LOGINBeberapa Minggu berlalu, kini Nayla berjuang menghidupkan dirinya sendiri dengan cara mencari barang rongsokan. Hinaan dan cacian kerap ia dapatkan dari orang-orang sekitar mengenai dirinya yang tak lagi mengenyam pendidikan.
"Nayla, Nayla! sudah ibu bilang, sekolah itu hanya untuk orang-orang berduit! akhirnya kamu putus ditengah jalankan, Oh iya. ibumu kemana? kok gak pernah terlihat lagi?" Tanya Bu Dina teman baik ibu Nayla yang juga bermata pencarian sebagai pemulung. "Ibu sudah dua minggu lalu meninggal, Bu." Jawab Nayla dengan surah sangat lirih. "Ya Allah, benarkah ibumu telah meninggal? Lalu kenapa tidak mengabarkan ibu?" Nayla terdiam dan terus mencari barang rongsokan di pinggiran jalan kota. "Panjang bu ceritanya, sudahlah bu, aku tak lagi mau membahasnya, sekarang aku harus berjuang untuk bisa mewujudkan semua mimpi-mimpiku!" Bu Dina langsung memeluk Nayla dengan ikut menangis juga, seolah ia juga merasakan kesedihan yang sedang menyergap hati gadis yang ada didepannya. Saat keduanya saling berpelukan, sebuah mobil melintas dihadapan mereka. keduanya terkaget ketika air comberan membasahi tubuh mereka berdua. "Haha! Nayla, Nayla, kau memang pantas mandi air comberan! Lihat ini, aku berhasil menjadi juara!" Teriak Nadya dari mobil yang tadi melintas didepan keduanya sambil memamerkan piala kemenangannya. Nayla tak menyangka bila Nadya yang jadi pemenang lomba, "Mulai saat ini aku akan meraih mimpiku, bagaimana caranya aku harus bisa!" Tekat Nayla denga mengepalkan kedua tangannya. Seolah ia akan berusaha menentang takdirnya. "Nayla, ibu pulang dulu ya, pakaian ibu sudah kotor begini!" Nayla mengangguk dan mereka pun berpisah. Nayla sendiri masih terus melanjutkan perjalanannya untuk mengumpulkan sebanyak-banyaknya barang bekas dan rongsokan didalam gerobak besarnya itu. Ditempat lain, Polisi yang dulu menolong Nayla kini ia tak lagi bekerja sebagai polisi. Ia sudah dipecat dari kesatuannya, karena mengalami kelumpuhan akibat kecelakaan yang terjadi malam itu, saat sesudah menolong Nayla. Semenjak lumpuh, Rizal kerap mendapatkan perlakuan kasar dari istrinya, Sindy. Bahkan ia pun mulai tidak dipedulikan oleh Sindy. ia tak tahu apa sebabnya istrinya bisa berubah seperti itu, padahal walaupun ia cacat, ia selalu memberikan apapun yang Sindy inginkan. "Ting, tong!" Bunyi suara bel rumah. Ia yang sedang duduk di ruangan santai melihat Istrinya yang buru-buru pergi membukakan pintu rumah. "Sindy! Ganti pakaianmu sekarang juga!" Titah Rizal kala melihat istrinya yang berjalan dengan hanya mengenakan pakaian daster yang begitu menerawang. Sindy tetap saja berjalan tanpa mempedulikan Rizal. "Ceklek!" Terbukalah pintu rumah dan apa yang terjadi saat itu. didepan mata Rizal istrinya sedang berciuman mesra dengan Devan yang merupakan mantan kekasih Sindy. Lalu didorong Rizal lah kursi roda nha dan ia pun mengeluarkan sumpah serapahnya. "Berengsek! apa yang sedang kalian lakukan didepanku! Sindy, kau masih istriku!" Teriaknya dengan rahang yang sudah mengeras, Andai saja dia tidak lumpuh, mungkin dia akan membunuh lelaki yang sudah lancang menyicipi istrinya. Kedua pasangan terlarang itu menoleh kearah Rizal dengan wajah tersenyum sumringah. Keduanya mendekati Rizal yang sedang tantrum itu. Lalu, apa yang dilakukan Devan. " Kau yang sudah mengambil kekasihku, sekarang aku ingin mengambilnya kembali! Kau menginginkan anak kan? Biar aku yang membuahi rahimnya. dengan begitu citra kamu sebagai lelaki mandul tidak akan di sepelekan orang lagi." Semakin terbelalak lah kedua mata Rizal mendengarkan bahasa yang begitu menjijikan keluar dari mulut Devan. Lalu giliran Sindy mendekati tubuh suaminya. "Aku juga sudah beberapa minggu tidak kamu service sayang, bolehkah aku bercinta dengannya di depanmu? Mana tahu dengan begini kamu bisa sembuh karena melihat kami memadu kasih." "Puihhh! Pergi kau wanita sampah! Mulai saat ini aku menalak kamu dengan talak 3, Aku tak Sudi memiliki istri semurahan kau!" Kedua