Tak pernah ada yang tahu apa isi hati seseorang. Begitu pula dengan Camilla, wanita itu sama sekali tidak bisa mengetahui ataupun menebak apa isi hati suaminya. Bagi Camilla, Max adalah pusat kehidupannya.
"D-, Darling, ... A-, maksudku, ... Hmmm ...,""Apa yang ingin kamu coba katakan, Milla?" tanya Max tanpa mengalihkan pandangannya dari sebuah dokumen yang tengah asyik dia baca.Dengan langkah ragu, Camilla mendekati suaminya dan memijat pundak lebar Max. "Hmmm, Darling, kemarin kenapa kamu tidak meneleponku dulu?"Max mengembuskan napas panjang lalu menyandarkan tubuhnya pada sandaran sofa berlengan itu. "Oh, Allora? Aku hanya ingin memastikan kalau dia dan bayi yang dikandungnya sehat,""Lalu?" Camilla memberanikan diri untuk bertanya kembali."Tidak ada lalu, Milla Sayang," jawab Max. Tak lama, dia tersenyum, wajahnya tampannya tak sanggup menyembunyikan kebahagiaan. "Anak yang dikandung Allora anak laki-laki. Fiuuh, hebat sekali, bukan?"Deg!Jantung Camilla seakan berhenti, begitu pula tangan yang sedang sibuk memijat tadi. Tenggorokannya terasa kering dan lidahnya kelu. Dengan takut-takut dia bertanya, "B-, benarkah? T-, tapi, itu bukan anakmu, Darling. Dia bukan anak kita,"Namun, kata-kata Camilla hanya dirasakan seperti angin tenang yang sedang berhembus di depan telinga Max. Pria itu masih tersenyum dan memutar tubuhnya sehingga berhadapan dengan Camilla. "Allora adalah tanggung jawabku, jadi, anaknya adalah anakku.""Laki-laki! Aku akan memiliki seorang anak laki-laki! Indah sekali hidup ini! Seharusnya kamu juga ikut senang, Milla, aku akan menjadi seorang ayah bagi seorang putra Sillas! Hahahaha!" Tawa puas menggema di ruangan kerja Max. Setelah itu dia pun beranjak dari sofanya dan berlalu pergi dengan membawa tawanya.Saat itu firasat buruk menyergap masuk ke dalam hati Camilla. Jantungnya sekali lagi berdenyut pedih seakan tertusuk ribuan jarum. Dia menghela napas dan mengusap perutnya. "Aku akan selalu bersamamu, Sayang,"Satu tendangan lembut dari dalam perutnya membuat Camilla tersenyum. "Kamu sudah bisa mendengar ibu, ya, Nak? Mulai saat ini, kita akan sering berbagi cerita, ya,"Percakapan Camilla dengan sang bayi membuat pikirannya sedikit teralihkan. Wanita itu sangat senang saat bayi kecilnya sudah mampu berkomunikasi dengannya.Tak jarang, dia tertawa karena merasa geli akibat gerakan dari si bayi kecil di dalam perutnya. "Hahaha, Ibu rasa kita akan menjadi teman dekat. Ah, aku sudah tidak sabar menunggu kelahiranmu,"Satu bulan sudah sejak berita tentang Allora mengandung anak laki-laki, Camilla jarang bersama dengan Max. Dia sudah tidak heran melihat Max bersama dengan Allora.Untuk menepis rasa cemburu, Camilla mulai mempersiapkan kamar bagi anak perempuannya. Dia membeli semua keperluan untuk calon buah hatinya itu seorang diri tanpa kehadiran Max di sisinya.Hal yang sama juga dilakukan oleh Allora. Namun, tidak seperti Camilla, gadis itu selalu ditemani oleh Max. Walaupun kelahiran putra Allora masih cukup jauh, tetapi baik Allora maupun Max sudah sangat sibuk menyiapkan segala sesuatu untuk putra Twig tersebut."Untuk