Betapapun kerasnya kucoba terlelap, meletakkan sejenak keruwetan dan keras persaingan hidup pada malam yang selalu memeluk dalam diam, otak tetap tak henti berputar.
Apa yang akan terjadi esok hari? Ke mana harus menyembunyikan bocah itu? Bagaimana cara melepaskannya dari lingkaran setan bisnis prostitusi dan merebut kembali sang ibu? Apa kata orang-orang? Apa komentar para kolega dan rekan bisnis? Pramono Wicaksono menerima gratifikasi dan menjadi pedhofilia! Sungguh memuakkan!Akan tetapi, apa peduliku? Tetangga bukan, saudara apalagi. Pulangkan saja, selesai urusan.Telinga masih menangkap suara gerakan yang menjauh dan pintu kamar mandi yang dibuka, sebagai penanda bahwa di kamar ini aku memang tak sendirian. Kutarik selimut menutupi muka, memejamkan mata rapat-rapat, menafikan bayangan yang menggoda kepala, dan berusaha tidak mendengar apapun.“Aaa!!”Jeritan Delia dari kamar mandi sontak membuat jantung melompat. Kenapa lagi bocah itu? Kuseret langkah tergesa mendekatinya.“Delia! Kamu kenapa?!”Pintu terbuka dan menampilkan pesona lain yang basah kuyup lengkap dengan pakaian yang tadi ia kenakan saat datang, tipis dan seksi. Entah siapa yang mengajarinya mengenakan baju kurang bahan seperti itu. Guyuran air sukses mencetak lekuk tubuh makin menjadikan malam terkutuk ini benar-benar sempurna. Umpatan paling kasar pun tak akan merubah keadaan. Segera kupalingkan pandangan karena tak tega.“Maaf, Tuan. Saya nggak ngerti cara pakai kran air. Saya putar tapi yang keluar dari atas, panas. Tadi mau cuci muka dan ambil wudhu,” terangnya terbata.Ya Tuhan! Polos sekali bocah ini. Wudhu? Ia shalat? Tiba-tiba ada yang teremas perih di dalam dada. Kata yang sudah lama tidak pernah akrab di telinga, apalagi melakukan ritual itu. Bocah kecil ini, yang tak bisa memilih jalan hidupnya sendiri, dan dipaksa keadaan untuk menyerahkan kehormatan pada lelaki asing demi nyawa sang ibu, masih berpikir untuk bersujud pada Tuhannya meski kehidupan berlaku tak adil.“Ambil handuk, keringkan badanmu. Nanti kuajari caranya. Bawa baju ganti?”“Tidak, Tuan.”“Tutup badanmu dengan handuk itu kalau mau selamat.”Kugaruk kepala yang sebenarnya tidak gatal, sementara Delia buru-buru menghilang di balik pintu kamar mandi. Lelaki selalu menangkap sinyal yang diterima oleh mata. Kecantikan dan keindahan perempuan merupakan sesuatu yang membangkitkan imaji dan rasa penasaran. Nafsu? Mungkin itu istilah yang tepat. Meski pada akhirnya, pilihan cinta tetap jatuh pada seseorang yang membuat nyaman, bukan pesona fisik semata.“Aku bisa masuk, Delia?”“Tuan, mau ngapain?!” teriaknya dari kamar mandi bernada cemas.“Mengajarimu cara menggunakan kran, kau pikir aku mau mandi juga tengah malam begini?”“Eh … iya, Tuan. Maaf, silahkan.”Ia berdiri bengong di depan kran sambil memegang erat kedua ujung handuk di dada, melihatku masuk dengan sorot waspada.“Kau masih takut padaku, Delia? Kalau aku memang mau, apa bedanya di sini dan tadi di kamar?” Dia menunduk dan tak menjawab.“Yang di atas itu namanya shower, tutup kepalamu dengan shower cap ini kalau tak mau keramas. Tarik katup pengatur di tengah biar air mengalir dari atas, jika pakai kran tekan katupnya biar nggak basah kuyup begitu." Bibirnya membentuk sudut lengkung, mungkin menertawakan kekonyolannya sendiri. Senyum pertama yang kulihat semenjak ia masuk ke kamarku.