Bu Dewi membersihkan luka di lutut Alana. Lana meringis kala Bu Dewi mengoleskan betadine di atas luka tersebut.
"Sakit?" Tanya Bu Dewi."Perih, Tante." Jawab Lana."Tidak apa-apa. Setelah ini lukamu akan segera kering. Sebentar lagi angkutan Pak Bejo akan segera mampir kesini. Tante sudah berpesan agar jangan lupa berhenti di depan rumah.""Terimakasih Tante, sudah mau menolong Alana." Jawab Lana dengan mata berkaca-kaca."Tidak apa-apa. Bagi tante kamu sudah seperti anak tante sendiri."Tak lama kemudian terdengar klakson mobil di depan rumah Bu Dewi. Ya, angkot Pak Bejo yang dipesan bu Dewi menepati janjinya untuk berhenti di depan rumah. Dengan langkah tertatih-tatih karena terjatuh sewaktu lompat dari jendela pas subuh tadi, Alana menyeret kopernya dibantu Kirana."Lana, jangan lupa ini sarapan kamu, jangan lupa selalu sholat lima waktu. Gapai cita-citamu, Nak. Semoga nanti kamu jadi orang sukses, biar tidak ditindas oleh ibu dan saudara tirinya lagi." Pesan Bu Dewi ketika Lana menjabat tangannya hendak berpamitan."Terimakasih, tante. Tante baik sekali kepada Lana. Lana akan selalu mengingat kebaikan Tante dan Kirana."Dan ini, ada sedikit yang saku buat kamu. Pakailah untuk kebutuhanmu disana nanti. Semoga yang sedikit ini bisa membantumu." Bu Dewi menyerahkan sebuah amplop yang tampak sedikit tebal."Tapi tante... Lana sudah ada uang untuk bekal cari kost disana nanti, tante kan juga butuh uang ini...." Lana mencoba menolak pemberian Bu Dewi, karena dia tahu Bu Dewi sendiri seorang janda yang berjuang membesarkan anak seorang diri. Baginya kebaikan Bu Dewi selama ini kepadanya sudah lebih dari cukup. Disamping itu selama ini diam-diam Lana menyisihkan sedikit gajinya dan dititipkan kepada Bu Mirah agar tidak diketahui oleh Mama dan Mischa."Sudah Lana, pakailah uang itu untuk kebutuhanmu. Tante ikhlas memberi untukmu. Kamu sudah tante anggap sebagai anak tante sendiri. Pergilah sekarang, sebelum Mama kamu dan Mischa datang kemari."Lana pergi dengan mengendarai mobil pengangkut sayur tersebut. Matanya berkaca-kaca. Dia bakal meninggalkan kampung tercintanya, meninggalkan segala kenangan manis bersama papa saat dia masih kecil dulu. Dan juga meninggalkan kenangan buruk yang ditorehkan oleh mama tirinya dan juga Mischa. Dia berjanji, di kota nanti akan berjuang sekuat tenaga untuk meraih cita-citanya.***"Apa?! Lana kabur?!" Suara Om Anton melengking tinggi, membahana memenuhi ruang tamunya yang luas."Iya, Om. Dia pergi sudah dini hari tadi, soalnya tadi pagi pas mau aku bangunkan, ternyata kamarnya sudah kosong, pintu terkunci, tapi jendela kamarnya terbuka." Jelas Bu Rika."Bukannya kamu bilang ke aku tadi pagi kalau anak itu setuju dikawinkan denganku, kenapa bisa kabur, hah?!" Om Anton menggebrak meja, semua yang ada di ruangan tak berani berkutik karena ketakutan."Mungkin dia berbohong, Om. Supaya dia bisa aman melarikan diri." Jawab Bu Rika dengan takut."Banyak alasan kamu itu! Tahu begini kenapa kamu tidak mengawasi dia sejak tadi malam, hah?! Sekarang cari anak itu, cari sampai dapat! Kalau tidak ketemu, uang yang kamu berikan tadi harus kau kembalikan lagi! Dan ingat! Kalau anak itu sampai tidak ketemu, maka kau akan aku jebloskan ke dalam penjara karena tidak melunasi hutang, mengerti?!" Ancam Om Anton."Ja-jangan penjarakan saya, Om Anton. Saya akan mencarinya sampai ketemu." Jawab Ibu Rika ketakutanSetelah keluar dari pekarangan rumah megah tersebut, Bu Rika ngedumel sendiri di jalan."Dasar anak tak tahu diuntung, sudah untung kamu kurawat dan kuijinkan tinggal di rumah sampai sebesar ini, bahkan aku sekolahkan juga. Sekarang di suruh melunasi hutang Papanya sendiri malah minggat. Benar-benar durhaka kamu, Alana!" Gerutu Bu Rika sambil kakinya menendang-nendang kerikil di sepanjang trotoar."Aduuh..." Kakinya tanpa sadar menendang batu besar, hingga ujung jarinya mengucur darah."Hish, batu sialan!" Rutuk Bu Rika, dia pun berhenti berjalan, dan mengambil daun apa saja yang ada disitu untuk menghentikan darah yang mengalir."Huh! Sial banget sih hari ini, sudah kaki sakit gegara terantuk batu, masih pula harus mencari keberadaan Alana yang entah dimana! Ini semua gara-gara Alana! Coba kalau dia tidak kabur, gak bakal terlunta-lunta dijalan kayak gembel begini aku."