apa kamar itu, Milla?" tanya Max suatu hari saat dia memasuki ruangan kosong yang kini sudah terisi penuh dengan perabotan berwarna merah muda dan lembayung.Camilla berjalan tergesa-gesa dan menghampiri Max sambil tersenyum senang. "Ini untuk kamar kita, Darling. Oh, aku sudah menyiapkan nama untuknya, Alivia Beatrice Sillas. Bagaimana? Bagus, bukan?"Wajah Max seakan tertampar. Keduanya tangannya dia letakkan di pinggang. "Kamu mulai gila, Milla! Aku tidak punya anak perempuan! Sudah kukatakan kepadamu, gugurkan anak itu! Kenapa masih kamu pertahankan, huh!""Apa salah anak ini, Darling? Perempuan atau laki-laki menurutku sama saja. Kita bisa mendidik dia dengan baik!" sanggah Camilla tak mau kalah.Max tampak semakin murka. "Tentu saja salah! Mana bisa aku menyerahkan kepemimpinan perusahaanku kepada perempuan? Bagaimana bisa aku mendidik dia untuk menjadi pemimpin yang tegas dan berani! Pikirkan itu, Milla!""Kamu dan anak itu merusak rencanaku! Beruntunglah ada Allora dan anak laki-lakinya. Mereka menyelamatkan hidupku!" tukas Max dengan nada suara yang masih sama seperti tadi, tinggi.Kali ini, giliran Camilla yang seolah ditampar oleh kata-kata suaminya. "Kamu yang gila, Max! Dia anak Miller, bukan anakmu!"Seakan teringat sesuatu, Camilla tiba-tiba saja mendekap mulut dengan kedua tangannya. "Ooh, jangan katakan kalau mulai saat ini hatimu sudah berubah karena gadis itu! Belum, kan, Darling? Kamu masih mencintaiku, kan? Jawab aku, Darling!"Max terdiam. Pria itu menyugar rambutnya kasar, lalu mengembuskan napasnya. "Aku tidak tahu, Milla. Aku hanya senang saat mendapatkan kabar Allora akan melahirkan anak laki-laki,"Lutut Camilla bergetar, begitu pula dengan tubuhnya. Apa yang dia takutkan selama ini menjadi kenyataan. "A-, aku tidak mau kamu memindahkan hatimu, Darling. Aku masih membutuhkanmu. Maafkan aku kalau aku ada salah. Jangan pergi dari sisiku, kumohon,"Butiran-butiran bening mulai berjatuhan dari ekor mata wanita muda itu. "Aku akan melakukan apa pun, Darling. Apa saja agar kamu tidak meninggalkanku,"Alis Max terangkat satu. "Apa saja? Kamu yakin itu, Milla?"Camilla mengangguk cepat.Lalu, Max berdeham dan berkata kembali, "Gugurkan anak perempuan itu dan berikan aku anak laki-laki sebagai gantinya. Apa kamu sanggup?"Hilang sudah sisa kekuatan yang dimiliki Camilla saat mendengar permintaan dari pria yang sangat dia cintai itu. Tanpa sadar, Camilla menggelengkan kepalanya pelan-pelan. "Aku akan memberikanmu anak laki-laki, Darling, tapi, izinkan aku untuk mempertahankan anak ini,""Kamu boleh tidak menganggapnya tapi aku akan tetap melahirkan dia," sambung Camilla sambil terisak.Tak beberapa lama kemudian, wanita cantik yang bersimbah air mata itu bersimpuh di hadapan Max dan memegangi kaki pria itu sambil terus memohon."Biarkan dia lahir dan hidup, Sayang. Aku mohon," isak Camilla lagi.Namun sepertinya rasa cinta di hati Max sudah benar-benar menguap dan hilang. Dia menyentak kakinya dan masuk ke kamar yang sudah disiapkan oleh Camilla dan melepaskan semua dekorasi merah muda yang sudah menempel di dinding kamar itu.Tak puas