Share

Penyesalan Sarah

Jarum jam bertengger di angka delapan. Langit pekat yang dihiasi bulan purnama tak menyurutkan niatku malam ini. Ya ... malam ini adalah waktu si kupu-kupu malam untuk terbang mencari nafkah.

Aku berdiri di depan cermin, melihat pantulan bayangan diri. Cantik, tetapi menjijikkan. Itulah kata yang biasa kusematkan untuk diri ini.

Aku memakai dress mini berwarna merah tanpa lengan dan panjang di atas lutut, kontras dengan warna kulitku yang putih bersih. Ditambah make up tipis dan rambut hitam panjang yang tergerai indah. Siapa pun yang melihat, tak bisa menolak untuk memuji.

Aku berjalan ke luar rumah bak seorang model. Berlenggak-lenggok dengan dada membusung disertai rambut panjang yang melambai ke kanan dan ke kiri. Di depan rumah, tampak sebuah mobil berwarna hitam sedang menungguku.

"Silakan Nona, Tuan Darwin sudah menunggu," ucap seorang pria paruh baya dengan ramah, yang merupakan sopir klienku malam ini.

Aku mengangguk, lantas masuk ke mobil. Tak ada percakapan yang terjadi di antara kami. Menurutku, orang ini adalah orang baik-baik karena ia tak pernah memandangku saat bertatap, sorot matanya menuju arah yang lain. Tapi … entahlah? Setiap orang punya cara untuk menyembunyikan sisi lain dirinya, ‘kan?

"Maaf Nona kalau saya lancang. Berapa usia Nona sekarang?" tanyanya tiba-tiba.

"Dua puluh dua, Pak ... "

"Panggil saya Pak Sugeng, Nona," ucapnya seraya tersenyum.

"Nona masih sangat muda dan cantik, mengapa harus menempuh jalan seperti ini untuk mencari rezeki? Apa Nona tidak ingin hidup normal, punya keluarga kecil bahagia? Saya tahu kalau Nona punya masa lalu yang menjadikan Nona lebih memilih jalan seperti ini. Namun, semua masih bisa diubah sebelum terlambat." Bapak itu menasihatiku, seolah-olah mengetahui apa yang tengah terjadi padaku.

Aku bergeming, hanya bulir bening keluar dari sudut mata yang akhirnya menjadi isak tangis. Siapa pun yang mendengar pasti akan merasa iba. Segera kuseka air mata yang membasahi pipi.

"Maafkan saya Nona. Saya tidak bermaksud membuat Nona menangis. Saya sendiri juga punya masa lalu yang buruk, membuat saya menyesal dan kini saya berharap penyesalan itu bisa saya tebus suatu saat nanti. Saya harus bisa, Nona," katanya dengan suara yang terdengar bergetar.

Aku hanya mengangguk. Tak sepatah kata pun yang terlontar dari bibir ini. Aku seperti terkunci. Entah mengapa, ada rasa nyaman dengan bapak ini. Seolah ada ikatan batin yang terasa.

"Kita sudah sampai di apartemen Tuan, Non. Nona siap-siap dulu dan sekali lagi saya minta maaf atas kelancangan saya yang membuat Nona tidak nyaman. Semoga Nona bisa membuat keputusan yang tepat," ucapnya seraya meninggalkanku sendiri di mobil dengan pikiran yang berkecamuk.

***

Aku berjalan masuk bak model iklan ke dalam apartemen. Semua mata kagum tertuju padaku. Kecantikan yang kumiliki ditambah dengan postur tubuh yang menggoda, tentu membuat siapa pun pasti menginginkanku.

Kupencet bel kamar Om Darwin dan tanpa menunggu lama, pintu pun terbuka. Muncul sesosok pria sekitar usia empat puluh tahunan dengan tubuh atletis dan wajah tampan. Ya, dialah Om Darwin. Orang yang akan membayarku dengan bayaran mahal.

Ia menggandeng tangan dan menarikku ke dalam pelukannya. Tanpa menunggu aba-aba, ia memeluk dan menciumi bibir serta leherku dengan ganas. Membuatku melenguh karena terasa ada magma di dalam dada yang mencoba meletus.

"Omm," desahku. Aku sedikit meronta. Antara akal dan hati yang saling bertolak belakang. Entah siapa yang harus kuturuti.