“Lihat tanda bulat berwarna merah dan biru? Putar gagang kran ke kiri dan ke kanan untuk mengatur suhu yang kau inginkan, mau panas, hangat atau dingin, untung kulitmu tidak melepuh. Kalau mau cuci muka atau gosok gigi cukup di wastafel.” Kuterangkan sambal praktek, berharap dia mengerti dan tak mengulangi insiden yang sama.“Saya nggak bawa sikat gigi, Tuan.”“Ya ampun, Delia. Semua yang ada di sini bisa kau pakai, bebas.”“Termasuk mandi di situ, Tuan?” Dia menunjuk bathub dengan binar penasaran.“Terserah! Berendam sampai pagi juga boleh. Kuambilkan kemeja ganti untukmu. Mungkin agak kedodoran.” Aku keluar dengan geram sekaligus geli. Dasar anak-anak.Kembali merebahkan diri setelah menyerahkan baju padanya, kuberharap pagi segera menjelang. Namun, betapa enggan waktu merangkak menekuri detik-detik masa, jarum jam seakan enggan beranjak dari tempatnya, sementara ribuan lebah masih berdengung di dalam batok kepala. Hawa kamar pun berubah panas meski sudah diatur pada derajat terendah.“Tuan?” Panggilannya membuatku tersadar, bocah itu sudah menyelusupkan diri di bawah selimut tebal di pembaringan.“Ya? Kamu shalat pakai apa?”"Saya bawa mukena, Tuan. Saya lihat petunjuk kiblat di atas itu." Ia menunjuk tanda panah di langit-langit kamar.Cerdas, meski ini sebuah ironi. Ia datang terpaksa untuk menyerahkan kehormatan dan tak membawa apa pun, kecuali mukena usang yang sekilas ia perlihatkan padaku, lalu meletakkan dengan hati-hati di samping kepalanya seakan itu benda paling keramat yang ia miliki.“Siapa yang mengajarimu shalat?”“Ibu saya.”“Bukankah ibumu ...?” Aku tak tega melanjutkan.“Ibu bilang, biar dosanya nggak terlalu banyak. Lalu, istri Tuan?”Seperti godam yang dihantamkan tepat mengenai ulu hati, pertanyaan itu membuat rindu paling perih yang kupunya kembali hadir. Perempuan kecintaan yang harus bertarung melawan malaikat maut, mempertaruhkan nyawa demi mempertahankan buah hati dalam garbanya, dan dia kalah. Menyerah pada ketentuan takdir, pada jatah umur yang diberikan. Membawa serta permata yang seharusnya ia tinggalkan untuk menemani sepi, menghibur laraku saat kehilangan arah dan tujuan hidup. Aurora, yang lahir prematur saat usianya baru menginjak tujuh bulan dalam kandungan ibunya, bidadari surgaku.***Setengah jam bergeser dari angka dua belas malam saat aku tiba di rumah, dari Pak RT mewartakan kondisi Gayatri yang jatuh terpeleset di kamar mandi dan perdarahan. Seorang paraji sedang menemaninya tanpa tahu harus berbuat apa. Sekujurku gemetar sebelum akhirnya luruh ke bumi.Seperti terjerembab dalam jurang ketidakberdayaan paling menyakitkan, ketika aku akhirnya harus membawanya ke Rumah Sakit terdekat hanya membonceng roda dua. Ia mengaduh, sesekali mencengkeram pinggangku dengan desis nyeri, sementara tak banyak yang bisa dilakukan, kecuali memacu kendaraan selekas mungkin, meski laju motor bagai kura-kura yang tak peduli dilecut. Setidaknya, menurutku begitu, sehingga jarak yang ditempuh serasa bermil-mil jauhnya.