“Ada apa ya, Pak? Saya gak akan dipecat ‘kan Pak?” Kasih menatap Asep takut-takut. Dia teringat ancaman Vania tadi yang mengancamnya akan menghabiskan kontraknya.
Asep terkekeh dan menggeleng kepala.“Gak ada lah, mana mungkin kalau gak salah tiba-tiba dipecat. Bisa jadi kamu tadi kurang bersih ketika membersihkan kaca ruangannya atau ada yang salah menata barangnya ketika habis mengelap meja. Soalnya dia orang perfeksionis,” jelas Asep.“Terus kalau saya salah gimana, Pak?” Wajah Kasih cukup pucat.“Pergilah dulu ke sana. Itu juga baru dugaan saya. Bisa jadi dia mau berterima kasih karena kerjaan kamu rapi. Intinya selama kita melakukan hal benar, jangan pernah takut. Tak ada orang sempurna yang tak melakukan kesalahan. Gih, sudah ditunggu!” titahnya lagi seraya berjalan meninggalkan Kasih dengan hati berdentum-dentum.Kasih menatap pintu kaca itu dengan ragu. Di dalam tampak ada Vania yang tengah tersenyum dan mengangguk-angguk di depan Tuan Gasendra. Kakaknya tampak berbicara dengan gaya seperti biasa penuh senyuman dan penuh rasa percaya diri. Itu memang kelebihan yang dimiliki Vania tetapi tak dimiliki olehnya. Dia menunggu, hingga akhirnya pintu itu terbuka dan Vania menyapanya dengan senyuman dan anggukan. Sikap ramah yang akan ditunjukkan di depan semua staff apalagi bos, tetapi tidak ketika berpapasan dan tak ada orang yang melihatnya.Tuan Gasendra mengangguk ketika dari celah pintu yang Vania tinggalkan dia menatap wajah Kasih yang tampak penuh rasa ragu. Melihat anggukan sang pemilik ruangan. Kasih masuk dengan hati takut-takut.“Selamat siang, Tuan!” Kasih menyapa dengan suara gemetar.“Siang!” tukas Tuan Gasendra. Wajahnya memang terlihat tegas, tetapi dari suaranya terdengar lembut dan tak tampak jika tengah marah.“Duduk!” titahnya.Kasih ragu, menatap kursi empuk yang bahkan hanya berani dia sentuh ketika membersihkannya.“Duduk!” ulangnya.“Makasih, Tuan!” Kasih menarik kursi itu dan duduk di sana.“Kamu yang tadi pagi berpapasan di depan gerbang dengan saya ‘kan?” Tuan Gasendra memastikan.“S--saya, Tuan?” Kasih tak paham. Karena memang dia tadi tak tahu juga jika di belakang ojol yang ditumpanginya adalah mobil sang pemilik perusahaan. Sepertinya Tuan Gasendra mengerti. Dia tersenyum lalu menjelaskan kembali.“Kamu yang naik ojol dengan pengemudi yang memakai matic itu ‘kan?” telisiknya.“Ah, iya saya, Tuan!” Kasih mengangguk karena memang ingat.“Apa tiap hari kamu berlangganan dengan ojol tersebut?” tanyanya lagi.“Ahm tidak Tuan. Tadi kebetulan memang yang nyantol di applikasi ojol saya dia, Tuan.” Kasih paham.“Boleh saya minta tolong kamu, tapi jangan dibicarakan dengan siapapun, ya!” tukasnya menatap Kasih dengan sungguh-sungguh dan membuat Kasih merasa takut.“Boleh Tuan, kalau saya bisa saya akan bantu Tuan.” Kasih memberanikan diri mengambil pilihan.“Tolong kamu berlangganan dengan ojol tersebut. Jadi pulang pergi, kamu minta dia yang antar jemput,” tukasnya dengan tersenyum lembut.“T--tapi, Tuan. Mungkin kadang saya dianter Ayah kalau lagi dia gak sibuk buat mangkas ongkos, Tuan.” Kasih sedikit bingung juga.“Ah soal itu. Gini, selama kamu berlangganan ojol tersebut. Tiap bulan, saya akan mengganti uang transport yang kamu gunakan, tapi tolong rahasiakan semuanya dari siapapun. Bisa?” tandasnya.Seketika pikiran Kasih langsung menangkap sinyal baik. Meskipun ini permintaan yang aneh dan tak bisa dia pahami. Namun Kasih tak bisa melewatkan peluang. Ini kesempatan untuknya mendapatkan gaji utuh sehingga uang yang diberikan pada Ibu dan Ayah bisa lebih besar nantinya. Berharap, ayah akan bangga padanya. Kasih tersenyum dan mengangguk.