Share

Bab 3. Tragedi

Tak pernah ada yang tahu apa isi hati seseorang. Begitu pula dengan Camilla, wanita itu sama sekali tidak bisa mengetahui ataupun menebak apa isi hati suaminya. Bagi Camilla, Max adalah pusat kehidupannya.

"D-, Darling, ... A-, maksudku, ... Hmmm ...,"

"Apa yang ingin kamu coba katakan, Milla?" tanya Max tanpa mengalihkan pandangannya dari sebuah dokumen yang tengah asyik dia baca.

Dengan langkah ragu, Camilla mendekati suaminya dan memijat pundak lebar Max. "Hmmm, Darling, kemarin kenapa kamu tidak meneleponku dulu?"

Max mengembuskan napas panjang lalu menyandarkan tubuhnya pada sandaran sofa berlengan itu. "Oh, Allora? Aku hanya ingin memastikan kalau dia dan bayi yang dikandungnya sehat,"

"Lalu?" Camilla memberanikan diri untuk bertanya kembali.

"Tidak ada lalu, Milla Sayang," jawab Max. Tak lama, dia tersenyum, wajahnya tampannya tak sanggup menyembunyikan kebahagiaan. "Anak yang dikandung Allora anak laki-laki. Fiuuh, hebat sekali, bukan?"

Deg!

Jantung Camilla seakan berhenti, begitu pula tangan yang sedang sibuk memijat tadi. Tenggorokannya terasa kering dan lidahnya kelu. Dengan takut-takut dia bertanya, "B-, benarkah? T-, tapi, itu bukan anakmu, Darling. Dia bukan anak kita,"

Namun, kata-kata Camilla hanya dirasakan seperti angin tenang yang sedang berhembus di depan telinga Max. Pria itu masih tersenyum dan memutar tubuhnya sehingga berhadapan dengan Camilla. "Allora adalah tanggung jawabku, jadi, anaknya adalah anakku."

"Laki-laki! Aku akan memiliki seorang anak laki-laki! Indah sekali hidup ini! Seharusnya kamu juga ikut senang, Milla, aku akan menjadi seorang ayah bagi seorang putra Sillas! Hahahaha!" Tawa puas menggema di ruangan kerja Max. Setelah itu dia pun beranjak dari sofanya dan berlalu pergi dengan membawa tawanya.

Saat itu firasat buruk menyergap masuk ke dalam hati Camilla. Jantungnya sekali lagi berdenyut pedih seakan tertusuk ribuan jarum. Dia menghela napas dan mengusap perutnya. "Aku akan selalu bersamamu, Sayang,"

Satu tendangan lembut dari dalam perutnya membuat Camilla tersenyum. "Kamu sudah bisa mendengar ibu, ya, Nak? Mulai saat ini, kita akan sering berbagi cerita, ya,"

Percakapan Camilla dengan sang bayi membuat pikirannya sedikit teralihkan. Wanita itu sangat senang saat bayi kecilnya sudah mampu berkomunikasi dengannya.

Tak jarang, dia tertawa karena merasa geli akibat gerakan dari si bayi kecil di dalam perutnya. "Hahaha, Ibu rasa kita akan menjadi teman dekat. Ah, aku sudah tidak sabar menunggu kelahiranmu,"

Satu bulan sudah sejak berita tentang Allora mengandung anak laki-laki, Camilla jarang bersama dengan Max. Dia sudah tidak heran melihat Max bersama dengan Allora.

Untuk menepis rasa cemburu, Camilla mulai mempersiapkan kamar bagi anak perempuannya. Dia membeli semua keperluan untuk calon buah hatinya itu seorang diri tanpa kehadiran Max di sisinya.

Hal yang sama juga dilakukan oleh Allora. Namun, tidak seperti Camilla, gadis itu selalu ditemani oleh Max. Walaupun kelahiran putra Allora masih cukup jauh, tetapi baik Allora maupun Max sudah sangat sibuk menyiapkan segala sesuatu untuk putra Twig tersebut.

"Untuk apa kamar itu, Milla?" tanya Max suatu hari saat dia memasuki ruangan kosong yang kini sudah terisi penuh dengan perabotan berwarna merah muda dan lembayung.

Camilla berjalan tergesa-gesa dan menghampiri Max sambil tersenyum senang. "Ini untuk kamar kita, Darling. Oh, aku sudah menyiapkan nama untuknya, Alivia Beatrice Sillas. Bagaimana? Bagus, bukan?"

Wajah Max seakan tertampar. Keduanya tangannya dia letakkan di pinggang. "Kamu mulai gila, Milla! Aku tidak punya anak perempuan! Sudah kukatakan kepadamu, gugurkan anak itu! Kenapa masih kamu pertahankan, huh!"

"Apa salah anak ini, Darling? Perempuan atau laki-laki menurutku sama saja. Kita bisa mendidik dia dengan baik!" sanggah Camilla tak mau kalah.

