Setelah kemarin Felix menghabiskan waktu seharian untuk membantu Ara pindahan, mereka akhirnya memutuskan menandatangani kontrak perjanjian yang sudah direvisi.
Poin-poin dalam perjanjian itu mulai berlaku dan tak boleh dilanggar, kalau dilanggar akan ada hukuman yang menanti.Felix saat ini sedang berada di markas gengnya. Tempat ini adalah apartemen Etthan mulanya, tetapi karena tak lagi dipakai, mereka mengubahnya menjadi markas. Anggota geng sering kumpul di sini."Lo ternyata seriusan sama aplikasi itu, Lix, enggak nyangka banget, mana gercep lagi," kata Etthan pada Felix yang terlihat sibuk memegang ponselnya dan senyum-senyum sendiri."Hm." Felix hanya bergumam sebagai jawaban, ia lebih tertarik berbalas pesan dengan Ara dari pada mengobrol dengan Etthan."Buset, dah, yang pacaran mah dunia serasa milik berdua, yang lain cuma ngontrak," ujar Etthan yang merasa diabaikan kehadirannya."Sirik aja lo," ketus Felix. Mood-nya tiba-tiba berubah karena Ara tak bisa diajak jalan kali ini; ada urusan mendadak katanya lewat pesan tadi."Buset kenapa dah?" tanya Etthan yang heran dengan perubahan Felix.Felix tak peduli dan memilih membakar sebatang rokok kemudian menghisapnya."Kenapa, sih?" tanya Etthan masih penasaran. Tadi ia lihat Felix senyum-senyum sendiri, sekarang malah kesal sendiri tanpa alasan yang jelas."Diem, deh!" perintah Felix sambil masih sibuk dengan rokoknya, ia tengah kesal sekarang, tak ingin diajak mengobrol apa pun.Etthan diam, ia paham dengan perintah tersebut, kalau sudah begitu artinya ia memang harus benar-benar diam.Felix sebenarnya sedikit heran pada dirinya sendiri, bisa-bisanya ia berubah mood secepat ini karena hal-hal kecil yang berkaitan dengan gadis bernama Adara Lansonia itu, tadi ia senang, sekarang malah sebal.Tring!Satu pesan masuk ke ponselnya, Felix buru-buru mengecek dengan raut bahagia, siapa tahu urusan Ara sudah selesai dan bersedia jalan bersamanya. Saat melihat siapa pengirimnya, Felix malah tambah kesal.Pesan itu dari Talitha yang mengatakan kalau wanita itu rindu dan ingin bertemu. Pesan yang sangat tidak diharapkan, akan tetapi, pikiran Felix sedang kacau saat ini, entah setan dari mana, ia malah setuju.[Oke. Di restaurant biasa.]Balasan tersebut Felix kirim."Persetan sama kontrak dan perjanjian," umpat Felix kemudian bangkit dan pergi.Etthan menatap hal tersebut tak mengerti, ia mengangkat bahu saja, terrserah apa pun yang Felix lakukan, asal jangan mengamuk di sini saja. Etthan ogah, Felix yang mengamuk benar-benar merepotkan.***Felix sampai di restaurant tempat biasa ia dan Talitha kencan. Di sana di meja nomor lima, wanita model itu sudah menunggunya, ia mulai berjalan menghampiri Talitha.Saat sampai, tak ada kata sapaan atau sepatah kata pun yang keluar dari bibir Felix, ia hanya menarik kursi kemudian duduk.Talitha yang tersadar menatap Felix dengan binar senang. "Kamu datang, Lix. Aku kangen banget sama Kamu," ujarnya dengan raut wajah senang. Ia ingin bangkit untuk memeluk Felix, tetapi pria itu mengangkat tangannya sebagai bentuk penolakan.Talitha mengela napas perlahan. "Itu makanan kesukaan Kamu udah aku pesenin," katanya menunjuk Kobe Beaf yang ada di meja mereka. Ia