“Kamu di rumah sakit udah berapa lama? Pasti bosan, yah. Soalnya ibuku sering ngeluh katanya di rumah sakit bosan. Kamu juga gitu?” tanya Riyan tanpa mengalihkan pandangannya dari Elina.
Lagi-lagi respon Elina hanya mengangguk. Riyan yang sebenarnya penasaran akan perban di leher Elina, mencoba untuk bertanya sesuatu.
“Itu apa ….” Riyan bermaksud pada leher Elina dengan memegang lehernya sendiri, “Sakit banget, yah? Aku lihat beberapa kali kita ngobrol kamu jarang bersuara hanya mengangguk saja.”
Elina justru tersenyum, senyuman yang terlihat paksa tapi begitu manis. Tangan Riyan bergerak membelai halus pucuk kepala Elina. Baru dua hari ini mereka bertemu sejujurnya Riyan sudah jatuh hati pada Elina. Tapi, Riyan belum mau untuk mengungkapkan perasaannya pada Elina. Ia ingin dirinya bisa memberikan sedikit perhatian-perhatian kecil terlebih dulu. Niat Riyan pun kalau ia dan Elina sudah lumayan dekat, ia mau memperkenalkan Elina pada ibunya.
“Astaga ibu!” batin Riyan teringat. “Lin aku ajak kamu keliling-keliling sebentar lagi habis itu aku antar kembali ke kamar, yah.” Riyan memutar kursi roda Elina mengajak gadis itu keliling sekali lagi.
Jauh dari yang Riyan tahu bahwa, Elina merasa senang sekali atas perlakuan baik dari laki-laki itu. Sejujurnya sudah lama ia tidak diperlakukan seperti ini setelah insiden yang menimpanya waktu itu. Elina merasa bahwa Riyan adalah laki-laki yang baik, ia begitu yakin walaupun mereka berdua sangatlah berbeda. Kalau dibilang pun untuk bersama selamanya juga mungkin sangat mustahil.
Selesai mengajak Elina berkeliling, Riyan memutuskan untuk membawa Elina kembali ke kamarnya. Dari pintu luar rumah sakit bahkan sepanjang lorong saat Riyan berpapasan dengan orang-orang di rumah sakit itu, pandangan mereka terhadap Riyan sangatlah aneh. Mereka melihat Riyan dengan kebingungan karena sedari tadi mendorong kursi roda yang kosong. Tidak hanya di dalam rumah sakit saat di luar pun saat Riyan mengajak Elina berkeliling, beberapa orang juga memperhatikan. Memperhatikannya mendorong kursi roda kosong.
“Sini biar aku bantu,” kata Riyan tengah membantu Elina untuk kembali berbaring.
“Aku pergi dulu, yah. Kamu istirahat aja.” Saat Riyan hendak pergi, ia harus menahan langkahnya karena Elina yang menahan pergelangan tangannya. Riyan lantas berbalik, ia melihat Elina yang tersenyum padanya. Riyan melepas perlahan tangan Elina kemudian melambai pergi.
Menuju kamar ibunya, Riyan mengusap-usap pelan tangannya yang bekas dipegang Elina. Ia lantas tersenyum sendiri. Saat masuk kembali ke kamar, Riyan melihat Ibunya sedang mengobrol dengan Suster Ina. Ia juga melihat beberapa buah di atas lemari.
“Ibu … Ibu tadi makan buahnya?” tanya Riyan.
“Iya tadi Ibu makan buahnya, saya yang kupas, ‘kan.” Suster Ina yang menjawab.
“Kamu darimana, Nak?”
Riyan menarik kursi untuk duduk. “Itu tadi aku habis keliling-keliling di sekitar rumah sakit. Maaf kalau lama, Bu.”
“Enggak apa Ibu cuma tanya. Ini jam berapa kamu sudah makan?”
Riyan langsung menepuk kening, “Oh iya Riyan lupa tadi Riyan bawa ini” Ia membuka lemari untuk mengambil bungkusan berisi nasi dengan ayam pemberian bu Ela.
“Ibu mau makan bareng sama Riyan? Ini ada sambalnya, tapi nanti Riyan pisahin biar Ibu gak kepedesan. Ibu belum bisa makan pedas, ‘kan Sus?” Riyan melihat ke arah Suster Ina.
“Iya belum bisa.”
“Nah gak bisa. Riyan suapin Ibu, yah … aaa buka mulutnya.”