"Ssstt ... diamlah, Sayang! Aku telah lama menunggu dan sudah tak tahan saat melihatmu. Kau sungguh menggoda."

Dia terus menciumiku sembari tangannya melepaskan dress yang kukenakan sampai akhirnya tak ada sehelai kain pun yang menutupi auratku. Ya, tanpa rasa malu aku melayani Om Darwin.

Kami sudah melakukan hal terlarang itu berulang kali. Ini sudah ketiga kalinya, Om Darwin memintaku menuntaskan hasrat birahinya. Namun, tak terhitung berapa kali aku melakukannya dengan pria yang berbeda-beda dan tentunya dengan upah yang tidak sedikit.

Saat ini, aku adalah wanita malam yang mempunyai tarif cukup tinggi dan hanya orang-orang berduit tebal yang berani memintaku. Walaupun aku bergelimang harta, tetapi tak ada kebahagiaan sedikit pun yang aku dapatkan. Hanya sakit, hinaan, dan kesepian.

***

Alarm berdering menunjukkan sudah pukul 07.00. Saat aku terbangun seperti biasa, Om Darwin sudah tidak ada dan tergantikan oleh beberapa gepok uang merah di sampingku.

Aku terkekeh, tapi air mata pun ikut keluar. Ternyata, kehormatan seorang Gayatri hanya sebatas lembaran uang. Bukan dengan ijab kabul dan mahar seperangkat alat salat. Bukan dengan dinikahi melainkan dibeli. Bukan dengan satu pria, tetapi dengan banyak pria.

"Sungguh menggelikan sekali dirimu Gayatri," ucapku pada diri sendiri.

Sang Surya sudah berada di atas kepala. Terik matahari membuat kepalaku berdenyut. Perutku terasa melilit dan tenggorokan terasa gersang bagai tak tersiram dalam waktu yang lama.

Aku masuk ke rumah dan beristirahat dan tak kulihat Sarah sejauh ini. Tumben, biasanya ia selalu menggangguku tiap waktu.

Apa dia belum pulang dari semalam?

Walaupun Sarah yang mengenalkanku dengan dunia malam, tapi ialah yang selalu membantuku dan hanya ia satu-satunya teman dan keluarga yang kupunya. Tak ada alasan bagiku untuk membencinya. Bahkan, aku khawatir jika hal buruk menimpanya.

Aku melangkah menuju dapur dan melakukan aktivitas mengisi perut sendirian tanpa Sarah. Entah apa yang dilakukannya dengan Om Ganis hingga ia lupa jalan pulang.

Terdengar suara deru mobil berhenti di depan rumah. Aku mengintip dari celah kaca jendela dapur dan ternyata dia adalah Sarah. Namun, aneh seluruh tubuh dan wajahnya terlihat banyak luka lebam. Ada apa dengannya?

Pria yang berada dalam mobil pun turun dan mencoba meraih Sarah. Namun, Sarah dengan sigap menghindar dan menamparnya. Ya ... pria itu adalah Om Ganis. Pria yang semalam mem-booking Sarah untuk menemaninya.

Aku terus menyaksikan kejadian yang tengah terjadi antara Om Ganis dan Sarah. Om Ganis memberikan segepok uang, lantas kembali ke dalam mobil dan melaju dengan cepat meninggalkan rumah ini.

Sarah menangis tergugu sambil mencengkeram uang yang tadi diberikan Om Ganis. Rasa takut mulai menggelayutiku. Apa Om Ganis yang melakukan hal itu. Tapi mengapa?

Pelbagai pertanyaan muncul di kepalaku. Rasa lapar pun mulai sirna dengan kehadiran Sarah yang mengejutkan. Segera kutepis pikiran buruk yang terus melintas. Ah, rasanya aku ingin pergi ke pangkuan Ibu saat ini. Seperti dulu, saat sedang menangis karena suatu hal pasti tempat yang kutuju hanyalah pangkuan Ibu.

Pelukan Ibu adalah tempat paling nyaman dan aman bagiku. Setiap sentuhan tangannya adalah suatu kekuatan untukku, dan setiap ucapan dari bibirnya adalah nasihat yang menyentuh hatiku.

Sarah, kau berutang penjelasan padaku sebentar lagi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status