"Apa! Kamu gila, Max! Aku baru saja keluar dari rumah sakit karena keguguran dan di mana kamu? Bersenang-senang dengan gadis itu! Gila!"
Amarah Camilla sudah tidak dapat dibendung lagi. Semua rasa kecewa, kesal, dan marah yang sudah dia pendam selama hampir satu minggu ini dia luapkan. "Aku sudah tidak tahu bagaimana menghadapimu, Max,"Suara wanita itu kini bergetar. Air matanya sudah tak dapat dia tahan lagi. "Kupikir kamu menyendiri dan berkabung. Tapi nyatanya, kamu malah ... Entahlah, Max,"Hening. Ruangan besar yang didominasi dengan warna putih itu hanya dipenuhi suara sesenggukan Camilla dan tarikan napas Max.Tak ada keinginan Max untuk menghampiri istrinya tersebut atau bahkan mendekapnya sama seperti dia mendekap erat Allora tadi."Kamu mau tahu apa yang kurasakan saat ini, Milla?" tanya Max. Pria itu akhirnya menghampiri Camilla dan menatap kedua manik istrinya dengan dingin.Camilla memberanikan diri membalas tatapan mata itu dan seketika itu juga dia tahu, tidak ada lagi cinta di mata Max. Jantungnya kini berdegup kencang seakan habis berlari bermil-mil jauhnya."Bukannya aku tidak mau menjengukmu. Aku, ...,""Stop, Max! Aku tidak ingin mendengarmu! Stop, kumohon!" pinta Camilla sambil menutup kedua telinga dan menggelengkan kepalanya kencang."Milla! Sekarang kamu yang bertingkah seperti orang gila! Dengarkan aku dulu! Lepaskan tanganmu!" Dengan kasar, Max melepaskan kedua tangan Camilla dan menggenggamnya.Air mata Camilla kini semakin bercucuran. Dia memejamkan mata dan menolak untuk menatap suaminya. "Aku tidak ingin mendengarmu, Max!""Harus! Aku ingin menjelaskan sesuatu kepadamu, Milla!" tukas Max tegas. "Milla, ayolah!""Camilla!"Bentakan Max membuat Camilla terkesiap. Dia membuka matanya dan menatap Max. "M-, Max? Kamu membentakku?"Habis sudah kesabaran Max. Dia berdiri dan berkacak pinggang di hadapan istrinya yang sudah tidak karuan bentuk wajahnya itu. "Maaf aku harus membentakmu! Kamu benar-benar seperti orang gila, Milla!""Sekarang katakan kepadaku, bagaimana caranya supaya aku bisa mencintaimu lagi. Sejak Allora datang kamu seolah menggila!" Suara Max masih cukup tinggi dan membuat perasaan Camilla semakin berkecamuk."K-, kamu sudah tidak mencintaiku lagi, Max? A-, apa karena Allora?" tanya Camilla takut-takut.Max menggelengkan kepalanya. "Karena kamu tidak menurut kepadaku, Milla. Itu tepatnya,""Seorang pria akan merasa dihargai dan dihormati jika, pasangannya menurut kepadanya. Tapi tidak denganmu, kamu membangkang dan bahkan tetap bersikeras ingin melahirkan anak itu,""Sekarang, lihatlah! Kamu mendapatkan hukuman dari Tuhan karena kamu sudah menjadi wanita pembangkang!" kata Max berapi-api.Kali ini wajah Camilla memerah bukan karena marah atas perlakuan Max, tetapi karena apa yang baru saja diucapkan oleh suaminya tersebut.Tanpa dia sadari, tangan kanannya melayang, dan mendarat sempurna di wajah Max. "Tarik ucapanmu, Max!""Itu hanya alasanmu saja! Aku tidak pernah berniat untuk melenyapkan anakku, baik itu perempuan atau laki-laki! Itu suatu kejahatan yang tak akan pernah kulakukan!" balas Camilla tak mau kalah.Napas wanita itu terlihat cepat dan memburu. "Allora! Gadis itu telah menyita cintamu! Dia gadis pencuri yang sanggup membuang