Aku benar-benar dianggap pelacur murahan. Dengan laknatnya, Gerald memperkosaku di dalam mobil tersebut. Dan memperlakukanku dengan sangat kasar, aku seperti binatang di matanya. Ketika aku berontak, dia menarik rambutku dengan kasar sampai-sampai dia ingin meludahi aku. Sudah begitu, ia tetap saja menggagahiku. Gerald benar-benar kejam!
Hatiku sangat hancur. Aku hanya bisa menangis, dan menangis. Sebaiknya aku mati saja, daripada diperlakukan seperti ini. Seluruh tubuhku dikasih tanda merah. Aku lebih baik diiris-iris menggunakan pisau kulitku daripada dikasarin. Gerald memperkosaku dengan brutal, seperti binatang yang datang musim kawin. Ia bahkan, tak mendengarkan teriakanku. Padahal, aku sudah memohon padanya agar berhenti, tapi laki-laki sial itu terus saja, melakukan nafsu bejatnya. Ia melakukan dengan sangat kasar.
Beberapa kali aku menendangnya. Bodo amatlah, mau durhaka atau apa. Dia sendiri yang berbuat kasar terhadapku.
Dan sekarang, aku dibaringkan Gerald di kasur dengan keadaan bugil hanya tertutup selimut. Aku sudah tidak bertenaga sekedar memakai baju kembali.
Aku masih terisak. Aku sadar, separuhnya memang salahku juga. Tapi aku tidak bisa menerima diperlakukan dengan kasar seperti binatang. Bahkan, orang yang diperkosa saja nasibnya lebih baik bagiku. Ini, orang yang kupercaya, manusia yang kusayang, melakukan semua ini padaku. Gerald sialan benar-benar tak menghargaiku sebagai istri yang telah mengandung anaknya. Bahkan, ia tak peduli jika ada nyawa dalam perutku, yang menjadi tanggung jawabnya.
Aku menutup seluruh tubuhku masuk dalam selimut, dan menangis. Jika bersamanya, kami terus bertengkar, tapi jika berjauhan, kami akan saling merindu. Benar-benar hubungan yang penuh racun.
Kurasakan kasur bergerak. Aku jadi membenci manusia laknat ini. Aku mencium aroma sabun, sepertinya Gerald baru selesai mandi. Bodo lah dia mau ngapain. Mau mampus juga terserah. Aku bahkan, tak peduli, dia mau berbuat apa. Aku terlanjur kesal, sakit hati, tak terima dengan perlakuan kasarnya padaku. Padahal, orang yang melakukan itu atas dasar suka sama suka. Bahkan, aku sudah memohon berkali-kali, tapi Gerald menghiraukan itu. Benar-benar nasibku sial hari ini.
Tiba-tiba, aku merasakan Gerald memelukku, dan aku mendorongnya. Malah, selimutku yang terbuka semua. Dengan cepat aku menarik kembali selimut dan menutup seluruh tubuhku. Bisa-bisa, aku diperkosa lagi, jika Gerald melihatku telanjang seperti ini.
"Makan, ya." pinta Gerald sok lembut dan sok perhatian. Aku benci! Benci! Benci! Tapi aku hanya bisa berteriak dalam hati. Aku ingin beteriak ke arahnya, aku benci padanya sekarang.
Dia mengelus-elus rambutku. Si sialan itu, membuka selimutku, aku hanya menatapnya kosong. Dia sudah tampan seperti biasa, sudah mandi, dan wangi. Berbeda dengan aku yang masih berkubang dengan kesedihan, dan sakit hati karena perbuatannya.
Gerald mencium keningku lama, "Maafin aku, Sayang." Lagi-lagi aku luluh meski tadi diperlakukan dengan kasar dan sekarang perhatian sekecil itu membuat rasa benci yang mengunung langsung meluruh. Ya Tuhan, selemah itu jika aku berhadapan dengan Gerald. Hanya kata 'sayang' ada sebutir air mata yang lolos, karena aku tersentuh. Segampang itu.
Aku masih terisak. Gerald memelukku, badanku merapat ke arahnya.
"Kamu itu jelek. Jangan nangis, makin jelek tuh lihat. Makan, ya, habis itu mandi." ujar Gerald, dia sudah salah, malah mengejekku sekarang! Cabut saja nyawa Gerald, Ya Tuhan. Aku tidak merespon ucapan jelek tadi.
"Makan, ya." Aku hanya menggeleng.
"Yaudah makan di sini aja. Biar Gerald ambilin." Aku menutup lagi seluruh tubuhku dengan selimut. Kenapa selalu berakhir seperti ini nasibku? Bertengkar, pisah, rindu, sayang-sayang, bertengkar lagi. Selalu terulang lingkaran setan tersebut.
