Share

GAYATRI
GAYATRI
Author: Ummatul Khoiroh

Bisakah Aku Kembali?

"Anakku, kelak jadilah wanita dengan hati yang tangguh! Jadilah wanita kuat dan jangan mudah menangis! Hiduplah sebagai wanita cerdas, Nak! Jangan sampai kamu terbujuk rayuan lelaki bermulut manis! Sesungguhnya, lelaki yang baik akan membawamu dengan cara yang baik."

"Iya, Bu, Gayatri akan ingat semua pesan Ibu. Gayatri akan menjadi wanita salihah agar bisa membawa Ibu dan Bapak ke surga-Nya."

*****

Hiruk-pikuk kendaraan dan keramaian orang berlalu-lalang membuat aku ingin segera sampai di rumah. Sungguh, aku tak menyukai suasana di kota ini. Polusi di mana-mana membuat kepalaku berdenyut, berbeda dengan desaku dulu. Di mana pepohonan saling melambai-lambai, air sungai bersih mengalir bersama ikan-ikan yang berenang berbaris.

Namun, sekarang, di sinilah aku. Di kota metropolitan, di mana tempat gedung-gedung berjejer menjuntai tinggi ke langit. Jalanan penuh sesak, tak ada pepohonan hijau sejauh mata memandang. Andai saja aku bisa mempunyai pintu ke mana saja milik Doraemon, mungkin aku akan segera tiba di rumah lewat pintu itu.

"Eh, Gayatri! Lo ngelamun? Tuh, lampunya udah hijau tau! Cepetan jalan, gue pusing banget!" celetuk Sarah seraya menepuk pundakku.

"Iya, dasar bawel!" Aku tersadar dari lamunan. Aku terlalu memikirkan masa lalu sehingga tidak fokus.

"Eh, Gayatri! Elo tau, gak? Nanti malem, gue diboking sama Om Ganis si pengusaha restoran tajir," ucap Sarah dengan mata berbinar.

Sarah adalah sahabatku satu-satunya di kota ini. Ia sangat cantik, putih, dan wajahnya mirip orang keturunan Pakistan, tentunya pekerjaannya satu profesi denganku. Gayatri, itulah nama yang diberikan orang tuaku. Berharap anak perempuan satu-satunya yang mereka miliki kelak menjadi orang yang cerdas. Bisa membedakan hal yang buruk dan baik. Namun, harapan yang manis kini telah menjelma menjadi kenyataan yang pahit.

Ibu, aku rindu.

Hatiku perih bagai tersayat pisau yang tajam, tetapi tak terlihat. Aku sangat merindukan Ibu. Ingin kuulangi masa-masa bersama Ibu dulu. Hidup sederhana di rumah bambu, berkerja di sawah di bawah terik sinar mentari. Ah, memikirkannya saja membuat hatiku perih.

"Ibu, maafkan aku." Aku berucap lirih agar Sarah tak mendengar.

"Elo, kenapa, sih, ngelamun aja dari tadi, Tri? Gue ajak ngomong diem aja!" protes Sarah yang sedari tadi mengajakku ngobrol, tetapi tak kurespon

"Gak papa, Sar. Aku mungkin cuma lelah aja nyetir di tengah kemacetan seperti ini," sanggahku tak sepenuhnya bohong, karena rasanya tubuhku memang sangat lelah.

"Jadi lo berhasil tuh dapetin target yang dari dulu lo cari? Waahh ... mimpi apa dia semalem, mau-maunya sama Elo?" Aku mencibik.

"Ih, kok lo ngeledek sih, Tri? Jelas banget kalo Om Ganis udah mulai suka sama gue." Aku hanya geleng-geleng kepala mendengar jawaban Sarah dengan nada cewek centil sambil mengibaskan rambut panjangnya.

"Entahlah Sar, sebenarnya—."

Kutarik napas dalam-dalam dan merauk udara sebanyak mungkin.

"Aku ingin berhenti dari pekerjaan kotor ini. Aku sudah sangat lelah. Kamu bisa lihat sendiri, ‘kan. Hidupku hancur, kini semakin lama aku semakin menjijikkan berprofesi sebagai wanita hina. Aku selalu merasa diri ini sungguh kotor dan rendah."

Air mataku menetes dengan sendirinya. Begitu pun Sarah, terlihat raut keterkejutan dari wajahnya. Namun, tak menampik di raut keterkejutannya ada rasa iba di sana.

Sarah tahu bagaimana kehidupan masa laluku. Ia tahu kehidupan normal yang dulu kujalani hingga akhirnya bermetamorfosa menjadi kupu-kupu malam. Ia pun turut andil dalam mengubahku menjadi seperti ini.

