Beranda / Romansa / GAIRAH SANG TUAN MUDA / Keputusan Yang Tepat

Share

Keputusan Yang Tepat

Penulis: Zedya_lee
last update Terakhir Diperbarui: 2025-03-11 01:36:27

Langit malam telah menggantung gelap ketika Askara Dirgantara memasuki gerbang rumah mewahnya. Lampu-lampu taman yang temaram menerangi jalan setapak menuju pintu utama, menciptakan bayangan panjang di atas marmer mahal yang mengilap. Ia melepas dasinya dengan satu tarikan malas, membiarkan napasnya keluar perlahan. Hari ini melelahkan, bukan karena pekerjaan, tetapi karena pikirannya terus terusik oleh sosok wanita yang tidak seharusnya ia pikirkan—Eriska.

Begitu masuk ke dalam rumah, suara hak tinggi yang menghentak lantai marmer menyambutnya. Askara tidak langsung menoleh, tetapi ia tahu siapa pemilik suara itu.

Kalina Trimadani—wanita yang telah menjadi istrinya selama dua tahun terakhir, seorang model terkenal dengan kecantikan yang selalu dipuja banyak orang. Namun bagi Askara, semua itu tidak lagi berarti. Hubungan mereka telah dingin, nyaris membeku sepenuhnya sejak setahun terakhir.

Kalina berdiri di tengah ruang keluarga, mengenakan gaun satin merah yang membalut tubuhnya dengan sempurna. Wajahnya masih memesona, dengan make-up yang tak pernah kurang. Rambut hitamnya tergerai indah, memperlihatkan anting berlian yang berkilauan di bawah cahaya lampu kristal. Namun di balik keindahan itu, mata perempuan itu menyimpan sesuatu—kecurigaan, kekesalan, dan ego yang terluka.

“Tidur di mana semalam?” tanyanya langsung, tanpa basa-basi.

Askara menghentikan langkahnya sejenak, sebelum melanjutkan berjalan melewatinya menuju minibar di sudut ruangan. Ia menuangkan segelas bourbon ke dalam kristal bening, memutar cairan cokelat keemasan itu perlahan sebelum meneguknya.

“Bukan urusanmu,” jawabnya datar.

Kalina tertawa kecil, penuh sindiran. “Tentu saja itu urusanku, Aska. Aku ini istrimu.”

Askara meletakkan gelasnya dengan sedikit lebih keras dari yang seharusnya, lalu menatap Kalina dengan mata tajam. “Istri?” bibirnya melengkung sinis. “Istri yang meninggalkan kewajibannya?”

Wajah Kalina berubah masam. Ia mendekat, menyilangkan tangan di depan dada. “Jadi ini tentang anak lagi? Aska, aku kan sudah bilang berkali-kali. Aku belum siap untuk itu. Karirku sedang ada di puncaknya sekarang, aku tidak bisa mengorbankannya hanya karena kamu menginginkan seorang anak.”

Askara menghela napas panjang. Ini bukan pertama kalinya mereka membahas hal ini, dan hasilnya selalu sama—jalan buntu. Kalina tidak pernah mau mendengarkannya, tidak pernah mau mengerti bahwa pernikahan mereka butuh lebih dari sekadar status di atas kertas dan penampilan sempurna di depan publik.

“Kamh tidak bisa selamanya hanya memikirkan dirimu sendiri, Kalina,” ucapnya dengan suara lebih rendah, namun tajam. “Aku menikahimu bukan hanya untuk tampil sebagai pasangan sempurna di depan media. Aku ingin keluarga yang seutuhnya dengan kehadiran seorang anak. Aku ingin istri yang bisa menemani hidupku, bukan hanya menghabiskan waktu di runway dan pesta-pesta sosialita yang tidak jelas itu.”

Kalina mendengus. “Oh, jadi karena aku tidak bisa memberikan itu, kamu mulai mencari pelampiasan di luar sana?”

Askara menatapnya dingin. Ia tahu kemana arah pembicaraan ini. “Aku tidak punya waktu untuk drama ini,” katanya, lalu melangkah pergi menuju anak tangga.

“Tentu saja kamu tidak punya waktu,” Kalina mengejar, suaranya penuh sindiran. “Kamu terlalu sibuk tidur dengan wanita-wanita jalangmu, entah siapa itu!”

Langkah Askara terhenti di tangga. Ia menoleh, rahangnya mengeras. “Jaga ucapanmu, Kalina.”