sedikit kecewa karena Felix menolak pelukannya.Felix hanya mengangguk saja."Hm." Felix hanya berdehem pelan. Ia datang karena bosan dan tak memiliki rencana apa pun untuk dilakukan hari ini."Aku sebenarnya enggak terima sama keputusan Kamu, Lix. Hubungan kita baru jalan dua bulan dan enggak ada masalah apa-apa, tiba-tiba Kamu malah mutusin aku." Talitha berkata dengan muka sedihnya.Felix tak terpengaruh sama sekali dengan ekspresi sedih itu, apa pedulinya. Talitha sedih pasti karena merasa kehilangan sumber uang berjalannya. Felix bukan tak mengetahui kalau selama ini gadis itu juga menjalin hubungan dengan pria selain dirinya."Aku sudah bosan denganmu." Hanya itu jawaban Felix. Ia tak merasa perlu repot-repot untuk memikirkan perasaan gadis di depannya saat ini."Huh, aku bisa berubah seperti apa pun yang Kamu mau supaya enggak bosan." Talitha melayangkan sebuah penawaran, ia terlihat percaya diri saat mengatakan hal tersebut.Felix yang mendengar ucapan wanita di depannya tersenyum miring. "Enggak usah," katanya. Mau seperti apa pun Talitha mengubah dirinya sendiri, Felix tetap tak akan mengubah keputusannya. Ia sudah tak berminat lagi dengan model satu ini."Tapi Kamu masih mau ketemu sama aku, ini bisa dihitung sebagai kencan, loh," kata Talitha masih bersikeras.Felix sama sekali tak mengerti ke mana arah pembicaraan wanita ini, dari tadi muter-muter tak jelas. Bukannya ia yang mengajak untuk bertemu? Tak ada salahnya, kan, Kalau Felix setuju."Kamu enggak suka?" tanya Felix datar. Kalau benar Talitha tak suka, ia akan segera pergi dari sini."Kamu bercanda?" tanya Talitha balik. "Aku malah senang kalau Kamu mau datang.""Kalau begitu diam dan biarkan aku menikmati makananku.""Oke. Mau menemaniku hari ini?" tanya Talitha lagi. Ia terlihat antusias saat bertanya.Felix diam sebentar kemudian bertanya "Ke mana?""Shopping Mall."Sudah Felix duga, pikiran wanita di depannya pasti tak akan jauh-jauh dari belanja, tak seperti Ara.Tunggu! Kenapa juga Felix harus mengingat gadis manis, tetapi galak itu. Mereka hanya terikat kontrak biasa sebagai pacar, bukan pacar beneran.Mengingat hal tersebut, Felix jadi tambah kesal. Tanpa pikir panjang, ia menyetujui permintaan Talitha."Oke, biarin aku makan dulu," ucap Felix.Talitha terlihat senang dengan jawaban yang Felix berikan, "thanks banget, Kamu emang yang terbaik."***Mereka--Talitha dam Felix berjalan berdampingan ke luar restaurant, tangan Talitha menggandeng mesra pada tangan Felix. Pria tersebut membiarkan saja, ia malas menolak. Kadang wanita itu bisa sangat keras kepala."Padahal kita udah serasi begini, Lix, kurang apa lagi?" tanya Talitha. Ia merasa bangga bisa berjalan berdua seperti ini dengan pria di sampingnya."Hm." Hanya itu jawaban Felix. Mereka sudah sampai di bassement restaurant. Jangan heran, restaurant yang mereka kunjungi adalah restaurant mewah untuk kalangan atas, makanya punya parkiran di bawah tanah juga."Balikan, yuk," ajak Talitha semudah mengajak teman sesama wanitanya untuk ke salon bersama. Ia tak lagi memikirkan harga dirinya sebagai seorang wanita."Engak!" tolak Felix tegas. Mendengar dirinya diajak balikan oleh seorang wanita membuatnya sedikit