Syukur Alhamdulillah di hari senin penuh berkah ini warung tempat Riyan bekerja ramai akan pembeli yang datang. Selain dibuat sibuk akan pembeli yang membungkus, mereka juga dibuat sibuk akan pesanan orang-orang yang makan di tempat.
“Mas es teh manisnya satu lagi, yah!” pesan kembali Ibu-ibu. Sebelumnya sudah tiga gelas es teh manis yang ia pesan dan kali ini gelas keempat.
“Riyan Ibu yang itu pesan es teh lagi. Tolong dibuatkan dulu,” perintah Bu Ela.
Baru selesai mencuci piring kotor bergegas Riyan langsung ke tempat minum dan membuat es teh. Lambat laun warung semakin penuh terisi sampai beberapa pembeli yang datang tidak jadi makan lantaran tidak ada tempat lagi. Riyan sampai melewatkan makan siangnya karena kondisi warung yang tidak memungkinkan ia harus mengisi perut. Lagian Bu Ela dan anaknya pun juga sibuk sedari pagi. Ia masih bisa tahan beberapa jam lagi.
“Kira-kira kalau aku punya usaha kayak gini terus dikelola bareng dengan, ibu kayaknya bagus. Tapi … kondisi ibu sekarang,” batin Riyan.
“Ini ayamnya diantar ke meja yang sana tolong.”
“Oh iya, Mas.” Riyan hampir melamun berkelanjutan.
Menjelang sore sudah bisa sedikit untuk bernapas lega. Dagangan pun berangsur-angsur habis, hari ini mereka akan segera tutup cepat.
“Alhamdulillah ya, Bu ramai dari pagi,” kata Riyan.
“Iya Alhamdulillah.” Bu Ela tersenyum.
“Untungnya ada Riyan jadi kita tidak terlalu kesulitan,” sambung Anwar.
“Mas berapa, yah?”
Riyan dikejutkan oleh Mba-mba yang hendak membayar. Ia sedikit bergeser karena urusan menerima bayar membayar biasanya Bu Ela atau Anwar. Riyan sama sekali tidak pernah karena ia tahu itu bukan tugasnya. Setelah semua pembeli pergi dan papan tutup dipasang bergegas Riyan menutup pintu warung. Kalau tidak segera ditutup nantinya disangka masih menjual walaupun sudah ada papan di depan.
“Riyan hari ini ke rumah sakit lagi, ‘kan?”
“Iya, Bu.”
“Ini ada ayam nanti buat makan di rumah sakit, terus juga ada buah dibawa sekalian buat ibumu.” Bu Ela memberikan dua bungkusan rapi itu pada Riyan.
“Tidak boleh nolak,” ucap Bu Ela Dengan cepat. Belum juga Riyan berbicara sudah diserobot, Bu Ela sengaja menyela karena tahu duluan Riyan mau mengatakan apa.
“Ya sudah, Bu makasih banyak. Saya pamit duluan.”
Setidaknya Riyan tidak mengeluarkan uang untuk makan nanti berkat pemberian Bu Ela. Setelah menggantung bungkusan tadi di motor bergegas Riyan ke rumah sakit.
***
Sesampainya di rumah sakit segera Riyan memarkirkan motor. Ia menenteng dua bungkusan tadi ke dalam rumah sakit. Mendekati kamar Elina, Riyan memperlambat langkahnya. Dari luar ia bisa melihat Elina yang sedang tidur di dalam sana. Riyan memutuskan untuk menjenguk ibunya terlebih dulu.
Dari luar kamar, Riyan melihat suster Ina berada di samping Ibunya. Ia mengetuk pelan pintu beberapa kali untuk memberitahukan suster Ina kalau dirinya datang. “Sus aku boleh masuk?” tanya Riyan dari luar tanpa suara hanya gerakan bibir yang mengucap. Suster Ina yang mengerti pun mengangguk.
Riyan melangkah masuk. Ia meletakkan bungkusan bawaannya di dalam lemari pasien setelah itu menarik kursi untuk duduk menemani Ibunya.
“Sus Ibu udah makan?” tanya Riyan.
“Sudah.”
“Alhamdulillah kalau gitu. Emm saya mau ke luar sebentar, itu di lemari ada buah kalau suster mau ambil aja,” kata Riyan berlalu pergi.
Suster Ina mendadak terdiam. “Ina fokus Ina!” Ina jadi salah tingkah sendiri karena ucapan Riyan barusan. Yah wajar saja mengingat kalau Suster Ina sebenarnya suka dengan Riyan.
