Violet pulang dengan kepala yang terasa berat. Dia masih bisa membayangkan detail garis wajah Nindy saat mendengar kata-katanya. Temannya itu seperti habis disambar petir. Bahkan mungkin lebih parah. Tak hanya hangus, Nindy berubah seperti debu.
“Apa? Dari mana kamu tahu ... eh ... mengambil kesimpulan seperti itu?” Nindy langsung panik. Kepucatan di wajahnya kembali lagi.
Violet tersenyum tipis. Namun dia yakin jika senyum yang terukir di bibirnya menyerupai lekukan patah yang menyedihkan. Hati Violet ikut nyeri melihat eskpresi temannya. Mengapa Nindy bertahan dengan pria kasar seperti Randy? Apakah tampang dan latar belakang keluarga memang segalanya?
“Aku pernah beberapa kali melihat memar-memar di pipi atau lenganmu. Meski kamu berusaha menutupinya dengan make up atau beralasan macam-macam, aku tahu kalau bukan itu yang terjadi,” gumam Violet hati-hati. Di depan gadis itu, bibir Nindy terbuka.
Violet memang tidak berd
“Teman sekantormu, ya? Apa dia tak ingin putus dari kekasih yang seperti itu? Sepupuku juga ada yang mengalami hal semacam itu. Bedanya, yang memukuli adalah suaminya sendiri. Sepupuku itu sempat kabur bertahun-tahun sebelum pulang ke Indonesia.” Kelly ikut emosional. “Kalau aku, tak akan pernah kubiarkan ada orang yang mengaku mencintaiku tapi melakukan hal-hal itu padaku. Aku anti kekerasan, fisik ataupun verbal.”Violet mengangkat bahu. Dia benar-benar merasa lelah. “Yang kudengar, mereka akan segera bertunangan.”Mata Kelly membesar. “Apa?”“Iya, sudah beberapa minggu ini temanku bercerita tentang rencana pertunangannya.”“Dan kayaknya dia tetap akan melanjutkan rencana itu? Walau pacarnya begitu berengsek?” desak Kelly dengan nada tak percaya.“Sepertinya begitu. Tadi, kubilang kalau aku tahu dia sering dipukuli. Tapi katanya itu semua karena kesalahannya. Dia tak in
Quinn melepas kacamata bacanya, meletakkan benda itu di atas laptop yang baru saja ditutup. Punggungnya terasa pegal. Lelaki itu bersandar di kursi sembari meregangkan tubuh. Dia memejamkan mata selama sesaat. Saat ini sudah pukul lima sore. Hari Jumat. Bagi karyawan kantoran biasa, Jumat selalu menjadi hari yang ditunggu-tunggu. Namun hal itu tidak berlaku bagi Quinn atau orang-orang yang bekerja di The Suite.Setelah berlalu sekitar lima menit, Quinn pun menegakkan tubuh. Tatapannya disapukan ke arah dua kursi kosong tepat di depannya. Sebelum beralih ke layar monitor di bagian kanan mejanya yang menampilkan rekaman kamera CCTV di berbagai titik. Ya, The Suite memang memiliki ruang khusus yang menampilkan semua gambar dari kamera CCTV yang dipasang. Beberapa di antaranya bisa dilihat Quinn dari ruangannya.“Kenapa kamu minta layar monitor juga ditaruh di ruang kerjamu, Quinn?” tanya Jan, kala pertama kali cucunya mengajukan permintaan itu.“S
Jan menutup telepon setelah menggumamkan selamat malam. Quinn pun melanjutkan perjalanan menuju supermarket. Seharusnya dia berbelanja kemarin. Akan tetapi, Quinn terpaksa pulang lebih larut karena harus menghadapi tamu yang komplain dengan makanan di restoran dan -bisa dibilang- membuat keributan.Jan tinggal di sebuah rumah nyaman, tak jauh dari The Suite sekaligus mes yang ditempati Quinn. Entah berapa ratus kali kakeknya meminta lelaki itu pindah agar mereka bisa tinggal serumah. Namun Quinn menolak.Dia tak keberatan bekerja di The Suite, memanfaatkan hubungan kekerabatan dengan kakeknya. Akan tetapi, lain ceritanya jika dia harus tinggal serumah dengan Jan. Quinn hanya ingin menerima fasilitas yang memang juga didapatkan oleh pegawai lain, sesuai dengan posisi masing-masing. Walau tak sepenuhnya efektif meredam omongan miring yang terkadang masih terdengar, tapi Quinn tahu dia sudah berusaha semaksimal mungkin. Supaya dirinya dinilai berdasarkan kinerja dan bukan
Inilah enaknya jika memiliki teman satu kos yang juga ahli merias wajah. Mika bekerja di sebuah salon top sebagai penata rias. Saat ada penghuni kos yang membutuhkan pertolongannya, kuas-kuas Mika siap untuk melakukan sihir yang luar biasa.Violet pun meminta hal yang sama hari itu. Berdasarkan pengalamannya, Jeffry pasti selalu tampail rapi dan menawan, apalagi di acara-acara resmi. Kali ini, Violet bertekad untuk mengimbanginya. Dia tidak ingin tampil jelek di hari ini. Violet ingin Jeffry berhenti memandangi perempuan cantik lainnya yang ada di sekitar mereka. Minimal malam ini. Untuk alasan itu, maka Violet pun harus tampil menawan.Mika memang mirip penyihir. Violet ternganga menatap wajahnya di cermin saat proses merias wajahnya akhirnya selesai. Hidung Violet terkesan lebih mancung karena shading yang dibubuhkan di tulang hidungnya. Dan hal itu membuat gadis itu sangat suka.“Hei, lihat siapa ini! Kamu empat level lebih cantik dari Violet y