sejoli yang sedang mabuk cinta itu menertawakan Rizal yang tak bisa melakukan apa-apa. Lalu Devan mendorong kursi roda itu menuju keluar rumah. "Pergilah kau suamiku sayang! aku ikhlas kau menjadi gembel dijalanan sana." Usir sang istri membuat Rizal semakin bergejolak. Tetapi sayangnya, sekeras apapun ia telah berusaha, ia tak bisa juga untuk melawan mereka. "Dasar Manusia laknat!" Maki Rizal terhadap keduanya. Diperjalanan pulang, Nayla yang sudah kelelahan bekerja mencari rongsokan. Terus melangkahkan kakinya dengan mendorong gerobaknya melewati area perumahan yang cukup elit. Matanya tak sengaja melihat seseorang pria dewasa sedang tergeletak tak berdaya di pinggir jalan sambil berusaha untuk naik ke kursi rodanya. "Kasihan sekali, Om itu!" Ujarnya dengan berusaha menghusap keringat yang terus membasahi keningnya. pria tersebut adalah Rizal, Rizal terus pergi dari kediamannya dengan cara mengesot dijalanan. sebab ia sudah tak sudi melihat kelakukan istri dan lelaki itu. Ia terpaksa melakukannya seorang diri, sebab saat ia meminta tolong pada tetangga dan security komplek. semuanya tak ada yang mau membantu. Itu semua karena istrinya ternyata sudah lebih dulu memfitnah dirinya dengan mengatakan bila dirinyalah yang telah berselingkuh, hingga akhirnya mengalami tabrakan. ia tak habis pikir mengapa istrinya bisa sekejam itu padanya. Dengan berat hati, ia pun berjuang seorang diri untuk mengesot dari depan rumahnya menuju jalan raya yang ada diluar perumahannya sambil memegang kursi rodanya, dan berharap diluar sana ada yang mau membantunya untuk bisa naik keatas kursi roda. "Aku tak percaya, istri yang selama ini aku anggap baik tega mencampakkan aku begitu saja, bahkan ia memfitnahku. Tunggulah, aku akan membalas rasa sakit ini, Sindy!" Geramnya dengan terus mengepal besi kursi rodanya. Tidak berapa lama, sampailah Nayla kelokasi Dimana Rizal berada. Nayla meminggirkan gerobaknya ke bahu jalan. "Om butuh bantuan?" Ucap Nayla, mendengar suara seseorang, Rizal pun mendengakkan kepalanya dan mereka pun saling beradu tatap.David tidak mau menyia-nyiakan waktu tersebut, bergegas ia segera membawa Miranda ke sebuah tempat. Selama diperjalanan Miranda terus berusaha untuk bersuara dan berharap ada orang yabg mendengar suaranya. Karena terlalu bising, David mengambil sebuah kain lap yang selalu ia selipkan di balik laci dasboard. lalu disumpalnya mulut Miranda dengan kain lap yang entah sudah beberapa lama tak juga kunjung dibersihkan. Miranda semakin mual saat merasakan bau kain tersebut, ia mau muntah, tetapi muntahan tersebut tak dapat keluar dan akhirnya kembali masuk kedalam mulutnya. Seketika matanya pun mendelik-delik merasakan muntahannya yang kembali ia telan sendiri. ****** Di perusahaan, ketika semua masalah telah diselesaikan. Rizal dan Nayla pun bergegas mau keluar. Namun betapa terkejutnya ia tatkala melihat mantan mertuanya sudah berdiri didepan lobi untuk menunggunya dengan mata yang sudah berkaca-kaca. "Rizal, tolong Bapak, Rizal. Bapak yakin kamu masih mempunyai hati nuran
Begitu Miranda masuk dan bergabung dengan para pemegang saham, betapa kagetnya ia kala melihat Nayla ada di samping Rizal. Di saat para pemegang saham sibuk membahas Rizal yang ternyata sedang sakit, mereka seakan semakin ragu akan keberhasilan proyek yang sedang di garap sekarang. "Sebenarnya siapa anak itu?" gumam Miranda yang fokusnya kini terus menatap Nayla. Rizal mengambil mic dan mencoba untuk berbicara pada mereka semua. "Bila kalian ragu pada saya yang kalian anggap lemah ini, maka silahkan keluar. Saya akan ganti rugi semua apa yang telah berjalan dan juga membalikkan semua dana kalian." Rizal berbisik pada Nayla untuk mengambil sebuah cek yang ada di dekat Nayla duduk. Dengan sigap, Nayla pun menyerahkan cek kosong pada Rizal. "Ini Pak, ceknya." Orang yang tadi merendahkan Rizal, sudah saling sikut dengan tamu lainnya yang sejalan dengannya, namun entah kenapa mereka semua pada bungkam. Ia pun terus memprovokasikan semuanya untuk ikut menarik saham mer
