“Kenapa tidak biarkan aku di sini? Aku bisa jadi saksi. Bukankah lebih baik kalau ada yang melihat, agar tidak ada yang menuduhmu memperlakukan Zera terlalu keras?”Zera meremas ujung gaunnya, menunduk. Ia bisa merasakan permainan licik Clarisse.Johnny mendecak pelan. “Clarisse…”“Aku hanya peduli,” Clarisse tersenyum samar. “Tapi baiklah, kalau kau mau aku pergi…” ia berhenti, lalu menoleh ke Zera. “Hati-hati, sayang. Jangan buat Johnny kehilangan kesabaran.”Dengan senyum tipis, ia melangkah keluar. Tapi tak seorang pun tahu, sebelum keluar ia telah menyalakan sebuah alat kecil di sudut ruangan—sebuah perekam suara yang tersembunyi rapi.Begitu pintu menutup, Johnny kembali menatap Zera.“Dia musuhmu, Zera,” katanya dingin. “Dan kau… membuat dirimu tampak sama berbahayanya dengan dia.”Zera mengangkat wajahnya, bibirnya bergetar. “Aku tidak bermaksud… aku hanya ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi.”Johnny menunduk, menatap lekat wajah pucat itu. Ada perasaan aneh yang menusuk da
Zera duduk di kursi panjang di sudut kamar, jari-jarinya meraba pelan kain gorden yang bergoyang oleh angin malam. Ada sesuatu yang membuat dadanya sesak sejak beberapa hari terakhir— hanya karena sikap Johnny yang semakin dingin. Ia tahu risikonya ketika menaruh kamera kecil di ruang kerja Johnny. Keberanian itu bukan tanpa alasan. Ia hanya ingin tahu apa yang disembunyikan lelaki itu. Tapi semakin hari, perasaan takut justru kian menumpuk. Terutama sejak Clarisse berulang kali muncul tiba-tiba, dengan senyum halus dan kata-kata manis yang terdengar seperti racun.Suara ketukan pelan di pintu membuat Zera menoleh refleks, walau matanya yang kosong tak mampu melihat siapa yang datang. Ia menegakkan tubuh, menunggu.“Boleh aku masuk?” suara Clarisse terdengar lembut, seakan benar-benar peduli.Zera menggenggam ujung kain gorden lebih erat. “Silakan.”Pintu berderit, lalu langkah sepatu hak tipis menyusup masuk. Clarisse mendekat, duduk tak jauh darinya. Harum parfum mawar menyeruak.“
“Zera.”Zera berdiri, tubuhnya sedikit gemetar. Ia tidak bisa membaca ekspresi Johnny, tapi bisa merasakan kemarahan yang menekan di antara jeda napasnya.“Ya?”“Jelaskan padaku... kenapa aku harus mempercayaimu sekarang?” suara Johnny terdengar nyaris berbisik, namun sangat menekan. “Setelah apa yang kulihat di kamar lamamu dengan Shio. Lalu sekarang kau datang ke ruanganku... menyusun sesuatu. Apa yang sebenarnya kau rencanakan?”Zera mengepalkan jemarinya. “Aku tidak merencanakan apa pun. Aku hanya membawakanmu makan siang.”“Makan siang?” Johnny terkekeh sinis. “Kau tahu letak mejaku. Kau tahu di mana pot kecil itu diletakkan. Bahkan kau tahu posisi sendokmu jatuh—dengan akurat.”Ia menatap tajam. “Kau buta, Zera. Tapi hari ini kau seperti punya mata lebih tajam dari siapapun di rumah ini.”Zera diam sejenak. Lalu berkata pelan, “Aku hafal ruangan ini. Setiap sudutnya. Karena aku sering ke sini. Karena aku mengingatnya... dari aroma, dari suara.”“Dari suara?” Johnny mendekat, nap
Clarisse berdiri diam. Matanya menyipit saat melihat bayangan dua tubuh yang saling melekat di dalam ruangan. “Zera…” gumamnya pelan, hampir berdesis seperti racun. Jemarinya mencengkeram dinding, rahangnya mengeras saat suara-suara lembut dari dalam ruangan terdengar samar. Saat Johnny menarik Zera dalam pelukan dan membisikkan kata-kata yang hanya diucapkan pria yang sedang jatuh cinta, Clarisse mundur perlahan. Tidak ada air mata di matanya—hanya bara api yang menyala di dasar tatapannya. “Kau benar-benar bodoh, Johnny,” bisiknya getir. “Kau pikir gadis buta itu tulus padamu?” Ia melangkah menjauh, gaun sutranya berdesir mengikuti irama langkah penuh amarah. Sesampainya di kamarnya, Clarisse menjatuhkan dirinya di sofa dengan napas tersengal. Wajahnya yang cantik memerah karena marah dan cemburu. “Aku tidak akan diam saja melihat dia mengambilmu dariku...” Clarisse Menyusun Rencana. Keesokan harinya, Clarisse mengundang pelayan tua bernama Risa, salah satu loyalisnya.
Pagi menjelang siang. Zera berjalan pelan dari kamar Johnny, tangannya meraba dinding sebagai penuntun, tapi langkahnya lebih lambat dari biasanya. Setiap gerakan terasa perih—bekas dari kejadian pagi-pagi buta yang terlalu panas untuk disebut sekadar kebetulan. Raut wajahnya datar, namun dari cara ia sesekali mencengkeram perut bagian bawah, terlihat jelas ada ketidaknyamanan. Ia mencoba menyembunyikannya… namun tidak cukup berhasil. Beberapa pelayan wanita yang kebetulan lewat, berhenti sejenak, lalu menatap satu sama lain. “Lihat cara jalannya…,” bisik salah satu pelayan sambil menahan senyum kecil. “Pagi-pagi keluar dari kamar Tuan Johnny… dan sekarang begitu?” “Jangan keras-keras. Tapi… sepertinya mereka benar-benar tidur bersama tadi malam.” “Tapi bukankah biasanya Tuan John tidur di ruang kerjanya?” Zera mengabaikan suara-suara itu. Tapi hatinya berdebar. Ia sadar apa yang mereka pikirkan. Ia tahu kabar bisa menyebar lebih cepat dari angin. Tiba-tiba langkahnya t
Sinar pagi menembus celah tirai, menyinari kamar dengan hangatnya. Udara terasa segar dan lembab setelah malam panjang yang menyimpan banyak rahasia. Zera keluar dari kamar mandi dengan tubuh hanya dibalut handuk putih, rambutnya basah menetes perlahan hingga ke bahu. Ia mengusap rambut dengan handuk kecil, mengira Johnny sudah pergi sejak pagi seperti biasanya. “Dia pasti sibuk… Tak mungkin masih di sini,” gumamnya pelan. Zera berjalan perlahan menuju sisi ranjang, ingin mengambil baju dari tas kecilnya. Ia meraba ujung tempat tidur, tidak menyadari bahwa Johnny masih berbaring di sana, membelakanginya dalam diam. Johnny membuka matanya perlahan. Ia terjaga sejak Zera mandi. Tapi entah mengapa, ia terlalu malas untuk bangun… atau mungkin terlalu tertarik menunggu. Suara langkah kaki Zera. Aroma sabun yang masih melekat di kulitnya. Uap hangat dari tubuh yang baru selesai mandi. Semua membuat darahnya mendidih. Zera yang tengah berdiri dan membenahi rambut, tiba-tiba tersan