Di sebuah ruangan rusuh yang tak layak tinggal. Lily masih tak sadar tergeletak, tubuh dan tangannya diikat pada sebuah tiang. Mulutnya di tutup dengan perban.Pria bermasker dengan atasan yang memperlihatkan lengan dan tubuhnya yang kekar duduk di samping gadis itu. Pria itu duduk di kursi dengan matanya yang berbinar-binar menatap wajah Lily. Gadis itu begitu menawan sehungga dia tak bisa mengalihkan pandangannya sejak 10 menit yang lalu.“Bagaimana bisa tawanan secantik dirimu di telantarkan tanpa penjaga?”Sebelah sudut bibirnya terangkat.“Kendrick memang bodoh. Dia tak tahu betapa berharganya gadis itu.”Dia tersenyum lepas dengan sedikit tertawa. Pria itu beranjak, duduk tepat di depan gadis itu. Tubuhnya sedikit condong ke depan. Pria itu melepaskan maskernya, tersenyum manis menatap kecantikan Lily yang begitu menarik hati. Apalagi gadis itu tampak polos. Menurutnya, gadis polos itu tampak lebih nikmat dan bergairah.Dengan jari telunjuk, dia mengangkat dagu Lily.“B
“Halo? Bisakah kau ke mari sebentar.”Menatap kebunnya dengan perasaan hampa, sekarang tak ada yang bermain lagi di kebunnya itu. Pria tua itu tersenyum, dia masih ingat saat anak-anak bermain di kebunnya, menyirami atau kadang mereka memetik bunganya.Dia rindu dengan anak-anak itu, Lily, Angela dan Luchi. Sekarang mereka semua sudah dewasa, mereka sibuk dengan urusannya masing-masing. Sudah sangat lama Bretton tak melihat mereka bertiga.Sekarang dia merasa hampa. Tak ada yang bermain di kebunnya lagi, membaca buku di perpustakaannya lagi dan juga tak ada yang membuat rumahnya berantakan lagi.Beberapa minggu yang lalu, Lily masih sering mengunjunginya. Dia biasanya bercerita tentang hari-harinya yang melelahkan, Lily terkadang juga bercerita tentang masalah yang dia hadapi di pekerjaannya atau di dalam rumahnya. Bretton masih mengingat senyum manis gadis itu.Senyumnya menurun saat mengingat Lily telah menghilang. Entah bagaimana keadaan gadis itu sekarang, Bretton berharap di
“Buka matamu sekarang.” Gadis yang malang itu tetap terdiam. Dia begitu ketakutan hingga detak jantungnya semakin cepat. Semakin lama, tatapan pria itu semakin tajam padanya. Alisnya dan dahinya mengerut, wajahnya pun memerah karena kesal. Dia memegang wajah gadis itu dengan jempol dan jari telunjuknya begitu menekan pipi. “Apa kau tidak dengar? Buka matamu!” Lily sebenarnya sangat ketakutan hingga tangannya bergetar. Perlahan dia membuka mata. Keindahan warna matanya yang sebiru lautan terpancar seakan bersinar seperti permata. Pria itu bahkan tak terpejam saking terpesonanya dengan keindahan mata gadis itu.Dia terus menatap dengan nafasnya yang semakin memberat. Tatapannya begitu berbinar-binar. Saat melihatnya, Lily merasa merinding. Gadis itu memejamkan matanya lagi. “Tetap buka matamu atau kau mau kunikmati bibirmu?” “Bagaimana? Pilihlah salah satunya.” Tanpa pikir panjang, Lily langsung membuka kembali. Mau tak mau, dia terus menatap pada pria gila itu. Kedua sudut bibir
“Suatu hari nanti, aku pasti akan membunuh Kendrick.” Ucapan pria itu membuat darah Lily naik sampai kepala. Wajahnya juga tampak memerah. “Apa maksudmu bilang begitu?” “Memang dia salah apa? Dia itu sebenarnya pria baik. Kendrick melakukan semua itu untuk balas dendam karena kematian ibunya!” Dahi pria itu sedikit mengerut, langkahnya mendekat pada Lily. Berhenti dengan jarak satu meter dari gadis itu. Dia menatap Lily dengan senyum tipisnya. Pria itu mencondongkan tubuhnya hingga seperti rukuk. “Hipnotis apa yang Kendrick lakukan padamu? Hm?” Tangannya mencubit hidung Lily dengan gemas. Dia menegakkan tubuhnya kembali. “Bagaimana pun juga Rosby adalah ibumu. Ibu yang membesarkanmu. Seburuk apa pun dia, dia tetaplah ibumu.” “Berpikirlah secara jernih. Rosby telah membesarkanmu dengan jerih payahnya, tapi setelah seseorang membunuhnya. Kau malah membela pembunuh itu.” “Jadi sekarang, di mana belas kasihan dan rasa terima kasihmu pada wanita yang telah mengasuhmu?” Karena emo