suaminya!""Sekarang, apakah kamu ingin memberikanku satu kesempatan lagi untukku melahirkan seorang anak laki-laki untukmu?" tanya Camilla tegas.Max terdiam. "Silakan, coba saja. Kamu boleh mencobanya dengan pria manapun. Sudah kukatakan kepadamu, rasaku sudah hilang, bagaimana bisa kita membuat seorang anak?"Lagi-lagi tangan Camilla melayang di wajah tampan Max. "Kamu benar-benar jahat, Max!"Setelah itu, Camilla keluar dari kamarnya. Allora. Hanya satu nama itu yang ada di kepalanya. Maka dengan setengah berlari, dia bergegas menemui gadis yang telah merusak rumah tangganya itu."Allora!" tukas Camilla kasar.Gadis cantik yang sedang sibuk dengan barang-barangnya itu pun tersentak. "Ya?"Tanpa memedulikan Allora yang saat itu sedang mengandung, Camilla melayangkan tangannya ke pipi kemerahan gadis itu. "Pergi dari rumahku sekarang juga!""A-, apa maksudmu, Milla? Maaf, tapi aku tidak paham apa yang terjadi. Aku bahkan tak tahu ke mana kamu pergi selama satu minggu ini sampai suamimu menyanggupi permohonanku untuk menemaniku berkeliling kota," jawab Allora dengan wajah tak berdosa.Tubuh Camilla bergetar hebat karena emosi yang tidak dapat lagi bisa dia tahan. "Tanya saja pada suamiku! Dia sangat tahu apa yang terjadi denganku! Dia yang membunuh anakku!"Sekali lagi, tangan Camilla melayang di pipi Allora dan kali ini pukulan Camilla cukup telak."Camilla!"Max menuruni tangga dengan cepat dan segera menghampiri Allora untuk memastikan gadis itu baik-baik saja. "Kamu tidak apa-apa?"Allora mengangguk lemah. Setelah mengetahui kondisi Allora, dia segera berdiri, dan menampar balik wajah Camilla. "Pergi dari sini!""Sadar, Max, aku istrimu!" tukas Camilla. "Lagi pula, kamu tidak bisa mengusirku dari sini karena ini rumah ayahku, Max!"Seketika itu juga, Max tersadar. Dia baru menyadari kalau rumah yang mereka tempati saat ini adalah rumah pemberian dari Dean Shawn sebagai hadiah atas pernikahan mereka.Max menelan salivanya. "Baik, aku dan Allora yang akan pergi,""Ayo, Sayang, berpeganglah kepadaku! Kita ke rumah sakit sekarang. Kita akan mengecek apakah anakmu baik-baik saja," sambung Max kali ini. Wajahnya tampak sangat khawatir.Lalu, pria itu mengalihkan pandanganya ke arah Camilla lagi. "Sejak Allora kehilangan suaminya, tongkat tanggung jawab itu berpindah ke pundakku. Jadi, Allora dan anaknya sudah kuanggap sebagai bagian dari hidupku!""Aku tidak tahu apa yang membuatmu berpikiran seperti itu, Max! Kamu suamiku dan bisa-bisanya kamu menghadirkan sosok wanita lain di dalam hidupmu! Entahlah, aku rasa aku kalah, tapi ...! Aku tidak akan pernah menyerah!" tukas Camilla.Tiba-tiba saja dia merasakan sebuah kekuatan yang muncul dari dalam dirinya. "Aku akan mencari suamimu, Allora, dan akan kukembalikan kehidupan kita seperti semula!"Wanita cantik itu mengusap air matanya dan berdiri dengan gagah. "Dominic Cortez. Kamu ingat nama itu, kan, Max? Semoga kamu belum melupakan nama Cortez. Akan kucari dia dan kubawa saudaramu ke sini! Aku bersumpah!"Tekad Camilla sudah kuat saat dia mengucapkan kata-kata maklumat itu. Matanya menatap lurus ke arah suaminya dan suaranya setenang air yang mengalir.Kini pandangan wanita itu berpindah. "Tunggu aku dan Miller Sillas datang, Allora. Kalau kamu