Sebenarnya aku lapar. Aku membuka lagi selimut dan hanya melihat ke atas langit-langit.
Kulihat Gerald masuk, dengan membawar bubur dengan asap yang masih mengepul. Sebenarnya aku ingin merajuk, berhubung aku lapar, dan buburnya menggoda aku makan juga. Aku terpaksa bangun, dan menahan selimut, jangan sampai jatuh.
"Sini Gerald suapin." Aku hanya menggeleng. Dan memasukan bubur itu dalam mulutku, karena masih panas lidahku terbakar. Nasibku selalu berakhir dengan sial. Aku hanya mengeluarkan lidahku, karena rasa panas membakar lidahku.
"Hah..." Aku mengipas-ngipas lidahku.
Gerald mengambil alih piring dari tanganku, dan mulai menyuapiku. Aku merasa seperti bayi. Tapi, si bule begitu perhatian sekarang. Ia menyuapiku dengan telaten. Aku hanya membuka mulutku, dan melihat ke arahnya yang serius. Rinduku padanya belum tersalurkan semuanya, aku sangat merindukannya. Walau ia sudah berada di depannku, aku masih merasa jiwanya jauh, dan tak ingin ada perpisahan lagi, cukup sudah aku tersiksa menganggung rindu.
"Mau dengar cerita, nggak?"
"Apa?" jawabku, meski masih dengan mulut yang penuh.
"Pada jaman dahulu, tinggalah di hutan. Ada Rubah, Kancil, Rusa, Harimau, dan Singa. Meski mereka berbeda jenis, mereka tinggal di hutan dengan hidup saling akur. Kehidupan di hutan sangat harmonis. Bisa dikatakan, satu kelaparan maka yang lainnya ikut merasakan. Mereka berbagi makanan, pertemanan mereka sangat dekat, mereka sudah seperti saudara dan keluarga. Satu sakit, yang lain ikut merasakan sakit. Semua di dalam hutan senang melihat ke akraban ke empat binatang tersebut.
Mereka senang berburu makanan bersama, bergurau bersama, di dalam hutan tersebut merekalah idola bagi para binatang di hutan. Meski mereka berbeda jenis, justru perbedaan itu yang membuat mereka menjadi satu. Mereka sudah satu jiwa. Mereka seperti mempunyai markas untuk berkumpul bersama, di dalam sebuah gua. Kadang, teman-teman mereka iseng, tapi semua di lalui dengan kesenangan. Di antara semua itu Rubah dan Rusa yang paling iseng.
Mereka senang menakut-nakuti teman yang lainnya, bahwa di dalam gua tersebut terdapat Naga yang ganas. Meski begitu mereka tetap berkumpul di dalam gua tersebut." Gerald mulai berdongeng panjang lebar seolah aku anak kecil umur lima tahun. Tapi, aku senang mendengar dogeng Gerald.
"Ish ... kenapa udah tahu ada naganya, kenapa pergi ke situ?" potongku.
"Dengarin dulu." jawab Gerald jengkel.
"Di antara mereka semua, Si Rusa yang paling baik dan paling polos. Sampai suatu hari mereka janjian seperti biasa, katanya hari ini mereka bisa berpesta karena mereka telah banyak berburu tinggal menikmati saja di dalam gua. Rusa pun dengan semangat datang ke tempat favorit mereka. Waktu itu, suasana di gua sangat gelap. Si Rusa, menunggu temannya dalam waktu sangat lama, tapi teman-temannya tak kunjung datang. Dia sampai ketiduran, dan kelaparan. Dia ingin pulang saja, ketika ingin pulang. Dia mendapati pintu gua telah tertutup, dan samar-samar Rusa mendengar bahwa itu suara teman-temannya. Dan Rusa mendengar bahwa semua temannya tertawa karena telah berhasil menjebak Rusa yang baik hati. Dari situ Rusa sadar bahwa dia telah dikhianati."
"Kasian Rusa." kataku dengan raut simpati, aku bisa merasakan bagaimana nasibnya rusa tersebut.
"Rusa menjadi ketakutan di dalam gua tersebut. Dia takut, seandainya benar ada naga yang ganas maka, si Rusa tinggal menjadi santapan saja. Di tengah putus asanya Rusa karena takut jadi santapan Naga yang ganas dan takut tidak bisa keluar lagi dari gua yang gelap. Tiba-tiba keajaiban datang. Rusa melihat, seekor kancil imut, kecil mengemaskan warna putih. Meski di dalam gua yang gelap, si Kancil tersebut tidak mengetahui ada Naga yang ganas. Kancil tersebut sangat ceria, dan tidak takut apa pun.