“Mas … sakit,” rintihnya sesekali.Kemiskinan membuatku tak mampu memberikan fasilitas yang cukup pada Gayatri, meski ia selalu tampil dengan senyum yang tetap menawan. Menerima apa adanya dengan satu kekuatan sebagai alasan, cinta.Ia tumbang di depan IGD sederhana Rumah Sakit, dengan darah membanjir di sekitar pahanya dalam pelukanku, ketika dua orang berbaju putih datang tergesa. Mereka menaikkan ke atas brankar dan membawanya masuk. Aku berlari mengikuti laju tempat tidur dorong yang dilarikan lekas itu.Aku hanya terdiam sambil memegang tangan yang melemah itu demi menyalurkan kekuatan, menatap lekat matanya dengan senyum paling getir, mengeratkan genggaman untuk menunjukkan betapa aku sangat mencintainya.Entah apa yang mereka lakukan hingga tak lama kemudian Gayatri melahirkan, dengan jeritan paling pilu yang pernah kudengar. Ia memandang dengan tatapan berkaca-kaca saat bayi kami lahir dalam diam, disusul genggaman yang melemah, seiring talqin yang kudawamkan di telinganya dengan perasaan berkeping-keping. Perempuan terkasih itu pulang membersamai Aurora, begitu nama yang kusematkan, indah serupa bayang-bayang, tapi tak dapat diraih.Solusio plasenta, begitu orang-orang berbaju putih itu menyebutnya. Plasenta yang terlepas dari lekatannya di dinding Rahim karena benturan keras.“Tuan? Anda melamun?”Panggilan lembut itu menyadarkanku kembali ke dunia nyata.“Gayatri.”“Nama istri Tuan?”“Setidaknya lima belas tahun yang lalu.”“Bercerai juga?”“Maut yang memisahkan, Delia.”“Maafkan saya, Tuan.”“Tak apa. Sudah, tidurlah, hari menjelang pagi.”“Besok kita ke mana?”“Pulanglah.”“Tapi ... Tuan?” Kejora itu kembali berkaca-kaca.***Penghambaan terindah hanyalah untuk Sang pemilik jagad.Aku melengos, menatap dasar cangkir kopi yang sepenuhnya kosong, kemudian beranjak menjauh, membuka pintu menuju balkon, menyalakan sebatang rokok dan mengisapnya dalam-dalam. Menikmati malam bergulir mengikuti keteraturan, meski telah jatuh pada gigil yang menusuk. Alam, selalu memiliki desain sempurna yang membuat manusia merasa kecil dan tak berdaya.Tidak ada satu pun kebetulan, bukan? Akan tetapi, aku masih meraba kelam tanpa setitik pun cahaya dengan kejadian saat ini. Semua orang harus bertanggung jawab atas keputusannya sendiri, sebagaimana ia siap menerima resiko dari apa yang dialaminya.“Tuan?” Ia berjalan perlahan mengikutiku, masih dengan isak yang sama.“Aku tak mungkin membawamu, Delia.”“Saya mau jadi apa saja, Tuan. Pembantu Anda pun tak masalah, yang penting tidak menjadi seperti ibu.”“Aku sudah punya di rumah.”“Ng ... gratis, Tuan. Asal saya bisa makan dan ada tempat bernaung.”“Karena kalau kau ikut, aku yan
Orang bijak pernah berkata, ‘Terkadang tempat teraman justru berada di pusat badai’, dan itulah yang dilakukan bocah ini sekarang.“Masuk!” Tergesa aku turun dan membuka pintu mobil sambil memandang liar sekitar, berharap tak ada seorang pun menjadi saksi peristiwa ganjil yang terjadi. Katanya dipulangkan, nyatanya dibawa serta. Senyum dikulum tercetak jelas pada wajahnya yang ranum, ketika menyandarkan kepalanya di jok mobil.Sementara pendar-pendar rasa tersemai di rongga dada. ‘Pramono, dia masih bocah,’ sebuah suara bergema dalam batok kepala, menjagaku tetap waras.Rinai hujan mendaraskan lantunan zikir, memenuhi tingkap-tingkap langit hingga ke Sidratul Muntaha, ketika kendaraan melaju pelan membelah aspal jalanan. Mang Sugi melempar senyum penuh arti melalui kaca spion di atas dasboard, disusul dendang lawas tembang penyesalan yang mengalun dari speaker mobil. Sempurna!Kau datang padaku saatku lukaLuka dengan sejuta kecewaYang hempaskan tubuh remukkan dadaNamun lembut belai
