Share

Cafe

Author: Zedya_lee
last update Last Updated: 2025-03-11 02:11:20

Cangkir-cangkir kopi berjejer rapi di etalase kaca sebuah kafe di tengah kota. Aroma biji kopi yang baru digiling memenuhi ruangan, berpadu dengan suara dentingan sendok dan tawa ringan dari para pelanggan yang menikmati obrolan santai mereka.

Eriska duduk di sudut ruangan dekat jendela, menatap kosong ke luar sembari memainkan sendok di tangannya. Ia datang lebih awal dari yang dijanjikan, berharap bisa menenangkan pikirannya sebelum harus bercerita panjang lebar kepada Maya. Namun, semakin ia mencoba melupakan kejadian itu, semakin wajah pria asing itu muncul di kepalanya.

Sial.

Kenapa justru dia yang terus teringat? Seharusnya Eriska sudah melupakan malam itu. Seharusnya ia tidak peduli. Tapi otaknya berkhianat.

Tak lama, suara langkah cepat mendekat. "Buset, panas banget di luar! Jakarta makin edan aja hawanya huft?"

Maya, sahabatnya sejak kuliah, melemparkan diri ke kursi di depan Eriska. Ia melepas sunglasses dari wajahnya lalu menaruh ponselnya di atas meja. "Gue hampir aja nabrak motor barusan, sumpah deh. Sorry ya gue telat dikit."

Eriska mengangkat bahu, tersenyum tipis. "Baru juga sepuluh menit, santai."

Maya melempar tatapan curiga. "Tapi kenapa muka lo kayak orang abis kena karma? Jangan-jangan lo masih mikirin kejadian malam itu?"

Eriska mendesah berat. "Ya gimana nggak kepikiran, May? Gue tuh nggak pernah kebayang bakal ngalamin kejadian kayak gitu seumur hidup gue."

Maya mendekatkan tubuhnya, mencondongkan wajah penuh rasa penasaran. "Ceritain semuanya dari awal sampai akhir dong. Gue mau tau detailnya. Jangan ada yang lo skip!"

Eriska mengusap wajahnya. "Gue masih ngerasa aneh, sumpah. Harusnya malam itu gue ketemu cowok yang emang lo pesen, tapi gue malah masuk ke kamar yang salah. Dan lo tau siapa yang ada di sana?"

Maya menaikkan alis. "Siapa?"

Eriska menggeleng pelan. "Gue nggak tau namanya, tapi dia tuh … beda. Dari cara dia bicara, sikapnya, cara dia megang gue … itu beda banget, May. Bikin ketagihan."

Mata Maya berbinar. "Jadi lo beneran ngalamin ‘malam panas’ itu tapi sama cowok yang beda?"

Eriska melotot. "Dih, lo kalau ngomong bisa nggak sih nggak usah blak-blakan gitu?"

Maya terkekeh. "Tapi kata lo, service-nya oke kan? Boleh lah lo coba lagi sama dia, kapan-kapan."

Eriska mendelik tajam. "Dih nggak mau!! Ya emang sih oke banget, sampai merem melek gue. Tapi ya gue tetap nggak mau, May. Tau sendiri kan gue cuma mau nyoba itu sekali, selebihnya nggak mau gue."

Maya tertawa semakin keras. "Yah, sayang banget sih. Kalau udah nemu yang bagus gitu, kenapa nggak lo pertahanin?"

Eriska memutar bola matanya. "Please, May. Jangan bikin otak gue makin kacau."

Maya menyesap kopinya, masih dengan senyum jahil. "Oke, oke. Gue ngerti. Tapi beneran nih, lo sama sekali nggak penasaran siapa dia?"

Eriska terdiam sejenak. "Jujur … gue penasaran."

Maya menyandarkan punggungnya. "Nah, kalau gitu lo tinggal cari tau aja. Kalau emang dia orang penting, lo bisa nemuin jejaknya."

Eriska menghela napas panjang. "Gue nggak yakin itu ide bagus."

Maya mengangkat bahu. "Terserah lo sih, tapi feeling gue bilang, ini nggak bakal berhenti di sini aja. Dan feeling seorang Maya sangat kuat."