Andre berlari menghampiri mobil yang didalamnya ada Nayla, lalu mengetuk kaca jendela pintu mobil tersebut. "Tok, tok, tok." Melihat Andre mengetuk pintu, Nayla segera menurunkan kaca jendela, dan menatap Andre dengan tatapan bingung. "Ada apa?" tanya Nayla tanpa berbasa-basi. Andre melirik ke samping Nayla, seketika ia meneguk salivanya kala melihat Rizal sedang menggerakkan tangannya ke arah leher. Seolah mengisyaratkan agar jangan menganggu Nayla. Andre buru-buru memberikan buku modul untuk Nayla pelajari dirumah. "Ini bukunya Nayla," Andre bergegas pergi sebelum Nayla mengucapkan terima kasih. "Aneh banget itu orang! Kenapa main pergi aja." ucap Nayla menatap modul tersebut dan melirik ke arah Rizal. Rizal pun buru-buru merubah ekspresinya menjadi hangat kembali. Edwin yang dari tadi memperhatikan semuanya sedang tersenyum meledek. Hal konyol tersebut dapat tertangkap oleh Rizal. "Ehm, jalan sekarang atau saya pecat kamu sekarang juga, Edwin!" Edwin tersa
Nayla yang baru selesai belajar bersama guru bimbingannya keluar dari ruangan dan menatap mereka yang masih terus berdiri disana dengan wajah yang sudah memerah menahan panasnya terik mata hari. Nayla berjalan pelan ke arah tiang bendera tersebut sambil menatap mereka semua. "Tunggu hukuman dari aku ya!" ucap Nayla membuat mereka yang tadinya sudah meringis kelelahan, kini semakin murung tatkala melihat Nayla yang sudah pergi ke ruang guru BK. "Mampus tamatlah riwayat kita, pasti kita akan dikeluarkan seperti nasib Miska." Tidak berapa lama, para orang tua wali mereka pun pada berdatangan dan tidak terima atas keputusan sekolah yang akan mengeluarkan anak-anak mereka. Namun pihak sekolah tetap tegas dan kekeh mengeluarkan murid-murid tersebut. "Maaf, Pak, Bu. Tetapi apa yang sudah di lakukan mereka inj sudah jatuh ke ranah perencanaan pembunuhan. Sebab semua kronolaginya juga telah terekam dari CCTV. Kami dari pohak sekolah tidak mau mengambil resiko, lebih baik kami kelua
Siswi-siswi tersebut berjalan perlahan dan menyalip di antara beberapa siswa lainnya, berharap bila Nayla tak melihat ke arah mereka. Semburat kecemasan terlihat jelas di wajah mereka. Apa lagi saat mereka mengetahui bila Miska telah masuk penjara. Semakin takutlah mereka untuk bertemu dengan Nayla. Mereka jalan mengendap-ngendap, dan sengaja masuk ke ruangan kelas lainnya hanya untuk bisa menghindari Nayla. Jam terus bergulir, hingga bel masuk juga telah berbunyi. Nun orang yang Nayla cari belum juga kelihatan batang hidungnya. "Kemana mereka? Kenapa belum juga datang? Apa sebenarnya mereka sudah tahu bila aku akan datang hari ini?" gumam Nayla yang terus menatap pintu kelas, berharap mereka akan masuk. Lalu terlihat olehnya bayangan seseorang yang sedang berjalanendekati kelasnya. Wajahnya seketika menegang dengan tangan yang sudah terkepal dengan kuat, tetapi apa uang terjadi. Harapannya sirna begitu saja ketika melihat dua orang yang ditunggunya ternyata adalah wali
Setelah kepulangan David dari kediaman Rizal, Nayla pun bangkit dan berlalu cepat masuk ke dalam kamarnya. Lalu dalam ke adaan masih merek-nerka, ponsel milik Nayla pun berdering. ia menatapnya agak lama, sebuah nomor tanpa nama terus menerobos memanggil. Nayla menghelakan nafas dengan di selingkuh wajah kesal. ia pun mengakatnya, "halo, siapa ini?" ketusnya. Di tempat lain, Andre menjadi gugup ketika panggilannya telah di angkat oleh Nayla. "Benar, ini suara dia." ucapnya sambil menutupi speaker ponselnya agar suaranya tak terdengar oleh Nayla. "Nayla, ini aku Andre. Kamu sudah baikan?" tanya Andre dengan ragu-ragu. "Andre mana, aku gak kenal!" suara Nayla masih saja ketus, hingga akhirnya Ia pun memutuskan untuk memutuskan panggilan tersebut. "Huft! Kenapa dia ketus sekali, sepertinya aku menganggu waktu istirahatnya." Andre melemparkan ponselnya ke ranjang dan merebahkan tubuhnya sambil menatap langit-langit kamar. Ia pun terbayang wajah gurunya yang tadi p