Entah.Apakah aku yang gila karena kepayang sehingga otak tak mampu berpikir realisitis, atau karena empati masih bekerja pada porosnya?Kecantikan Delia yang di atas rata-rata, masih mengkal dan berperilaku manis sanggup meruntuhkan logika. Jangan sampai pada pada akhirnya aku menyesal karena kesadaran yang muncul terlambat.Bisa saja ia kiriman seseorang, pesaing bisnis atau manusia-manusia dajjal yang datang sengaja untuk menipu dan memeras. Kalau memang demikian, uangku sudah raib dua puluh lima juta.“Delia, alamatmu di mana?”“Kenapa, Tuan?” Sorot khawatir kembali dilukiskan kejoranya yang jelita.“Tenang. Aku harus tahu betul di mana tinggalmu, kan? Kita saling nggak kenal, tiba-tiba masuk ke dalam rumahku. Bisa saja suatu malam kamu masuk kamar dengan sebilah belati. Sangat mungkin itu terjadi.”“Iya, Tuan. Saya ngerti. Maaf.” Suaranya terdengar bergetar.“Maaf lagi.”Delia lalu menyebutkan sebuah alamat di Puncak yang kucatat dalam sebuah note. Besok aku harus segera ke sana
Percaya atau tidak, setiap manusia hanya mengikuti garis takdir yang telah ditentukan, tak peduli warna kulit, cantik, tampan, jelek, pintar atau pun tidak.Orang menyebut itu sebagai keberuntungan yang berpihak, atau sebaliknya. Semua hanya mengikuti perputaran roda kehidupan.“Kita makan dulu, Delia?” Kualihkan melankolia yang melingkupi suasana.“Sudah adzan, Tuan. Saya shalat dulu.“Nanti saja di rumah, Isya panjang waktunya,” perintahku.“Menunda kewajiban itu membuat tidak nyaman, Tuan. Menjadi beban pikiran, padahal cuma sepuluh menit. Nanti atau sekarang sama-sama dikerjakan. Mau shalat sekalian?”Seperti gelegar halilintar yang meremukkan isi dada, hangus dan berbau sangit. Kata-katanya sungguh mencabik-cabik harga diriku, meluluh lantakkan kehormatan kesatria penolong berbaju zirah, terkapar tak berdaya bukan karena tusukan pedang azimat, tapi hanya karena pertanyaan seorang bocah.Puluhan tahun aku menggugat tiang-tiang Arsy, menanyakan perihal keadilan Tuhan yang disuaraka
Kenyataan sering tak sejalan dengan rencana yang sudah dibuat matang.Aku tergeragap ketika bapak berseragam itu mengulangi pertanyaanya dengan tatapan tajam penuh selidik.“Pak! Anda pelanggan di sini?”“Ng … bukan, Pak, eh, anu ….” Aku berdehem sebentar, menetralisir serbuan perasaan deg-degan dan kata-kata yang tersendat di tenggorokan. “Maksud saya … saya bisa jelaskan semuanya. Bisa saya bertemu pimpinan operasi ini?” ucapku grogi dengan bahasa yang belepotan.“Bapak ada keperluan apa?”“Tolong! Ada hal penting yang harus saya sampaikan.”“Tunggu di sini!” perintahnya kemudian.Bapak petugas itu menjauh, lantas berbincang dengan sesama laki-laki berseragam yang sedang sibuk dengan Handy Talky di tangan. Keduanya lalu menatap lurus ke arahku. Hatiku menciut. Entah kenapa aku jadi setakut ini.Ketika pada akhirnya keduanya melangkah mendekat, ingin rasanya aku mengambil langkah seribu. Tapi kabur tanpa tanggung jawab bukan keputusan bijak. Meski kesatria berbaju zirah ini sudah kal
