“Oh, padahal tadi bisa nebeng Bu Vania, Kas. Dia alamatnya di sana juga. Ya sudah saya anter, yuk! Saya pernah beberapa kali juga ke rumah Bu Vania, searah kok sama perumahan tempat saya! Yuk!” tukas Reyvan yang tak mengetahui jika Kasih adalah adik kandung staffnya.
Awalnya Kasih hendak menolak. Namun tiba-tiba langit mendung menurunkan butiran hujan yang membuat Kasih tak punya pilihan. Kasih pun naik ke sisi sebelah kiri Reyvan. Mobil melaju meninggalkan kantor dan menuju ke perumahan tempatnya tinggal.Perjalanan cukup macet. Jarak dari perusahaan tempat mereka bekerja dengan perumahan tempat tinggal Kasih bisa menghabiskan waktu satu jam jika kondisi ramai lancar. Namun karena tersendat dan hujan perjalanan pun menjadi terasa lebih lambat, atau mungkin karena Kasih juga tengah merasa takut dan tak nyaman berada dalam satu mobil denga Reyvan.“Gimana kerja hari pertama? Betah?” tanyanya seraya tersenyum. Hanya menoleh sekilas pada Kasih lalu kembali melempar pandang ke depan.“Alhamdulilah, Pak.” Kasih menjawab seperlunya.“Semoga betah, sih! Di perusahaan Om Gasendra itu kalau saya lihat sih sudah merupakan tempat paling nyaman dibanding perusahaan kompetitor sejenis.” Reyvan menjelaskan.Mendengar ucapan Reyvan, Kasih bukan fokus pada inti kalimat berita yang lelaki itu sampaikan. Namun malah fokus pada kata Om yang Reyvan sematkan untuk pemilik perusahaan. Namun Kasih merasa terlalu lancang jika harus bertanya. Terdengar Reyvan kembali melanjutkan kalimatnya.“Om Gasendra itu orang baik, Kasih. Saya ini adalah keponakan kesayangannya. Bahkan dia sudah seperti ayah sendiri untuk saya. Semua perlakuannya begitu mirip almarhum Papa Saya, Kasih. Bahkan ketika dulu kami tinggal di rumahnya, dia begitu lembut pada saya dan Mama.”Tanpa Kasih minta bercerita, Reyvan terus saja menjelaskan. Namun semakin dijelaskan, justru semakin membuat Kasih penasaran. Meskipun demikian, Kasih hanya mengiyakan dan mendengarkan saja. Tak berani juga untuk sekadar bertanya. Padahal sekelumit pertanyaan bermunculan di hatinya. Namun Kasih hanya mengangguk-angguk dan mengiyakan saja.Hujan yang tadinya agak lebat sudah mulai mereda. Tampak menyisakkan tetes-tetes airnya membasahi deretan sepeda motor yang terparkir di depan ruko yang berjajar. Tak terasa sebentar lagi mereka akan segera tiba. Kasih tengah memutar otak agar tak sampai kejadian Reyvan mengantarnya diketahui Vania. Bisa-bisa dia di ospek lagi nanti oleh kakaknya itu.Di tengah kebingungan itu, tiba-tiba dari sebelah kanan ada sebuah sepeda motor yang melambat dan memasang sein kiri. Pengemudi dengan jaket ojol itu tampak memboncengkan seorang perempuan paruh baya. Kasih menyipit memperhatikan sepeda motor yang ditumpanginya. Tak banyak orang yang memiliki sepeda motor seperti itu. Kasih mengambil gawai dan memperhatikan dengan kode ojol yang dipesannya pagi tadi. Pengemudi ojol bernama Evan dengan plat nomor yang sama. Akhirnya Kasih harus segera memutuskan sekarang.“Stop, stop, Pak!” tukasnya seraya masih menggenggam gawai. Decitan rem terdengar karena Reyvan cukup kaget dengan permintaan Kasih.“Kenapa, Kasih?” tanya Reyvan menatap gadis yang membetulkan kerudungnya sedikit itu.“Saya … hmmm … itu, Pak. Saya baru ingat diminta ayah untuk belanja bulanan ke minimarket.” Kasih akhirnya menemukan alasan yang logis.