masih mencintai suamimu, kamu tak akan sanggup berpaling darinya hanya karena wajah suamiku dan suamimu serupa,"Beberapa hari kemudian, Dean Shawn dikejutkan oleh kedatangan putrinya serta tujuannya datang ke sana. "Jangan gila, Milla! Jangan karena cinta, kamu terjun ke dalam bahaya! Kita belum tahu seberapa kejam Cortez ini!""Aku tau, tapi paling tidak, aku ingin datang ke lokasi kejadian tempat menghilangnya Miller Sillas, Ayah. Kupikir, kita bisa menemukan petunjuk atau apa pun di sana," jawab Camilla santai, lalu dia tersenyum sesaat. "Ya, kurasa aku gila, hahaha!""Tapi, aku tidak bisa membiarkanmu jalan sendiri ke sana!" kata Dean bersungguh-sungguh. Tentu saja pria setengah baya itu khawatir sesuatu terjadi dan menimpa putri tunggalnya. "Tidak, setelah aku kehilangan ibumu serta cucuku, Milla,"Camilla terdiam dan dia baru ingat kalau dirinya sedang berada dalam masa berkabung. Dia menghela napas panjang dan menggebrak meja cukup kencang. "Ouch!"Sembari mengibaskan tangannya, wanita berusia 30-an tahun itu berkata, "Life must goes on, kan, Yah? Aku tidak bisa berlama-lama bersedih seperti itu. Aku harus bergerak cepat untuk bisa mempertahankan apa yang ingin aku pertahankan, Ayah,"Dean mengangguk perlahan. "Pergilah bersama salah satu pengawalku dan kabari aku setiap detiknya. Ingat, selalu waspada, Sayang!"Camilla mengangguk dan memeluk ayahnya tersebut. "Pasti!"Dua hari kemudian, setelah mencari di mana keberadaan Dominic Cortez, Camilla pun meluncur ke kota kecil tempat kampung halaman Allora berasal." Tunggu aku, Max, aku tidak akan menyerah atasmu begitu saja, dan aku juga akan mengembalikanmu ke tempat asalmu, Allora! Tunggu saja!" ucap Camilla dalam hati sambil terus berharap.***Sementara itu, di kediaman Max Sillas. Allora baru saja terbangun dari tidurnya. Dia menatap Max yang tertidur pulas di sampingnya. "Sku tidak bermaksud untuk memperkeruh hubunganmu dengan, Camilla, Max. Sungguh, aku merasa bersalah,"Gumaman Allora itu ternyata membangunkan Max dari tidurnya. Pria itu tersenyum dan mengecup kening Allora dengan sayang. "Apa yang sedang kamu pikirkan, Sayang?""Kita sedang menjalani cinta yang salah, Max. Terus terang saja, aku merasa bersalah pada istrimu," kata Allora dengan wajah tertunduk. Max menyandarkan kepala adik iparnya itu di pundaknya. "Tidak ada yang perlu disesali. Itu sudah keputusan Camilla sendiri. Aku pun kesal padanya! Lagi pula saat ini, aku sudah memilihmu. Jadi, lupakanlah dia!""Jadi?" tanya Allora untuk meyakinkan Max. Gadis yang usia kandungannya hampir memasuki usia tujuh bulan itu memang berharap suatu hari nanti, dia akan bisa hidup mewah tanpa kekurangan suatu apa pun seperti sekarang. Namun, dia ingin memastikan apakah
Di lain tempat, seorang wanita dengan rambut berekor kuda, serta kacamata bertengger di hidungnya nampak tenggelam di depan layar laptopnya. Wanita itu ditemani oleh seorang pria berbadan tegap dan duduk di sampingnya dengan wajah kaku. "Nyonya, apa tidak berbahaya duduk di depan cafe seperti ini?"Wanita itu tersenyum. "Mana mungkin bahaya. Ini kota kecil, Jack. Justru aku ingin menarik perhatian sehingga orang mendatangiku dan aku bisa mendapatkan informasi tentang Miller Sillas ataupun Dominic Cortez,""Jika