----------------

Sedangkan di sisi lain.

Di dalam ruang kantornya yang luas, Askara Dirgantara duduk di belakang meja, menatap data di laptopnya dengan tatapan tajam. Di hadapannya, seorang pria berusia 28 tahun dengan kemeja rapi berdiri sambil menyerahkan beberapa dokumen tambahan.

“Semua informasi tentang wanita itu sudah saya kumpulkan, Pak,” ujar pria itu.

Askara mengambil map itu dan membukanya perlahan. Nama lengkapnya: Eriska Prameswari.

Menarik.

Matanya menyusuri detail demi detail yang tercatat di sana. Usia 25 tahun. Baru saja membatalkan pernikahannya dengan seorang pria bernama Farel Rinaldi setelah mengetahui pria itu berselingkuh. Ia juga baru saja kehilangan pekerjaannya. Sekarang, ia sedang mencari pekerjaan baru.

Semakin menarik.

Askara menyandarkan tubuhnya ke kursi, lalu tersenyum kecil. “Dan dia punya seorang kakak yang bekerja di perusahaan ini?”

Pria di depannya mengangguk. “Benar, Pak. Edo Prameswari, manajer HR yang saat ini sedang ditugaskan ke London selama sebulan.”

Askara mengetuk-ngetukkan jarinya di meja. Ini lebih dari sekadar kebetulan biasa.

Wanita itu masuk ke dalam hidupnya secara tidak sengaja, namun sekarang ia menemukan bahwa Eriska terhubung dengan perusahaannya.

“Baiklah,” kata Askara akhirnya. “Pastikan Eriska mendapatkan panggilan wawancara kerja di sini. Aku ingin melihat sejauh mana keberuntungan membawanya.”

Pria itu mengangguk patuh. “Baik, Pak.”

Setelah pria itu keluar, Askara kembali menatap nama di dokumen itu.

Eriska Prameswari.

Semakin lama namanya terdengar semakin familiar. Ada sesuatu dalam dirinya yang ingin mengenal wanita ini lebih jauh. Bukan hanya karena kejadian malam itu, tapi karena Eriska membuatnya tertarik dengan cara yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

Dan Askara bukan pria yang bisa mengabaikan rasa penasarannya begitu saja.

----------------

Beberapa hari kemudian.

Eriska tengah duduk di meja makan bersama ibunya dan Maya ketika ponselnya bergetar. Ia mengernyit saat melihat nama perusahaan yang menghubunginya.

"PT Dirgantara Corp?" gumamnya.

"Kenapa, Nak?" tanya ibunya.

"Kayaknya perusahaan yang lagi buka lowongan kerja, Bun. Aku kan emang lagi kirim lamaran ke beberapa tempat."

Ana tersenyum. "Angkatlah, siapa tahu rezeki."

Eriska mengangguk, lalu mengangkat panggilan itu.

"Halo?"

"Selamat pagi, ini dengan Eriska Prameswari?" suara wanita di seberang terdengar ramah.

"Iya, saya sendiri."

"Kami dari PT Dirgantara Corp ingin mengundang Anda untuk wawancara kerja. Apakah Anda bersedia datang lusa pukul 10 pagi?"

Eriska membelalakkan mata. Perusahaan ini termasuk perusahaan besar, dan dia tidak menyangka bisa mendapatkan panggilan dari sini secepat ini.

"Tentu, saya bersedia," jawabnya cepat.

"Baik, kami akan mengirimkan detailnya melalui email. Sampai jumpa di kantor, Nona Eriska."

Setelah panggilan berakhir, Eriska masih menatap layar ponselnya dengan bingung.

Maya langsung bertanya, "Kenapa lo diem aja, Ris?"

Eriska menoleh dengan raut wajah aneh. "Gue baru aja dapet panggilan kerja dari PT Dirgantara Corp."

Maya mengerutkan dahi. "Tunggu, itu bukan nya perusahaan yang gede banget itu? Tempat Bang Edo kerja."

Eriska mengangguk. "Iya."

Maya melipat tangan di depan dada. "Gila, lo hoki banget Ris! Tapi kok lo kelihatan agak nggak seneng gitu, ada yang lo pikirin?"