Dari situ si Rusa mempunyai harapan besar bahwa dia bisa bebas dari gua yang gelap. Jadilah, si Rusa dan Si Kancil berteman. Hari-hari Rusa di dalam gua tersebut tidak lagi kesepian. Dan si Kancil kecil ini sangat cerdik. Dia berusaha untuk menolong Rusa untuk keluar dari gua tersebut. Kancil tersebut, menggali tanah di depan gua yang tertutup batu. Semakin menggali tanah tersebut, maka ada celah kecil agar bisa keluar dari gua tersebut. Dan akhirnya berhasil. Rusa tersebut bisa menikmati lagi dunia luar. Akhirnya Rusa dan Kancil berteman. Mereka selalu bersama, Si Kancil yang pering membuat Si Rusa tidak lagi merasa sedih atas pengkhianatan temannya. Tapiโ" Gerald menjeda kalimatnya, seperti berat mengatakan itu semua.
"Pasti Si Rusa makan Kancil ujungnya 'kan?" tebakku.
Gerald melanjutkan kalimatnya. "Terbebasnya Rusa kembali tercium oleh teman-temannya, dan mereka tidak senang mendengar berita itu. Mereka berusaha mencari siapa yang menolong si Rusa. Setelah mereka mengetahui bahwa Kancil kecil yang menyelamatkan Rusa, rencana licik mereka ada lagi. Mereka ingin memisahkan Kancil dan Rusa. Mereka berusaha membuat Kancil agar tidak lagi berteman dengan Rusa. End."
"Belum tamat itu, klimaksnya aja belum." protesku. Sialan Gerald, tahu begitu, ia tak perlu bercerita, padahal aku ingin tahu bagaimana nasib rusa apalagi nasib para pengkhianat itu, biasanya yang berkhianat nasibnya mengenaskan, dan rusa hidup bahagia selamanya.
"Jadi menurut kamu, sebaiknya Si Kancil harus seperti apa?" TlTanya Gerald tiba-tiba padaku.
"Ya, Si Kancil orang baik. Jadi, dia berpihak pada kebenaran lah. Seharusnya dia tidak boleh termakan tipu muslihat binatang yang lain. Harusnya dia tetap berteman dengan Rusa."
"Cerdas."
"Menurut kamu, binatang yang mengkhianati itu seperti apa?"
"Mereka tidak pantas lagi untuk berteman, apalagi berteman kembali dengan Rusa. Dan siapapun, mereka tidak pantas berteman, karena hanya akan merusak pertemanan saja. Biarkan saja, mereka pengkhianat bertiga berteman. Jangan sampai mereka merusak pertemanan yang lain."
Aku ngoceh panjang lebar, walau bahasanya hanya berputar di kalimat yang sama. Tanpa sadar bubur itu sudah habis dari bercerita panjang lebar.
Aku yang jadi Rusa, begitu aku bebas aku akan mencakar-cakar tubuh mereka. Walau mereka kuat, aku tidak peduli. Oh iya, Rusa hanya punya tanduk. Aku sebagai Rusa akan menyundul mereka menggunakan tandukku. Aku akan menyundul mereka kembali ke gua gelap itu, dan membiarkan mereka dimakan Naga yang ganas. Pikiran jahatku, selalu muncul jika seperti ini. Kasihan sekali si Rusa.
"Cerdas sekali jawaban istriku. Sayang sekali, di dunia nyata malah terbalik." kata Gerald menepuk-nepuk kepalaku.
Aku mengerutkan keningku, sambil mengerucutkan bibirku. "Maksudnya apa, ya?"
"Poor Rusa mempunyai istri Kancil yang tidak peka." ujar Gerald polos, sambil menatap ke arahku. Hah? Gerald memang suka halu.
"Ish... mereka kan berbeda jenis Mana boleh Rusa dan Kancil kawin." protesku. Setahuku kalau hewan mau kawin pasti sejenis. Jarang sekali aku mengetahui Ayam kawin dengan Kucing misal. Entah bagaimana anaknya nanti, tapi dalam sejarah pengetahuanku yang tak seberapa, aku tak pernah mendapati ada binatang yang kawin beda jenis, kecuali kawing silang dalam ilmu biologi yang dilakukan para ilmuan. Tapi kawin silang secara alami, kurasa tidak ada.
"Di dunia nyata, mereka udah nikah."