mual. Tidakkah Talitha sedikit malu. Oh Felix lupa, apa pun bisa wanita ini lakukan demi karier dan uang, ia bahkan rela merendahkan harga dirinya."Tapi kenapa?" tanya Talitha mengulang pertanyaan waktu mereka masih di dalam retaurant."Bosen." Felix lagi-lagi menjawab hal yang sama."Ayolah, Lix, aku bisa kasih Kamu apa yang Kamu mau sebagai seorang pacar dan partner di ... ranjang," tawar Talitha. Ia bahkan rela menawarkan tubuhnya dengan sangat gampang."Murahan."Talitha tak terlihat tersinggung dengan ucapan Felix barusan, ia malah semakin tertantang dan mulai maju untuk mendekatkan wajahnya dengan wajah pria arogan di hadapannya ini.Felix menaikkan alis bingung, gerakan Talitha terlihat seperti ingin menciumnya dan benar saja. Satu ciuman mendarat di bibirnya. Felix sebenarnya tak suka, tetapi ia punya cara lain untuk menjatuhkan harga diri wanita ini. Dengan tidak membalas ciumannya mungkin bisa membuat Talitha paham kalau ia benar-benar tak tertarik dan tak tergoda sedikit pun.Ciuman tersebut masih berlangsung sampai beberapa menit, Talitha rupanya tak ingin menyerah, ia malah tambah semangat karena berpikir Felix menyukai ciumannya dan tak menolaknya.Felix masih diam menunggu sampai sebuah suara berhasil membuatnya tersentak."Bagus sekali, DaddyF, baru hari pertama sudah selingkuh, poin nomor enam dilanggar." Suara itu terdengar ketus.Felix panik dan mendorong Talitha menjauh. Ia membulatkan matanya saat melihat Ara berdiri sambil menatapnya galak. Ia meneguk ludah gugup."Pergi! Aku udah enggak ada urusan sama Kamu lagi," kata Felix datar.Talitha mendengus kesal, ia tak suka karena ada yang mengganggu ciumannya bersama Felix, apalagi oleh seorang gadis. "Pergi!" seru Felix sekali lagi, suaranya lebih keras kali ini, tatapannya masih mengarah ke arah gadis di depannya--Ara. Talitha tersenyum senang, Felix pasti sangat menikmati ciumannya dan tak suka diganggu, makanya ia sampai semarah itu. Talitha kasihan dengan gadis yang tak ia tahu namanya itu. "Oke, aku pergi," kata Ara datar. Kalau Felix memang ingin ia pergi, maka ia akan segera pergi. Ia mulai membalikkan badannya, tetapi terhenti karena perkataan pria itu lagi. "Bukan Kamu," kata Felix cepat dan berjalan mendekap gadis itu. Bukan Ara yang ia suruh pergi, melainkan Talitha. Tatapannya memang mengarah ke Ara, tetapi ia tak bermaksud seperti itu. "Felix," raung Talitha marah melihat hal tersebut. Ia sudah senang karena mengira Felix lebih memilihnya dan mengusir gadis pengganggu itu, tetapi kenyataannya malah ia yang diusir. Awas saja nanti. "Pergi sana!" per
"Eiiittsss, jangan sentuh, jangan sentuh! Ingat, Kamu masih dalam masa hukuman, tinggal dua hari lagi," peringat gadis yang sedang asik makan di depan Felix kali ini, siapa lagi kalau bukan Ara. Felix datang dan mengunjungi Ara setiap hari ke apartemen gadis itu. Seperti hari ini, ia datang dengan membawa satu kotak pizza sebagai buah tangan. Bukannya memeluk atau mencium Felix sebagai ucapan terima kasih, Ara malahan cuma mengambil kotak pizza-nya dan menjaga jarak dari pria itu, Ia bahkan tak mau duduk terlalu dekat. Felix yang menjalani hukumannya selama lima hari ini terasa bagai di neraka. Oke, itu mungkin berlebihan, tetapi sungguh, ia dibuat tak berdaya oleh gadis manis, tetapi galak itu. Ara selalu berkeliaran di apartemen dengan celana pendek dan kaos atau kemeja kebesaran yang membuat Felix gemas setengah mati, tetapi karena hukuman sialan ini, ia tak bisa berbuat apa pun. "Kapan ini akan berakhir?" tanya Felix gusar. Ia terlihat sangat frustrasi, rasanya tak akan sanggu