***"Apa coba kita tanyakan ke temen deketnya Alana ya, Ma? Aku yakin dia pasti tahun ke mana Alana pergi." Usul Mischa sembari membersihkan luka mamanya."Ah, kenapa tidak bilang dari tadi sih? Ya sudah ayo buruan kesana! Mama takut Pak Anton kesini lagi buat menagih janji kita." Ujar Mama, seolah tidak memperdulikan kakinya yang pincang.Namun sampai di rumah Kirana pun ternyata mereka tidak menemukan keberadaan Aluna disana. Padahal Mama sampai mengancam akan melaporkan polisi jika Bu Dewi kedapatan menyembunyikan Alana. Namun Bu Dewi tetap saja kekeh mengatakan tidak tahu dimana Alana berada."Kita cari kemana lagi, Ma?" Mischa mengelap keningnya yang penuh dengan peluh yang berjatuhan. Saat ini mereka sedang berhenti di sebuah warung makan."Ah, entahlah. Sekarang kita makan saja dulu. Perut Mama sudah keroncongan minta di isi." Ujar Bu Rika.Bu Rika memenuhi piringnya dengan nasi dan full lauk pauk yang ada di warung prasmanan tersebut. Begitupun dengan Mischa. Melewatkan sarapan membuat mereka kalap melihat berbagai makanan lezat yang tersaji di warung tersebut.Mischa menyedot es tehnya hingga tandas. Lalu terdengarlah bunyi sendawa dari mulutnya tanda dia sudah benar-benar kenyang."Ih, kamu tuh anak gadis, sendawa yang sopan dong." Omel Mama."Tandanya kenyang ini, Ma. Ya sudah gih sono Mama bayar!""Kamu dong yang bayar!""Ih Mama dong yang bayar, kan aku ini anakmu yang harus kamu biayai. Gimana sih Mama ini?" Ujar Mischa sewot."Kamu kan punya uang? Uang yang kamu minta hasil kerja Lana kemarin mana?" Selidik Mama."Ehm, sudah kubuat untuk beli hp, Ma." Jawab Mischa sambil cengengesan.Mama mengeluarkan segepok uang yang tadi diberikan oleh Om Anton. Mata Mischa langsung melotot melihat uang sebanyak itu."Uang Mama banyak sekali? Dapat darimana mana uang tersebut?" Tanya Mischa. Matanya tak berkedip menatap seikat uang yang baunya saja masih harum, tidak lecek seperti uang yang dia Terima dari hasil memalak Alana seperti biasanya."Ini uang yang dikasih Om Anton tadi pagi, kalau Lana tidak di temukan, uang ini akan dimintanya kembali. Ngerti kamu?""Ya kan Mama bisa bayar pakai uang hasil kerja Mama dulu. Jangan mengambil uang itu dulu lah." Mischa ketakutan."Gaji Mama terpotong buat bayar hutang di Bank titil. Makanya kamu harus bantu Mama supaya Alana segera ditemukan. Kalau ketemu kan kita bisa segera melunasi hutang dan dapat uang dari Om Anton 200 juta."Mata Mischa berbinar membayangkan uang 200 juta jika berhasil mereka dapatkan. Ah, uang itu nanti bisa kugunakan untuk perawatan supaya putih dan glowing, dan bisa untuk belanja barang-barang branded. Bisa kugunakan untuk modal mendekati Bara, si pemilik Cafe yang sangat tampan dan kaya raya.Tapi, Alana harus dicari kemana? Karena dia selama ini tidak pernah memiliki uang sepeserpun. Tiap kali gajian, uang hasil kerjanya langsung ditodong oleh Mama, dan Alana tidak boleh memegangnya sedikitpun. Bisa apa dia minggat tanpa membawa uang? Akan semakin jadi gembel dia."Eh, Ma. Apa Alana mungkin pergi ke kota buat melanjutkan kuliah di UNT ya. Kan waktu itu dia bilang ke Mama mau melanjutkan kuliah di UNT." Kata Mischa."Ngawur kamu. Alana itu tidak punya uang sepeserpun, dia bayar ongkos naik bus ke kota pakai apa? Pakai harga diri? Wong ongkos ke kota saja mahal, soalnya jarak dari sini ke kota jauh banget." Mama menyangkal pendapat Mischa."Ya siapa tahu emang dia bayar pakai harga diri, kan dia bodoh, dinikahi orang kaya tidak mau, malah lebih memilih menjual dirinya demi bisa kuliah. Padahal kan kalau nikah sama Om Anton dia nanti bebas bisa kuliah dimana saja, iya