Share

2 Hari Bersama Arwah

“Kamu di rumah sakit udah berapa lama? Pasti bosan, yah. Soalnya ibuku sering ngeluh katanya di rumah sakit bosan. Kamu juga gitu?” tanya Riyan tanpa mengalihkan pandangannya dari Elina.

Lagi-lagi respon Elina hanya mengangguk. Riyan yang sebenarnya penasaran akan perban di leher Elina, mencoba untuk bertanya sesuatu.

“Itu apa ….” Riyan bermaksud pada leher Elina dengan memegang lehernya sendiri, “Sakit banget, yah? Aku lihat beberapa kali kita ngobrol kamu jarang bersuara hanya mengangguk saja.”

Elina justru tersenyum, senyuman yang terlihat paksa tapi begitu manis. Tangan Riyan bergerak membelai halus pucuk kepala Elina. Baru dua hari ini mereka bertemu sejujurnya Riyan sudah jatuh hati pada Elina. Tapi, Riyan belum mau untuk mengungkapkan perasaannya pada Elina. Ia ingin dirinya bisa memberikan sedikit perhatian-perhatian kecil terlebih dulu. Niat Riyan pun kalau ia dan Elina sudah lumayan dekat, ia mau memperkenalkan Elina pada ibunya.

“Astaga ibu!” batin Riyan teringat. “Lin aku ajak kamu keliling-keliling sebentar lagi habis itu aku antar kembali ke kamar, yah.” Riyan memutar kursi roda Elina mengajak gadis itu keliling sekali lagi.

Jauh dari yang Riyan tahu bahwa, Elina merasa senang sekali atas perlakuan baik dari laki-laki itu. Sejujurnya sudah lama ia tidak diperlakukan seperti ini setelah insiden yang menimpanya waktu itu. Elina merasa bahwa Riyan adalah laki-laki yang baik, ia begitu yakin walaupun mereka berdua sangatlah berbeda. Kalau dibilang pun untuk bersama selamanya juga mungkin sangat mustahil.

Selesai mengajak Elina berkeliling, Riyan memutuskan untuk membawa Elina kembali ke kamarnya. Dari pintu luar rumah sakit bahkan sepanjang lorong saat Riyan berpapasan dengan orang-orang di rumah sakit itu, pandangan mereka terhadap Riyan sangatlah aneh. Mereka melihat Riyan dengan kebingungan karena sedari tadi mendorong kursi roda yang kosong. Tidak hanya di dalam rumah sakit saat di luar pun saat Riyan mengajak Elina berkeliling, beberapa orang juga memperhatikan. Memperhatikannya mendorong kursi roda kosong.

“Sini biar aku bantu,” kata Riyan tengah membantu Elina untuk kembali berbaring.

“Aku pergi dulu, yah. Kamu istirahat aja.” Saat Riyan hendak pergi, ia harus menahan langkahnya karena Elina yang menahan pergelangan tangannya. Riyan lantas berbalik, ia melihat Elina yang tersenyum padanya. Riyan melepas perlahan tangan Elina kemudian melambai pergi.

Menuju kamar ibunya, Riyan mengusap-usap pelan tangannya yang bekas dipegang Elina. Ia lantas tersenyum sendiri. Saat masuk kembali ke kamar, Riyan melihat Ibunya sedang mengobrol dengan Suster Ina. Ia juga melihat beberapa buah di atas lemari.

“Ibu … Ibu tadi makan buahnya?” tanya Riyan.

“Iya tadi Ibu makan buahnya, saya yang kupas, ‘kan.” Suster Ina yang menjawab.

“Kamu darimana, Nak?”

Riyan menarik kursi untuk duduk. “Itu tadi aku habis keliling-keliling di sekitar rumah sakit. Maaf kalau lama, Bu.”

“Enggak apa Ibu cuma tanya. Ini jam berapa kamu sudah makan?”

Riyan langsung menepuk kening, “Oh iya Riyan lupa tadi Riyan bawa ini” Ia membuka lemari untuk mengambil bungkusan berisi nasi dengan ayam pemberian bu Ela.

“Ibu mau makan bareng sama Riyan? Ini ada sambalnya, tapi nanti Riyan pisahin biar Ibu gak kepedesan. Ibu belum bisa makan pedas, ‘kan Sus?” Riyan melihat ke arah Suster Ina.

“Iya belum bisa.”

“Nah gak bisa. Riyan suapin Ibu, yah … aaa buka mulutnya.”

