"Tuan Shawn, maafkan kami. Kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi pada akhirnya, tetap Sang Penciptalah yang berkehendak," kata seorang dokter yang baru saja keluar dari ruangan operasi.
Seorang pria dengan rambut yang hampir sepenuhnya memutih segera berdiri berhadapan dengan dokter tersebut. "Bagaimana dengan putri dan cucu saya?""Putri Anda selamat, tapi tidak dengan cucu Anda. Kami kehilangan bayi kecil itu," jawab sang dokter menundukkan kepalanya.Pria yang disapa Tuan Shawn itu, mengembuskan napas dan memijat pelipisnya perlahan. Tampak sekali kesedihan mendalam di wajahnya."Boleh saya bertemu dengan putri saya, Dokter?" tanya Tuan Shawn cepat.Dokter itu mengangguk dan mempersilakan Tuan Shawn bertemu dengan putri kesayangannya. "Mari saya antar,"Di dalam ruangan operasi itu, tampaklah seorang wanita cantik dengan wajah pucat pasi. Wanita itu tersenyum saat melihat Tuan Shawn masuk ke dalam."Ayah. Aku tidak tahu kalau Ayah akan datang," kata wanita itu sambil berusaha bangkit dari ranjangnya.Pria berambut putih itu mengecup kening sang putri dan memasukan tubuh wanita itu ke dalam dekapannya. "Bodoh! Aku terbang jauh-jauh bukan untuk diremehkan seperti ini, hehehe. Bagaimana perasaanmu, Sayang?""Well, I know, basa-basi. Hahaha," sahut Tuan Shawn lagi dalam tawa.Wanita itu tersenyum lemah. Dia mengeratkan dekapannya pada sang ayah dan menumpahkan air matanya di sana. Puas menangis, wanita itu mulai membuka mulutnya kembali. "Ayah sudah tahu apa yang terjadi?"Tuan Shawn mengangguk. "Milla Sayang, beristirahatlah sejenak dan ikutlah bersamaku. Kalau kamu sudah siap untuk kembali, maka, kembalilah,"Camilla, nama wanita itu. Dia menggelengkan kepalanya cepat. "Aku mau di sana, Ayah. Aku tahu pasti akan sakit, tapi aku ingin melihat Max menyesal karena telah menyia-nyiakanku!""Dominic Cortez? Itukah rival suamimu?" tanya Tuan Shawn lagi."Ya. Apakah Ayah sudah menemukannya?" Camilla bertanya balik.Beberapa hari setelah kedatangan Allora di rumah mereka, Camilla memberitahukan kepada Tuan Shawn tentang apa yang terjadi.Saat itu, Tuan Shawn menyanggupi untuk segera mencari tahu informasi tentang Cortez dan antek-anteknya. "Dominic Cortez? Nama itu asing di telingaku, Milla, tapi aku akan mencarikannya untukmu,"Hubungan Camilla dengan ayahnya bisa dikatakan cukup dekat. Apalagi semenjak dia kehilangan ibunya yang pergi meninggalkan mereka hanya demi seorang pria lain."Terima kasih, Ayah." Saat itu hanya tuan Shawn-lah yang dapat Camilla andalkan.Max Sillas juga bukan tipe suami yang terbuka kepada istrinya, terutama mengenai pekerjaan. Namun, untuk menyelematkan rumah tangganya, Camilla memutuskan untuk bergerak dan tidak tinggal diam seperti biasanya.Sejauh ini, Tuan Shawn sudah memberikan laporan kalau Dominic Cortez adalah seorang pria yang diduga ditipu oleh Max."Perusahaan mereka merugi cukup banyak, Milla," kata tusn Shawn saat itu. "Tapi, aku belum pasti tentang informasi ini. Ada kabar lain yang mengatakan antara Cortez dengan suamimu memang sudah berseteru sejak lama,"Untaian napas panjang terdengar dari wanita cantik yang sedang mengerutkan kening itu. "Kita tunggu saja informasi pastinya, Ayah. Tapi, aku khawatir dengan kehadiran istri Miller. Firasatku tidak