Setelah itu mereka beristirahat di tempat tidur masing-masing, hingga keesokan harinya sepasang kekasih itu keluar guna menikmati pemandangan kota, yang ditutupi salju. Safira berjalan dengan tangan yang memeluk tubuhnya, walau sudah pakai pakaian tebal, rasa dinginnya masih menusuk kulit, sungguh luar biasa orang-orang yang tinggal di sini. Dulu ia kira, tinggal di wilayah bersalju itu enak, karena bisa bermain salju kapan saja dan tak akan takut kegerahan karena cuacanya dingin, namun sekarang ia paham kalau Tuhan pencipta alam itu adil, karena setelah tau apa yang kita lihat enak, belum tentu ada semua kebaikan di sana. Pasti semua ada sisi positif dan negatifnya. Entah kenapa ia jadi rindu negara asalnya, dia jadi bersyukur dengan apa yang ia miliki di sana tanpa berpikir kalau dunia luar itu pasti enak. "Kenapa dingin?" tanya Dexter yang dibalas anggukan juga senyuman dari gadisnya itu. "Iya dingin kak, tapi kakak mau kuliah dim
"Siapa kau? Mengapa kau mengganggu pacarku?" tanya Dexter dengan menggunakan bahasa inggris, Safira yang melihat sang kekasih marah, segera berdiri dan bersembunyi dibelakang Dexter.Sejak Dexter pergi ke kamar mandi, bule yang entah dari mana asalnya ini malah mengganggunya, apalagi dengan bahasa asing yang tidak ia paham membuat Safira merasa semakin tak nyaman saja. "Kak." "Apa dia mengganggumu?" tanya Dexter, yang dibalas anggukan kepala Safira. Tapi karena tak ingin ada keributan, Safira menarik baju bagian belakang kekasihnya itu untuk pergi. "Kak, jangan buat keributan kita pergi aja yuk!" Dexter yang merasa kemarahan memuncak, mendengar ucapan Safira yang sedikit bergetar menandakan gadis itu takut berusaha menetralkan emosinya. Ia takut kalau ia benar-benar menghajar orang yang sedang di bantu orang-orang sekitar itu, membuat Safira malah semakin takut dan menjauhinya. "Ayo kita pergi!" ujar Dexter yang berbalik, sebelum bena
"Kamu yakin mau Ke kota?" tanya seorang wanita paruh baya, yang membuat wanita yang berumur 24 tahun itu tersenyum sambil merapihkan pakaiannya ke dalam tas. "Yakin lah Bu, masa enggak? Ini aku lagi ngapain keliatannya!?" balas anaknya, yang baru saja menutup tas hitam itu. "Tapi ibu masih takut gitu loh, kamu kan baru aja sembuh." "Bu! Itu udah bertahun-tahun lalu, emang ibu mau aku sakit terus?" tanya wanita yang bernama Safira itu, ia tau ibunya sangat menyayangi karena dia anak satu-satunya, namun ekonomi membuat dia harus melakukan ini. Karena ayahnya yang sudah meninggal mengharuskan wanita paruh baya itu bekerja lebih keras untuk menghidupi dia juga, dan ia sama sekali tak ingin merepotkannya. Mendengar kabar bahwa temannya memiliki lowongan pekerjaan di kota, membuat Safira memutuskan untuk ikut menyusul temannya tersebut untuk menyambung hidup. Kecelakaan yang membuat hilang ingatan sebagian, membuat dia sering sakit kepala jika berpikir terlalu keras membuat ibunya itu
Mata Safira perlahan membuka, terlihat ruangan yang di dominasi putih membuat wanita itu semakin membuka lebar matanya, tubuhnya bangkit dari tidur dan melihat tangannya yang sedang di berikan cairan infus. "Kenapa aku ada di sini?" tanyanya pada dirinya sendiri. Tak lama terdengar suara langkah kaki, yang membuat Safira bingung sekaligus penasaran, hingga pria yang membawanya makan itu terlihat berjalan sambil menatapnya datar. "Sudah mendingan?" tanya Dexter yang menaruh plastik yang berisikan macam-macam buah-buahan di meja samping ranjang. Setelah itu dia duduk di kursi samping ranjang, yang membuat Safira bingung. "Jika memang sakit! Jangan mengingatnya lagi!" ujar pria itu, yang mengambil salah satu buah dan mengupasnya dengan pisau. "Maaf ya jadi repot-repot, mas Dexter! Biasanya saya kalau sakit kepala minum obat, tapi saat di halte tadi saya kecopetan, uang, hp bahkan pakai saya raib. Padahal saya ke sini buat mau kerja." Satu potong apel, Dexter berikan Padanya, Sonta