“Akan saya coba, Tuan! Kebetulan tadi saya sempat SS nomor tukang ojolnya. Semoga dia mau, Tuan.”“Oke, kamu boleh kembali bekerja. Terima kasih, ya!” tukasnya lembut.“Sama-sama, Tuan!” Kasih tersenyum dan meninggalkan ruangan dengan perasaan lega dan heran. Dia tak mengerti apa maksud dan tujuannya, tetapi yang dia mengerti ini adalah peluang.Asep sudah menunggunya tak jauh dari pantry. Dia tampak cemas karena salah satu cleaning service yang merangkap office girl itu dipanggil langsung oleh bos besar di hari pertamanya kerja.“Dipanggil buat apa, Kas?” Asep menatap Kasih.“Oh itu, Pak. Hmmm … Tuan Gasendra ngasih tahu aku jadwal bikin kopi buat dia.” Kasih berbohong. Dia pun bingung harus menjelaskan seperti apa karena Tuan Gasendra memintanya merahasiakannya.“Oh, oke … syukurlah! Kembalilah kerja! Baik-baik, ya! Kalau ada masalah info saja!” tukasnya.Kasih mengangguk lalu kembali berkutat dengan peralatan kerjanya. Hatinya sumringah karena di hari pertama sudah mendapatkan hal baik. Setidaknya dia akan mendapatkan uang transport tambahan tiap bulan.Sepanjang hari juga dia bersikap tak saling kenal dengan Vania. Perempuan itu hanya ramah ketika di depan semuanya. Pencitraan yang sempurna. Namun menatap benci ketika kadang hanya berpapasan berdua.Sore menjelang, Kasih berdiri di depan gerbang. Beberapa kali dia mencoba menelpon nomor ojol yang pagi tadi mengantarnya. Namun tak semudah perkiraan. Nomor Mas ojol yang terdaftar bernama Evan itu tak juga mengangkat panggilannya. Mobil Vania berhenti sebentar di gerbang ketika security memeriksanya. Semua mobil yang keluar melewati tahap pemeriksaan. Namun Vania tetap bersikap tak acuh. Jangankan memberikan tumpangan untuk pulang, dia pun tak menyapa sama sekali pada adik kandungnya yang tengah mencari transport untuk pulang.Sialnya, nomor tukang ojol yang pagi itu tak mengangkat teleponnya juga. Akhirnya Kasih memesan ojol lainnya. Namun sayang pada jam sibuk agak susah mendapatkannya. Hingga sebuah mobil berhenti di depannya. Kaca mobil itu diturunkan dan seorang lelaki berwajah tampan tersenyum padanya.“Kamu belum pulang?” Reyvan menyapa Kasih. Wajah lugu gadis itu menyentuh hatinya.“Lagi cari ojol, Pak!” Kasih mengangguk sopan.“Rumah kamu di mana memangnya? Jam segini agak susah cari ojol di daerah sini.” Reyvan masih bertahan di sana.Kasih menyebutkan nama perumahannya.“Oh, padahal tadi bisa nebeng Bu Vania, Kas. Dia alamatnya di sana juga. Ya sudah saya anter, yuk! Saya pernah beberapa kali juga ke rumah Bu Vania, searah kok sama perumahan tempat saya! Yuk!” tukas Reyvan yang tak mengetahui jika Kasih adalah adik kandung staffnya.Awalnya Kasih hendak menolak. Namun tiba-tiba langit mendung menurunkan butiran hujan yang membuat Kasih tak punya pilihan. Kasih pun naik ke sisi sebelah kiri Reyvan. Mobil melaju meninggalkan kantor dan menuju ke perumahan tempatnya tinggal.“Oh, padahal tadi bisa nebeng Bu Vania, Kas. Dia alamatnya di sana juga. Ya sudah saya anter, yuk! Saya pernah beberapa kali juga ke rumah Bu Vania, searah kok sama perumahan tempat saya! Yuk!” tukas Reyvan yang tak mengetahui jika Kasih adalah adik kandung staffnya. Awalnya Kasih hendak menolak. Namun tiba-tiba langit mendung menurunkan butiran hujan yang membuat Kasih tak punya pilihan. Kasih pun naik ke sisi sebelah kiri Reyvan. Mobil melaju meninggalkan kantor dan menuju ke perumahan tempatnya tinggal. Perjalanan cukup macet. Jarak dari perusahaan tempat mereka bekerja dengan perumahan tempat tinggal Kasih bisa menghabiskan waktu satu jam jika kondisi ramai lancar. Namun karena tersendat dan hujan perjalanan pun menjadi terasa lebih lambat, atau mungkin karena Kasih juga tengah merasa takut dan tak nyaman berada dalam satu mobil denga Reyvan.“Gimana kerja hari pertama? Betah?” tanyanya seraya tersenyum. Hanya menoleh sekilas pada Kasih lalu kembali melempar pandang ke depan. “