Nyonya meminta bantuan saya, saya bersumpah akan menemukan kedua orang itu dan membawa mereka kepada Nyonya! Tapi, kenapa Nyonya ingin mencarinya sendiri?" tanya pria berbadan tegap dan besar itu. Lagi-lagi wanita itu hanya mengulas senyum. "Untuk apa? Ini masalahku bukan masalahmu atau masalah ayahku dan mau tidak mau, siap tidak siap, aku harus menyelesaikan masalahku sendiri,""Menurut tuan Shawan, tugas ini berbahaya, Nyonya. Maka dari itu, saya diminta untuk mengawal ke
"T-tenang dulu, Tuan Sillas! Aku Camilla Shawn, istri saudara kembarmu, Max Sillas," kata Camilla dengan takut-takut. Bagaimana tidak takut kalau seorang pria nyaris saja mendaratkan tinjunya di wajahmu? Itulah yang dialami Camilla tadi. Kening Miller berkerut-kerut. "Max? Kamu istri Max? Lalu, di mana istriku?"Perlahan-lahan, Camilla mendekati Miller lagi. Wajah bingung Miller mengingatkan wanita itu pada suaminya. Ya, mereka serupa saat kebingungan. "Istrimu aman di rumah kami, Tuan Sillas," jawab Camills. Sepertinya Miller semakin bingung. "Kenapa istriku bisa ada di rumahmu dan kamu ada di sini? Apa yang sebenarnya terjadi?"Camilla menyangsikan kalau Miller dapat mencerna segala sesuatu yang akan dia ceritakan dengan kondisinya yang masih seperti ini. "Kamu harus pulih dulu, Tuan Sillas. Setelah itu, akan kuceritakan segalanya," ucap Camilla dengan sabar. Miller tampak tak puas. Dia memberengut kesal dan alis matanya masih berkerut-kerut. Tak lama, dokter pun datang. "Tida
Tak dapat dielakkan lagi, Miller sangat bingung sekaligus marah mendengar kabar itu. "Babymoon! Astaga! Aku suaminya!"Segala sumpah serapah, caci maki, dan harapan yang terlewatkan keluar dari mulut pria tampan itu. "Brengsek, Max itu! Allora ... Kata-kata apa yang pantas kuucapkan padanya! Dia ibu dari anakku tapi mengapa bisa setega itu kepadaku?"Camilla dapat merasakan apa yang dirasakan oleh Miller. Ya, mereka kini berada di perahu yang sama yang sedang terombang-ambing entah ke mana. "Miller, maafkan suamiku. Aku tidak tau bagaimana harus menghiburmu. Sekali lagi, aku minta maaf," ucap Camilla lirih. Miller memandang wanita itu dan seakan paham apa yang dirasakan oleh Camilla, dia menggelengkan kepalanya. "Kenapa kamu harus minta maaf kepadaku? Tunggu! Inikah sesuatu yang ingin kamu ceritakan padaku, Milla?"Camilla mengangguk lemah. "Ya,""Wow! Selama aku tidak ada, banyak sekali yang terjadi, ya. Padahal aku tidak sedang pergi berlibur! Kalau tau keadaannya seperti ini, leb
"Aaarrgghh! Apa yang sesungguhnya terjadi! Kenapa semua jadi seperti ini, Milla!" Miller mengacak-acak rambut belakangnya dan bertanya dengan nada tinggi. Tak sampai satu menit, energinya tiba-tiba menguap, dan dia terhenyak di kursi. Kedua tangan pria itu dia pakai untuk menutupi wajahnya. "Maaf, Milla. Aku tak bermaksud marah padamu. Aku hanya, ... Entahlah,"Camilla tersenyum. Dia paham apa yang dirasakan oleh Miller saat ini karena dia sudah lebih dulu merasakannya. "Tidak masalah. Aku tau rasa itu,""Lalu, apa yang akan kita lakukan?" tanya Miller. Wajahnya terlihat putus asa, lebih putus asa dari sewaktu dia diculik oleh Dominic Cortez. "Bicara. Saat ini, hanya itu yang bisa kita lakukan, walaupun kemungkinannya kecil, tapi, paling tidak, kita sudah berusaha," jawab Camilla. Kedua orang itu saling berpandangan dalam diam. Masing-masing memikirkan segala kemungkinan yang bisa terjadi. Hari itu, hujan turun dengan sangat deras. Namun, hati dan otak mereka justru lebih berisik