kan, Ma?" Ujar Mischa sambil menguap menahan ngantuk. Kekenyangan makan membuat matanya terasa berat.Mama tidak menjawab. Setahu dia selama ini Aluna anaknya sopan, meskipun dia perlakukan buruk setiap hari."Atau jangan-jangan dia diberi uang saku sama ibunya Kirana ya, Ma?""Ah tidak mungkin. Mereka itu keluarga miskin. Rumahnya saja jauh lebih buruk dari rumah kita. Ah kemana sih bocah itu?" Mama memegang kepala, dari raut mukanya tampak seperti orang frustasi."Coba saja deh, Ma. Kita cari ke UNT. Siapa tahu dia kesana beneran. Bisa saja kan dia dapet uang dari guru di sekolah? Dia kan anak pintar, pintar cari muka maksudnya." Ucap Mischa. Dari nada bicaranya tampak kalau dia sangat benci adik tirinya itu. Dia sangat benci karena di sekolah banyak teman yang memuji kepintaran Aluna, bahkan termasuk guru-guru juga."Ya sudah ayo kita kesana sekarang." Ajak Mama, lalu menyeret putri kesayangannya itu untuk bersiap-siap.***Satu tahun telah berlalu. Alana dan teman-temannya sudah menyelesaikan program pertukaran mahasiswa yang ditugaskan kepada mereka. Banyak sekali ilmu-ilmu yang diraih selama berada di negri Singapura. Tentang bagaimana suasana belajar di sana, dan juga kehidupan sehari-harinya. Banyak bertemu dengan orang baru, banyak berkenalan dan tukar pikiran dengan orang-orang dari berbagai penjuru dunia, membuat Alana semakin melek dengan keadaan. Membuat pikirannya semakin terbuka, bahwa ternyata dunia itu sangat luas, ternyata diluar sana banyak orang yang memiliki toleransi begitu tinggi, ternyata dirinya bisa diterima oleh dunia, ternyata banyak yang bersikap ramah terhadapnya, ternyata di luar sana. dirinya begitu dihargai. Sangat bertolak belakang dengan kehidupannya sebelumnya, yang mana terlalu banyak sisi kelam yang dia lalui, sehingga sempat membuatnya ingin bunuh diri karena dunia yang tidak ramah padanya. "Ah, seandainya aku tidak nekat melarikan diri kala itu, mungkin hidupku han
" Barang-barangmu sudah kebawa semua?" Nata bertanya memastikan bahwa koper Alana sudah terisi semua barang yang seharusnya dia bawa. "Sudah masuk koper semua, Nat." Jawab Lana. " Kamu tidak ingin berpamitan dengan siapapun?" Tanya Nata lagi. "Nanti aku pamitan sama kamu, kalau pesawatnya sudah datang." "Orang lain, ehm... Kak Bara misalnya?" Nata mencoba menggoda Alana. "Aku tidak memiliki siapa-siapa lagi," Alana menjawab dengan getir. "Maaf, aku cuma bercanda. Dah yuk, kita berangkat sekarang. Takut ketinggalan pesawat." Ujar Nata. Mereka keluar dari kontrakan Lana. Lana tidak lupa mengunci dan menyerahkan kuncinya pada ibu kost. "Semoga ilmu yang kamu dapatkan dari negri seberang berkah ya, Alana. Kalau akan kembali nanti, hubungi Ibu lagi saja. Ibu carikan kamar buat kamu." Ujar Ibu kost tatkala Alana berpamitan akan ke luar negri, guna mengikuti program pertukaran mahasiswa. "Amin. Terima kasih, Bu." Jawab Alana. Nata dan Alana lalu menuju ke mobil milik Nata yang sed
"Ini warungnya?" Tanya Nata. "Ya." Alana lalu turun dari atas motor Nata. Setelah itu melepas helm yang dikenakannya. Mereka berdua lalu memasuki warung yang selalu ramai pembeli tersebut. Mata Alana lalu menangkap sosok tua pemilik warung yang selama ini berjasa padanya. Dia berniat untuk mendatangi Bu Mirah, sang pemilik warung. Namun niat itu dia urungkan, Bu Mirah tampak sibuk melayani orang yang hendak membayar makanan yang dijualnya. "Sepertinya enak-enak semua ya, menunya." Ujar Nata sambil melihat berbagai macam lauk yang berderet rapi di balik meja etalase. "Iya, enak kok. Apalagi kalau lagi lapar begini." Jawab Lana. "Yang paling enak yang mana?" Bisik Nata lagi. "Itu tuh, ayam kecapnya enak, manis, gurih. Tapi tergantung selera sih." Jawab Lana. Tiba-tiba ingatannya berputar pada beberapa bulan lalu, saat dia masih bekerja di sini. Hampir setiap hari sebelum pulang, Bu Mirah menyuruhnya makan terlebih dahulu. Dan melarang membawa pulang makanan seperti pekerja lain.