Sok alim kamu! Kamu pikir Mbak gak tahu kamu habis ngapain tadi, hah? Dasar sok suci.” Kalimat Vania menukik tajam. Kasih menatap wajah kakaknya dengan pandangan mengembun. Setengah mati dia menekan perasaan yang selama ini direndahkan. Namun tetap saja rasanya sakit diperlakukan demikian. “Salah aku apa sama, Mbak? Kenapa Mbak selalu seperti ini sama aku? Apa Mbak gak takut jika nanti semua perbuatan buruk Mbak akan balik pada diri Mbak sendiri?” tanya Kasih dengan suara gemetar. “Eh, baru kerja jadi OB sehari doang sudah songong. Memang kamu itu gak tahu diri ya. Mbak sudah susah-susah masukin kamu kerja biar kamu sedikit berguna. Eh malah neglunjak! Kamu pikir Mbak gak tahu kalau kamu tadi pulang ikut Pak Reyvan. Kamu pasti sengaja mau goda dia di belakang Mbak kan? Kamu pasti iri kan? Kamu pasti iri sama Mbak yang selalu lebih beruntung dari kamu!” oceh Vania. “Vani, Kasih! Kalian itu kebiasaan, ya! Ribut mulu kalau ketemu!”tegur Ibu. Perempuan paruh baya itu baru saja turun da
"Caranya?” Kasih menatap dengan tatapan polosnya. “Lu jadian sama gue!” tukas Evan. “Ih, kok jadi kesitu.” Kasih menautkan alis. Bingung dengan rencana Evan yang diluar nalarnya. “Kalau gak mau, ya sudah! Kalau lu setuju tinggal bilang gue. Gue juga gak maksa, cuma mau bantu lu dan lu juga bisa bantu gue!” Evan mengedik santai. Dia melenggang menuju sepeda motornya dan segera menyalakannya. “Aku gak ngerti rencananya kayak gimana. Lagian maen jadian aja. Kenal aja baru seminggu. Lihat muka kamu aja belum, Mas. Sama aja kayak beli kucing dalam karung.” Kasih menggerutu seraya cemberut. Tidak mengerti dengan jalan pikiran lelaki yang ada di depannya saat ini. Evan terkekeh, kedua matanya tampak menyipit. “Syukurlah kalau lu gak ngerti. Berarti lu gak mencurigai apapun tentang gue. Atau lu gak mau jadian sama gue karena gue cuma tukang ojol yang miskin?” Evan menarik satu alisnya ke atas.“Ih, kok kamu ngomongnya gitu, sih, Mas? Aku jadi takut. Jangan-jangan kamu itu penjahat, ya? L
Getar gawai membuyarkan kembali pikiran Evan. Sebuah pesanan masuk. Evan segera meluncur menuju tempat yang ditunjukkan oleh applikasi pada gawainya. Dia tiba di sebuah rumah mewah. Seorang perempuan paruh baya menunggunya di tepi jalan. Evan mengangguk dan menyapanya. Dia pun menyipitkan mata melihat sepasang lelaki dan perempuan yang tampak baru keluar dari teras dan saling bergandengan. “Kenapa lelaki itu mirip sekali dengan lelaki yang berfoto dengan Mami? Lalu bukankah perempuan itu Tante Niki?” Evan menyipitkan mata. Namun dia tak bisa berlama-lama perempuan paruh baya itu sudah naik ke sepeda motornya. Evan melajukan sepeda motornya menuju sebuah supermarket sesuai yang tertera dalam applikasi.“Ibu mau belanja?” Evan menatap perempuan paruh baya itu ketika baru saja turun di depan supermarket. “Iya biasa, belanja mingguan, Mas. Maklum majikannya royal jadi tiap minggu belanjanya. makasih ya, Mas.” Perempuan itu berjalan menjauh. Antara ragu dan ingin tahu, akhirnya Evan mem