Ibu Ani menerima suapan dari anak laki-laki semata wayangnya itu. Rasa sayangnya Riyan pada Ibu Ani sendiri bisa Ina lihat dengan jelas. Tidak terbayang kalau dirinya mendapatkan jodoh seperti Riyan. Walaupun jauh dilubuk hati terdalam, Ina memang menginginkan Riyan.
“Suster gak makan? Duh, saya cuma bawa satu bungkus gimana kalau makan bareng aja. Sini saya suapin juga,” kata Riyan membuyarkan lamunan Suster Ina.
“Eh tidak usah saya ada makanan sendiri,” tolak Ina lembut. Ina di situ langsung salah tingkah sendiri.
“Husss Riyan.” Bu Ani langsung memukul pelan punggung tangan anaknya.
“Haha maaf-maaf.” Riyan tertawa tanpa ia sadar membuat Ina semakin menyukainya. Siapa juga yang tidak luluh dengan kehumorisannya Riyan.
Selesai makan dan mencuci tangan, Riyan menemani Ibunya dengan mengobrol. Banyak yang mereka obrolkan sampai waktu menjelang maghrib. Sehabis maghrib Riyan memutuskan untuk pulang karena besok ia harus kerja. Setelah mencium kedua pipi serta kening Ibunya, Riyan berpamitan untuk pulang. Keluar dari kamar Riyan berpapasan dengan Suster Ina.
“Saya pulang dulu, yah. Dadahhh suster.”
“Hati-hati, yah.”
“Tumbenan banget suster bilang hati-hati sama aku,” batin Riyan.
Melewati kamar Elina, Riyan langsung memperlambat langkahnya. Ia melihat Elina yang sedang berbaring dari kaca pintu. Walau Riyan tidak berada dalam kondisi gadis itu, tapi ia bisa merasakan bagaimana sakitnya Elina. Kakinya tergerak untuk melangkah masuk. Kalau dilihat-lihat Riyan bagaikan pengunjung yang dengan bebasnya masuk ke kamar pasien seorang gadis tanpa pernah memperdulikan waktu jam berkunjung. Lagian pihak rumah sakit juga tidak ada yang menegurnya.
Berdiri di samping tempat tidur Elina, Riyan memandangi Elina dengan kasihan terlebih lagi pada perban yang melingkar pada leher Elina. Ia meraih tangan Elina, tangan mungil yang terasa dingin.
“Elina suka apa, yah? Mungkin besok aku bawakan sesuatu, deh.” Riyan berbicara sendiri.
Beberapa menit memandangi Elina, Riyan memutuskan untuk pulang. Sudah banyak ia menghabiskan waktu di rumah sakit ditambah lagi badannya terasa lengket. Ia ingin segera cepat pulang dan mandi.
Dengan perginya Riyan, ada suster yang selalu menemani Elina di kamar tersebut. berdiri di pojok ruangan sedari tadi memperhatikan Riyan tanpa Riyan tahu.
“Kamu senang dengan dia Elina?” tanyanya.
“I-iya dia ba-baik,” jawab Elina terbata-bata.
“Kalau gitu aku biarkan dia untuk terus ke sini.”
Elina tersenyum.
***
Selesai mandi Riyan meneguk segelas air, Ia bersiap-siap untuk tidur. Tapi, sebelumnya akan mengecek sebentar sosial media. Satu pesan w******p masuk dari teman gamenya.
[Yan kita mau party-an di ML, nih ikutan gak?]
[oke deh gue login dulu,] balas Riyan.
Selagi membaca pesan tersebut Riyan melihat jam di bar atas ponsel. Ia memutuskan untuk ikut ajakan temannya mengingat waktu juga masih terlalu awal, mungkin satu atau dua kali main tidak apa. Asal tidak sampai lupa waktu yang berujung jadinya begadang. Riyan mengambil permen dari dalam laci. Permen yang selalu ia siapkan karena dirinya suka mengunyah permen saat bermain game.
Sebelum mulai main Riyan teringat dengan Elina. Jarinya langsung mengklik profil akun gamenya, ia berencana untuk mengganti nama akun.
“Nah bagus, nih.”
[Eh Elina siapa? Pacar baru, yah?] tanya teman satu gamenya di room chat game.
Riyan membalas, [Bukan. Itu nama istri gue di masa depan.] Tidak lupa menyematkan emoticon tertawa.