"Tidak, Miller! Kondisi tubuhmu belum benar-benar pulih sepenuhnya! Tidak! Tidak! Tetap di sini! Lagi pula ...,"Hari itu, dengan hanya mengenakan pakaian tidur, dia turun ke bawah untuk mencegah kepergian Miller dari rumahnya. Pria itu memutuskan untuk mundur sebentar dan memikirkan apa yang harus dia lakukan untuk membawa Allora kembali. Selain itu, dia juga ingin mempersiapkan hatinya, jika Allora benar-benar memutuskan untuk bercerai. "Kamu tidak ingin aku menyerah?" tanya Miller berusaha membaca pikiran kakak iparnya itu. Camilla menggelengkan kepalanya. "Lagi pula, aku membutuhkan teman di sini. Aku sudah lama sendirian dalam situasi seperti ini,"Miller menatap kakak iparnya. Di situlah dia baru menyadari bahwa kejadian ini sudah berlangsung cukup lama. "Apa yang sudah kulewatkan? Apakah istriku berubah menjadi gadis kejam? Apakah dia menyakitimu?""Tidak ada yang menyakitiku. Seandainya pun ada, aku tidak ingin mengungkitnya karena akan membuat lukaku kembali terbuka," ucap
"Tuan, saya mendapatkan informasi bahwa istri dari Sillas akan segera melahirkan," ucap seorang pria dengan kedua tangan saling bertautan dan kepala tertunduk. Sang penerima informasi menghisap cerutu tembakaunya yang tampak mahal. Namun, dia terlihat kurang puas dengan laporan itu. "Kedua istri Sillas memang sedang mengandung. Tapi, kabar yang kuterima dari salah satu informanku mengatakan kalau istri Sillas mengalami keguguran. Mana yang benar?""Apakah kalian berniat menipu dan mempermainkanku?" Dominic menyambung pertanyaannya kembali. Pria pemberi informasi itu semakin tertunduk dan seolah meringkuk ketakutan. "T-tidak, Tuan. Saya berani menjamin kalau informasi yang saya berikan benar adanya,"Dominic mendengus. Dominic Cortez adalah sosok pria berperawakan tinggi dan besar. Wajahnya sedikit ketimuran dengan cincin di beberapa jari-jarinya. Pria itu memiliki beberapa bisnis yang cukup besar, baik itu di kota kecil ataupun di kota besar. Jumlah kekayaannya pun tak main-main.
"Selamat, Tuan Sillas. Putra Anda telah lahir dengan selamat pada pukul 13.30 siang ini. Bayinya sehat, tampan seperti ayahnya, dan ibunya juga tinggal menunggu proses pemulihan," kata seorang dokter kandungan yang membantu proses persalinan Allora siang itu. Sang dokter berbicara kepada Miller, alih-alih Max. Tentu saja, sebagai pria yang mengaku sebagai ayah si bayi, Max sedikit tersinggung. Wajah Miller pun terlihat bahagia terlepas dari masalah yang sedang mereka hadapi. Dia berkali-kali mengucapkan terima kasih kepada dokter serta perawat yang membantu proses persalinan istrinya itu. Sesaat setelah mereka diperbolehkan masuk ke dalam ruangan, Max berjalan mendahului saudara kembarnya yang notabene memiliki DNA anak laki-laki tersebut. "Sayang," ucap Allora sambil menggendong bayi laki-lakinya. Bayi mungil itu memiliki rambut yang cukup lebat. Seperti kata Dokter tadi, wajahnya tampan, dan kulitnya putih bersih. Merasa nama kesayangan dipanggil, Miller pun maju menemui Allora