Evan memandang remeh pada Vania. Dia tersenyum miring dari balik maskernya. “Silakan nikmati kemenangan sementaramu, Mbak. Saya pastikan kamu menyesal telah melakukan ini pada kami.” Evan berbicara tenang tetapi penuh penekanan. Vania belum sempat menjawab lagi ketika Evan membalikkan badan dan langsung melangkah keluar. Dia langsung menuju ke tempat di mana sepeda motornya terparkir tadi. Mungkin saja Kasih ada di sana. Namun rupanya gadis yang dicarinya tak ada. Evan memutar pandang ke sekitar. Menelisik kemungkinan keberadaan gadis yang tengah terluka itu. “Dasar cewek!” gerutu Evan seraya mengambil gawai. Dia langsung menelpon nomor Kasih yang memang pernah menghubunginya. Agak sedikit lama mencarinya karena Evan memang belum menyimpan nomor Kasih. Hanya ada empat nomor pada gawai barunya, nomor dua sahabatnya, dirinya dan Mama. Entah kenapa ada gerak dari hati yang mengatakan jika dirinya perlu peduli. Dia mendekatkan gawai itu ke telinganya, ada bunyi tersambung. Evan menun
“Kalau lo udah kayak gini, berarti lo udah siap jadian sama gue! Kita patahkan keangkuhan kakak lo yang sombong itu!” tukas Evan tenang dan datar. Sontak membuat Kasih menelan saliva karena merasa gugup luar biasa. “J--jadian?”Kasih menatap wajah tampan yang membuatnya penuh debar itu. “Ya, gue butuh seorang perempuan tangguh dan yang penting gak matre kayak lo untuk berada di sisi gue. Kalau lo keberatan untuk selamanya, gue juga gak maksa, kok. Kita bisa nikah dengan perjanjian. Yang penting gue bisa bawa lo ke depan bokap dan ngakuin lo jadi calon istri. Lo mau kan nikah sama gue?” Evan berucap dengan tenang. Seolah tak ada getar apapun dari dalam dadanya. “N--nikah?”Kasih menatap Evan tak percaya. “Kita bisa kerja sama. Walaupun gue tahu lo gak cinta sama gue, Kasih. Namun kesombongan kakak lo juga bikin gue gemes. Seolah hidup dia paling mulia dan paling beruntung. Baru jadi staff saja sudah belagu kayak gitu.”Evan berucap datar. “Kerja sama gimana?” Kasih menatap Evan. Bing
Tuan Gasendra masih menempelkan gawai pada daun telinganya. Terdengar suara seseorang yang begitu dia rindukan dari seberang sana. Ketiadaan Evan di rumah itu semenjak kepergian istrinya, membuat hari-harinya terasa kosong. Rasa rindu seorang ayah pada anaknya tak bisa dielakkan. Ya, Tuan Gasendra begitu merindukan kehadiran Evan di rumah itu. “Pah ini Evan!” “Evan! Akhirnya kamu menghubungi Papa juga! Di mana kamu tinggal sekarang, Nak? Papa jemput pulang, ya!” Suara Tuan Gasendra bergetar.Akhir-akhir ini jangankan bisa mengobrol seperti sekarang. Setiap kali dirinya menelpon, Evan selalu menolak panggilannya. Bahkan karena sudah tak tahan merindukan putranya itu, Tuan Gasendra pada akhirnya meminta Kasih untuk berlangganan ojol yang dia kenal betul sosoknya. Setidaknya dia bisa memandang putranya setiap pagi dari balik tirai lobi. “Aku mau ketemu, Pah! Aku mau Papa batalkan rencana perjodohan aku dengan keponakan Tante Niki. Seperti yang aku bilang sama Papa. Aku akan mencari se
“Yah, Kasih berangkat dulu!” Kasih mencium punggung tangan Ayah. “Sama si tukang ojol itu?” Vania yang baru saja keluar turun dari tangga tersenyum miring. “Dia itu punya nama, Mbak.” Kasih mendelik. Hatinya merasa tergores tatkala kakak perempuannya selalu memandang rendah siapapun dari kaca mata dia. Vania tertawa lalu berjalan mendekat ke arah Kasih dan Ayah.“Ciee marah … lagian gak penting juga buat aku tahu nama si tukang ojol itu. Gak level,” kekeh Vania seraya duduk pada sofa dan mengambil pisang goreng yang tersedia di atas meja. “Iya mending Mbak gak usah tahu namanya, dari pada nanti shock lebih cepat karena sudah menghinanya.” Kasih tersenyum miring. Rasanya ingin segera melihat wajah Vania yang pucat pasi ketika dirinya hadir sebagai istri dari seorang Evander Gasendra---putra satu-satunya dari pemilik perusahaan tempat Vania bekerja. “Eh, Yah! Dia udah berani sombong coba. Jangan-jangan dia lagi berkhayal kalau si tukang ojol itu anak konglomerat yang lagi nyamar ka