"Lo baik-baik saja? Tu kan udah gue bilang, wajah lo merah. Lo pasti masih pusing,” ujar Jo, lalu memaksa Rachel untuk berbaring kembali.
“Tapi gue baik-baik aja, Jo. Gue mau balik ke kelas," ujar Rachel masih bersikeras. Tak pernah seumur hidupnya melewati pelajaran di kelas. Bahkan dalam keadaan sakit, Rachel selalu memaksa dirinya untuk mengikuti pelajaran. Jo terlihat menghembuskan nafas pelan, lalu diraihnya kacamata dari wajah Rachel dan meletakkannya di atas nakas. “Istirahatlah, gue tunggu di sana jika lo merasa sungkan.” Jo mengambil selimut tipis lalu menutup tubuh Rachel hingga batas leher. Kemudian melangkah menuju ranjang lain, dan duduk di sana. Entah mengapa Jo merasa senang melihat Rachel tanpa kacamatanya. Setidaknya lebih enak dipandang mata. Jo mengambil ponselnya dan mulai bermain dengan benda pipih itu. Sementara Rachel berusaha untuk mengistirahatkan matanya. Memang kepalanya masih terasa pusing, namun dia tidak bisa tidur di tempat asing. Sungguh tidak nyaman, apalagi bersama seorang pemuda. Rachel bergerak menghadap ke tembok. Dirinya masih berusaha untuk menormalkan detak jantungnya. Meskipun pandangannya buram, Rachel merasa Jo terus memperhatikannya. Apa yang ada di pikiran bocah tengil itu, Rachel pun tak mengerti. Hingga tak lama Rachel mulai tertidur tanpa sadar. Sementara Jonathan merasa bosan, hanya berdiam diri tanpa melakukan apapun. Perutnya mendadak lapar, hingga Jo memutuskan untuk ke kantin membeli beberapa cemilan yang bisa dijadikan pengganjal perut. Jo melangkah santai melewati kantor guru. Meski ada beberapa guru yang melihatnya berjalan-jalan di jam pelajaran, tak ada satu guru pun yang berani menegurnya. Hingga tak lama, Jo kembali ke UKS membawa beberapa cemilan dan minuman. Dia bahkan sengaja membeli masing-masing dua untuk dirinya dan Rachel. Ya, hanya sebagai bentuk permintaan maaf, tak lebih. Jo terus saja memandangi gadis yang tidur meringkuk dengan posisi memunggunginya. Hingga dering telepon membuat Jo segera mengangkat panggilan, agar tidak mengganggu tidur Rachel. Jo kini sudah berada di depan UKS. “Ya, halo.” Jo tak sempat melihat ke layar ponsel, entah siapa yang menelpon. “Halo, Jonathan. Papa Rachel memintamu untuk mengantarkan Rachel pulang, karena dia ada pekerjaan mendadak. Tolong Jo, nanti kamu antar Rachel pulang ke rumahnya. Ingat jangan kau berbuat aneh-aneh!” Tentu itu telepon dari Nicholas. Siapa lagi yang berbicara tanpa jeda, lalu menutup telepon tanpa mendengar komentar putranya. Tak perlu menjawab, Jo sudah mengetahui kebiasaan papanya. Berbicara tanpa meminta pendapat. Baiklah, Jo akan mengantarkan Rachel. Toh hanya mengantarnya saja, tidak repot. Anggap saja permintaan maaf karena sudah membuat Rachel pingsan. Jo menaruh kembali ponselnya lalu berjalan masuk. Kini ia sengaja duduk di kursi samping ranjang Rachel. Hanya berdiam diri hingga bel istirahat kedua berbunyi. Rachel masih tenggelam dalam mimpi, Jo juga tidak enak hati membangunkan Rachel. Tak lama, Mila datang memasuki UKS. Membuat Jo beranjak dari kursinya. “Mil, gantian lo yang jaga. Eh, nanti bilang ke Rachel kalau pulangnya sama gue. Papinya gak jemput," ucap Jo sebelum menghilang di balik pintu. Mila terlihat bingung dan aneh, menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. Lalu