“Oh gitu, saya kira kenapa. Ya sudah, kamu turun saja.” Reyvan tampak bijak. Dia pun menepikan mobilnya perlahan hingga akhirnya Kasih bisa turun di tepi jalan.“Makasih, Pak.” Kasih tersenyum dan mengangguk sopan pada Reyvan.“Sama-sama, Kasih.” Reyvan membalas anggukan dan senyuman Kasih. Sesekali dia melirik spion di mana tampak Kasih berlari melalui trotoar menuju ke deretan ruko. Ada senyum tersungging di bibir Reyvan. Entah kenapa melihat Kasih, dirinya merasakan ada hal berbeda. Kasih itu tampak begitu lembut, tulus, apa adanya dan tidak ambisius seperti kebanyakan teman wanita karir yang dikenalnya, salah satunya Vania.“Gadis apa adanya,” tukasnya seraya tersenyum sendiri hingga mobilnya pun menjauh meninggalkan Kasih. Namun sekilsa matanya menangkap sosok yang seakan tak asing dari kaca spionnya di mana Kasih menuju ke arahnya. Kedua alis Reyvan saling bertaut dan kedua netranya menyipit. Namun seketika dia kembali menepis pikirannya yang rasanya mustahil.“Gak mungkin itu dia. Masa anak Om Gasendra jadi tukang ojol. Gue ini lagi kenapa, duh!” tukasnya menggelengkan kepala. Lalu mengabaikan sosok dengan jaket hijau yang mana Kasih tengah berlari menuju ke arahnya. Walaupun dia memang tahu betul jika anak Gasendra tersebut sedang minggat dari rumah karena permasalahan pelik yang melibatkan dirinya serta ibunya. Namun mustahil rasanya jika kemudian Evander Gasendra yang bahkan lulusan cumlaude pada universitas ternama itu memilih menjadi tukang ojol dengan pendapatan tak seberapa.Sementara itu, sosok jangkung dengan jaket hijau yang sudah setengah basah yang bernama Evan itu sudah hendak menarik gas sepeda motornya ketika Kasih berlari dan memburunya dengan napas terengah. Kasih mendekat pada sosok jangkung dengan helm dan masker, sehingga dia tak bisa melihat wajah tampan yang tersembunyi di baliknya.“Mas! Mas!” seru Kasih seraya mengulangkan tangan.Sepasang mata tajam dengan alis tebal yang bersembunyi di balik helm full face menatap tajam. Namun tak urung juga, lelaki itu berhenti. Evan melihat Kasih yang tampak sedikit basah karena gerimis lembut masih menyentuhnya.“Ada apa?” tanyanya ketika Kasih menyisakkan jarak beberapa langkah lagi dari arahnya.“Hmmm … saya penumpang Mas yang tadi pagi, apa boleh bicara, Mas! Ini penting banget!” tukas Kasih dengan mimik wajah serius. Lelaki itu mengangkat tangan kanannya dan melihat putaran jarum jam pada jam tangan mahal yang melingkar di sana. Sejurus kemudian mengangguk. Dia menepikan kembali sepeda motornya ke tepian ruko.Dengan segenap keberanian dan mencari alasan yang paling masuk akal. Kasih menceritakan keinginannya untuk menjadi langganan ojol pada lelaki tersebut. Kasih bahkan berani membayar lebih asalkan dia tak harus repot mencari orang yang mengantar jemputnya ke perusahaan dengan alasan memang menghabiskan waktu dan cukup melelahkan.Setelah sejenak saling terdiam akhirnya lelaki itu mengangguk.“Oke, deal. Besok gue sudah stby di depan rumah lu,” jelasnya.“Baik, Mas. Makasih.” Kasih tersenyum. Lalu dia mengeluarkan dompet hendak mengambil uang beberapa lembar seratus ribuan yang siang tadi diberikan Tuan Gasendra diam-diam. Namun ketika dia sodorkan, lelaki itu menepisnya.