Apakah ini teguran? Atau azab atas sikapku selama ini? Segala rasa dan kecemasan bercampur aduk, berputar-putar membingungkan.Aku jadi teringat nasihat ibu, takaran ujian manusia sesuai dengan tingkat keimanan seseorang. Sebagai bentuk kecintaan Tuhan agar ia berjalan di atas muka bumi tanpa dosa, karena ujian dan kesakitan adalah untuk menghapus tiap kesalahan. Sementara, dicoba seperti ini saja, aku berontak dan menjauh, melupakan fitrah bahwa manusia diciptakan untuk menyembah Tuhannya.Ia justru menganugerahiku kemudahan. Ujian selanjutnyakah ini, atau istidraj? Kesenangan dan nikmat yang diberikan sebagai azab yang membuatku semakin lalai dan mati dalam kesia-siaan.Hatiku gerimis, serasa diremas, pedih dan menyesakkan. Jebol sudah tanggul keangkuahku selama ini, seiring air mata yang luruh membasahi pipi.“Bapak kenapa?” Mang Sugi bertanya sambal melirik kaca spion di atas dashboard. “Nggak usah cemas, Pak. Insyaallah nggak terjadi apa-apa,” sambungnya menenangkanku.Shit! Kena
Tuhan mengaruniakan air mata itu untuk melerai beban dan kesedihan yang bertumpuk menyesakkan.Menangislah, Delia. Kaummu dianugerahi persediaan air mata lebih, karena kodrat kalian yang harus melakukan banyak hal mempergunakan rasa, meski tak sekali, laki-laki juga butuh menangis. Alam raya diciptakan dengan keseimbangan yang dinamis, ada pelampiasan yang bisa dilakukan atas setiap hal yang berlaku.Aku hanya duduk dan menunggu, hingga kesedihannya benar-benar reda.“Mau jadi apa kalau nggak nerusin sekolah, Delia?” ujarku akhirnya.“Buat apa lagi saya sekolah, Tuan?” Ia tertunduk, memainkan jarinya di pangkuan sambil sesekali masih menyusut air mata dengan ujung jilbab.“Untuk dirimu sendiri, orang-orang di sekitarmu dan biar nggak bernasib seperti ibumu, maaf. Kamu masih punya harapan bertemu, ‘kan? Aku juga pernah hancur ketika ibu meninggal saat aku sedang menempuh pendidikan, sementara bapak sudah mendahului sejak aku masih bayi. Aku tahu rasanya, Delia.”Kepalanya terangkat da
Ujian demi ujian datang menyapa.Aku terkejut alang-kepalang melihat apa yang tersaji di depan mata. Sementara Delia menghambur dan membenamkan wajahnya di dadaku. Dua kejadian luar biasa yang datang secara bersamaan. Perasaanku campur aduk antara kaget dan berbunga-bunga, penuh menyesaki rongga dada. “Tak apa, Delia,” ujarku sambil menepuk pundaknya beberapa kali.Menyadari yang baru saja ia lakukan, Delia tergesa mengangkat wajah dan langkahnya surut ke belakang.“Tuan, maaf.” Ia tersipu.“Siapa yang mengirim ini?” ujarku, lebih seperti bergumam pada diri sendiri.Seekor ayam mati ditancapkan ke pintu menggunakan sebilah belati, sementara darahnya berceceran di lantai yang putih, sehingga memperlihatkan warna mencolok. Ada tulisan ‘TUNGGU PEMBALASAN!’ di samping genangan darah tanpa ada petunjuk lain. Siapa gerangan pelakunya dan apa maksud semua ini? Rasanya selama ini aku tak memiliki musuh.Kupikir, tak mungkin ada penyusup masuk lewat portal depan yang dijaga satpam. Apakah ula