Ibu Ani menerima suapan dari anak laki-laki semata wayangnya itu. Rasa sayangnya Riyan pada Ibu Ani sendiri bisa Ina lihat dengan jelas. Tidak terbayang kalau dirinya mendapatkan jodoh seperti Riyan. Walaupun jauh dilubuk hati terdalam, Ina memang menginginkan Riyan.

“Suster gak makan? Duh, saya cuma bawa satu bungkus gimana kalau makan bareng aja. Sini saya suapin juga,” kata Riyan membuyarkan lamunan Suster Ina.

“Eh tidak usah saya ada makanan sendiri,” tolak Ina lembut. Ina di situ langsung salah tingkah sendiri.

“Husss Riyan.” Bu Ani langsung memukul pelan punggung tangan anaknya.

“Haha maaf-maaf.” Riyan tertawa tanpa ia sadar membuat Ina semakin menyukainya. Siapa juga yang tidak luluh dengan kehumorisannya Riyan.

Selesai makan dan mencuci tangan, Riyan menemani Ibunya dengan mengobrol. Banyak yang mereka obrolkan sampai waktu menjelang maghrib. Sehabis maghrib Riyan memutuskan untuk pulang karena besok ia harus kerja. Setelah mencium kedua pipi serta kening Ibunya, Riyan berpamitan untuk pulang. Keluar dari kamar Riyan berpapasan dengan Suster Ina.

“Saya pulang dulu, yah. Dadahhh suster.”

“Hati-hati, yah.”

“Tumbenan banget suster bilang hati-hati sama aku,” batin Riyan.

Melewati kamar Elina, Riyan langsung memperlambat langkahnya. Ia melihat Elina yang sedang berbaring dari kaca pintu. Walau Riyan tidak berada dalam kondisi gadis itu, tapi ia bisa merasakan bagaimana sakitnya Elina. Kakinya tergerak untuk melangkah masuk. Kalau dilihat-lihat Riyan bagaikan pengunjung yang dengan bebasnya masuk ke kamar pasien seorang gadis tanpa pernah memperdulikan waktu jam berkunjung. Lagian pihak rumah sakit juga tidak ada yang menegurnya.

Berdiri di samping tempat tidur Elina, Riyan memandangi Elina dengan kasihan terlebih lagi pada perban yang melingkar pada leher Elina. Ia meraih tangan Elina, tangan mungil yang terasa dingin.

“Elina suka apa, yah? Mungkin besok aku bawakan sesuatu, deh.” Riyan berbicara sendiri.

Beberapa menit memandangi Elina, Riyan memutuskan untuk pulang. Sudah banyak ia menghabiskan waktu di rumah sakit ditambah lagi badannya terasa lengket. Ia ingin segera cepat pulang dan mandi.

Dengan perginya Riyan, ada suster yang selalu menemani Elina di kamar tersebut. berdiri di pojok ruangan sedari tadi memperhatikan Riyan tanpa Riyan tahu.

“Kamu senang dengan dia Elina?” tanyanya.

“I-iya dia ba-baik,” jawab Elina terbata-bata.

“Kalau gitu aku biarkan dia untuk terus ke sini.”

Elina tersenyum.

***

Selesai mandi Riyan meneguk segelas air, Ia bersiap-siap untuk tidur. Tapi, sebelumnya akan mengecek sebentar sosial media. Satu pesan w******p masuk dari teman gamenya.

[Yan kita mau party-an di ML, nih ikutan gak?]

[oke deh gue login dulu,] balas Riyan.

Selagi membaca pesan tersebut Riyan melihat jam di bar atas ponsel. Ia memutuskan untuk ikut ajakan temannya mengingat waktu juga masih terlalu awal, mungkin satu atau dua kali main tidak apa. Asal tidak sampai lupa waktu yang berujung jadinya begadang. Riyan mengambil permen dari dalam laci. Permen yang selalu ia siapkan karena dirinya suka mengunyah permen saat bermain game.

Sebelum mulai main Riyan teringat dengan Elina. Jarinya langsung mengklik profil akun gamenya, ia berencana untuk mengganti nama akun.

“Nah bagus, nih.”

[Eh Elina siapa? Pacar baru, yah?] tanya teman satu gamenya di room chat game.

Riyan membalas, [Bukan. Itu nama istri gue di masa depan.] Tidak lupa menyematkan emoticon tertawa.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status