Kalina menyeringai, lalu melipat tangan di depan dada. “Apa aku salah? Kamu tidak pulang semalam kan, apalagi jika tidak menghabiskan malam bersama perempuan lain. Aku tahu semuanya Askara, jangan kamu pikir aku bodoh."

Askara mendekatinya dengan tatapan dingin yang berbahaya. “Dan kalaupun aku melakukannya, kamu pikir itu salahku? Kamu pikir, aku juga tidak tahu bagaimana kamu dibelakangku?"

Wajah Kalina memucat sesaat, tetapi ia segera menegakkan tubuhnya, mempertahankan gengsinya. “Jadi kamu mengakuinya sekarang? Hebat. Lihatlah siapa yang sebenarnya menghancurkan pernikahan ini.”

Askara hanya menatapnya sejenak, lalu berbalik. Ia tidak tertarik melanjutkan pertengkaran ini. Semua sudah jelas—hubungan mereka sudah tidak bisa diselamatkan.

Ia menaiki tangga dengan langkah berat, menuju kamar utama yang sudah setahun ini hanya dihuni oleh dirinya sendiri. Kalina memiliki kamar terpisah di sayap lain rumah ini. Pernikahan mereka memang masih ada di atas kertas, tetapi pada kenyataannya, mereka hanyalah dua orang asing yang kebetulan tinggal di bawah atap yang sama.

Setelah masuk ke dalam kamarnya, Askara melepas jas dan melonggarkan kancing kemejanya. Ia duduk di tepi ranjang, mengusap wajahnya dengan tangan. Pikirannya kembali melayang pada kejadian tadi pagi, pada sosok wanita yang kini terus mengusik pikirannya—Eriska.

Ia seharusnya tidak peduli. Seharusnya melupakan kejadian itu dan melanjutkan hidup seperti biasa. Tapi entah kenapa, ada sesuatu dari wanita itu yang membuatnya sulit untuk mengabaikannya.

Tangannya meraih kartu nama yang tergeletak di atas meja. Nama ‘Eriska’ tertera jelas di sana, dan tanpa sadar, ia menyentuhnya dengan ibu jari.

Dalam dua hari, ia akan tahu segalanya tentang wanita ini. Jujur dia penasaran tentang Eriska.

***

Sementara di sisi lain, Eriska duduk di tepi ranjangnya, menatap kosong ke cermin besar di sudut kamar. Pikirannya kalut, dipenuhi pertanyaan-pertanyaan yang tidak bisa ia jawab. Seharusnya, ia tidak peduli. Seharusnya, ia menganggap kejadian semalam sebagai sesuatu yang tidak pernah terjadi. Namun, nyatanya tidak semudah itu.

Ia mengembuskan napas panjang, lalu mengusap wajahnya dengan kasar. "Mampus, Eriska, mampus," gumamnya sendiri.

Semalam, ia datang ke hotel dengan niat yang jelas—melampiaskan sakit hati nya dari Farel, mantan tunangannya yang ketahuan berselingkuh dan tidur dengan pria lain. Namun sayangnya, dia malah menghabiskan malam dengan pria yang bukan dia sewa.

Lalu siapa dia?

Eriska mengingat wajahnya dengan jelas—rahangnya yang tegas, tatapan tajam yang menghanyutkan, suara berat yang masih terngiang di telinganya. Ia bukan orang sembarangan, itu bisa dilihat dari caranya berbicara, dari sikapnya yang dominan.

Dan bagaimana jika pria itu datang mencarinya lagi? Apalagi ini kan kesalahannya sendiri karena masuk ke kamar yang salah.

Perutnya jadi mulas memikirkan semua itu.

Tiba-tiba, suara ketukan di pintu mengagetkannya. "Riska, ayo makan malam dulu," suara Ana, ibunya, terdengar dari luar.

Eriska menutup matanya sejenak, lalu menghembuskan napas sebelum bangkit dari tempat tidur. Ia tidak bisa terus bersembunyi di kamar dan meratapi nasib. Ada hal lain yang lebih penting—seperti menghadapi keluarganya setelah keputusan yang ia buat hari ini.

Saat tiba di meja makan, ibunya sudah duduk dengan raut wajah tenang, sementara Ayahnya sedang di luar kota untuk urusan bisnis.

"Makan yang banyak, jangan sampai sakit hanya karena stres," ujar Ana sambil menyendokkan sup ke dalam mangkuk Eriska.

Eriska tersenyum kecil. Ibunya memang seperti itu, tidak pernah menyudutkan atau menghakiminya, hanya akan mendukung dan memastikan putrinya baik-baik saja.

"Jadi, bagaimana perasaanmu sekarang setelah membatalkan pernikahan?" tanya Ana setelah beberapa saat hening.