enak, Ayah, aku takut sesuatu yang buruk akan terjadi,""Hahaha! Kamu bukan seorang cenayang, Milla. Aku rasa itu karena hormon bayi perempuanmu. Jangan berpikiran yang aneh-aneh dan tetaplah waspada." Suara bariton ayahnya selalu berhasil membuat Camilla tenang.Namun sayang, keputusannya untuk tenang saat itu salah. Andai saja dia waspada, tidak lengah, serta mau berjuang sedikit, kejadian naas ini tidak akan terjadi.Ya, Camilla mengalami keguguran dan calon putrinya meninggal karena kekurangan oksigen di dalam perut karena pendarahan yang dialaminya."Sekarang, segala sesuatunya sudah terjadi. Aku berpikiran untuk mencari Miller dan menyatukannya kembali dengan Allora. Bagaimana menurutmu, Ayah?" tanya Camilla dengan suaranya yang masih terdengar lemah.Tuan Shawn terdiam. Sesungguhnya dia tidak ingin putri semata wayangnya itu terjerumus ke dalam bahaya. Setelah berpikir cukup lama, pria paruh baya itu pun mengembuskan napas panjang, lalu berkata, "Jangan bergerak sebelum aku mendapatkan info lebih lanjut tentang keberadaan Cortez. Ini sangat berbahaya, Camilla!""Apa kamu sungguh-sungguh mencintai Sillas sampai harus kamu juga yang turun tangan untuk mencari kembaran Pria Brengsek itu? Dia tidak pantas menerima cintamu, datang menjenguk pun tidak!" sambung Tuan Shawn lagi dengan nada suara sedikit kesal.Camilla tak menjawab Cintanya memang sudah dia habiskan untuk Max seorang, bahkan dia tidak menyisakan satu persen pun cinta untuk dirinya sendiri."Ayah juga belum melupakan ibu, jadi, mana mungkin aku bisa menyerah untuk Max. Aku tidak rela jika pada akhirnya dia berakhir bersama dengan Allora Twig," ucap Camilla setelah cukup lama dia memikirkan kata-kata apa yang akan dia lontarkan kepada ayahnya.Lagi-lagi Tuan Shawn menghela napas. "Tapi aku berpisah dengan ibumu. Apa kamu kuat melihat suamimu bersama dengan wanita lain? Apa kamu sanggup?""Aku akan berusaha untuk kuat. Aku juga akan memberikan Max anak laki-laki, Ayah! Aku berjanji!" Wajah Camilla tampak bersungguh-sungguh dan dia mengacungkan dua jarinya membentuk huruf V sebagai bukti keseriusannya.Dengan janji manis serta kata-kata meyakinkan dari putri tunggalnya, Dean Shawn pun menyerah. Namun, ada yang mengusik pikiran dan hatinya sedari tadi. "Ke mana suamimu sekarang?"Camilla mengangkat bahunya dan kesedihan kembali menggelayut di atas kepalanya. "Aku tidak tahu, Ayah,""Ck!" Dean berdecak seraya keluar dari ruangan operasi itu.Keesokan harinya, Camilla sudah dipindahkan ke ruangan intensif dan hari itu dia berharap agar Max mengunjunginya.Namun sayang, harapan Camilla hanyalah harapan semu yang tak kunjung berbalas. Sampai hari kepulangan Camilla, pria tampan itu belum juga menunjukkan batang hidungnya."Kamu yakin ingin pulang ke rumah itu? Kamu bisa ikut pergi denganku, Milla," kata Dean. Tidak ada satu pun ayah yang sanggup melihat anak perempuannya sedih berlama-lama.Camilla menggeleng, wajahnya mengeras tanda kebulatan hati. "Aku mau pulang ke rumahku sendiri, Ayah,""Aku harus menyelesaikan masalahku dulu. Seandainya pun aku lelah di tengah jalan, aku akan menghampirimu, Ayah," sambung Camilla lagi seraya memeluk ayahnya tersebut.Setelah beberapa hari di rumah sakit, harapan Camilla agar suaminya datang pun perlahan menguap. Jangankan datang, mengirimkan pesan atau bunga seperti yang dulu dia pernah lakukan pun tidak.