Max tampak semakin murka. "Tentu saja salah! Mana bisa aku menyerahkan kepemimpinan perusahaanku kepada perempuan? Bagaimana bisa aku mendidik dia untuk menjadi pemimpin yang tegas dan berani! Pikirkan itu, Milla!"

"Kamu dan anak itu merusak rencanaku! Beruntunglah ada Allora dan anak laki-lakinya. Mereka menyelamatkan hidupku!" tukas Max dengan nada suara yang masih sama seperti tadi, tinggi.

Kali ini, giliran Camilla yang seolah ditampar oleh kata-kata suaminya. "Kamu yang gila, Max! Dia anak Miller, bukan anakmu!"

Seakan teringat sesuatu, Camilla tiba-tiba saja mendekap mulut dengan kedua tangannya. "Ooh, jangan katakan kalau mulai saat ini hatimu sudah berubah karena gadis itu! Belum, kan, Darling? Kamu masih mencintaiku, kan? Jawab aku, Darling!"

Max terdiam. Pria itu menyugar rambutnya kasar, lalu mengembuskan napasnya. "Aku tidak tahu, Milla. Aku hanya senang saat mendapatkan kabar Allora akan melahirkan anak laki-laki,"

Lutut Camilla bergetar, begitu pula dengan tubuhnya. Apa yang dia takutkan selama ini menjadi kenyataan. "A-, aku tidak mau kamu memindahkan hatimu, Darling. Aku masih membutuhkanmu. Maafkan aku kalau aku ada salah. Jangan pergi dari sisiku, kumohon,"

Butiran-butiran bening mulai berjatuhan dari ekor mata wanita muda itu. "Aku akan melakukan apa pun, Darling. Apa saja agar kamu tidak meninggalkanku,"

Alis Max terangkat satu. "Apa saja? Kamu yakin itu, Milla?"

Camilla mengangguk cepat.

Lalu, Max berdeham dan berkata kembali, "Gugurkan anak perempuan itu dan berikan aku anak laki-laki sebagai gantinya. Apa kamu sanggup?"

Hilang sudah sisa kekuatan yang dimiliki Camilla saat mendengar permintaan dari pria yang sangat dia cintai itu. Tanpa sadar, Camilla menggelengkan kepalanya pelan-pelan. "Aku akan memberikanmu anak laki-laki, Darling, tapi, izinkan aku untuk mempertahankan anak ini,"

"Kamu boleh tidak menganggapnya tapi aku akan tetap melahirkan dia," sambung Camilla sambil terisak.

Tak beberapa lama kemudian, wanita cantik yang bersimbah air mata itu bersimpuh di hadapan Max dan memegangi kaki pria itu sambil terus memohon.

"Biarkan dia lahir dan hidup, Sayang. Aku mohon," isak Camilla lagi.

Namun sepertinya rasa cinta di hati Max sudah benar-benar menguap dan hilang. Dia menyentak kakinya dan masuk ke kamar yang sudah disiapkan oleh Camilla dan melepaskan semua dekorasi merah muda yang sudah menempel di dinding kamar itu.

Tak puas dengan dinding, seluruh perabotan yang ada di dalam kamar itu diacak-acak dan dirusak olehnya. "Persetan dengan ini semua, Milla! Kalau kamu tetap ingin anak itu hidup, keluar dari rumahku!"

"Max! Jangan lakukan itu, kumohon, hentikan, Max!" Begitu melihat apa yang dilakukan oleh suaminya, Camilla bergegas berlari dan memegangi kedua tangan Max yang menyambar tak tentu arah.

Bagai kesetanan, Max menghentakkan tangan Camilla dan mendorong wanita itu hingga Camilla terjatuh terantuk lantai cukup keras. "Aku tidak peduli!"

Camilla meringis kesakitan. "Ouch! Max, k-, kamu, ...,"

"Pikirkan tawaranku atau angkat kaki dari rumahku!" tukas Max terengah-engah. Pria itu sudah tertutup hatinya sehingga dia tidak membantu Camilla yang terjatuh ataupun meminta maaf kepadanya.

Tiba-tiba, keringat dingin membasahi kening Camilla. Perutnya terasa seperti dicengkeram hebat dan sangat sakit. Tak beberapa lama, darah segar mulai mengalir dari kedua pangkal pahanya. "M-, Max! Max! Max, tolong, Max!"

Beberapa kali Camilla berteriak, akan tetapi pria itu tak kunjung menampakkan batang hidungnya. Putus asa, Camilla mulai menangis dan memanggil siapa saja yang ada di rumah itu. "Tolong! Tolong aku!"

Entah sudah berapa lama dia berteriak, sampai akhirnya dia merasa lelah, dan tak lama kegelapan turun seakan menelannya.

***

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status