Eriska menghela napas. "Lega, Bun. Aku pikir aku akan merasa lebih malu atau kecewa, tapi ternyata tidak. Aku justru merasa seperti baru saja menyelamatkan hidupku sendiri."

Ana tersenyum tipis. "Dan Bunda setuju dengan keputusanmu. Farel sudah mengkhianatimu bahkan sebelum menikah, siapa yang bisa menjamin dia tidak akan melakukannya lagi setelah menikah? Kamu berhak mendapatkan seseorang yang lebih baik dari Farel, Nak."

Eriska mengangguk. "Aku juga berpikir begitu. Lebih baik menanggung malu sekarang daripada menderita seumur hidup."

Ana menatap putrinya dengan penuh kasih. "Undangan sudah disebar, tapi tidak apa-apa. Keluarga kita akan baik-baik saja. Jangan khawatir tentang omongan orang, mereka hanya akan membicarakannya sebentar, lalu melupakannya."

Eriska tersenyum kecil. Ibunya benar. Tidak peduli seberapa besar skandal ini, orang-orang hanya akan membicarakannya sebentar sebelum beralih ke hal lain yang lebih menarik.

Namun, satu hal yang masih mengusiknya bukanlah pernikahan yang batal—melainkan pria asing yang semalam bersamanya.

"Bisa gila gue lama-lama," batin Eriska.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • GAIRAH SANG TUAN MUDA   Yang Sebenarnya

    Setelah makan malam, Askara mengajak Eriska berjalan ke tepi pantai. Langit malam di atas mereka bertabur bintang, menciptakan suasana tenang yang kontras dengan badai emosi yang berkecamuk di hati Eriska. Deburan ombak yang berulang kali mencapai bibir pantai seakan berusaha menenangkan pikirannya, tapi tetap saja, ia masih merasa marah dan kecewa.Angin malam bertiup lebih dingin dari yang ia kira. Ia merapatkan tangannya ke tubuh, mengusap kedua punggungnya untuk menghangatkan diri. Namun, sebelum ia sempat melangkah menjauh, sesuatu yang hangat menyelimuti bahunya.Eriska menoleh dan mendapati Askara telah menyampirkan jasnya ke bahunya.“Aku tahu kamu kedinginan. Pakai aja, jangan protes,” ucap pria itu dengan nada lembut, tapi ada ketegasan di dalamnya.Eriska ingin menolak, ingin mengembalikan jas itu. Tapi pada akhirnya, ia memilih diam. Ia masih kesal, tapi lebih dari itu, ia ingin mendengar penjelasan Askara—meskipun ia tak yakin akan percaya.Mereka duduk di atas pasir, mem

  • GAIRAH SANG TUAN MUDA   Makan malam

    Eriska masih kesal sejak pagi. Sejak dia tahu fakta yang membuatnya merasa seperti orang paling bodoh di dunia—bahwa Askara Dirgantara sudah menikah. Sialan. Dia benar-benar ingin meninju wajah pria itu. Ingin meneriakinya sebagai bajingan kelas kakap. Tapi, di satu sisi, dia juga harus tetap bersikap profesional. Sebagai sekretaris, dia tidak bisa membiarkan emosi pribadinya mengganggu pekerjaannya. Jadi, meskipun dia sangat kesal dan marah dengan Askara, Eriska tetap melakukan tugasnya seperti biasa. Hari ini penuh dengan rapat dan pertemuan dengan klien-klien penting. Eriska dan Askara harus menghadiri tiga meeting penting berturut-turut, Eriska mencatat poin-poin penting, memastikan Askara tetap on track dengan jadwalnya, dan sesekali bertukar senyum dengan rekan bisnis pria itu—senyum profesional yang terasa dipaksakan. Sementara itu, Askara bersikap seolah tidak ada yang terjadi. Seakan ia bukan pria brengsek yang sudah pernah menidurinya dan merahasiakan pernikahannya.