dengan dinding, seluruh perabotan yang ada di dalam kamar itu diacak-acak dan dirusak olehnya. "Persetan dengan ini semua, Milla! Kalau kamu tetap ingin anak itu hidup, keluar dari rumahku!""Max! Jangan lakukan itu, kumohon, hentikan, Max!" Begitu melihat apa yang dilakukan oleh suaminya, Camilla bergegas berlari dan memegangi kedua tangan Max yang menyambar tak tentu arah.Bagai kesetanan, Max menghentakkan tangan Camilla dan mendorong wanita itu hingga Camilla terjatuh terantuk lantai cukup keras. "Aku tidak peduli!"Camilla meringis kesakitan. "Ouch! Max, k-, kamu, ...,""Pikirkan tawaranku atau angkat kaki dari rumahku!" tukas Max terengah-engah. Pria itu sudah tertutup hatinya sehingga dia tidak membantu Camilla yang terjatuh ataupun meminta maaf kepadanya.Tiba-tiba, keringat dingin membasahi kening Camilla. Perutnya terasa seperti dicengkeram hebat dan sangat sakit. Tak beberapa lama, darah segar mulai mengalir dari kedua pangkal pahanya. "M-, Max! Max! Max, tolong, Max!"Beberapa kali Camilla berteriak, akan tetapi pria itu tak kunjung menampakkan batang hidungnya. Putus asa, Camilla mulai menangis dan memanggil siapa saja yang ada di rumah itu. "Tolong! Tolong aku!"Entah sudah berapa lama dia berteriak, sampai akhirnya dia merasa lelah, dan tak lama kegelapan turun seakan menelannya.***"Tuan Shawn, maafkan kami. Kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi pada akhirnya, tetap Sang Penciptalah yang berkehendak," kata seorang dokter yang baru saja keluar dari ruangan operasi. Seorang pria dengan rambut yang hampir sepenuhnya memutih segera berdiri berhadapan dengan dokter tersebut. "Bagaimana dengan putri dan cucu saya?""Putri Anda selamat, tapi tidak dengan cucu Anda. Kami kehilangan bayi kecil itu," jawab sang dokter menundukkan kepalanya. Pria yang disapa Tuan Shawn itu, mengembuskan napas dan memijat pelipisnya perlahan. Tampak sekali kesedihan mendalam di wajahnya. "Boleh saya bertemu dengan putri saya, Dokter?" tanya Tuan Shawn cepat. Dokter itu mengangguk dan mempersilakan Tuan Shawn bertemu dengan putri kesayangannya. "Mari saya antar,"Di dalam ruangan operasi itu, tampaklah seorang wanita cantik dengan wajah pucat pasi. Wanita itu tersenyum saat melihat Tuan Shawn masuk ke dalam. "Ayah. Aku tidak tahu kalau Ayah akan datang," kata wanita itu sambil ber
"Apa! Kamu gila, Max! Aku baru saja keluar dari rumah sakit karena keguguran dan di mana kamu? Bersenang-senang dengan gadis itu! Gila!" Amarah Camilla sudah tidak dapat dibendung lagi. Semua rasa kecewa, kesal, dan marah yang sudah dia pendam selama hampir satu minggu ini dia luapkan. "Aku sudah tidak tahu bagaimana menghadapimu, Max,"Suara wanita itu kini bergetar. Air matanya sudah tak dapat dia tahan lagi. "Kupikir kamu menyendiri dan berkabung. Tapi nyatanya, kamu malah ... Entahlah, Max,"Hening. Ruangan besar yang didominasi dengan warna putih itu hanya dipenuhi suara sesenggukan Camilla dan tarikan napas Max. Tak ada keinginan Max untuk menghampiri istrinya tersebut atau bahkan mendekapnya sama seperti dia mendekap erat Allora tadi. "Kamu mau tahu apa yang kurasakan saat ini, Milla?" tanya Max. Pria itu akhirnya menghampiri Camilla dan menatap kedua manik istrinya dengan dingin. Camilla memberanikan diri membalas tatapan mata itu dan seketika itu juga dia tahu, tidak ada l