"Yeay!" Ara berseru senang ketika ia sudah sampai di salah satu mall terbesar di Jakarta. Melihat hal itu, Felix yang berada di sebelah gadis itu hanya memasang senyum kecil saja. Di matanya sekarang, Ara seperti bocah umur sepuluh tahun yang baru pertama kali diajak ke luar oleh Ibunya. "Jangan jauh-jauh, nanti ilang!" perintah Felix, ia takut kalau Ara akan tersesat nantinya karena gadis itu terlalu antusias memerhatikan sekitar dan tak menghiraukan keberadaan Felix. "Aku bukan anak kecil!" Ara merengut kesal mendengar perkataan Felix yang seolah-olah mengatakan ia bisa hilang kapan saja di tempat ini. "Tingkah Kamu kayak anak kecil," kata Felix santai. Ara menghentakkan kakinya kecil, ia tambah kesal dengan perkataan Felix barusan. "Ish!" seru Ara. "Nanti kalau ilang beneran, nangis," ucap Felix, ia gemas dengan tingkah gadis di sampingnya ini. Katanya bukan anak kecil, tetapi lihat sekarang, Ara memasang tampang cemberut sambil memegang ujung baju Felix. 'Sangat menggemaska
[Lix, Lo udah putus sama Ara?] Felix yang baru sampai di rumahnya langsung membaca pesan yang dikirim Etthan. Pesan tersebut membuat dahi Felix berkerut dalam, ia tentu saja bingung, kenapa Etthan bisa menanyakan hal tersebut, padahal Felix tak ada masalah apa-apa dengan Ara, mereka baik-baik saja. Akhirnya, setelah cukup lama terdiam dan larut dalam pikirannya, Felix memutuskan untuk membalas pesan dari sahabatnya itu. [Enggak, emangnya kenapa, sih?] Tak sampai tiga menit, balasan dari Etthan segera datang. [Tadi gue ketemu Ara di jalan dan anterin dia pulang. Kata dia, Lo bukan pacarnya lagi.] Balasan tersebut membuat Felix tambah bingung, berbagai macam pertanyaan tentang kenapa Ara bisa dihantar pulang oleh Etthan merasuki pikiran Felix sekarang. "Tunggu dulu ...," gumam Felix seperti tengah mencoba mengingat sesuatu. "Sialan!" Felix mengumpat keras saat mengingat kalau dirinya meninggalkan Ara sendiri di mall, padahal ia sudah berjanji untuk menjemput gadis itu. Felix yan
"Kamu mau ketemu sama Etthan?" tanya Felix, ia sangat penasaran, tadi ia sempat menanyakan hal serupa pada Etthan tetapi tak dijawab.'Sungguh sialan!' Felix diam-diam mengumpat sahabatnya yang dengan tega membuatnya merasa penasaran, awas saja nanti. "Enggak tahu!" jawab Ara, gadis itu masih sedikit ketus saat menjawab, rupanya acara marah-marah hari ini belum berakhir. "Kok gitu, sih?" tanya Felix lagi, sungguh ia mulai kesal sekarang, ia hanya ingin tahu saja, kenapa Ara membuatnya sangat sulit. Hening, Ara kembali bungkam dan mengabaikan Felix. "Pokoknya Kamu enggak boleh ketemu Etthan!" kata Felix tegas.Mendengar kalau Ara akan menemui sahabat karibnya itu membuat Felix sedikit khawatir, alasan kekhawatirannya juga tak jelas, intinya Felix tak ingin mereka bertemu, itu saja. "Kamu sebenarnya ada masalah apa, sih?" tanya Ara ikutan kesal.Siapa yang tak kesal kalau hidupnya diatur-atur seperti itu. Ini pertama kalinya ia merasa kewalahan menghadapi partner-nya sejak terjun ke