  • GAIRAH SANG TUAN MUDA   Di balik Kesempurnaan

    Kalina duduk dengan anggun di kursi rias, membiarkan tangan-tangan profesional menata rambutnya dengan sempurna. Make-up artist menyapukan kuas dengan hati-hati di wajahnya, memberikan sentuhan akhir yang membuatnya tampak lebih menawan dari biasanya. "Pipi kamu tuh benar-benar kayak porselen, beb. Mulus banget," puji salah satu MUA yang agak kemanyu dengan kagum. "Aku jadi iri deh. Udah cantik, badannya bagus, model terkenal, dan yang paling bikin iri ... suaminya mbak Kalina itu, seorang Askara Dirgantara. Sempurna banget hidupnya ya," tambah seorang staf yang ada di sana. Kalina hanya tersenyum tipis menanggapi pujian itu. Dia sudah terbiasa dengan komentar seperti ini—orang-orang menganggap hidupnya begitu indah, seolah-olah ia memiliki segalanya. Namun, di balik itu semua, hanya dia yang tahu betapa kosongnya hatinya. Apalagi dengan rumah tangganya. Tidak jauh dari sana, seorang pria berjas hitam memperhatikannya dengan tatapan tajam. Mata pria itu, Prasetyo, terfokus hanya

  • GAIRAH SANG TUAN MUDA   Bali

    Hari ini, merupakan hari tersial menurut Eriska. Bagaimana tidak? Sudah cukup kesabarannya diuji sejak pagi dengan pesan-pesan menggoda dari Askara, dan sekarang, pria itu datang dengan kejutan baru yang sukses membuatnya nyaris meledak."Siap-siap. Kita ke Bali sekarang," kata Askara santai setelah rapat berakhir.Eriska, yang masih sibuk merapikan berkas, spontan mengangkat wajah dengan mata membelalak. "Apa? Ke Bali?"Askara mengangguk, ekspresi wajahnya tetap tenang seolah ini bukan hal besar. "Ada pekerjaan mendadak yang harus kita urus di sana. Sebagai sekretarisku, tentu saja kamu harus ikut, Er."Eriska mengepalkan tangan, berusaha menahan keinginannya untuk menjambak rambut pria itu saat ini juga. "Kenapa baru bilang sekarang, Pak? Seharusnya bisa dibicarakan dua hari yang lalu, atau minimal pagi tadi! Saya belum menyiapkan apa pun!"Askara menyeringai. "Tenang aja. Aku akan membelikanmu baju saat kita sudah sampai di sana. Semua kebutuhanmu selama di Bali, aman."Tenang? B

  • GAIRAH SANG TUAN MUDA   Nafsu Makan

    Hari ini tidak ada yang berbeda. Seperti biasanya, Eriska bangun dengan perasaan dongkol yang tak kunjung reda. Pikirannya masih dipenuhi kejadian kemarin di kafe—kehadiran mantan tunangannya yang brengsek itu, dan yang lebih parah, keberadaan Askara dalam hidupnya yang seakan semakin sulit dihindari.“Dasar pria brengsek,” gumamnya kesal sambil merapikan blazer di depan cermin.Ia sudah tidak ingin bertemu dengan Askara lagi setelah kejadian di hotel waktu itu. Sudah cukup pria itu mempermainkannya dengan seenaknya, memperbaiki harga dirinya seakan-akan ia adalah mainan yang bisa dirusak lalu diperbaiki sesuka hati.Dengan perasaan yang masih kacau, Eriska berangkat ke kantor. Begitu sampai, ia langsung tenggelam dalam tumpukan pekerjaan dan menghadiri beberapa rapat penting. Setidaknya, kesibukan bisa sedikit mengalihkan pikirannya dari Askara.Namun, ternyata hari ini keberuntungan tidak berpihak padanya lagi.Baru saja ia hendak menikmati makan siangnya yang tertunda, seorang asis

  • GAIRAH SANG TUAN MUDA   Bermain Api

    Lampu di ruangan itu temaram, hanya diterangi oleh sinar layar komputer yang menampilkan potongan-potongan adegan video klip yang baru saja selesai syuting. Kalina duduk nyaman di atas paha Pras, jemarinya bermain di kerah kemeja pria itu, sementara tangan Pras bertumpu di pinggangnya, seolah menjaganya agar tetap di sana.“Kamu nggak pulang?” suara Pras terdengar rendah, serak, dan sarat akan makna.Kalina menggeleng pelan. "Untuk apa? Suamiku bahkan tidak akan menyadarinya," katanya dengan nada yang terdengar enteng, tapi menyimpan banyak luka.Pras menatap wajahnya lekat-lekat, memperhatikan setiap detail—mata cokelatnya yang berbinar di bawah sorot layar, bibirnya yang mengerucut manja, serta aroma parfum mahal yang bercampur dengan kehangatan tubuhnya."Dia bahkan nggak mencari mu?" tanya Pras lagi, kali ini dengan nada skeptis.Kalina mendengus kecil, ujung jarinya kini mengelus rahang kokoh Pras dengan gerakan iseng. “Kenapa harus mencari? Aku yakin dia sekarang ada di hotel, m

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status