Share

Ingkar

Suasana berubah tegang. Cepat sekali Bu Tini bertindak. Padahal, Gayatri hanya beberapa kali bertemu dan berjalan bersama Galang. Namun, respon ibunya sangat tidak terduga.

Gayatri berjalan sambil membawa teko berisi teh hangat dan tiga gelas yang tertata rapi di nampan. Ia melirik sekilas ke arah Galang yang terlihat terkejut dengan ucapan ibunya.

"Ibu, kenapa ibu mengatakan hal seperti itu? Gayatri dan Galang tidak ada hubungan apa pun." Gayatri menjelaskan kepada ibunya lantas mengambil posisi duduk di sebelah Bu Tini.

"Ibu hanya ingin menjaga dirimu dari fitnah, Nak. Lagi pula, tak pantas jika seorang wanita dan pria yang bukan mahram berjalan bersama. Ibu juga takut jika suatu saat kalian semakin dekat dan akhirnya terjerumus ke jurang zina," jelas Bu Tini.

Gayatri mendesah kasar. Jika dipikir, memang benar perkataan yang dilontarkan ibunya. Namun, ia sama sekali tak berpikir sampai ke sana. Bagi Gayatri, ia hanya menganggap Galang sebatas teman. Karena ia sadar, dari segi penampilan, Galang terlihat seperti orang berada. Berbeda dengannya yang berpenampilan sederhana.

"Saya dan Gayatri hanya berteman, Bu. Saya tidak akan berbuat macam-macam. Jika saya berjalan berdua dengan Gayatri, itu karena saya ingin melindunginya dari gangguan pria yang tak bertanggung jawab." Penjelasan Galang membuat Bu Tini terlihat berpikir. Sesekali Bu Tini mendesah pelan seraya memejamkan mata.

"Iya, Bu. Kemarin sempat ada empat pria yang mengadang Gayatri waktu ingin mengantar bekal buat Ibu. Mereka berani nyentuh-nyentuh Gayatri, Bu. Saat mereka menarikku untuk mengikuti mereka, syukur ada Galang yang nolongin," tutur Gayatri.

Bu Tini hanya manggut-manggut. "Ibu mengerti. Maaf, Nak Galang. Bukan maksud apa-apa jika ibu berbicara begitu. Ibu hanya melakukan tugas sebagaimana orang tua kepada anaknya."

"Iya, saya mengerti. Saya tahu, jika Gayatri adalah anak Ibu satu-satunya. Maka dari itu, saya juga ingin membantu untuk menjaga Gayatri," sahut Galang.

"Terima kasih, Nak. Jangan melupakan satu hal! Kalian bukan mahram. Jadi, haram berjalan berduaan seperti kemarin-kemarin." Bu Tini tetap bersikukuh dengan ucapannya.

"Saya akan menikahi Gayatri jika sudah waktunya, Bu."

Jawaban Galang seketika membuat Gayatri terkejut. Ada rasa senang yang menyusup ke celah hatinya.

"Apa yang kamu tunggu, Nak?" tanya Bu Tini.

"Saya masih harus menyelesaikan sekolah. Setelah itu, saya harus belajar mengelola perkebunan milik ayah. Barulah saya bisa menikahi Gayatri. Memang, dari awal saya sudah menyukainya."

Gayatri terkesima mendengarnya. Bagaikan ada ribuan kupu-kupu yang beterbangan di sekelilingnya. Namun, ada rasa minder dalam hati Gayatri jika bersanding dengan Galang.

"Kamu jangan bercanda, Lang. Sudah, lupakan saja. Fokus saja sama urusanmu," sahut Gayatri.

"Aku memang benar-benar menyukaimu sejak awal kita bertemu, Tri. Namun, aku malu jika harus mengungkapkannya," balas Galang dengan senyum lebar yang memerlihatkan deretan giginya yang putih.

Sebenarnya aku juga sama, Lang.

Sayang, perkataan itu tak mampu dilontarkan Gayatri. Ucapan itu tersendat di kerongkongan.

"Sudah, jangan saling bertatap muka terlalu lama."

Ucapan Bu Tini seketika membuat Gayatri dan Galang salah tingkah.

"Maaf, Bu," balas Gayatri dan Galang serempak.

"Ehm, saya pamit pulang dulu, Bu, Tri. Saya ada janji sama ayah," pamit Galang.

“Makanlah dulu. Ibu sudah masak buat kamu,” perintah Bu Tini kepada Galang.

“Terima kasih, tapi saya sudah makan sebelum ke sini,” balas Galang.

“Baiklah kalau begitu,” ucap Bu Tini.

"Iya sudah. Hati-hati, Lang," timpal Gayatri.

Galang mengulurkan tangan ke arah Bu Tini. Namun, Bu Tini menangkupkan kedua tangannya di depan dada. Galang tersenyum kikuk. Mungkin, ia lupa dengan kejadian waktu bersama Gayatri. Gayatri pun tersenyum geli melihatnya.

Sepeninggal Galang dari rumah, Bu Tini hanya bergeming. Seperti tak ada niat untuk mengajak Gayatri berbicara.

"Bu, kenapa Ibu mengatakan hal aneh pada Galang?" Gayatri akhirnya memulai pembicaraan.

"Ibu hanya ingin tahu, apa dia serius padamu atau tidak."

"Galang sama Gayatri itu hanya sebatas teman, Bu."