("Darling, aku pulang siang ini. Di mana kamu? Kenapa aku sulit mendapatkan kabar darimu? Kamu baik-baik saja, kan, Darling?") Begitu isi pesan Camilla yang dia kirimkan untuk Max beberapa jam sebelum kepulangannya.Namun, pesan itu tak kunjung berbalas. Dean sangat gusar melihat ulah menantunya tersebut. "Aku akan mengantarmu dan mungkin akan tinggal di sini sampai kamu benar-benar pulih, Milla,""Tidak perlu, Ayah. Aku sanggup menghadapi ini sendiri," kata Camilla bersikeras.Mentari mulai bergerak ke barat saat Camilla sampai di kediamannya. Rumah itu terlihat sepi, seolah tidak berpenghuni. "Ke mana orang-orang?" batinnya.Perlahan, dia membuka pintu yang tak terkunci. "Max! Aku kembali,"Akan tetapi, tidak ada jawaban dari Max atau siapapun di rumah itu. Camilla pun mencari pelayan yang biasa bekerja di rumah itu. Namun, lagi-lagi dia tidak menemukan siapa-siapa di sana."Ke mana semuanya?" tanya Camilla bermonolog. Rasa takut dengan cepat mendekapnya.Wanita itu tak menyerah, dia berjalan ke kamar tamu, tempat Allora menginap. Perlahan dia membuka gagang pintu dan membukanya."Allora?" Namun, kamar itu kosong.Putus asa, Camilla menghenyakkan dirinya ke sofa dan mengembuskan napasnya panjang. Hampir saja dia tertidur di sofa tersebut sampai dia mendengar suara bariton yang sudah sangat dia rindukan mendekat.Suara yang tidak asing itu terdengar tengah asik tertawa dan seperti sangat bahagia. Camilla pun segera beranjak dari sofa dan dengan setengah berlari, dia membuka pintu depan untuk menyambut pemilik suara itu."Max! Kamu dari-, ... Allora?" Camila tertegun saat melihat Max tengah merangkul pinggang adik ipar mereka dengan sangat erat.***"Apa! Kamu gila, Max! Aku baru saja keluar dari rumah sakit karena keguguran dan di mana kamu? Bersenang-senang dengan gadis itu! Gila!" Amarah Camilla sudah tidak dapat dibendung lagi. Semua rasa kecewa, kesal, dan marah yang sudah dia pendam selama hampir satu minggu ini dia luapkan. "Aku sudah tidak tahu bagaimana menghadapimu, Max,"Suara wanita itu kini bergetar. Air matanya sudah tak dapat dia tahan lagi. "Kupikir kamu menyendiri dan berkabung. Tapi nyatanya, kamu malah ... Entahlah, Max,"Hening. Ruangan besar yang didominasi dengan warna putih itu hanya dipenuhi suara sesenggukan Camilla dan tarikan napas Max. Tak ada keinginan Max untuk menghampiri istrinya tersebut atau bahkan mendekapnya sama seperti dia mendekap erat Allora tadi. "Kamu mau tahu apa yang kurasakan saat ini, Milla?" tanya Max. Pria itu akhirnya menghampiri Camilla dan menatap kedua manik istrinya dengan dingin. Camilla memberanikan diri membalas tatapan mata itu dan seketika itu juga dia tahu, tidak ada l