Riyan menghampiri kamar Elina, walaupun mereka awalnya tidak kenal sama sekali, tapi bagi Riyan ia merasa semakin penasaran dengan gadis itu. Di luar pintu, Riyan memandangi Elina yang setengah berbaring ditemani seorang suster di sana. Suster yang sama seperti kemarin. Perlahan membuka pintu, Riyan melangkah masuk.
“Halooo,” sapa Riyan dengan lambaian tangan yang kaku. Ia berdiri tepat di samping Elina. Elina lantas menyunggingkan senyuman dalam menyambut Riyan.
“Kamu yang kemarin?” tanya suster.
“Ah iy-iya saya ada apa ya, Sus?” tanya balik Riyan.
“Elina bilang terimakasih karena kedatangan kamu dia bisa bangun dari koma,” jelas suster.
“Saya?” Riyan memandangi suster dan Elina secara bergantian.
“Kalau begitu saya tinggal dulu.” Suster langsung berlalu.
Sejujurnya Riyan masih bingung dengan ucapan suster barusan, bagaimana ketika dirinya berhasil membangunkan orang dari koma yang panjang. apa yang sudah ia lakukan sampai bisa seperti itu?
“Emm maaf ….” Riyan menarik kursi lebih dekat, “Kamu sudah makan?” tanya Riyan.
Elina menggeleng. “Kamu suka sesuatu? Suka makanan apa gitu misalnya,” ujar Riyan.
Elina terdiam, perlahan ia mencoba untuk berbicara. “Ka-kamu,” ucapnya pelan tapi jelas terdengar oleh Riyan.
Riyan tertegun. “Aku? Aku kenapa? Kamu suka aku atau gimana?”
Satu anggukan dari Elina sukses membuat Riyan salah tingkah sendiri. Riyan yang senyum-senyum sendiri sedangkan Elina tetap dengan wajah datarnya.
“Kamu gak bosan di sini? Mau ikut jalan-jalan di sekitaran sini gak?” ajak Riyan spontan Elina langsung mengangguk setuju.
Riyan mengedarkan pandangan di ruangan itu ia menemukan kursi roda di pojok ruangan. Lantas beranjak untuk mengambil. Setelah kursi rodanya didekatkan sedekat mungkin dengan kasur Elina, Riyan membantu agar Elina bisa pelan-pelan menduduki kursi roda.
“Maaf ya, Lin aku permisi,” kata Riyan hendak memegang kedua lengan Elina.
Setelah Elina berhasil duduk dengan baik, Riyan mengambil tiang dan infus untuk dipasang pada kursi roda. “Bismillah,” batin Riyan mulai perlahan mendorong kursi roda.
Pertama, Riyan membawa Elina berkeliling rumah sakit. Beberapa orang yang melewati Riyan menyunggingkan senyuman, Riyan pun membalas senyuman itu, tapi ketika melihat kursi roda kosong yang didorong Riyan mendadak senyuman mereka berubah jadi raut wajah kebingungan.
“Orang-orang sepertinya senang melihat Elina,” batin Riyan salah tangkap. Riyan menghentikan kursi roda, ia berjongkok menghadap Elina. “Kamu suka taman gak? Kalau gak salah di sekitar sini ada taman gak jauh kok dari rumah sakit. Mau ke sana bareng?” ajak Riyan.
Elina mengangguk. Senang melihat respon Elina bergegas Riyan menghampiri taman yang ia bilang.
***
“Sus Riyan gak ke sini?” tanya Bu Ani.
“Oh, mas Riyan … Katanya tadi ke luar sebentar,” jawab Suster Ina. “Ini tadi mas Riyan juga bawa buah. Ibu mau makan biar saya kupas, ‘kan?
“Boleh deh.”
***
Semilir angin yang menerpa wajah bisa Riyan rasakan. Walau sebentar lagi warna langit akan berganti, tapi suasana di taman itu bagaikan di waktu jam 16:00 sore.
“Bagus, ‘kan tempatnya?” ujar Riyan.
Elina mengangguk. Riyan bingung setiap kali ia bertanya, Elina selalu mengangguk. Hanya respon itu saja yang ia lihat. Apa mungkin ada kaitannya dengan perban di leher Elina?