menghampiri Rachel yang masih tertidur. “Chel, bangun!" ucap Mila menepuk bahu Rachel. Rachel sontak bangun dan menatap Mila. “Gawat, gue ketiduran. Udah jam berapa ini, Mil?” Wajah Rachel terlihat begitu cemas. “Istirahat kedua, Chel. Lu mau balik ke kelas atau mau di sini sampai jam pulang nanti?” tanya Mila. “Kita balik ke kelas, Mil. Gue udah bolos mapel seni budaya.” Rachel menuruni ranjang. Lalu menarik tangan Mila dengan tergesa-gesa. Dia sengaja tidak melewati lapangan basket, trauma kena lemparan bola. Meski sedikit tidak nyaman, Rachel masih terus memakai kacamatanya yang retak hingga pelajaran sekolah usai. Rachel dan Jo sama-sama diam meskipun mereka duduk bersebelahan. Hingga guru keluar dari kelas, Rachel hendak berkemas. “Eh cupu, papi tadi telepon gue, katanya lu pulang gue yang anter. Papi lu ada kerjaan mendadak gak bisa jemput," ucap Jo memberitahu. Namun tak juga ditanggapi Rachel. Gadis itu masih terdiam, entah mendengar atau memang sengaja mengabaikannya. Sudahlah, yang penting Jo sudah memberitahu. Mau tidaknya itu terserah Rachel. Rachel keluar mendahului Jo, berjalan bersama Mila menuju gerbang sekolah. Sementara Jo sudah berada di dalam mobil bersama Jessi yang duduk di sebelahnya. Ketika hendak memacu mobilnya, ponsel Jo kembali berdering. Jo segera mengangkat telepon tanpa melihat pada layar. “Halo Jo, kamu sudah sama Rachel? Papinya Rachel nanyain papa,” suara seseorang dari seberang telepon. ‘Mampus gue, sekarang kemana gue harus nyari si kutu buku itu,’ batin Jo. “Halo Jonathan, Rachel sudah sama kamu kan? Coba kasih ponselmu ke Rachel, papa mau ngomong,” ucapan Nicholas semakin membuat Jonathan panik. ‘Mati gue! Bagaimana mungkin bisa papa bicara dengan gadis cupu itu, sementara Rachel sedang tidak bersamanya.’ Sementara itu Rachel tengah berjalan seorang diri, setelah berpisah dengan Mila di gerbang sekolah. Entah apa yang dipikirannya, padahal tadi Jo sudah menawarinya untuk pulang bersama, namun justru Rachel yang keluar mendahului. “Hey, Cupu! Tunggu, berhenti di situ!” teriakan Jo cukup nyaring, hingga membuat Rachel menghentikan langkah dan menoleh ke arahnya. Ketika melihat yang memanggilnya tak lain adalah rivalnya sendiri, Rachel kembali melangkah. Bahkan lebih cepat dari yang tadi. Namun langkah panjang Jo mampu menyusul langkah Rachel. Jo meraih tangan Rachel, memaksanya untuk berhenti. “Hey cewek aneh! Gue bilang berhenti, ngapain lo nyelonong aja, hah?” ucap Jo dengan nafas memburu. Meskipun Rachel pendek, namun kecepatan berlarinya boleh diadu. Tadinya Jo sudah membuat Jessi marah karena tidak jadi pulang bersama. Masih mending Jessi yang marah, daripada Nicholas yang marah nantinya. “Apa sih, Jo. Lepasin gue!” ucap Rachel berusaha melepaskan tangannya dari cekalan Jonathan. “Lo ngapain jalan sendiri? Hah? Gue udah bilang tadi sama lo, gue anterin lo pulang. Bukan gue yang pengen, tapi papi lu yang nyuruh,” ucap Jo menjelaskan tanpa berniat melepaskan cengkraman tangannya pada Rachel. Jo takut jika Rachel kembali melarikan diri. “Gue bisa pulang sendiri Jo," ujar Rachel sembari menatap tajam Jonathan. “Udah Lo jangan ribet deh, Lo harus pulang sama gue.” Jo menarik paksa Rachel agar mengikuti langkahnya menuju