Sementara itu, di kediaman Max Sillas. Allora baru saja terbangun dari tidurnya. Dia menatap Max yang tertidur pulas di sampingnya. "Sku tidak bermaksud untuk memperkeruh hubunganmu dengan, Camilla, Max. Sungguh, aku merasa bersalah,"Gumaman Allora itu ternyata membangunkan Max dari tidurnya. Pria itu tersenyum dan mengecup kening Allora dengan sayang. "Apa yang sedang kamu pikirkan, Sayang?""Kita sedang menjalani cinta yang salah, Max. Terus terang saja, aku merasa bersalah pada istrimu," kata Allora dengan wajah tertunduk. Max menyandarkan kepala adik iparnya itu di pundaknya. "Tidak ada yang perlu disesali. Itu sudah keputusan Camilla sendiri. Aku pun kesal padanya! Lagi pula saat ini, aku sudah memilihmu. Jadi, lupakanlah dia!""Jadi?" tanya Allora untuk meyakinkan Max. Gadis yang usia kandungannya hampir memasuki usia tujuh bulan itu memang berharap suatu hari nanti, dia akan bisa hidup mewah tanpa kekurangan suatu apa pun seperti sekarang. Namun, dia ingin memastikan apakah
Di lain tempat, seorang wanita dengan rambut berekor kuda, serta kacamata bertengger di hidungnya nampak tenggelam di depan layar laptopnya. Wanita itu ditemani oleh seorang pria berbadan tegap dan duduk di sampingnya dengan wajah kaku. "Nyonya, apa tidak berbahaya duduk di depan cafe seperti ini?"Wanita itu tersenyum. "Mana mungkin bahaya. Ini kota kecil, Jack. Justru aku ingin menarik perhatian sehingga orang mendatangiku dan aku bisa mendapatkan informasi tentang Miller Sillas ataupun Dominic Cortez,""Jika Nyonya meminta bantuan saya, saya bersumpah akan menemukan kedua orang itu dan membawa mereka kepada Nyonya! Tapi, kenapa Nyonya ingin mencarinya sendiri?" tanya pria berbadan tegap dan besar itu. Lagi-lagi wanita itu hanya mengulas senyum. "Untuk apa? Ini masalahku bukan masalahmu atau masalah ayahku dan mau tidak mau, siap tidak siap, aku harus menyelesaikan masalahku sendiri,""Menurut tuan Shawan, tugas ini berbahaya, Nyonya. Maka dari itu, saya diminta untuk mengawal ke
"T-tenang dulu, Tuan Sillas! Aku Camilla Shawn, istri saudara kembarmu, Max Sillas," kata Camilla dengan takut-takut. Bagaimana tidak takut kalau seorang pria nyaris saja mendaratkan tinjunya di wajahmu? Itulah yang dialami Camilla tadi. Kening Miller berkerut-kerut. "Max? Kamu istri Max? Lalu, di mana istriku?"Perlahan-lahan, Camilla mendekati Miller lagi. Wajah bingung Miller mengingatkan wanita itu pada suaminya. Ya, mereka serupa saat kebingungan. "Istrimu aman di rumah kami, Tuan Sillas," jawab Camills. Sepertinya Miller semakin bingung. "Kenapa istriku bisa ada di rumahmu dan kamu ada di sini? Apa yang sebenarnya terjadi?"Camilla menyangsikan kalau Miller dapat mencerna segala sesuatu yang akan dia ceritakan dengan kondisinya yang masih seperti ini. "Kamu harus pulih dulu, Tuan Sillas. Setelah itu, akan kuceritakan segalanya," ucap Camilla dengan sabar. Miller tampak tak puas. Dia memberengut kesal dan alis matanya masih berkerut-kerut. Tak lama, dokter pun datang. "Tida
Tak dapat dielakkan lagi, Miller sangat bingung sekaligus marah mendengar kabar itu. "Babymoon! Astaga! Aku suaminya!"Segala sumpah serapah, caci maki, dan harapan yang terlewatkan keluar dari mulut pria tampan itu. "Brengsek, Max itu! Allora ... Kata-kata apa yang pantas kuucapkan padanya! Dia ibu dari anakku tapi mengapa bisa setega itu kepadaku?"Camilla dapat merasakan apa yang dirasakan oleh Miller. Ya, mereka kini berada di perahu yang sama yang sedang terombang-ambing entah ke mana. "Miller, maafkan suamiku. Aku tidak tau bagaimana harus menghiburmu. Sekali lagi, aku minta maaf," ucap Camilla lirih. Miller memandang wanita itu dan seakan paham apa yang dirasakan oleh Camilla, dia menggelengkan kepalanya. "Kenapa kamu harus minta maaf kepadaku? Tunggu! Inikah sesuatu yang ingin kamu ceritakan padaku, Milla?"Camilla mengangguk lemah. "Ya,""Wow! Selama aku tidak ada, banyak sekali yang terjadi, ya. Padahal aku tidak sedang pergi berlibur! Kalau tau keadaannya seperti ini, leb