“Sadar, Bro!” teriak Bobby saat melihat temannya menganga menatap gadis berambut jahe yang terikat di tiang itu. Kecantikan gadis itu memang sangat memukau. Mereka pun tersenyum bahkan tertawa karena Bobby. Tadi mereka benar-benar tak bisa fokus karena gadis itu. Mereka pun kembali melakukan pekerjaan mereka, meletakkan ranjang itu di samping Lily sesuai dengan permintaan tuan mafia. Dendy menepukan kedua tangannya agar bersih. “Akhirnya selesai juga.” “Cari buah-buahan ayo, Bos!” “Kenapa? Apa kau sudah kelaparan, hm?” tanya Bobby padanya. “Enggak, Bos. Cuman pengen aja,” ucap Dendy meringis dengan kedua tangannya di pinggang. Di lain itu, Doni melangkah dengan meletakkan kedua tangannya di belakang. Sorot matanya memerhatikan ke seluruh ruangan dengan penuh teliti. Dia tak paham, mengapa tak ada CCTV satu pun di luar ruangan dan di dalam ruangan. Tapi sepertinya dia tetap harus berhati-hati karena dia tidak akan tahu perangkap apa yang sedang menjaga gadis itu. Langkahnya berhe
Terus memotong tali tersebut, itu benar-benar tinggal sedikit lagi. Dan akhirnya tali itu terputus, gadis itu begitu merasa lega. Dengan mudah dia melepaskan tali itu.Lily memerhatikan tangannya yang memilukan. Pergelangannya begitu merah karena ikatan tali itu. Dia tak mau merenunginya. Dengan mudahnya dia berdiri walau ada tali yang mengikat perutnya, perut gadis itu memang sangat ramping.Dia berlari kecil ke arah jendela dengan kaki berjinjit, sehingga tak menimbulkan suara. Mengintip ke luar jendela, suasana memang sangat sepi. Tapi, dia melihat mobil hitam pria itu yang telah menyala. Sepertinya dia akan berangkat sekarang.Suaranya mulai menggeram, perlahan mobil itu beranjak pergi. Senyum gadis itu mulai terangkat sesuai dengan jauhnya dia pergi. Dia hanya menunggunya sampai tak tampak oleh mata.Gadis itu melangkah pada pintu. Perlahan membukanya dengan sedikit mengendap-ngendap. Sorot matanya ke sana ke mari memeriksa keadaan. Dia tak melihat apa pun di sana, kecuali ru
Jam telah menunjukkan pukul 19.07. Itu adalah waktu yang pas untuk menikmati secangkir kopi, apalagi malam ini adalah waktunya begadang.Pak Sutarno dan Pak Budi sedang berada di dalam pos security. Mereka sedang menikmati kopinya sebelum malam semakin larut. Biasanya saat suasana semakin sepi, mereka harus berdiri di belakang gerbang hingga pagi. Tapi terkadang mereka juga mengambil kursi untuk duduk.Perhatian Pak Sutarno teralihkan pada sesuatu yang tampak menyeramkan. Dia meletakkan kopinya, pupilnya mengecil dengan mata yang membelalak. Dia melihat gadis cantik berambut merah dan bergaun putih sedang mendekatinya. Gadis Itu tampak sangat cantik tapi juga menyeramkan. Bisa saja itu bukan manusia, melainkan sebangsa makhluk halus.“Apaan itu?!” ucap Pak Sutarno dengan perasaan panik sekaligus takut.Pak Budi memicingkan matanya. Perlahan kedua matanya membesar saat melihat gadis berambut merah sedang berjalan ke arah mereka.“Ayo, Pak! Cabut! Sebelum dia benar-benar ke sini!
“Akhirnya kau kembali.”Lily menelan salivanya, tubuhnya mulai gemetar. Dia sangat takut Tuan Kendrick akan bertanya perihal tas kulit buaya itu. Perlahan wajahnya menunduk lesu, gadis itu seketika tampak sangat risau.Kendrick sedikit bingung melihat ekspresinya. Pria itu khawatir jika seseorang yang menculik Lily telah memanipulasi pikiran gadis polos itu. Sama seperti yang dia lakukan pada beberapa kerabatnya, hingga sekarang mereka membenci Kendrick.“Lily. Tataplah mataku.”Dengan ragu-ragu, perlahan gadis itu mengangkat wajahnya. Matanya yang besar dan berbinar-binar itu menatap sendu. Kendrick terus memerhatikan mata gadis itu dengan dalam. Dia tak mengerti mengapa ada ketakutan di wajahnya.“Kenapa kau seperti takut padaku? Katakanlah dengan jujur.”Perlahan tatapan gadis itu turun. Kendrick tak mengerti mengaap gadis itu tampak bingung.“Anu ....”“Aku meninggalkan tasku di restoran hotel.”Sorot mata Kendrick langsung mendatar. Padahal dia sudah mengira hal yang t