Brugh.
"Apa ini?" tanya Yu Mini saat melihat tiang penyangga jemuran ambruk.Semua pakaian yang belum kering telah bercampur dengan tanah, semakin kotor saat ada ayam melintas dan menginjaknya tanpa permisi. Yu Mini hanya diam mematung tanpa beranjak keluar mengambil jemurannya yang sudah berubah warna. Coklat."Kamu, kalau mau bikin jemuran, jangan di sini! Ini tanah masih milikku, ingat!" seru Yu Sarni dengan lantangnya.Air mata Yu Mini semakin deras dan tidak dapat dibendung lagi. Banjir bak air bah yang tanggulnya telah jebol."Kenapa malah nangis? Kamu tuli? Seharusnya kamu tahu, kamu di sini itu cuma numpang, iyakan? Numpang sama suami kamu, tahu diri dong. Jangan main pakai hak milik orang lain, mau serakah? Oh, tidak bisa. Selama masih ada saya, kamu tidak akan bisa semena-mena di sini. Paham?" kata Yu Sarni dengan menginjak-injak pakaian yang telah jatuh ke tanah itu, seringainya melebihi hantu kuntilanak.Yu Mini hanya terdiam melihat perilaku sang ipar dengan menyeka air mata yang masih setia mengalir di pipinya. Satu persatu pakaian yang kotor itu diambil dan dimasukkan ke dalam ember besar. Segera mungkin akan di bilasnya agar tidak terlalu kotor jika akan di tunda."Mak … hah, apa ini? Kenapa, Mak?" tanya Reni dengan rasa terkejut yang besar."Nggak ada apa, tadi ada ayam naik di jemuran dan menjatuhkan semuanya. Kita bilas lagi, ya, Ren." Reni membantu ibunya memunguti satu persatu pakaian yang jatuh dari jemuran.Yu Mini tak banyak bicara, tangisnya dia sembunyikan dalam-dalam. Tidak boleh putri semata wayangnya tahu akan hal yang sebenarnya. Jangan sampai anaknya semakin membenci Bu Leknya hanya sebuah masalah sepele."Ayam siapa yang berani berbuat seperti ini, Mak?" tanya Reni yang membilas pakaian kotor satu persatu."Milik tetangga, kalau sudah selesai dijemur lagi ya, Nduk!" pinta Yu Mini kepada sang putri."Lho, kenapa pakaian kalian?" tanya Mak Siti saat melihat pakaian yang berada di tanah."Jatuh, Mak," jawab Yu Mini dengan melirik sekolah ke arah Reni.Reni yang melihat ada sesuatu yang tidak benar, hanya mengangguk saja memastikan semua ucapan ibunya adalah suatu kebenaran. Meski ragu menyelimuti hatinya. Reni bukanlah seorang remaja yang tidak tahu menahu akan kejadian yang selalu menimpa keluarganya.Dia hanya mencoba diam dan pura-pura tidak tahu supaya ibunya tidak larut dalam kesedihan yang mendera.Berdua ibu dan anak itu membersihkan kembali pakaian yang kotor, saling bahu membahu mengambil air dan memeras baju yang telah dicuci kembali."Rajin benar si Reni kalian mencuci pakaian segitu banyaknya, besok mau kemana?" tanya Mbah Kini saat melihat keduanya berada di sumur pompa belakang rumah Pak Sugi."Iya, Mbah, sedang rajin-rajinnya ini si Reni, makanya pakaian sebanyak ini di cuci semua," ucap Yu Mini berbohong.Mbah Kini, Yu Mini dan Reni saling melempar candaan saat bersama dalam kegiatannya masing-masing."Besok kamu ikut rewang di rumahnya Kang Warso, Mini?" tanya Mbah Kini pada Yu Mini, yang ditanya hanya mengangguk sambil membilas cuciannya."A … " Mbah Kini tidak meneruskan ucapannya karena mendengar suara Yu Sarni yang sangat tidak baik untuk di dengar."Kalau rewang ke tempatnya orang itu, tangannya yang kerja, bukan mulutnya, iya, 'kan, Mbah?" sindiran Yu Sarni membuat kegiatan Mbah Kini yang memompa air seketika berhenti. Tidak bergerak.Mata Mbah Kini melirik ke sana, ke sini dengan melihat raut wajah Yu Mini yang menunduk dan berubah merah, entah menahan malu atau amarahnya. Mbah Kini hanya meneguk sedikit salivanya dalam-dalam."Namanya juga rewang, apa sih upahnya kalau tidak makan? Berbeda kalau kerja, pasti akan dibayar dengan uang," sentil Mbah Kini yang membuat hati Yu Sarni seketika mencelos dan