mobil. Jo tidak peduli meskipun gadis itu terus memberontak. Hingga langkah mereka telah berada di depan pintu mobil. Jo membuka pintu depan dan memaksa Rachel agar masuk. Lalu Jo segera duduk di balik kemudi dan mengunci semua pintu. Jo bernafas lega, kini sudah aman. Target sudah didapatkan. Jika nantinya papa menelepon lagi, Jo tidak akan panik. Baru mau menghidupkan mesin mobil, Rachel berteriak dengan mengeluarkan kepalanya dari jendela. “Tolong.. tolong aku diculik!” Teriakan Rachel terdengar sangat nyaring. ***Turnamen basket pun dilaksanakan. Tim Jonathan sudah melakukan latihan selama satu Minggu penuh. Melatih kekuatan fisik, kecepatan, kelincahan juga koordinasi sesama anggota tim saat di lapangan. Stadion basket sudah dipenuhi oleh para pemain juga para penonton. Jonathan melangkah turun ke lapangan setelah memastikan istrinya duduk di tempat ternyaman. Rachel bisa melihat dari sisi penonton ketika suaminya itu tengah mewakili timnya untuk melakukan coin toss. Menentukan tim siapa yang berhak mendapatkan bola pertama. Rachel memang tak duduk sendirian. Di sampingnya ada Mila yang sekarang sudah resmi menjadi kekasih Rio, mantan ketua kelasnya dulu. Gadis itu tampak terlihat antusias dan tak malu memberikan teriakan dukungan untuk sang kekasih. Sementara Rachel hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan temannya itu. “Chel, ngomong-ngomong lu udah isi belum?” tanya Mila di sela-sela kebisingan suara sport komentator yang mengiringi jalannya pertandingan. Rachel mengedikkan bahu, “
Kedua insan kembali mereguk kenikmatan di malam ketiga setelah resmi menjadi pasangan suami istri. Pendirian Rachel tergoyahkan ketika dirinya pun tak kuasa menolak sentuhan Jonathan. Keinginan awal Rachel untuk menolak, kini hanyalah bualan semata. Karena tubuhnya merespon lebih cepat saat merasakan sentuhan intim sang suami di area sensitifnya. Jonathan memasukkan miliknya yang sudah tegak berdiri ke dalam liang surga sang istri, dengan posisi Rachel yang masih berbaring menelungkup. Sensasi yang baru dirasakan oleh Rachel ketika miliknya dimasuki lewat belakang. Bisa dirasakan begitu dalamnya batang Jonathan yang menembus miliknya. Hingga membuat Rachel menjerit, tak kuasa menahan gejolak kenikmatan yang datang bertubi-tubi ketika batang itu keluar masuk seiring dengan pergerakan Jonathan yang begitu kuat dan agresif. “Ahhhhh.. ahhhh..” Desahan Rachel menggema memenuhi seluruh penjuru ruangan. Tak ada lagi rasa perih selain hanya rasa nikmat. “Enak, sayang?” bisik Jonathan di
Mata Rachel terbelalak untuk sesaat. Wajahnya merona malu saat matanya menangkap sesuatu yang bergelantungan di antara paha Jonathan. Suasana menjadi hening. Tak seperti biasanya, Rachel tak lagi berteriak histeris. Hanya memalingkan wajahnya untuk tak melihat tubuh polos sang suami. Jonathan pun tampak santai seperti tak terjadi apapun. Segera menaruh kembali piring ke atas meja makan, dan memungut handuk itu sembari menatap istrinya. Mengulum senyum penuh arti. Sepertinya istri mungilnya itu sudah terbiasa melihat pemandangan itu. Bergegas Jonathan melanjutkan niatnya. Menaruh piring-piring bekas makan ke dapur tanpa berniat mencuci. Biarlah nanti asisten yang membereskan semua. Jonathan kembali mengencangkan lilitan handuk sebelum melangkah keluar dapur. Namun saat langkahnya tiba di depan meja makan, Rachel tak nampak di sana. Pria itu merotasikan pandangan, hingga matanya menangkap sosok Rachel yang tengah melangkah terburu-buru menaiki anak tangga. Seulas senyum tipis muncu