Eriska menggeleng, meski hatinya merasa ada yang janggal. Tapi ia mengabaikan perasaan itu.

Lagi pula, siapa juga yang peduli? Ini kesempatan besar. Dan ia tidak mungkin melewatkannya.

Yang Eriska tidak tahu, seseorang telah mengatur semua ini.

Seseorang yang tengah menunggu pertemuan mereka kembali.

Seseorang yang tidak akan membiarkannya pergi begitu saja setelah ini.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • GAIRAH SANG TUAN MUDA   Yang Sebenarnya

    Setelah makan malam, Askara mengajak Eriska berjalan ke tepi pantai. Langit malam di atas mereka bertabur bintang, menciptakan suasana tenang yang kontras dengan badai emosi yang berkecamuk di hati Eriska. Deburan ombak yang berulang kali mencapai bibir pantai seakan berusaha menenangkan pikirannya, tapi tetap saja, ia masih merasa marah dan kecewa.Angin malam bertiup lebih dingin dari yang ia kira. Ia merapatkan tangannya ke tubuh, mengusap kedua punggungnya untuk menghangatkan diri. Namun, sebelum ia sempat melangkah menjauh, sesuatu yang hangat menyelimuti bahunya.Eriska menoleh dan mendapati Askara telah menyampirkan jasnya ke bahunya.“Aku tahu kamu kedinginan. Pakai aja, jangan protes,” ucap pria itu dengan nada lembut, tapi ada ketegasan di dalamnya.Eriska ingin menolak, ingin mengembalikan jas itu. Tapi pada akhirnya, ia memilih diam. Ia masih kesal, tapi lebih dari itu, ia ingin mendengar penjelasan Askara—meskipun ia tak yakin akan percaya.Mereka duduk di atas pasir, mem

  • GAIRAH SANG TUAN MUDA   Makan malam

    Eriska masih kesal sejak pagi. Sejak dia tahu fakta yang membuatnya merasa seperti orang paling bodoh di dunia—bahwa Askara Dirgantara sudah menikah. Sialan. Dia benar-benar ingin meninju wajah pria itu. Ingin meneriakinya sebagai bajingan kelas kakap. Tapi, di satu sisi, dia juga harus tetap bersikap profesional. Sebagai sekretaris, dia tidak bisa membiarkan emosi pribadinya mengganggu pekerjaannya. Jadi, meskipun dia sangat kesal dan marah dengan Askara, Eriska tetap melakukan tugasnya seperti biasa. Hari ini penuh dengan rapat dan pertemuan dengan klien-klien penting. Eriska dan Askara harus menghadiri tiga meeting penting berturut-turut, Eriska mencatat poin-poin penting, memastikan Askara tetap on track dengan jadwalnya, dan sesekali bertukar senyum dengan rekan bisnis pria itu—senyum profesional yang terasa dipaksakan. Sementara itu, Askara bersikap seolah tidak ada yang terjadi. Seakan ia bukan pria brengsek yang sudah pernah menidurinya dan merahasiakan pernikahannya.

  • GAIRAH SANG TUAN MUDA   Di balik Kesempurnaan

    Kalina duduk dengan anggun di kursi rias, membiarkan tangan-tangan profesional menata rambutnya dengan sempurna. Make-up artist menyapukan kuas dengan hati-hati di wajahnya, memberikan sentuhan akhir yang membuatnya tampak lebih menawan dari biasanya. "Pipi kamu tuh benar-benar kayak porselen, beb. Mulus banget," puji salah satu MUA yang agak kemanyu dengan kagum. "Aku jadi iri deh. Udah cantik, badannya bagus, model terkenal, dan yang paling bikin iri ... suaminya mbak Kalina itu, seorang Askara Dirgantara. Sempurna banget hidupnya ya," tambah seorang staf yang ada di sana. Kalina hanya tersenyum tipis menanggapi pujian itu. Dia sudah terbiasa dengan komentar seperti ini—orang-orang menganggap hidupnya begitu indah, seolah-olah ia memiliki segalanya. Namun, di balik itu semua, hanya dia yang tahu betapa kosongnya hatinya. Apalagi dengan rumah tangganya. Tidak jauh dari sana, seorang pria berjas hitam memperhatikannya dengan tatapan tajam. Mata pria itu, Prasetyo, terfokus hanya