"Aaarrgghh! Apa yang sesungguhnya terjadi! Kenapa semua jadi seperti ini, Milla!" Miller mengacak-acak rambut belakangnya dan bertanya dengan nada tinggi. Tak sampai satu menit, energinya tiba-tiba menguap, dan dia terhenyak di kursi. Kedua tangan pria itu dia pakai untuk menutupi wajahnya. "Maaf, Milla. Aku tak bermaksud marah padamu. Aku hanya, ... Entahlah,"Camilla tersenyum. Dia paham apa yang dirasakan oleh Miller saat ini karena dia sudah lebih dulu merasakannya. "Tidak masalah. Aku tau rasa itu,""Lalu, apa yang akan kita lakukan?" tanya Miller. Wajahnya terlihat putus asa, lebih putus asa dari sewaktu dia diculik oleh Dominic Cortez. "Bicara. Saat ini, hanya itu yang bisa kita lakukan, walaupun kemungkinannya kecil, tapi, paling tidak, kita sudah berusaha," jawab Camilla. Kedua orang itu saling berpandangan dalam diam. Masing-masing memikirkan segala kemungkinan yang bisa terjadi. Hari itu, hujan turun dengan sangat deras. Namun, hati dan otak mereka justru lebih berisik
"Tidak, Miller! Kondisi tubuhmu belum benar-benar pulih sepenuhnya! Tidak! Tidak! Tetap di sini! Lagi pula ...,"Hari itu, dengan hanya mengenakan pakaian tidur, dia turun ke bawah untuk mencegah kepergian Miller dari rumahnya. Pria itu memutuskan untuk mundur sebentar dan memikirkan apa yang harus dia lakukan untuk membawa Allora kembali. Selain itu, dia juga ingin mempersiapkan hatinya, jika Allora benar-benar memutuskan untuk bercerai. "Kamu tidak ingin aku menyerah?" tanya Miller berusaha membaca pikiran kakak iparnya itu. Camilla menggelengkan kepalanya. "Lagi pula, aku membutuhkan teman di sini. Aku sudah lama sendirian dalam situasi seperti ini,"Miller menatap kakak iparnya. Di situlah dia baru menyadari bahwa kejadian ini sudah berlangsung cukup lama. "Apa yang sudah kulewatkan? Apakah istriku berubah menjadi gadis kejam? Apakah dia menyakitimu?""Tidak ada yang menyakitiku. Seandainya pun ada, aku tidak ingin mengungkitnya karena akan membuat lukaku kembali terbuka," ucap
"Tuan, saya mendapatkan informasi bahwa istri dari Sillas akan segera melahirkan," ucap seorang pria dengan kedua tangan saling bertautan dan kepala tertunduk. Sang penerima informasi menghisap cerutu tembakaunya yang tampak mahal. Namun, dia terlihat kurang puas dengan laporan itu. "Kedua istri Sillas memang sedang mengandung. Tapi, kabar yang kuterima dari salah satu informanku mengatakan kalau istri Sillas mengalami keguguran. Mana yang benar?""Apakah kalian berniat menipu dan mempermainkanku?" Dominic menyambung pertanyaannya kembali. Pria pemberi informasi itu semakin tertunduk dan seolah meringkuk ketakutan. "T-tidak, Tuan. Saya berani menjamin kalau informasi yang saya berikan benar adanya,"Dominic mendengus. Dominic Cortez adalah sosok pria berperawakan tinggi dan besar. Wajahnya sedikit ketimuran dengan cincin di beberapa jari-jarinya. Pria itu memiliki beberapa bisnis yang cukup besar, baik itu di kota kecil ataupun di kota besar. Jumlah kekayaannya pun tak main-main.