“Bayar gue kalau sudah kerja. Simpan saja uang lu sekarang!” tukasnya seraya berdiri lalu kembali menyalakan sepeda motornya dan pergi.Kasih tersenyum. Dia bergegas mencari ojek pangkalan yang biasanya sering juga mangkal di dekat minimarket.Kasih melaju pulang dengan perasaan senang. Rupanya menjalankan misinya tak sesulit yang dia pikirkan. Evan dengan mudah menerima tawarannya sehingga dirinya bisa mendapatkan tambahan uang transport dari pemilik perusahaan. Meskipun kasih tak tahu alasannya apa. Namun keinginannya untuk memberikan gaji dengan utuh untuk ayah dan ibunya membuatnya semangat. Setidaknya ada sedikit yang bisa menjadikan dirinya dibanggakan di keluarga.Kasih tiba di rumah dengan pakaian setengah basah. Perjalanan dari minimarket yang berjarak lima belas menitan dari rumah dan tak mengenakan jas hujan, membuatnya tak bisa mengelak dari serbuan titik-titik lembut yang masih berjatuhan.Kasih bergegas masuk. Dia berjalan lurus, mengabaikan Vania yang sedang duduk di ruang tengah sambil meneguk cokelat hangat yang sisa setengah.“Hey, nitip ini!” pekiknya pada Kasih yang berjalan tergesa dan melewatinya begitu saja.Kasih menghentikan langkah. Lalu mendekat ke arah Vania untuk mengambil gelas yang Vania sodorkan. Namun belum sempat tangannya meraih gelas itu. Tiba-tiba Vania menjatuhkannya.“Astaghfirulloh, Mbak!” Kasih memekik kaget ketika pecahan gelas itu berserakan di dekat kakinya.“Sok alim kamu! Kamu pikir Mbak gak tahu kamu habis ngapain tadi, hah? Dasar sok suci.” Kalimat Vania menukik tajam. Kasih menatap wajah kakaknya dengan pandangan mengembun. Setengah mati dia menekan perasaan yang selama ini direndahkan. Namun tetap saja rasanya sakit diperlakukan demikian.“Salah aku apa sama, Mbak? Kenapa Mbak selalu seperti ini sama aku? Apa Mbak gak takut jika nanti semua perbuatan buruk Mbak akan balik pada diri Mbak sendiri?” tanya Kasih dengan suara gemetar.Sok alim kamu! Kamu pikir Mbak gak tahu kamu habis ngapain tadi, hah? Dasar sok suci.” Kalimat Vania menukik tajam. Kasih menatap wajah kakaknya dengan pandangan mengembun. Setengah mati dia menekan perasaan yang selama ini direndahkan. Namun tetap saja rasanya sakit diperlakukan demikian. “Salah aku apa sama, Mbak? Kenapa Mbak selalu seperti ini sama aku? Apa Mbak gak takut jika nanti semua perbuatan buruk Mbak akan balik pada diri Mbak sendiri?” tanya Kasih dengan suara gemetar. “Eh, baru kerja jadi OB sehari doang sudah songong. Memang kamu itu gak tahu diri ya. Mbak sudah susah-susah masukin kamu kerja biar kamu sedikit berguna. Eh malah neglunjak! Kamu pikir Mbak gak tahu kalau kamu tadi pulang ikut Pak Reyvan. Kamu pasti sengaja mau goda dia di belakang Mbak kan? Kamu pasti iri kan? Kamu pasti iri sama Mbak yang selalu lebih beruntung dari kamu!” oceh Vania. “Vani, Kasih! Kalian itu kebiasaan, ya! Ribut mulu kalau ketemu!”tegur Ibu. Perempuan paruh baya itu baru saja turun da