  • GAIRAH SANG TUAN MUDA   Bali

    Hari ini, merupakan hari tersial menurut Eriska. Bagaimana tidak? Sudah cukup kesabarannya diuji sejak pagi dengan pesan-pesan menggoda dari Askara, dan sekarang, pria itu datang dengan kejutan baru yang sukses membuatnya nyaris meledak."Siap-siap. Kita ke Bali sekarang," kata Askara santai setelah rapat berakhir.Eriska, yang masih sibuk merapikan berkas, spontan mengangkat wajah dengan mata membelalak. "Apa? Ke Bali?"Askara mengangguk, ekspresi wajahnya tetap tenang seolah ini bukan hal besar. "Ada pekerjaan mendadak yang harus kita urus di sana. Sebagai sekretarisku, tentu saja kamu harus ikut, Er."Eriska mengepalkan tangan, berusaha menahan keinginannya untuk menjambak rambut pria itu saat ini juga. "Kenapa baru bilang sekarang, Pak? Seharusnya bisa dibicarakan dua hari yang lalu, atau minimal pagi tadi! Saya belum menyiapkan apa pun!"Askara menyeringai. "Tenang aja. Aku akan membelikanmu baju saat kita sudah sampai di sana. Semua kebutuhanmu selama di Bali, aman."Tenang? B

  • GAIRAH SANG TUAN MUDA   Nafsu Makan

    Hari ini tidak ada yang berbeda. Seperti biasanya, Eriska bangun dengan perasaan dongkol yang tak kunjung reda. Pikirannya masih dipenuhi kejadian kemarin di kafe—kehadiran mantan tunangannya yang brengsek itu, dan yang lebih parah, keberadaan Askara dalam hidupnya yang seakan semakin sulit dihindari.“Dasar pria brengsek,” gumamnya kesal sambil merapikan blazer di depan cermin.Ia sudah tidak ingin bertemu dengan Askara lagi setelah kejadian di hotel waktu itu. Sudah cukup pria itu mempermainkannya dengan seenaknya, memperbaiki harga dirinya seakan-akan ia adalah mainan yang bisa dirusak lalu diperbaiki sesuka hati.Dengan perasaan yang masih kacau, Eriska berangkat ke kantor. Begitu sampai, ia langsung tenggelam dalam tumpukan pekerjaan dan menghadiri beberapa rapat penting. Setidaknya, kesibukan bisa sedikit mengalihkan pikirannya dari Askara.Namun, ternyata hari ini keberuntungan tidak berpihak padanya lagi.Baru saja ia hendak menikmati makan siangnya yang tertunda, seorang asis

  • GAIRAH SANG TUAN MUDA   Bermain Api

    Lampu di ruangan itu temaram, hanya diterangi oleh sinar layar komputer yang menampilkan potongan-potongan adegan video klip yang baru saja selesai syuting. Kalina duduk nyaman di atas paha Pras, jemarinya bermain di kerah kemeja pria itu, sementara tangan Pras bertumpu di pinggangnya, seolah menjaganya agar tetap di sana.“Kamu nggak pulang?” suara Pras terdengar rendah, serak, dan sarat akan makna.Kalina menggeleng pelan. "Untuk apa? Suamiku bahkan tidak akan menyadarinya," katanya dengan nada yang terdengar enteng, tapi menyimpan banyak luka.Pras menatap wajahnya lekat-lekat, memperhatikan setiap detail—mata cokelatnya yang berbinar di bawah sorot layar, bibirnya yang mengerucut manja, serta aroma parfum mahal yang bercampur dengan kehangatan tubuhnya."Dia bahkan nggak mencari mu?" tanya Pras lagi, kali ini dengan nada skeptis.Kalina mendengus kecil, ujung jarinya kini mengelus rahang kokoh Pras dengan gerakan iseng. “Kenapa harus mencari? Aku yakin dia sekarang ada di hotel, m

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status