Tanpa mengetuk pintu terlebih dulu, Jonathan meraih gagang pintu dan membukanya. Jonathan sudah mendengarkan penjelasan dari salah satu asisten jika istrinya sedang tidur. Sehingga dia berusaha untuk tidak membangunkan tidur Rachel. Melangkah dengan hati-hati menuju sisi ranjang. Posisi tidur Rachel membelakangi pintu kamar, sehingga Jonathan hanya melihat punggung Rachel yang setengahnya tertutup oleh selimut. Beberapa helai rambut terlihat sedikit menutup wajah cantik itu. Tangan Jonathan terulur memindahkan helaian rambut itu ke belakang dengan gerakan sangat hati-hati. Jonathan berniat akan menunggu hingga istrinya itu terbangun dengan sendirinya. Sehingga dia memutuskan untuk membersihkan tubuh sebelum nantinya menjadi terapis pijat sang istri. Selama di kamar mandi, senyum tak luput dari bibir Jonathan. Membayangkan malam-malamnya yang akan dilalui penuh warna. Pikirannya hanya tertuju pada Rachel dan Rachel. Apakah ini yang dirasakan semua pengantin baru? Perasaan cinta ya
Siang itu, Nicholas meminta putranya untuk datang ke Lesham Corp. Ada satu hal penting yang harus dibahas dengan putranya. Ini mengenai masa depan Jonathan. Ketika langkahnya tiba di gedung bertingkat itu, semua mata tertuju pada lelaki bertubuh jangkung yang menjadi putra tunggal sang pemilik perusahaan. Jonathan melangkah seraya menyapa balik staf kantor yang mengucapkan salam padanya. Memiliki karakter yang berbeda dengan Nicholas yang dingin, putra pewaris tunggal itu memiliki sikap lebih hangat. Sama persis dengan mendiang tuan Anthoni yang begitu ramah. Hadir dengan hanya mengenakan kaos Jersey dan celana pendek, membuat Jonathan menjadi pusat perhatian. Sungguh penampilan Jonathan yang tak menunjukkan layaknya seorang anak dari bos besar. Meskipun tidak terlalu sering mengunjungi perusahan kakeknya, Jonathan masih mengingat letak ruang kerja papi Nicholas. Sehingga saat sekuriti berniat untuk mengantarnya, dengan tegas Jonathan menolak. Kini langkah panjang Jonathan sudah h
“Jika kamu perlu vitamin untuk mempercepat kehamilan, mama bisa mengantarkanmu ke dokter, Nak!” ucap Natasya sebelum melepaskan kepergian putri semata wayangnya. Jonathan terlebih dulu berada di sisi mobil, membuka lebar pintu untuk istrinya. “Gak perlu, Ma. Rachel gak memerlukannya!” tegas Rachel dengan muka memerah. Selama sarapan, dirinya terus dibuat diam tak berkutik. Malu menndengar penuturan nenek Maria yang sepertinya sudah mengetahui aktivitas malamnya bersama Jonathan. “Santai saja, Ma. Nanti Jo sendiri yang akan mengantarkan istri Jo ke dokter. Jo pastikan mama dan nenek akan segera mendapatkan cucu dan cicit.” Bukannya meredakan suasana, suaminya itu justru menimpali dengan ucapan yang semakin membuat wajah Rachel memanas karena malu. “Sudahlah, Nat. Kamu tak perlu khawatir. Putrimu sudah berada di tangan orang tepat. Jonathan tahu apa yang terbaik dan pastinya akan menjaga putrimu dengan sangat baik. Bukan begitu, Jo?” timpal nenek Maria seraya mengerlingkan satu ma