Sementara itu, di kediaman Max Sillas. Allora baru saja terbangun dari tidurnya. Dia menatap Max yang tertidur pulas di sampingnya. "Sku tidak bermaksud untuk memperkeruh hubunganmu dengan, Camilla, Max. Sungguh, aku merasa bersalah,"Gumaman Allora itu ternyata membangunkan Max dari tidurnya. Pria itu tersenyum dan mengecup kening Allora dengan sayang. "Apa yang sedang kamu pikirkan, Sayang?""Kita sedang menjalani cinta yang salah, Max. Terus terang saja, aku merasa bersalah pada istrimu," kata Allora dengan wajah tertunduk. Max menyandarkan kepala adik iparnya itu di pundaknya. "Tidak ada yang perlu disesali. Itu sudah keputusan Camilla sendiri. Aku pun kesal padanya! Lagi pula saat ini, aku sudah memilihmu. Jadi, lupakanlah dia!""Jadi?" tanya Allora untuk meyakinkan Max. Gadis yang usia kandungannya hampir memasuki usia tujuh bulan itu memang berharap suatu hari nanti, dia akan bisa hidup mewah tanpa kekurangan suatu apa pun seperti sekarang. Namun, dia ingin memastikan apakah
Di lain tempat, seorang wanita dengan rambut berekor kuda, serta kacamata bertengger di hidungnya nampak tenggelam di depan layar laptopnya. Wanita itu ditemani oleh seorang pria berbadan tegap dan duduk di sampingnya dengan wajah kaku. "Nyonya, apa tidak berbahaya duduk di depan cafe seperti ini?"Wanita itu tersenyum. "Mana mungkin bahaya. Ini kota kecil, Jack. Justru aku ingin menarik perhatian sehingga orang mendatangiku dan aku bisa mendapatkan informasi tentang Miller Sillas ataupun Dominic Cortez,""Jika Nyonya meminta bantuan saya, saya bersumpah akan menemukan kedua orang itu dan membawa mereka kepada Nyonya! Tapi, kenapa Nyonya ingin mencarinya sendiri?" tanya pria berbadan tegap dan besar itu. Lagi-lagi wanita itu hanya mengulas senyum. "Untuk apa? Ini masalahku bukan masalahmu atau masalah ayahku dan mau tidak mau, siap tidak siap, aku harus menyelesaikan masalahku sendiri,""Menurut tuan Shawan, tugas ini berbahaya, Nyonya. Maka dari itu, saya diminta untuk mengawal ke
"T-tenang dulu, Tuan Sillas! Aku Camilla Shawn, istri saudara kembarmu, Max Sillas," kata Camilla dengan takut-takut. Bagaimana tidak takut kalau seorang pria nyaris saja mendaratkan tinjunya di wajahmu? Itulah yang dialami Camilla tadi. Kening Miller berkerut-kerut. "Max? Kamu istri Max? Lalu, di mana istriku?"Perlahan-lahan, Camilla mendekati Miller lagi. Wajah bingung Miller mengingatkan wanita itu pada suaminya. Ya, mereka serupa saat kebingungan. "Istrimu aman di rumah kami, Tuan Sillas," jawab Camills. Sepertinya Miller semakin bingung. "Kenapa istriku bisa ada di rumahmu dan kamu ada di sini? Apa yang sebenarnya terjadi?"Camilla menyangsikan kalau Miller dapat mencerna segala sesuatu yang akan dia ceritakan dengan kondisinya yang masih seperti ini. "Kamu harus pulih dulu, Tuan Sillas. Setelah itu, akan kuceritakan segalanya," ucap Camilla dengan sabar. Miller tampak tak puas. Dia memberengut kesal dan alis matanya masih berkerut-kerut. Tak lama, dokter pun datang. "Tida