"Felix, udah dong tidurnya." Ara mulai mengeluh, pasalnya sejak kepulangan mereka dari markas, pria itu langsung menagih janjinya. Sudah satu jam lebih Ara mengusap kepala yang ada di pahanya dan sekarang ia merasa kram, kepala Felix cukup berat ternyata. "Hmm, nanti dulu ini nyaman," jawab Felix masih memejamkan matanya, ia juga menahan pinggang Ara yang ingin bangkit dengan memeluknya erat sekali. "Manja banget, sih," gerutu Ara kesal. Felix ini menurut Ara hanya luarnya saja yang terlihat sangar, padahal dalamnya sangat manja. Siapa yang menduga kalau pria yang ditakuti dan dijadikan bos di gengnya adalah sosok yang manja dan moody-an seperti ini. "Ponsel Kamu dari tadi bunyi terus, tuh," kata Ara lagi. Memang benar, sejak Felix meletakkan ponsel itu di atas meja, benda tersebut terus berbunyi, ada saja notifikasi yang masuk, entah itu panggilan maupun SMS. Akan tetapi, alih-alih terganggu, Felix justru masih nyaman dengan tidurnya. "Angkat dulu sana, siapa tahu penting!" per
"Pinter ya Kamu sekarang, Felix, udah jarang pulang, sekalinya pulang bikin Papa darah tinggi lagi." Kalimat itulah yang menjadi sambutan ketika Ara dan Felix baru tiba di rumah pria itu. "Papa enggak asyik, baru juga nyampe udah diomelin," kata Felix dengan ekspresi kesal.Awalnya tadi, Felix ingin menunjukkan kedekatannya dengan sang Papa pada Ara, tetapi hal tersebut langsung sirna saat serangkaian omelan menyambutnya di depan pintu. "Ck! Kamu ini--." Kalimat Ferdinand terpotong oleh seruan Felix. "Eiitss, ceramahnya nanti aja, lihat nih, Felix bawa siapa?" Ara yang sedari tadi diam itu akhirnya tersenyum canggung ketika Ferdinand menatapnya dengan penasaran. "Pagi, Om, saya Ara," sapa Ara dengan ragu-ragu. Ia sedikit takut, kesan pertama yang Ara tangkap dari Papa Felix adalah galak. "Anak siapa yang Kamu bawa ini, Felix? Awas aja kalau Kamu buat masalah lagi, Papa kirim beneran kamu ke pondok pesantren." Ferdinand berucap sambil menatap tajam pada putranya, ia bahkan tak m
"Jauhi gadis itu dan mulai pendekatan dengan salah satu anak dari teman Papa." Kata-kata tersebut langsung menyambut Felix ketika ia baru saja duduk di depan Papanya. Sesuai keinginan pria paruh baya itu, mereka memang perlu berbicara, akan tetapi, Felix sedikit tak menyangka kalau Ferdinand akan membicarakan hal itu dan mulai ikut campur urusan percintaannya, biasanya sang Papa tak begini. "Papa sehat?” Alih-alih menanggapi dengan serius perkataan Ferdinand, ia malah mengajukan pertanyaan seperti itu. " Sehat, kenapa?" tanya Ferdinand balik. "Kirain Papa lagi demam, omongan Papa ngelantur," jawab Felix santai. Mendengar jawaban Felix membuat Ferdinand menghela napas keras. "Papa serius, Felix!" "Tapi kenapa? Biasanya Papa enggak pernah ikut campur urusan kayak gini. Toh, Felix juga enggak bikin masalah, kan!" Akhirnya Felix mengutarakan rasa penasarannya. "Enggak bikin masalah dari mana? Ini apa?" tanya Ferdinand jengkel mengeluarkan kertas berisi catatan pengeluaran Felix sel