"Caranya?” Kasih menatap dengan tatapan polosnya. “Lu jadian sama gue!” tukas Evan. “Ih, kok jadi kesitu.” Kasih menautkan alis. Bingung dengan rencana Evan yang diluar nalarnya. “Kalau gak mau, ya sudah! Kalau lu setuju tinggal bilang gue. Gue juga gak maksa, cuma mau bantu lu dan lu juga bisa bantu gue!” Evan mengedik santai. Dia melenggang menuju sepeda motornya dan segera menyalakannya. “Aku gak ngerti rencananya kayak gimana. Lagian maen jadian aja. Kenal aja baru seminggu. Lihat muka kamu aja belum, Mas. Sama aja kayak beli kucing dalam karung.” Kasih menggerutu seraya cemberut. Tidak mengerti dengan jalan pikiran lelaki yang ada di depannya saat ini. Evan terkekeh, kedua matanya tampak menyipit. “Syukurlah kalau lu gak ngerti. Berarti lu gak mencurigai apapun tentang gue. Atau lu gak mau jadian sama gue karena gue cuma tukang ojol yang miskin?” Evan menarik satu alisnya ke atas.“Ih, kok kamu ngomongnya gitu, sih, Mas? Aku jadi takut. Jangan-jangan kamu itu penjahat, ya? L
Getar gawai membuyarkan kembali pikiran Evan. Sebuah pesanan masuk. Evan segera meluncur menuju tempat yang ditunjukkan oleh applikasi pada gawainya. Dia tiba di sebuah rumah mewah. Seorang perempuan paruh baya menunggunya di tepi jalan. Evan mengangguk dan menyapanya. Dia pun menyipitkan mata melihat sepasang lelaki dan perempuan yang tampak baru keluar dari teras dan saling bergandengan. “Kenapa lelaki itu mirip sekali dengan lelaki yang berfoto dengan Mami? Lalu bukankah perempuan itu Tante Niki?” Evan menyipitkan mata. Namun dia tak bisa berlama-lama perempuan paruh baya itu sudah naik ke sepeda motornya. Evan melajukan sepeda motornya menuju sebuah supermarket sesuai yang tertera dalam applikasi.“Ibu mau belanja?” Evan menatap perempuan paruh baya itu ketika baru saja turun di depan supermarket. “Iya biasa, belanja mingguan, Mas. Maklum majikannya royal jadi tiap minggu belanjanya. makasih ya, Mas.” Perempuan itu berjalan menjauh. Antara ragu dan ingin tahu, akhirnya Evan mem
Evan memandang remeh pada Vania. Dia tersenyum miring dari balik maskernya. “Silakan nikmati kemenangan sementaramu, Mbak. Saya pastikan kamu menyesal telah melakukan ini pada kami.” Evan berbicara tenang tetapi penuh penekanan. Vania belum sempat menjawab lagi ketika Evan membalikkan badan dan langsung melangkah keluar. Dia langsung menuju ke tempat di mana sepeda motornya terparkir tadi. Mungkin saja Kasih ada di sana. Namun rupanya gadis yang dicarinya tak ada. Evan memutar pandang ke sekitar. Menelisik kemungkinan keberadaan gadis yang tengah terluka itu. “Dasar cewek!” gerutu Evan seraya mengambil gawai. Dia langsung menelpon nomor Kasih yang memang pernah menghubunginya. Agak sedikit lama mencarinya karena Evan memang belum menyimpan nomor Kasih. Hanya ada empat nomor pada gawai barunya, nomor dua sahabatnya, dirinya dan Mama. Entah kenapa ada gerak dari hati yang mengatakan jika dirinya perlu peduli. Dia mendekatkan gawai itu ke telinganya, ada bunyi tersambung. Evan menun
“Kalau lo udah kayak gini, berarti lo udah siap jadian sama gue! Kita patahkan keangkuhan kakak lo yang sombong itu!” tukas Evan tenang dan datar. Sontak membuat Kasih menelan saliva karena merasa gugup luar biasa. “J--jadian?”Kasih menatap wajah tampan yang membuatnya penuh debar itu. “Ya, gue butuh seorang perempuan tangguh dan yang penting gak matre kayak lo untuk berada di sisi gue. Kalau lo keberatan untuk selamanya, gue juga gak maksa, kok. Kita bisa nikah dengan perjanjian. Yang penting gue bisa bawa lo ke depan bokap dan ngakuin lo jadi calon istri. Lo mau kan nikah sama gue?” Evan berucap dengan tenang. Seolah tak ada getar apapun dari dalam dadanya. “N--nikah?”Kasih menatap Evan tak percaya. “Kita bisa kerja sama. Walaupun gue tahu lo gak cinta sama gue, Kasih. Namun kesombongan kakak lo juga bikin gue gemes. Seolah hidup dia paling mulia dan paling beruntung. Baru jadi staff saja sudah belagu kayak gitu.”Evan berucap datar. “Kerja sama gimana?” Kasih menatap Evan. Bing