"Teman jika terus berdua akan menjadi pacar. Setelah menjadi pacar maka tak akan segan untuk saling menyentuh. Lalu, apa lagi? Pasti akan masuk ke lubang zina," jelas Bu Tini.

"Ibu hanya terlalu khawatir," sahut Gayatri.

"Gayatri!" panggil Bu Tini.

Bu Tini yang tengah duduk di ruang tamu dengan tatapan tajam membuat Gayatri mau tak mau harus duduk di hadapannya. Kalau istilah Jawa 'menehi pitutur'. Namun, saat Gayatri memandang wajah ibunya, ia seakan-akan terhipnotis. Gurat-gurat keriput yang terus bertambah membuat rasa sesal menyusup ke dalam hati Gayatri.

"Maafkan Gayatri, Bu," sesal Gayatri pada akhirnya.

"Kamu harus tahu, Nduk. Ibu mekakukan ini karena ibu takut kamu akan terjerumus ke dalam godaan setan," tutur Bu Tini.

"Setan akan memperdaya manusia dengan cara apa pun karena sebelum diusir dari surga, mereka telah bernjanji akan menggoyahkan iman manusia agar lupa kepada Tuhannya," imbuh Bu Tini.

"Ibu minta maaf jika ibu keterlaluan, ya." Bu Tini meraih tangan Gayatri, lantas mengusap-usapnya perlahan.

Gayatri merasa beruntung memiliki ibu seperti Bu Tini. Tak pernah lelah mengingatkan dan tak henti-hentinya memberi nasihat kepada Gayatri.

***

Malam begitu sunyi. Gayatri tak bisa memejamkan mata, padahal jarum jam telah menunjukkan pukul dua belas malam.

Gayatri hanya bolak-balik ke kanan dan ke kiri mencari posisi tidur yang enak. Namun, tetap saja tak berhasil.

Tok-tok-tok!

Mata Gayatri kembali terbuka saat mendengar suara ketukan di jendela. Siapakah tengah malam seperti ini datang ke rumah Gayatri?

Jangan-jangan itu maling, pikir Gayatri.

"Gayatri? Ini, aku."

Gayatri menajamkan indra. Suara itu seperti suara Galang. Ia kemudian merubah posisi, kini berdiri di belakang jendela.

"Gayatri, buka! Aku mau ngomong sesuatu," kata Galang. Gayatri membuka jendela dan terlihat wajah tampan Galang yang tengah tersenyum.

"Galang, ngapain kamu malam-malam ke sini?" tanya Gayatri heran. Untungnya rumah Gayatri berada di pojok dan bersebelahan dengan tanah kosong. Sedangkan kamar Gayatri berada di belakang. Jadi, tak akan ada orang yang bisa melihat.

"Aku gak bisa tidur, Tri."

"Lah, terus kenapa kamu ke sini?"

Padahal, Gayatri juga tak dapat tidur karena memikirkan Galang.

"Karena kamu yang buat aku gak bisa tidur," balas Galang seketika membuat wajah Gayatri panas.

"Pikiranku terus tertuju padamu, Tri. Ehm, Sebentar lagi aku harus kembali ke kota untuk melanjutkan sekolah," ungkap Galang.

Ada rasa tak rela menyusup ke dalam hati Gayatri saat mendengar Galang akan pergi. Itu artinya, Gayatri tak akan bertemu dengan Galang lagi.

"Gayatri, jika kamu mencegahku untuk pergi. Maka, aku tak akan pergi." Kini, Galang berani menggenggam tangan Gayatri. Gayatri serasa terpaku. Jika biasanya ia menolak untuk disentuh, kini ia membiarkannya tangannya disentuh dan anehnya, Gayatri pun membalas sentuhan Galang.

"Apa kau benar-benar harus pergi?" Bulir bening akhirnya luruh membasahi pipi Gayatri.

"Ayah menyuruhku untuk melanjutkan pendidikan, Tri."

"Pergilah, gapai cita-citamu, Lang," ucap Gayatri akhirnya.

"Kau benar-benar ingin aku pergi?" tanya Galang sekali lagi.

"Galang, maafkan aku. Sebenarnya, aku menyukaimu. Namun, apa yang bisa kulakukan selain membiarkanmu pergi?" Akhirnya Gayatri mengakui perasaannya pada Galang.

"Akhirnya, kamu mau jujur padaku, Tri." Senyum mengembang dari bibir Galang. Ia mendekat pada Gayatri. Diusapnya pipi Gayatri yang basah karena air mata.

Kini, Galang semakin berani mendekat pada Gayatri. Gayatri merasakan sesuatu yang hangat menyentuh bibirnya. Ada rasa nyaman dan hangat menjalar ke seluruh tubuhnya.

"Gayatri, tidurlah. Aku akan menemuimu lagi lain kali. Semoga mimpi indah," ucap Galang sembari mengecup kembali bibir Gayatri. Kemudian, ia melangkah pergi meninggalkan Gayatri sendiri di balik jendela.

Ciuman pertama yang tak disangka Gayatri akan tetap bisa terjaga sampai menikah. Ternyata, kini telah direnggut lebih dulu oleh orang pertama yang ia cintai.

"Ibu, maafkan aku. Aku tak bisa menjaga amanahmu. Aku terlaku mencintai Galang."

"Galang, aku akan menunggumu."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status