diam membisu."Lagian yang punya hajat saja tidak pernah berbicara seperti apa yang kamu katakan lho, Sarni. Jadi … jangan membuat kalimat yang nantinya akan membuatmu celaka sendiri!" pesan Mbah Kini dengan melihat Yu Sarni sekilas lalu melanjutkan lagi memompa air buatnya mandi.Suara gebyuran air membasahi tubuh tua Mbah Kini dengan derasnya dan menimbulkan suara yang merdu. Karena mulut Mbah Kini mengeluarkan suara yang khas orang jaman dulu saat menikmati mandinya."Kalau ada orang yang berbicara seperti itu, pasti 'kan ada yang melaporkan, Mbah? Nah, tentu sampean juga tahu 'kan siapa orangnya?" jawab Yu Sarni tak mau kalah."Jangan suka menuduh orang tanpa bukti, itu namanya fitnah. Kita tidak akan tahu kapan kita akan mendapatkan balasan atas perbuatan kita yang terdahulu, iya kalau kita yang menerimanya. Kalau anak cucu kita, bagaimana? Jangan suka menabur keburukan kalau kebaikan yang akan kita harapkan!"Mbah Kini menyudahi ritual membersihkan dirinya dari sawah, lalu menepuk pelan pundak Yu Mini dan tersenyum mengangguk.Mbah Kini faham akan perkataan yang di utarakan oleh Yu Sarni, jadi tidak ada salahnya dia bicara sedikit menyentil hatinya Yu Sarni.Namun, bukan Yu Sarni namanya kalau sadar telah di berikan ilmu yang sangat bijak. Semua ucapan Mbah Kini seperti angin lalu saja, lewat tanpa berhenti meski sebentar."Halah, Mbah. Sok bijak saja," ucap Yu Sarni sambil berlalu masuk ke rumah.❤️❤️❤️“Ayah, lain kali diam saja nggak perlu mengeluarkan tenaga buat melawan mereka. Sayangi diri sendiri dan keluarga ini, buat apa susah payah membalas ucapan yang nggak masuk akal?” ujar Reni saat melihat sang ayah sudah tenang.“Kita hidup ini bukan hanya sekedar membalas segala umpatan dari orang yang nggak waras, jatuhnya nanti kita sendiri yang gila. Lebih baik perbanyak ibadah dan bulatkan niat buat ke tanah suci, insya allah nanti akan kami bantu sebisanya!” Mata Kang Tarjo membelalak tanpa kedip, lalu menoleh ke istrinya yang juga tak beda dengan apa yang ada di pikirannya.“Iya, kita sudah mendaftarkan kalian untuk ke Mekkah, semoga bisa terlaksana meskipun menunggu lama.” Lagi Reni seolah ingin menjawab apa yang dipikirkan oleh Kang Tarjo dan Yu Mini.“Kamu beneran? Kok nggak bilang-bilang ke kita?” tanya Yu Mini, saking kagetnya dia mendekati sang putri lalu memegang tangan Reni erat-erat.Reni pun mengangguk menyakinkan jika apa yang barus saja dikatakan olehnya itu benar ad
“Tanah yang kamu buat rumah itu adalah hakku dan seharusnya kamu mengembalikan semuanya apa yang kamu punya pada kami! Dasar nggak punya muka, milik orang kok di klaim!” seru Tyo tanpa embel-embel hormat, malu dan juga sungkan.Kang Tarjo yang sedang minum kopi, tersedak. Semua apa yang sudah di dalam mulut seketika keluar dan membasahi meja. Mata itupun membelalak lebar bahkan nyaris keluar dari lubangnya. Terkejut bukan main mendengar suara yang sudah membuat mendidih darah tersebut.Laki-laki itu lantas berdiri dengan tatapan tajam bak elang yang siap menerkam mangsanya. Cuaca pun seolah tahu sehingga angin yang tadinya berhembus sepoi-sepoi menyejukkan jiwa kini berubah menjadi panas seperti musim kemarau.“Dasar setan! Kamu itu terlahir dari seorang ibu atau batu?” murka Kang Tarjo lantang.Yu Mini yang sejak tadi sibuk di dapur seketika berlari menuju ke teras, pemandangan yang membuat jantung wanita itu berdetak kencang dari biasanya. Ia pun panik, keringat dingin membasahi pun