“Kamu di rumah sakit udah berapa lama? Pasti bosan, yah. Soalnya ibuku sering ngeluh katanya di rumah sakit bosan. Kamu juga gitu?” tanya Riyan tanpa mengalihkan pandangannya dari Elina.Lagi-lagi respon Elina hanya mengangguk. Riyan yang sebenarnya penasaran akan perban di leher Elina, mencoba untuk bertanya sesuatu.“Itu apa ….” Riyan bermaksud pada leher Elina dengan memegang lehernya sendiri, “Sakit banget, yah? Aku lihat beberapa kali kita ngobrol kamu jarang bersuara hanya mengangguk saja.”Elina justru tersenyum, senyuman yang terlihat paksa tapi begitu manis. Tangan Riyan bergerak membelai halus pucuk kepala Elina. Baru dua hari ini mereka bertemu sejujurnya Riyan sudah jatuh hati pada Elina. Tapi, Riyan belum mau untuk mengungkapkan perasaannya pada Elina. Ia ingin dirinya bisa memberikan sedikit perhatian-perhatian kecil terlebih dulu. Niat Riyan pun kalau ia dan Elina sudah lumayan dekat, ia mau memperkenalka
[Emang lu yakin banget kalau bakal berjodoh sama cewe dengan nama Elina?] tanya teman Riyan meragukan. Mereka belum memulai game sedari tadi.[Tentu saja. Gue sangat yakin banget.] Riyan tersenyum seraya membalas chat tersebut.[Waduh pada ngomongin cewe, nih. Kapan mau main?] singgung teman yang lain.[Ayok sekarang.]Game dengan dua tim saling berlawanan, masing-masing tim yang terdiri dari 5 pemain tengah berusaha untuk meraih kemenangan mereka. Sepertinya keberuntungan sedang berpihak pada tim Riyan sedari tadi tim mereka terus menerus meraih kemenangan. Riyan bahkan sudah tidak menghitung berapa kali pertandingan ia mainkan. Ia sudah terbawa suasana bermain.Keasyikannya bermain tanpa memperhatikan sekitar tanpa Riyan sadari, sosok pada malam sebelumnya beberapa menit lalu tengah berdiri di sudut ruangan memperhatikan Riyan. Dengan baju yang sangat kotor serta darah yang ikut mengotori sebab luka di leher sosok itu membuat penampilannya kian m
“Cantik emang yang namanya Elina itu?” tanya Bu Ela ikut penasaran.Riyan menyelesaikan makanan di mulutnya terlebih dulu, “Cantik, Bu cantik banget!”Ibu Ela mengernyitkan keningnya heran sendiri melihat keantusiasan Riyan soal wanita bernama Elina tersebut. Sejujurnya ia ikut penasaran dengan wanita itu.“Tambah lagi Riyan rebungnya,” ujar Anwar ikut bergabung.“Iya, Mas.”Segera Riyan selesaikan sarapannya. Ia tadi sudah mengobrol dengan Bu Ela soal Elina, ia juga tahu akan membawa apa untuk Elina nanti. Selesai sarapan, Riyan beralih untuk membersihkan warung. Hari ini Bu Ela membuat porsi dagangannya lebih banyak ketimbang kemarin. Kalau nantinya hari ini ramai atau bisa lebih ramai lagi dari hari kemarin bisa dipastikan mereka akan tutup lebih awal lagi.“Mas nasi gorengnya satu, yah.”Riyan sedikit terkejut dengan datangnya dua orang remaja berpakaian sekolah, saat dir
Riyan meletakkan roti yang ia bawa di atas lemari. Senyuman hangat terlihat dari Ibunya yang menyambut kedatangan Riyan. Suster Ina yang masih sedikit malu ikut bergabung dengan mereka ia sekilas mengecek cairan infus Ibu Ani agar situasi dirinya bisa lebih santai.“Sus saya bawa roti, Suster mau?” Riyan menawarkan.“Tumbenan bawa roti Riyan?” ujar Ibunya.“Sesekali, Bu. Suster mau gak?” Riyan mengambil satu bungkus. “Nih.”Melihat kode mata dari Ibu Ani yang menyuruh agar Suster Ina mengambil, walau ia tidak begitu ingin tapi rasanya tidak baik juga menolak. Apalagi sudah ditawarkan seperti itu.Ina lantas menerima, “Terima kasih.”“Itu enak saya pilihnya khusus di toko tadi. Ini ada juga buat, Ibu mau dimakan sekarang?” Riyan bersiap membuka bungkus atasnya.Ina yang mendengar kata khusus dari kalimat yang dilontarkan Riyan barusan membuat jantungnya sesaat berm