Tak dapat dielakkan lagi, Miller sangat bingung sekaligus marah mendengar kabar itu. "Babymoon! Astaga! Aku suaminya!"Segala sumpah serapah, caci maki, dan harapan yang terlewatkan keluar dari mulut pria tampan itu. "Brengsek, Max itu! Allora ... Kata-kata apa yang pantas kuucapkan padanya! Dia ibu dari anakku tapi mengapa bisa setega itu kepadaku?"Camilla dapat merasakan apa yang dirasakan oleh Miller. Ya, mereka kini berada di perahu yang sama yang sedang terombang-ambing entah ke mana. "Miller, maafkan suamiku. Aku tidak tau bagaimana harus menghiburmu. Sekali lagi, aku minta maaf," ucap Camilla lirih. Miller memandang wanita itu dan seakan paham apa yang dirasakan oleh Camilla, dia menggelengkan kepalanya. "Kenapa kamu harus minta maaf kepadaku? Tunggu! Inikah sesuatu yang ingin kamu ceritakan padaku, Milla?"Camilla mengangguk lemah. "Ya,""Wow! Selama aku tidak ada, banyak sekali yang terjadi, ya. Padahal aku tidak sedang pergi berlibur! Kalau tau keadaannya seperti ini, leb
"Aaarrgghh! Apa yang sesungguhnya terjadi! Kenapa semua jadi seperti ini, Milla!" Miller mengacak-acak rambut belakangnya dan bertanya dengan nada tinggi. Tak sampai satu menit, energinya tiba-tiba menguap, dan dia terhenyak di kursi. Kedua tangan pria itu dia pakai untuk menutupi wajahnya. "Maaf, Milla. Aku tak bermaksud marah padamu. Aku hanya, ... Entahlah,"Camilla tersenyum. Dia paham apa yang dirasakan oleh Miller saat ini karena dia sudah lebih dulu merasakannya. "Tidak masalah. Aku tau rasa itu,""Lalu, apa yang akan kita lakukan?" tanya Miller. Wajahnya terlihat putus asa, lebih putus asa dari sewaktu dia diculik oleh Dominic Cortez. "Bicara. Saat ini, hanya itu yang bisa kita lakukan, walaupun kemungkinannya kecil, tapi, paling tidak, kita sudah berusaha," jawab Camilla. Kedua orang itu saling berpandangan dalam diam. Masing-masing memikirkan segala kemungkinan yang bisa terjadi. Hari itu, hujan turun dengan sangat deras. Namun, hati dan otak mereka justru lebih berisik
"Tidak, Miller! Kondisi tubuhmu belum benar-benar pulih sepenuhnya! Tidak! Tidak! Tetap di sini! Lagi pula ...,"Hari itu, dengan hanya mengenakan pakaian tidur, dia turun ke bawah untuk mencegah kepergian Miller dari rumahnya. Pria itu memutuskan untuk mundur sebentar dan memikirkan apa yang harus dia lakukan untuk membawa Allora kembali. Selain itu, dia juga ingin mempersiapkan hatinya, jika Allora benar-benar memutuskan untuk bercerai. "Kamu tidak ingin aku menyerah?" tanya Miller berusaha membaca pikiran kakak iparnya itu. Camilla menggelengkan kepalanya. "Lagi pula, aku membutuhkan teman di sini. Aku sudah lama sendirian dalam situasi seperti ini,"Miller menatap kakak iparnya. Di situlah dia baru menyadari bahwa kejadian ini sudah berlangsung cukup lama. "Apa yang sudah kulewatkan? Apakah istriku berubah menjadi gadis kejam? Apakah dia menyakitimu?""Tidak ada yang menyakitiku. Seandainya pun ada, aku tidak ingin mengungkitnya karena akan membuat lukaku kembali terbuka," ucap