dan Huang saling pandang.“Tidak mungkin tidak,” Huang terlihat begitu geram. “Kak Jian, aku yakin, dia pasti si Hoaren!”Sang suami menghela napas dalam-dalam.“Aku juga berpikiran yang sama,” tanggapnya. “Komandan Galang … tidak ada orang yang mengenal kami di Swarnadwipa ini, kecuali mereka yang telah menjadi sahabat baru bagi kami. Terlebih lagi, seseorang dari Tiongkok. Selain Guru Ma dan Biksu Muda bernama Daiyun itu, tidak ada.”“Zhou Hoaren itu orang yang sangat licik,” sambung Huang pula pada sang komandan. “Dia sangat berbahaya!”Galang mengangguk-angguk dengan tangan merangkap di dada.Dia berada di dalam sel tahanan Feng dan Huang tanpa penjagaan dari prajurit lainnya.Lagi pula, dia sangat yakin bahwa orang-orang seperti suami-istri muda di hadapan

  • Feng Huang - Kitab 3: Pedang Surga   Tekad Hoaren

    Datu Agung Sarta mendengus pelan, itu lebih terdengar seperti sedang menahan tawa.Komandan Galang menghela napas lebih dalam, lalu berkata, “Maaf, Datu, saya tidak bermaksud―”“Kalaupun benar,” sahut sang datu, “di mana salahnya? Sudah menjadi keharusan bagi mereka untuk melindungi suami-istri muda itu, bukan? Aku juga akan melakukan hal yang sama, Galang. Mencari dan mengumpulkan bukti sebanyak mungkin, menghubungi seseorang berpengaruh yang dapat membantuku. Yaah, tidak ada yang salah. Jadi, biarkan saja mereka.”Sang komandan mengangguk-angguk. Setidaknya, pemikirannya menjadi semakin tercerahka oleh ucapan sang Datu Panglima.“Yang jadi pertanyaan sebenarnya adalah,” lanjut sang datu, “pada siapa mereka hendak meminta bantuan? Kita semua tahu, Guru Ma dan Biksu Muda itu belum setahun jagung di Andalas ini. Begitu juga dengan Feng dan Huang.”“Mungkinkah Dangmudo Basa?” tebak Galang. “Putra Mahkota Minanga?”Sang datu mendesah halus. “Sulit untuk dipastikan,” ujarnya. “Lagi pula,

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status