“Elina lihat aku bawa sesuatu!” Riyan menunjukkan roti yang ia bawa pada Elina. Biar terkesan seperti kejutan, Riyan menyembunyikan roti itu di belakang punggung.“Aku suapin, yah?” Riyan merobek sedikit plastik pembungkus, saat hendak menyuapi Elina, Suster Mala menahan tangan Riyan.“Nanti biar saya saja.” Suster Mala menadahkan tangan meminta roti tersebut. Riyan bisa apa tidak mungkin ia membantah ucapan suster itu. Padahal sebenarnya sangat ingin sekali menyuapi Elina langsung dari tangannya sendiri.Suster Mala pergi membawa roti dan catatan medisnya, meninggalkan Riyan yang di sana. Riyan heran, katanya mau menyuapi Elina, tapi suster itu malah berlalu pergi.“Nanti kasih tahu kalau rotinya enak, yah biar aku belikan lagi,” kata Riyan mengangkat satu jempolnya.Azan maghrib terdengar, Riyan memeriksa jam di pergelangan tangannya. Baru sadar terlalu banyak menghabiskan waktu di kamar Elina. Ia h
Sekitar pukul 02:30 pagi gelas bekas kopi Riyan semalam jatuh di dapur. Bukan tanpa sebab kenapa gelas itu bisa jatuh, ada yang baru saja membuatnya jatuh. Tidak hanya dengan gelas saja, beberapa sendok makan pun ikut serta. Riyan yang menyadari kegaduhan di dapur perlahan bangun walau pandangan masih belum sepenuhnya terlihat. Ia berjalan menghampiri dapur tanpa memikirkan sedikit pun hal aneh apa yang ada di dapur. “Aduh!” ringis Riyan. Ibu jari disalah satu kakinya menginjak serpihan gelas yang pecah. Ia terkejut saat melihat gelas yang pecah dengan serpihan-serpihan yang berserakan di lantai. Riyan harus berjinjit mengambil serokan dan sapu. Darah pun kian menetes dari ibu jarinya dan jatuh di lantai. Mengesampingkan soal rasa sakitnya, Riyan lebih dulu membereskan kekacauan di lantai. Heran kenapa gelas itu bisa jatuh, seingatnya ia taruh tidak begitu di pinggir. Malah justru lebih ke dalam sehingga kemungkinan untuk jatuh kecil. Tidak mungkin juga kalau tikus y
Riyan asik menonton acara di televisi. Sebuah acara di mana terlihat ada seorang perempuan yang punya masalah dengan pacarnya, meminta bantuan kepada pihak yang di mana program acara mereka adalah membantu setiap permasalahan dalam percintaan. Riyan heran bahwa cara seperti itu pun ada pasalnya permasalahan mereka dipublikasikan lewat media. Itu artinya orang yang menonton tayang tersebut akan tahu.Kepulangannya dari tempat nongkrong tadi, karena tidak ada rencana untuk ke rumah sakit, Riyan mengisi waktu dengan menonton sampai tidak dirasa waktu sudah menjelang sore. Bosan, satu kata yang bisa ia jabarkan. Sendirian di rumah tanpa ada teman yang ikut menemani. Tadi pagi sarapan tidak banyak dan dilanjut hanya makan kentang goreng saja. Sore ini perutnya mulai bereaksi.Riyan meletakkan remot tv di meja, ia me
Malam harinya Ina ingin pergi membeli sesuatu di luar. Sebenarnya di dalam rumah sakit pun juga ada kantin tersendiri hanya saja barang yang ia cari sedang habis, jadi memutuskan untuk beli di luar. Langkahnya terhenti di depan kamar Elina, perlahan ia mendekat. Tangannya memegang knop pintu dan satu tangannya lagi menyentuh kaca pintu. Kalau dilihat setelah pasien terakhir yang menempati kamar itu keadaannya selalu terlihat rapi tidak pernah berantakan sedikit pun. Ditambah dengan keadaan lampu yang selalu menyala setidaknya bagi orang biasa saat melihat akan menganggap tidak ada apa-apa di dalam sana.Namun, Ina yakin yang namanya arwah penasaran itu ada hanya saja, ia tidak tahu apakah gadis itu berkeliaran di kamar tersebut atau bisa jadi di sekitaran rumah sakit. Setelah melewati beberapa tahun belakangan ini memang tidak pernah mendengar lagi kalau ada yang diganggu oleh gadis itu.Kembalinya dari luar, Ina tidak melihat keberadaan Riyan di kamar Bu Ani, biasanya