Share

Tugasmu Malam ini

"Brengsek!"

Teriakan keras lolos dari bibir Aaron. Kepalan tangan meninju kuat meja kayu di depannya. Rasa ingin marah meluap-luap dari hatinya.

Sergio yang berdiri di dekat pintu pun hanya diam tertunduk melihat kemarahan Tuan Mudanya yang tidak bisa dihentikan.

"Beraninya dia menginginkan Valia secara terang-terangan," desis Aaron dengan rahang mengetat.

"Sam memang belum pernah melihat Nona Valia, Tuan," ujar Sergio menyahuti.

Aaron tersenyum smirk. "Berkata menginginkan Valia, adalah kebodohan. Dia tidak akan mengira kalau sampai mati pun aku tidak akan melepaskan Valia, semudah itu!" desis Aaron dengan napas naik turun.

Aaron tertunduk, menahan pikirannya yang dipenuhi kekesalan pada Sam, sahabat karibnya yang berani menawar Valia untuk dimiliki.

"Apa kau masih mengurung Valia?" tanya Aaron lirih.

"Masih Tuan."

Seketika Aaron keluar dari dalam ruangan kerjanya setelah tempat itu berantakan karena luapan emosi Aaron.

Ia melangkah menuju kamar Valia di lantai dua. Begitu pintu itu terbuka, dapat Aaron lihat Valia duduk meringkuk di atas ranjang.

"Aaron," lirih gadis itu memanggilnya pelan.

Sang pemilik nama berjalan mendekat ke arah ranjang.

"Apa saja yang kau katakan dengan si brengsek tadi, Valia?" tanya Aaron membungkuk ke atas ranjang tepat di hadapan Valia.

"Eumm... Tidak ada," jawab Valia menggeleng-geleng.

Aaron semakin kesal dengan jawaban bohong dari bibir Valia. Kali ini ditariknya betis gadis itu hingga Valia merosot telentang di bawah kungkungannya.

Kilauan mata yang berapi-api tak terima kalau pertanyaannya dijawab dengan kebohongan. Nyali Valia benar-benar menciut dalam posisi seperti ini.

"Katakan yang sejujurnya," bisik Aaron, ia menunduk cepat memangkas jarak.

"Ti-tidak ada, Aaron. Aku hanya... Hanya meminta tolong padanya," lirih Valia menjawabnya jujur.

Jemari lentik tangan Valia mencengkeram erat kemeja putih yang Aaron pakai.

Kedua matanya terpejam, bibirnya gemetar takut sampai tubuh Valia menegang saat ia merasakan usapan ibu jari lembut menyapu bibirnya.

"Aku tidak segan-segan menghabisi Sam tanpa ampunan kalau kau berani menunjukkan muka padanya," bisik Aaron di depan bibir Valia.

"Jangan... Jangan libatkan siapapun tantang ini. Kumohon jangan," pinta Valia memohon.

"Kau," lirih Aaron menjeda ucapannya.

Ia tertunduk mengalihkan jemarinya membuka satu kancing dress yang kini Valia pakai.

Kedua mata Valia melebar, cepat ia menahan tangan Aaron sampai tatapan mata keduanya bertemu.

"Mau... Mau apa?" lirih Valia menggelengkan kepalanya.

"Ini hukuman, Sayang," bisik Aaron menyeringai.

"Aku minta maaf, tapi kumohon berhenti," pinta Valia memberontak begitu dua kancing dressnya lolos terbuka. "Jangan melakukan apapun!"

Aaron tersenyum tipis melihat ekspresi takut dan air mata yang berderai. Munafik sekali, berlagak paling suci.

Valia sekuat-kuatnya mendorong pundak Aaron untuk menjauh. Meskipun ia sadar tenaganya tidak cukup kuat melawan laki-laki ini.

"Aaron berhenti!" pekik Valia, satu tangannya menampar pipi mulus laki-laki itu.

Kegiatan Aaron seketika terhenti tepat di kancing terakhir dress yang Valia pakai.

Aaron tersenyum smirk, Valia adalah gadis pertama yang berani memberikan tamparan di pipi Aaron yang mulus.

"Berani sekali kau, hah?!"

"Aku, akkhh...."

Valia memekik saat tubuh mungilnya benar-benar ditindih oleh Aaron yang jelas-jelas lebih besar darinya.

Laki-laki mengunci pergelangan tangan Valia ke atas kepala dan mendekatkan wajahnya, nyaris saja Aaron menyembar bibir tipis yang begitu melambai ingin disentuh.

"Sial!" umpat Aaron lirih.

"Aaron, aku... Aku tidak akan menemui siapapun lagi. Kumohon, aku tidak mau melakukan itu!" Valia menggeleng-gelengkan kepalanya. "Aku bukan wanita murahan. Aku tidak pernah diperlakukan seperti ini."

Valia meronta-ronta menangis kuat. "Papa... Tolong, tolong Valia..," lirih gadis itu yang mampu Aaron dengar.