Tuan Gasendra masih menempelkan gawai pada daun telinganya. Terdengar suara seseorang yang begitu dia rindukan dari seberang sana. Ketiadaan Evan di rumah itu semenjak kepergian istrinya, membuat hari-harinya terasa kosong. Rasa rindu seorang ayah pada anaknya tak bisa dielakkan. Ya, Tuan Gasendra begitu merindukan kehadiran Evan di rumah itu. “Pah ini Evan!” “Evan! Akhirnya kamu menghubungi Papa juga! Di mana kamu tinggal sekarang, Nak? Papa jemput pulang, ya!” Suara Tuan Gasendra bergetar.Akhir-akhir ini jangankan bisa mengobrol seperti sekarang. Setiap kali dirinya menelpon, Evan selalu menolak panggilannya. Bahkan karena sudah tak tahan merindukan putranya itu, Tuan Gasendra pada akhirnya meminta Kasih untuk berlangganan ojol yang dia kenal betul sosoknya. Setidaknya dia bisa memandang putranya setiap pagi dari balik tirai lobi. “Aku mau ketemu, Pah! Aku mau Papa batalkan rencana perjodohan aku dengan keponakan Tante Niki. Seperti yang aku bilang sama Papa. Aku akan mencari se
“Yah, Kasih berangkat dulu!” Kasih mencium punggung tangan Ayah. “Sama si tukang ojol itu?” Vania yang baru saja keluar turun dari tangga tersenyum miring. “Dia itu punya nama, Mbak.” Kasih mendelik. Hatinya merasa tergores tatkala kakak perempuannya selalu memandang rendah siapapun dari kaca mata dia. Vania tertawa lalu berjalan mendekat ke arah Kasih dan Ayah.“Ciee marah … lagian gak penting juga buat aku tahu nama si tukang ojol itu. Gak level,” kekeh Vania seraya duduk pada sofa dan mengambil pisang goreng yang tersedia di atas meja. “Iya mending Mbak gak usah tahu namanya, dari pada nanti shock lebih cepat karena sudah menghinanya.” Kasih tersenyum miring. Rasanya ingin segera melihat wajah Vania yang pucat pasi ketika dirinya hadir sebagai istri dari seorang Evander Gasendra---putra satu-satunya dari pemilik perusahaan tempat Vania bekerja. “Eh, Yah! Dia udah berani sombong coba. Jangan-jangan dia lagi berkhayal kalau si tukang ojol itu anak konglomerat yang lagi nyamar ka
Tak banyak yang mereka obrolkan. Suasana pertemuan mereka pun tak berlangsung lama. Bahkan awalnya Evan menolak untuk makan dulu di sana, tetapi melihat sorot mata penuh harap dan seorang ayah yang tampak begitu kehilangan. Akhirnya membuat Kasih tak tega. “Mas, aku laper! Di rumah jarang ada makanan enak kayak gini,” bisik Kasih ketika Tuan Gasendra baru saja mendengar penolakan Evan. “Kita pulang, nanti makan di luar!” bisik Evan dengan mata memandang ke sembarang. “Makanlah dulu, Van! Papa minta maaf atas semua yang sudah papa lakukan! Papa ‘kan sudah merestui kamu untuk menikahi perempuan pilihan kamu! Jadi Papa mohon kembalilah! Tinggalah lagi di rumah ini!” tukasnya seraya menatap penuh harap. Hati kecil Kasih tak tega. Gelayut rasa sedih dan rasa sesal tampak begitu nyata di mata lelaki paruh baya yang rupanya tak mengenalinya itu. “Ck! Bukankah biasanya Papa lebih senang makan semeja dengan Tante Niki yang katanya selalu kesepian? Bukankah Papa lebih sayang Reyvan yang ta