"Jangan sedih, Gayatri, elo gak sendirian di sini. Gue selalu ada buat lo, kok. Lo bukan wanita hina, Tri. Gue tau elo nglakuin ini bukan atas kemauan dari hati nurani lo sendiri. Kan, ada gue," ucap Sarah sembari memelukku. Seolah-olah memberikan kekuatan untuk batinku.

"Aku lelah, Sarah."

***

Perjalanan yang cukup melelahkan untuk bisa sampai di rumah. Aku mengempaskan tubuh ini ke ranjang yang begitu empuk. Tak ada rasa nyaman di ranjang ini, kecuali rasa jijik teramat dalam. Ranjang ini ialah saksi bisu pergumulan hebatku berkali-kali dengan banyak pria yang berbeda-beda.

Aku tersenyum getir dan senyuman itu lambat laun menjadi tawa. Kutertawakan diri ini yang tak bisa menjaga kehormatan dan amanah orangtua. Siapa kelak yang mau menerimaku?

"Ibu, maafin Gayatri, Bu. Gayatri gak bisa jadi wanita tangguh. Gayatri gak bisa jika gak menangis. Gayatri hanya bisa jadi orang bodoh."  Tangisku pecah kembali.

"Sungguh aku menyayangimu, Bu. Aku tak bermaksud untuk membuatmu kecewa. Bolehkah aku menemuimu, Bu? Bolehkah aku mencium kakimu? Apakah aku masih pantas menerima maafmu?"

Kupeluk foto Ibu yang selalu kubawa di dalam dompet. Dialah penyemangat hidupku. Walau tak ada raga, biarlah gambar yang menjadi walinya.

Kulirik benda pipih yang bergetar di sebelah tubuhku. Tertera nama Om Darwin, aku tahu apa maksud pesan darinya.

[Hai, Cantik! Bisakah malam ini, kamu nemenin Om Darwin di hotel, Sayang?]

[Baiklah]

[Oh, sungguh? Baiklah nanti jam 20.00 biar sopir Om jemput kamu. Dandan yang cantik ya, Sayang. Muach]

Tak kubalas lagi pesan darinya. Sungguh menjijikkan. Akulah sang kupu-kupu malam. Banyak pria yang menginginkanku, tetapi bukan untuk menikahi, melainkan untuk membeli. Akankah kelak aku bisa merasakan kehidupan normal sebagai seorang istri dan seorang ibu?

Ah, Entahlah! Memikirkannya saja aku tak sanggup. Bagaimana mungkin ada pria yang mau menikahi wanita yang sudah berulang kali dijamah oleh banyak lelaki? Hanya pria yang tidak waras yang melakukannya.

Ya ... begitulah menurutku. Jika ada wanita yang masih suci mengapa harus memilih seorang pelacur? Namun, aku sendiri juga menginginkan lelaki yang baik. Apakah aku salah?

Tok-tok-tok!

"Tri, Lo udah tidur belum?"

Suara Sarah membuyarkan seluruh halusinasiku. Segera kuseka air mata yang membanjiri pipi, lalu segera menghambur ke pintu. Terlihat Sarah sedang berdiri dengan tatapan iba saat pintu terbuka.

"Ada apa, Sar?" tanyaku.

"Lo gak mau nyoba bunuh diri, ‘kan?" Sarah bertanya dengan menunjuk-nunjuk wajahku.

"Lo, tuh apaan, sih, Sar. Gue gak ada alasan buat ngelakuin hal sebodoh itu!" Aku menjawab seraya berjalan ke arah ranjang dan ia pun mengikuti.

"Gue cuma khawatir sama lo, Tri. Gue takut lo ngelakuin hal aneh-aneh. Kan, selama ini gue juga turut andil dalam kehidupan lo yang sekarang," terangnya.

"Gue masih punya iman. Lagi pula, ini semua juga atas kemauan gue. Lo gak usah sok nyesel gitu, kale," sahutku dengan bercanda.

"Lo, tuh gak bisa dikhawatirin, Tri," celetuknya.

"Eh, besok gue ada kerjaan, Sar. Jadi, bukan cuma lo doang," paparku.

"Sama siapa?" selidik Sarah.

"Om Darwin."

"What? Om Darwin!" teriak Sarah, terkejut.

"Ya, tapi gak usah heboh gitu kali, Sar," tuturku.

"Oh, my God! Dia, kan, orang kaya raya tujuh turunan yang gak bakal habis hartanya, Tri," celetuknya.

"Lo, tuh apaan, sih. Udah keluar sana! Gue mau tidur," usirku.

Aku risi mendengar Sarah membangga-banggakan Om Darwin. Entah mengapa, aku tidak suka mendengarnya. Rasanya sangat menyebalkan bagiku.

"Huh dasar!" tukas Sarah seraya melempar bantal ke arahku, lantas berlalu pergi.

Aku mengembuskan napas kasar. Entah sampai kapan aku harus menjalani kehidupan ini?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status