“Oh, ternyata begitu.” Violet belum pernah bertemu dengan Ferdinand atau Adriel. Dia tidak familiar dengan teman Jeffry di masa sekolah menengah atas. Lain halnya dengan teman-teman saat kuliah. Mereka satu kampus meski berbeda jurusan.“SMA kami letaknya di dekat rumah Ferdinand. Waktu aku kelas satu, dia sudah kelas tiga. Setelah dia tamat dan mulai kuliah, kami masih sering berkumpul bersama. Jadi, Ferdinand lumayan banyak kenal adik kelasku walau saat itu dia sudah jadi mahasiswa. Orangnya memang supel dan gampang akrab. Ferdinand dan Adriel setipe. Makanya nanti jangan heran kalau tamunya membeludak.”Kemacetan kembali menghadang di banyak titik. Bogor masa kini sudah berbeda dibanding delapan tahun silam, saat pertama kali Violet menetap di sini. Bogor terkini berhawa panas menyengat yang menyerupai Jakarta. Juga kemacetan di sana-sini setiap saat.Mereka akhirnya tiba di halaman parkir hotel sekitar pukul tujuh malam. Violet bisa m
Jeffry dan Eireen langsung mengobrol seru dan mengabaikan orang-orang yang berada di sekitar mereka. Violet diam-diam bertanya, apakah dahulu keduanya pernah terlibat hubungan asmara? Cara keduanya saling pandang, rasanya tak akan terjadi jika tak melibatkan perasaan khusus. Atau, mungkinkah Violet terlalu cemburu hingga tak bisa melihat dengan jernih?Di lain pihak, ada kecemasan baru yang menusuk-nusuk setiap pori-porinya. Violet tak bisa membayangkan perasaan Quinn melihat keakraban yang sangat mencolok antara kekasihnya dengan Jeffry. Bagaimanapun itu sangat tidak beretika. Namun tampaknya tidak ada yang berniat menegur Jeffry atau Eirene. Keduanya terus bercanda akrab dan menjengahkan Violet. Seperti dirinya, Quinn pun tampak diabaikan.Quinn akhirnya menghilang cukup lama. Diam-diam Violet mengikuti lelaki itu dengan tatapannya. Quinn jelas terlihat terganggu melihat kedekatan kekasihnya dengan Jeffry. Namun tampaknya lelaki itu cukup bijak untuk tidak menonjok w
Quinn bisa melihat betapa Eireen merindukan teman-temannya semasa SMA. Saking senangnya bersua lagi dengan mereka, gadis itu mengabaikan Quinn sepanjang acara resepsi itu. Meski mencoba membaur, Quinn yang pada dasarnya bukan orang dengan tingkat kesupelan sempurna, akhirnya merasa tersisih.Namun, tampaknya bukan dia sendiri yang merasa seperti itu. Kekasih Jeffry, Violet, pun bernasib sama. Eireen dan Jeffry mengobrol berdua dengan begitu asyiknya, tak peduli pada orang-orang di sekeliling mereka. Jadilah Quinn dan Violet mirip dua orang asing yang tersasar di dunia tak dikenal.Quinn memang tak mengobrol dengan Violet selain saat mereka berkenalan dan berbasa-basi sekenanya. Namun dia bisa melihat bahwa gadis itu berdiri menyendiri, agak menjauh dari Eireen dan teman-temannya. Meski sesekali ada perempuan lain yang menghampiri Violet dan bicara dengan gadis itu, tapi Quinn bisa melihat jika pacar Jeffry itu merasa tak nyaman.“Pacar Bapak cantik b
Sehari setelah resepsi, Quinn dan Eireen sengaja menghabiskan waktu bersama. Sepulang dari hotel, Quinn buru-buru menuju mes untuk mandi dan berganti pakaian. Hari Minggu itu diniatkan untuk bersantai sekaligus menikmati sisa akhir pekan bersama sang pacar. Keduanya bermaksud untuk mendatangi bioskop untuk menonton. Setelahnya, Quinn dan Eireen akan makan malam.Namun, rencana itu berubah setelah melihat deretan film yang sedang diputar. Tak ada satu pun yang menarik minat pasangan itu. Setelahnya, Eireen merekomendasikan sebuah restoran dengan sistem all you can eat yang baru dibuka.“Aku baru sekali datang ke sana. Tempatnya bagus dan nyaman, Quinn. Ramai, sih. Tapi area makannya cukup memberi privasi. Tiap meja menempati semacam gerbong yang bentuknya mirip kereta gantung. Unik, pokoknya,” promosi Eireen saat Quinn menjemput gadis itu di rumahnya. “Makanannya juga enak. Mereka nggak menyajikan menu daerah atau negara tertentu. Pilihannya p