"Sory, aku tidak mau!" Jawab Mischa dengan cepat dan lantang. "Kamu harus mau! Jika tidak, maka kamu akan kuteriaki habis mencuri di warungku!" Ancam Bu Mirah. Karena diancam seperti itu, Mischa jadi takut, sepertinya orang tua dihadapannya ini memang suka nekat. Galaknya setengah mati. Bikin nyalinya menciut. Mischa mau tidak mau berjalan masuk ke warung Bu Mirah, sesampainya di dalam dia dihadang oleh tatapan para karyawan orang tua tersebut dengan tatapan heran. Semua karyawannya pasti sudah tahu Mischa dan juga wataknya yang sombong serta tidak tahu sopan santun. Apalagi mereka semua masih ingat akan kejadian kemarin dimana Mischa dengan mulut besarnya membuat keributan di warung ini. Namun hari ini anehnya dia tampak begitu tunduk terhadap Bu Mirah. "Bik Yem, ini aku carikan tukang cuci piring baru, Bibik hari ini mending bantu saya njualin di depan saja." Ujar BU Mirah sambil melirik ke arah Mischa. Bik Yem tentu saja kaget. Dia yang biasa bekerja dengan gesit mencuci semu
Untuk sesaat, Mischa kembali dibuat semakin terkejut. Bagaimana bisa hutang mamanya tidak dibayarkan selama setahun? Bukankah mamanya habis menerima uang 200 juta? Ah, petugas bank ini pasti mengada-ada. Dia pasti mau mencari keuntungan sendiri dengan meminta tagihan kesini. Pagi-pagi sudah mau cari ribut rupanya. Tidak sadar dia dengan siapa berhadapan? "Heh! Yang benar saja kamu mau menyita rumah ini?? Mamaku pasti sudah melunasinya, dia habis mendapatkan uang 200 juta. Kamu mau cari gara-gara? Mau ambil keuntungan sendiri, kan?? Hayo ngaku!!" Hardik Mischa. Petugas itu tidak bereaksi sama sekali dengan kemarahan Mischa, wajah mereka tetap saja datar, dan kemudian menunjukkan surat penyitaan kepada Mischa, surat tersebut berstempel dan bertanda tangan resmi dari bank BNK. "Ini kalau tidak percaya. Sebaiknya Nona segera mengosongkan isi rumah ini, dan pergi sekarang juga. Karena rumah ini sudah kami lelang." Jawab Petugas itu, tidak gentar sedikitpun dengan hardikan Mischa. Lagian
Selepas Mischa pergi dari warung, semua menghela nafas lega, Bu Mirah meminta maaf kepada semua pengunjung atas ketidak nyamanan mereka makan di warung hari ini, akibat ulah si mantan napi yang tidak dididik dengan baik oleh orang tuanya. "Maaf ya semuanya, dia memang gadis yang tidak memiliki sifat yang baik, dia juga baru keluar dari penjara, sekarang dia mau pergi ke bank mengambil uang katanya, entah uang siapa yang dia ambil. Konon Mamanya banyak uang, tapi hampir tiap hari didatangi oleh debt collector untuk menagih utang." Bu Mirah menjelaskan kepada para pengunjung warung sambil terkekeh, sehingga ada beberapa yang menimpali. "Oalah, masih muda kelakuannya seperti demit. Mau jadi apa dia nanti? Apa ya ada lelaki yang bakal mau menikahinya?" Ujar Bu Romlah, salah satu pengunjung warung. "Entahlah, sepertinya kelakuannya itu menurun dari ibunya. Ibunya kan juga tidak ada akhlak, buah jatuh tak jauh dari pohonnya." Ujar Bu Warni menimpali. "Semoga dia segera mendapatkan hiday