Namun, Kang Tarjo masih enggan untuk bergerak. Napasnya memburu dengan dada yang mengikuti irama jantung. Amarahnya semakin memuncak dan setelah mereka saling beradu pandang, Kang Tarjo mencoba untuk maju selangkah.“Kang, istighfar! Jangan sampai kamu kalah dengan setan yang membisikkan kalimat jahat, ingat jika nggak ada manfaatnya terpancing emosi. Kamu akan menyesal!” bujuk Yu Mini masih setengah berbisik.Dengan hati yang was-was wanita itu berusaha membujuk sang suami supaya tidak tersulut emosi yang tersimpan dalam hati. Dia berharap api itu segera padam dan bisa mendinginkan pikiran yang kacau bersama angin yang datang. Jantung pun mulai tak menentu dengan aliran darah yang mulai cepat hingga membuat tubuhnya terasa dingin.“Kang!” panggil Yu Mini dengan bibir bergetar.“Kamu pikir dengan sikap yang sok hebatmu itu bisa membuat aku takut? Nggak sama sekali!” gertak Tyo dengan pandangan nyalang.“Makan dengan hasil warisan saja mau belagu, ingat jika kamu itu laki-laki kosong,
Kang Tarjo pulang dengan napas memburu, amarahnya masih saja tersisa di dada. Apalagi saat di rumah melihat ayamnya mati semua, dengan menggerutu Kang Tarjo memungut semua hewan ternaknya satu persatu untuk di kubur.“Bagaimana bisa mati dalam bersamaan, apa yang terjadi?” gumam Kang Tarjo dengan tangan cekatan.“Ya Allah, Kang, apa yang terjadi? Kenapa ini?” tanya Yu Mini kaget.Saking terkejutnya Yu Mini terdiam di tempatnya tanpa bergerak sedikitpun. Ada rasa sakit dan ingin menangis kala melihat semua hewan ternaknya tidak bernyawa. Lalu Yu Mini pun ikut membantu sang suami memunguti hewannya tersebut. Air mata wanita itu pun menetes tanpa henti, ayam adalah salah satu tabungan yang dijaga.“Kang!” Suara Yu Mini terdengar parau. Dia menyapu air yang mengalir deras di pipi tersebut dengan cepat. Hatinya masih sakit melihat kejadian yang terjadi di depan mata itu.“Bukan rezeki kita, nanti kalau ada uang bisa membeli lagi,” hibur Kang Tarjo bijak meski dalam hati sudah teramat pilu.
Kang Tarjo menikmati kopinya di teras rumah, semilir angin membuat dedaunan kering ikut terbang. Sesekali lelaki itu melihat ke arah langit yang mulai gelap.“Sebentar lagi hujan, Alhamdulillah, berarti pekerjaan sawah akan segera dimulai,” ucapnya sambil menyesap kopinya.Musim kemarau sudah usai dan datanglah musim penghujan yang mana selalu dinantikan para petani yang daerahnya tadah hujan. Hanya mengandalkan air hujan sebab jika musim kemarau tiba maka kekeringan melanda.Wajah sumringah terbit kala gerimis mulai turun diiringi petir yang menggelegar bak irama yang saling bersahutan di sore hari itu.“Kang, hujan, masuk!” ajak Yu Mini pada suaminya yang masih duduk di teras, aroma tanah yang basah di hirupnya dalam-dalam.Kang Tarjo sangat menikmatinya hingga ajakan sang istri hanya dibalas dengan anggukkan kepala. Lelaki itu masih terpejam dan berbisik syukur kepada Tuhan semesta alam yang mana telah menurunkan hujan di sore itu. Harapan dia semoga air yang turun bisa memberikan
"Pokoknya tanah ini adalah milikku, uang dua puluh juta sudah aku berikan pada Pakde Wardi. Dia meminta uangku sebanyak itu, kamu jangan coba-coba serakah!" pekik Tyo saat melihat tanah bagian Kang Wardi akan dibangun sebuah toko oleh Lusi. Dua anggota keluarga saling bersitegang dengan pembenarannya masing-masing. Tyo yang bersuara lantang mencoba untuk mendominasi keadaan dan menang. Sedang Yu Surti mencoba melawan tanpa rasa takut dihatinya.Kang Tarjo yang mendengar suara berisik mencoba untuk mendengarkan dulu dari rumahnya. Hembusan nafasnya yang kasar menandakan kalau pikirannya sedang berkecamuk menahan amarah. Saudara yang seharusnya saling menyayangi dan menghargai harus di nodai dengan perseteruan perihal warisan. Harta yang turun dari orang tua. Bahkan Kang Tarjo menggeleng pelan saat melihat yang bersikukuh atas tanah yang terbentang disamping kanan Kang Tarjo adalah Tyo. Seorang cucu yang seharusnya diam dan berterima kasih banyak kepada orang tuanya yang telah memberi