Aaron menatap iris cokelat Valia dalam-dalam, sedetik sebelum akhirnya ia melepaskan pergelangan tangan gadis itu.

Sekelebat laki-laki itu langsung berdiri tegap beranjak pergi keluar dan membanting pintu kamar Valia dengan kuat.

Valia menangis tersedu-sedu meringkuk di atas ranjang memeluk dirinya sendiri

"Kenapa dia sangat menakutkan? Aku harus bagaimana..." Valia membenamkan wajahnya pada bantal yang ia peluk.

"Papa, lebih baik aku ikut Papa saja. Lebih baik bawa Valia, Pa... Bawa Valia mati saja."

Tangisan pilu di dalam kamar mampu Aaron dengar. Ia berdiri di depan pintu dengan napasnya yang naik turun dipenuhi pikirkan marah dan merutuki diri sendiri.

Gegas Aaron melangkah pergi. Di sana ia berpapasan dengan Merina.

"Urus gadis itu, Merina!" seru Aaron.

"Baik Tuan."

Merina menoleh ke belakang memperhatikan punggung tegap Aaron yang menjauh.

"Apa lagi yang terjadi dengan Nona?"

**

Sebotol wine Aaron habiskan dalam waktu sekejap. Ditemani kegelapan di ruangan pribadinya, ia disiksa frustrasi, emosi, dan menahan diri.

Diremas gelas beling yang dipegangnya sebelum Aaron melempar gelas itu dengan kuat di atas lantai.

"Aaarrgghhh... Brengsek!" teriak Aaron menggebu.

Ia mengacak rambutnya. "Kalau kau tidak memasang wajah sedihmu, aku pastikan kau sudah hancur!" desisnya geram.

Aaron mengacak rambutnya dengan kesal.

"Sial! Sial! Sialan!" makinya memukuli meja.

Sejenak Aaron duduk bersandar menenangkan dirinya. Benaknya terus dipenuhi tangisan Valia, gadis itu tidak membuatnya tenang.

Aaron beranjak bangkit dari duduknya. Ia keluar dari dalam ruangan kerjanya dan melihat seisi mansionnya sangat sepi malam ini.

Rasa kesal mengantarkan Aaron ke lantai dua. Perlahan ia membuka pintu kamar di depannya dan berjalan masuk tanpa suara.

"Ma-mau apa lagi?" lirih suara itu dalam gelap.

Seperti anak kucing yang hilang, Valia duduk meringkuk di tengah ranjang menutup diri dengan selimut menatap takut pada Aaron yang melangkah mendekat.

"Kenapa kau belum tidur?" Aaron malah bertanya balik.

"Aku tidak mengantuk, kenapa kau masuk ke sini? Kau hanya menakutiku," ujar Valia menyeka air matanya.

Aaron yang berdiri di depan jendela memunggungi Valia, ia tersenyum tipis mendengar apa yang Valia katakan.

"Aku akan tidur bersamamu, malam ini."

"Ti-tidur denganku?" Valia kembali merasa jantungan dengan perkataan Aaron.

Kali ini laki-laki itu membalikkan badannya pelan seraya melepaskan kancing kemeja katun putih yang melekat ditubuhnya yang kekar.

Valia menelan salivanya susah payah, ia turun dari atas ranjang saat Aaron mendekat. Terasa atsmosfer menipis melingkupi Valia.

" Kenapa... Kenapa kau melepaskan kemejamu?" Valia gugup dan memalingkan wajahnya.

"Apa kau lupa kalau aku tidak akan main-main dengan ucapanku?" Aaron tersenyum tipis duduk di atas ranjang dan menoleh pada Valia.

Gadis itu bediri menjauh di sudut ruangan memeluk bantalnya dengan erat. Wajah cantik Valia menjadi tegang ketakutan.

"Kemarilah, lakukan tugasmu!" seru Aaron memulai permainannya.

Valia menggeleng-geleng menolak. "Aku tidak mau. Aku dilahirkan bukan untuk menjadi wanita murahan," jawab Valia tertunduk lesu.

"Valia," panggil Aaron pelan. "Jangan membuat kesabaranku habis."

Kata-kata dingin dari bibir Aaron mampu menggerakkan tubuh Valia. Ia melangkah mendekati ranjang.

Valia hanya duduk di tepian ranjang dan menunggungi Aaron.

"Ha-hanya tidur, kan?" cicit Valia.

"Tidur setelah bercinta," jawab Aaron dengan santainya.

"Tapi Aaron-"

Bibir Valia mengatup rapat saat lengan kekar Aaron melingkar di pinggangnya dan menarik Valia ke tengah hamparan ranjang yang luas.

Tubuh kecilnya sudah berada dalam Kungkungan Aaron. Kilatan iris biru yang terasa mencabik-cabik hati Valia.

Perlahan lembut ibu jari Aaron membelai pipi Valia dan wajahnya yang mendekat.

"Lakukan tugasmu malam ini, kau harus memuaskanku, Valia!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status