[Emang lu yakin banget kalau bakal berjodoh sama cewe dengan nama Elina?] tanya teman Riyan meragukan. Mereka belum memulai game sedari tadi.[Tentu saja. Gue sangat yakin banget.] Riyan tersenyum seraya membalas chat tersebut.[Waduh pada ngomongin cewe, nih. Kapan mau main?] singgung teman yang lain.[Ayok sekarang.]Game dengan dua tim saling berlawanan, masing-masing tim yang terdiri dari 5 pemain tengah berusaha untuk meraih kemenangan mereka. Sepertinya keberuntungan sedang berpihak pada tim Riyan sedari tadi tim mereka terus menerus meraih kemenangan. Riyan bahkan sudah tidak menghitung berapa kali pertandingan ia mainkan. Ia sudah terbawa suasana bermain.Keasyikannya bermain tanpa memperhatikan sekitar tanpa Riyan sadari, sosok pada malam sebelumnya beberapa menit lalu tengah berdiri di sudut ruangan memperhatikan Riyan. Dengan baju yang sangat kotor serta darah yang ikut mengotori sebab luka di leher sosok itu membuat penampilannya kian m
“Cantik emang yang namanya Elina itu?” tanya Bu Ela ikut penasaran.Riyan menyelesaikan makanan di mulutnya terlebih dulu, “Cantik, Bu cantik banget!”Ibu Ela mengernyitkan keningnya heran sendiri melihat keantusiasan Riyan soal wanita bernama Elina tersebut. Sejujurnya ia ikut penasaran dengan wanita itu.“Tambah lagi Riyan rebungnya,” ujar Anwar ikut bergabung.“Iya, Mas.”Segera Riyan selesaikan sarapannya. Ia tadi sudah mengobrol dengan Bu Ela soal Elina, ia juga tahu akan membawa apa untuk Elina nanti. Selesai sarapan, Riyan beralih untuk membersihkan warung. Hari ini Bu Ela membuat porsi dagangannya lebih banyak ketimbang kemarin. Kalau nantinya hari ini ramai atau bisa lebih ramai lagi dari hari kemarin bisa dipastikan mereka akan tutup lebih awal lagi.“Mas nasi gorengnya satu, yah.”Riyan sedikit terkejut dengan datangnya dua orang remaja berpakaian sekolah, saat dir
Riyan meletakkan roti yang ia bawa di atas lemari. Senyuman hangat terlihat dari Ibunya yang menyambut kedatangan Riyan. Suster Ina yang masih sedikit malu ikut bergabung dengan mereka ia sekilas mengecek cairan infus Ibu Ani agar situasi dirinya bisa lebih santai.“Sus saya bawa roti, Suster mau?” Riyan menawarkan.“Tumbenan bawa roti Riyan?” ujar Ibunya.“Sesekali, Bu. Suster mau gak?” Riyan mengambil satu bungkus. “Nih.”Melihat kode mata dari Ibu Ani yang menyuruh agar Suster Ina mengambil, walau ia tidak begitu ingin tapi rasanya tidak baik juga menolak. Apalagi sudah ditawarkan seperti itu.Ina lantas menerima, “Terima kasih.”“Itu enak saya pilihnya khusus di toko tadi. Ini ada juga buat, Ibu mau dimakan sekarang?” Riyan bersiap membuka bungkus atasnya.Ina yang mendengar kata khusus dari kalimat yang dilontarkan Riyan barusan membuat jantungnya sesaat berm
“Elina lihat aku bawa sesuatu!” Riyan menunjukkan roti yang ia bawa pada Elina. Biar terkesan seperti kejutan, Riyan menyembunyikan roti itu di belakang punggung.“Aku suapin, yah?” Riyan merobek sedikit plastik pembungkus, saat hendak menyuapi Elina, Suster Mala menahan tangan Riyan.“Nanti biar saya saja.” Suster Mala menadahkan tangan meminta roti tersebut. Riyan bisa apa tidak mungkin ia membantah ucapan suster itu. Padahal sebenarnya sangat ingin sekali menyuapi Elina langsung dari tangannya sendiri.Suster Mala pergi membawa roti dan catatan medisnya, meninggalkan Riyan yang di sana. Riyan heran, katanya mau menyuapi Elina, tapi suster itu malah berlalu pergi.“Nanti kasih tahu kalau rotinya enak, yah biar aku belikan lagi,” kata Riyan mengangkat satu jempolnya.Azan maghrib terdengar, Riyan memeriksa jam di pergelangan tangannya. Baru sadar terlalu banyak menghabiskan waktu di kamar Elina. Ia h