Tok tok tok!Suara ketukan di pukul 9 malam, membuat yang berada di dalam menatap pintu lalu melihat lagi pekerjaan yang ada di layar laptopnya. "Mas! Ini saya!" panggil Safira, yang membuat Dexter bangkit dari tempat tidurnya. Pintu terbuka menampakkan pria tampan itu, yang memakai setelan biasa, berupa kaos juga celana pendek berwarna biru tua. "Ada apa?" Tak lama satu piring nasi goreng, Safira berikan pada pria tampan itu, yang tentu saja membuat Dexter menatap piring itu dengan tak minat. "Ini udah malem, kan kita pulang sore nih mas, jadi saya buat makanan pengganjal perut, karena di kulkas mas gak ada apa-apa jadi saya buat itu aja!" "Sebenarnya aku gak terlalu lapar, tapi makasih," balas. Dexter yang hendak kembali masuk, namun di tahan oleh Safira. "Kenapa lagi?" "Mas mau sarapan apa nanti pagi? Saya juga mau nanya pasar, mau belanja makanan, kasian kulkas mas Dexter, udah bagus gede tapi gak ada isinya." "Ada roti di lemari atas dekat kompor juga selai coklat, kamu ga
Pintu lift terbuka, membuat Safira menatap sekitar sambil keluar, besar saja ini lantai paling atas, tingginya pandangan yang wanita itu lihat, membuat dia menutup mata sebentar agar tidak gemetaran. Ia takut pada ketinggian, setelah merasa tenang, dia berjalan di lorong yang cukup panjang dan hanya ada satu pintu di sana. Dengan hati-hati dia mengetuk pelan. “Permisi Tuan muda!” “Siapa?” tanya seseorang dari dalam, membuat Safira merapihkan pakaiannya guna terlihat rapih. “Ini saya Safira!” “Masuk aja!” Karena mendapatkan lampu hijau, Safira masuk kedalam ruangan milik Dexter, pertama kali masuk terlihat kaca besar dibelakang pria itu, yang menghadap langsung pada pemandangan kota seperti di luar, cat ruangan hanya di dasari putih, dengan garis coklat di bagian bawah. Wanita berumur 24 tahun itu menaruh tas hitam milik Dexter di meja dengan hati-hati, karena isinya berat ia yakin ada barang elektronik di dalamnya. “Ini milik anda, Tuan muda!” Dexter menatap Safira dengan hera
Tok, tok, tok!“Mas Dexter! Ini saya!” ucap Safira yang sekarang berada di depan pintu pria itu, sepanjang jalan sampai ke pintu Safira menatap takjub pada pemandangan kota malam, kalau gelap tak terlalu mengerti jika di lihat. “Masuk aja!” Pintu itu Safira buka, terlihat Dexter masih fokus pada layar monitor besarnya, lalu matanya beralih ke laptop miliknya, seperti pria itu cukup sibuk hingga membuat dia pekerjaan di tempat yang berbeda. “Ada apa?” “Semua OB pada pulang mas!” Kacamata yang bertengger indah di wajahnya, pria itu lepaskan, kadang kala Dexter memakai kacamata jika melihat layar. “Terus kamu mau pulang juga?” “Saya terserah masnya aja, tapi saya gak ada temennya di bawah, dan katanya juga beberapa lantai udah gak ada penghuninya.” “Penghuni? Kamu pikir rumah hantu?” “Hehehe, maksudnya orang-orang gitu mas!” Tak lama Dexter terlihat berdiri, merapihkan beberapa hal juga menutup laptop. “Bantu aku beberes!” Mendengar hal itu Safira segera membantu pria tampan itu,
Pagi harinya, suara masakan membuat Dexter yang baru saja bangun langsung beranjak pergi kebawah guna mengetahui apa yang dimasak wanita itu untuknya. Aroma semerbak masakan membuat perutnya lapar, Dexter tak pernah menyewa pembantu di rumahnya. Kadang kalau dia sedang rajin, dia akan memasak makanan yang ia inginkan. Dan kalau malas, maka roti dengan salai coklat adalah pilihan yang paling menjanjikan. “Masak apa kamu?” Safira yang memakai celemek pink yang tak sengaja ia temukan menoleh pada sang majikan, ia melirik jam yang ada di dapur. Masih jam setengah enam, apa dia terlalu kencang menggoreng masakannya?“Ah ini mas, masak capcay sama ayam goreng, mas mau sarapan?”“Rajin banget kamu,” ucap Dexter yang duduk di kursi, sambil menatap masakan Safira. “Hehehe tangan saya gatel mas, mau langsung masak. Di kampung ibu saya jualan apapun yang ada dan di kreasikan gitu.” Dexter mengangguk, dia segera mengambil piring dan memakan masakan Safira. Wanita yang baru saja membuat wedan