"Mana bisa berbeda jenis, kawin apalagi sampai nikah. Lagian kamu tadi bilang, kalau Rusa, dan Kancil berteman saja?"
"Itu di dunia dongeng. Di dunia nyata mereka nikah. Malah si Kancil hamil." Mataku mendadak cerah. Mendengar kata hamil. Aku suka hamil, apalagi hamil dalam keadaan Gerald perhatian padaku, semuanya terasa surga bagiku.
"Aku hamil juga. Bentar-bentar, jadi anaknya jadi apa kalau Rusa dan Kancil kawin? Ah, Gerald mengada-ngada."
Gerald, menarik napas panjang. Meletakan piring, dan berbaring.
"Sekarang Rusa gemas dengan Kancil." ujar Gerald, sambil menatap ke arahku.
"Matilah Kancil yang kecil itu."
Gerald menarik napas panjang dengan frustrasi, dan meremas rambut tebalnya, seperti kebiasaannya.
"Agh.... Kancil tidak peka. Kamu itu kancilnya, Sayang, tadi itu cerita hidupku dan kamu Kancil penyelamat hidup aku."
"Oh."
"ARHGH...... aku ingin guling-guling di kasur." Gerald beneran guling-guling sambil memeluk bantal guling, dan menggigit bantal tersebut. Aku ingin tertawa, melihat tingkah Gerald yang seperi anak kecil. Dasar suami anak-anak!
"Aku tahu Gerald. Aku tidak akan mempercayai pada siapapun. Sekarang si Kancil kecil ini hanya akan percaya pada Si Rusa yang tampan." Gerald langsung bangun. Ia menerjang memelukku, untung saja selimutku tidak jatuh. Bisa-bisa aku telanjang, dan diperkosa lagi, entah perkosa jilid ke berapa.
"Kancil?" goda Gerald sambil menunjuk ke arahku.
"Rusa?"
"Kancil dan Rusa." teriak kami bersamaan.
Yeah, nama panggilan baru sekarang. Good bye, kepada mancung dan pendek yang kemarin.
***
Pasangan gaje, yang jadi pasangan favoritku ๐๐
Hope you guys feel the same. Bisa jatuh cinta, sama dua makhluk absurd ini.
Hihi, see youโจโจ
Warning!!! vulgar!! Kalau tidak suka, bisa diskip aja ๐๐________________________________ Hari ini, aku ingin bermanja-manja dengan suamiku setelah pendeklarasian kami. Sudah lama aku tidak bermanja-manja dengannya, karena setiap hari hanya diisi dengan pertengkaran, dan tangisan. Aku juga tak tahu, kapan Gerald pulang lagi ke Jerman. Tapi, aku benar ingin mengikutinya kesana. "Gerald kapan kamu pulang Jerman?" Aku sedang duduk bersandar di kepala ranjang Gerald yang luas. Gerald berbaring di pahaku, aku meremas-remas rambut tebalnya. "Bareng kamu?" "Pasport aku itu belum pasti, ngurus visa juga belum."
Warningg!!! Adult Content!! Gerald's POV Flashback ___________ Ok Rara, let's play the game. You with your guy. I'm with many girls here. Malamnya, aku benar-benar pergi ke pesta temannya Eloy. Aku ingin merasakan kebebasan juga. Eloy sering sekali mengajakku pergi pesta, tapi aku malas untuk bermasalah, ditambah aku tak bisa menjadi manusia normal, aku selalu mabuk jika mencicipi sedikit alkohol. Daripada berakhir memalukan, lebih baik aku tak pergi. Tentu aku bisa diejek, seorang lelaki tampan dan gagah membahan sepertiku, tak bisa menjadi manusia normal karena pusing mencium bau alkohol. Payah! Padahal orang Jerman itu mayoritas minum anggur, mereka jarang sekali minum air putih.
Jerman I'm coming. Akhirnya aku akan melihat dunia luar seperti impianku. Semua dokumen yang dibutuhkan untuk berpergian ke luar negri telah beres dalam waktu tiga hari. Semua Gerald yang mengurus, aku hanya duduk manis dan difoto. Bundaku tetap tidak mengizinkan pergi, tapi aku tetap keras kepala, dan ngotot untuk pergi. Aku benar-benar tidak ingin berniat untuk tinggal di lingkungan tempat tinggalku. Aku merasa sudah tidak nyaman. Bunda marah, dan tetap tidak mau untuk mengantarkanku ke bandara. Padahal, Bunda tahu bagaimana penderitaanku saat Gerald pergi. Harusnya Bunda bisa legowo melepaskanku. Terkadang, aku tak mengerti dengan jalan pikiran Bunda. Akhirnya adikku yang mengantar. Air mataku turun, aku akan merindukan Bunda, keluarga kecilku.