Sekitar pukul 02:30 pagi gelas bekas kopi Riyan semalam jatuh di dapur. Bukan tanpa sebab kenapa gelas itu bisa jatuh, ada yang baru saja membuatnya jatuh. Tidak hanya dengan gelas saja, beberapa sendok makan pun ikut serta. Riyan yang menyadari kegaduhan di dapur perlahan bangun walau pandangan masih belum sepenuhnya terlihat. Ia berjalan menghampiri dapur tanpa memikirkan sedikit pun hal aneh apa yang ada di dapur. “Aduh!” ringis Riyan. Ibu jari disalah satu kakinya menginjak serpihan gelas yang pecah. Ia terkejut saat melihat gelas yang pecah dengan serpihan-serpihan yang berserakan di lantai. Riyan harus berjinjit mengambil serokan dan sapu. Darah pun kian menetes dari ibu jarinya dan jatuh di lantai. Mengesampingkan soal rasa sakitnya, Riyan lebih dulu membereskan kekacauan di lantai. Heran kenapa gelas itu bisa jatuh, seingatnya ia taruh tidak begitu di pinggir. Malah justru lebih ke dalam sehingga kemungkinan untuk jatuh kecil. Tidak mungkin juga kalau tikus y
Riyan asik menonton acara di televisi. Sebuah acara di mana terlihat ada seorang perempuan yang punya masalah dengan pacarnya, meminta bantuan kepada pihak yang di mana program acara mereka adalah membantu setiap permasalahan dalam percintaan. Riyan heran bahwa cara seperti itu pun ada pasalnya permasalahan mereka dipublikasikan lewat media. Itu artinya orang yang menonton tayang tersebut akan tahu.Kepulangannya dari tempat nongkrong tadi, karena tidak ada rencana untuk ke rumah sakit, Riyan mengisi waktu dengan menonton sampai tidak dirasa waktu sudah menjelang sore. Bosan, satu kata yang bisa ia jabarkan. Sendirian di rumah tanpa ada teman yang ikut menemani. Tadi pagi sarapan tidak banyak dan dilanjut hanya makan kentang goreng saja. Sore ini perutnya mulai bereaksi.Riyan meletakkan remot tv di meja, ia me
Malam harinya Ina ingin pergi membeli sesuatu di luar. Sebenarnya di dalam rumah sakit pun juga ada kantin tersendiri hanya saja barang yang ia cari sedang habis, jadi memutuskan untuk beli di luar. Langkahnya terhenti di depan kamar Elina, perlahan ia mendekat. Tangannya memegang knop pintu dan satu tangannya lagi menyentuh kaca pintu. Kalau dilihat setelah pasien terakhir yang menempati kamar itu keadaannya selalu terlihat rapi tidak pernah berantakan sedikit pun. Ditambah dengan keadaan lampu yang selalu menyala setidaknya bagi orang biasa saat melihat akan menganggap tidak ada apa-apa di dalam sana.Namun, Ina yakin yang namanya arwah penasaran itu ada hanya saja, ia tidak tahu apakah gadis itu berkeliaran di kamar tersebut atau bisa jadi di sekitaran rumah sakit. Setelah melewati beberapa tahun belakangan ini memang tidak pernah mendengar lagi kalau ada yang diganggu oleh gadis itu.Kembalinya dari luar, Ina tidak melihat keberadaan Riyan di kamar Bu Ani, biasanya
Di perjalanan ke rumah sakit, Riyan singgah sebentar ke toko buah. Ia membeli jeruk dan apel. Setelah dari toko buah, ia melewati tokoh bunga. Riyan kepikiran untuk membeli bunga di sana. Ia memikirkan kalau Elina akan senang jika dibawakan bunga. Penjaga toko keluar menyambut datangnya Riyan. “Selamat pagi cari bunga apa?” tanya laki-laki itu. “Ah, iya selamat pagi. Hmm, saya mau cari bunga ….” Riyan bingung sesaat. Bunga apa yang harus dibelinya. Ia tidak begitu tahu soal bunga-bunga. Tangannya bergerak mengambil setangkai bunga mawar. Warna yang cantik serta bau yang khas dari mawar itu seketika membuat Riyan jatuh hati. Sama seperti saat dirinya pertama kali melihat Elina, ia jatuh cinta.