"Bundaโ" "Iya, Nak?" Air mataku tumpah ruah. "I miss you." "Bunda juga rindu. Jaga diri baik-baik. Jaga kesehatan, jaga anaknya." Air mataku semakin deras. Aku merindukan Bundaku. Dan selalu saja, pesan ini yang Bunda sampaikan. Ya, Bunda perhatian. Tapi aku merasa Bunda seperti tak yakin padaku, aku bisa mengurus diri. Padahal, aku sudah dewasa, sudah menjadi istri orang, dan mom to be. Kenapa, Bunda harus takut? Aku bisa bertanggung jawab terhadap diriku sendiri. "Iya, Bunda. Bunda jangan sedih, ya. Rara bisa menjaga diri di sini." kataku meyakinkan bunda. "Iya, nggak, bunda nggak sedih. Bunda khawatir, kamu di tempat orang jauh." Meski Bunda bilang tidak, tapi aku tahu
Gerald's girlfriend. How I missing something here? I glance kill for Gerald to confirm this. "I'm sorry Alle. Rara is my wife." Gerald mencoba menenangkan, dari keadaan yang sudah memanas. Ini tak bisa dibiarkan. Bagaimana mungkin lelaki sial ini, bermain-main di belajangku? Ditambah, cewek sial ini, dengan percaya diri mengaku dia pacar Gerald. "Wife? Really? Are you fucking kidding me again?" pekik si pirang. "Yeah, I just want you to introduce with my beatiful woman in the world." "Bullshit!" I scream and throw remote to Gerald. Remot itu tepat mengenai wajah Gerald, dan ia berhasil menangkap remot tersebut, sebelum semuanya berderai.
"Kamu kenal Alicia itu siapa?" Gerald menengang. "Nggak!" Jawabnya gelapan, dan salah tingkah. Berarti semua hanya mimpi burukku saja. "Yaudah tidur, yuk." Ajak Gerald. "Hei, makanan kamu belum habis. Habiskan biar Rara kemas semuanya dan cuci." Kulihat Gerald sudah tidak berselera lagi. Aku mengemas semuanya, dan mencuci piring-piring yang kotor, dan peralatan buat masak tadi. Setelah selesai, kulihat Gerald masih melamun. Makanannya masih sama seperti tadi kutinggalkan. Dia bertingkah aneh. Apa Gerald sakit perut, karena aku memasak yang tidak steril? "Jadi, masih mau makan nggak?" tanyaku lagi, melihat Gerald yang masih melamun. "Eh?"
Aku ingin mengerjai Gerald. Aku tidak sakit perut. Tapi aku hanya capek, sedang tidak berselera untuk melayaninya sekarang. Tapi, aku tiba-tiba merasa berdosa setelah melihat dia panik. Selalu saja, bertingkah bodoh yang membuat kami sama-sama terluka. "Sakit? Kenapa? Keram?" tanya Gerald panik. Aku menggeleng. "Nggak tahu, sakit aja. Biarkan aku istirahat, kamu boleh pergi kuliah." kataku dengan suara lemah, agar meyakinkan. Tapi rasa bersalah, terus menghantamku. "Aku nggak bisa, nanti kamu kenapa-kenapa. Kayak semalam." Gerald menyugar rambutnya, dan wajahnya begitu ketakutan. "Nggak papa, nanti kalau sakit atau apa aku telpon aja. Tapi kamu harus gerak cepat ya." Aku memegangi perutku. "Iya, maaf telah membuat kamu sa
Tubuhku kaku semua. Sial! Aku tertidur di atas meja. Meski hanya kepalaku saja. Semoga anakku tidak merasa kesakitan. Dari malam sampai lagi, posisi tidurku hanya duduk di atas kursi, dengan kepala di atas meja. Benar-benar posisi tidur yang aneh dan tak sadar sama sekali, padahal aku tertidur dengan posisi duduk. Aku juga tak tahu jam berapa sekarang. Leher kaku, tangan dan kakiku keram. Dengan mengembalikan sistem tubuhku. Aku menuju kamar, dan pemandangan paling indah menyambutku. Aku mencari handphone dan baru ingat, semalaman aku tidak mencabut handphone-ku. Untung saja tidak meledak. Dengan menguap terasa belakang dan leherku sakit semua. Untuk digerakan sedikit saja, sangat sakit. Aku terduduk di pinggir ranjang melihat keadaan sekitar, demi apa tidurku begitu pulas dan tak sadar sama sekali? Kuperhatikan jam di layar ponsel.