Home / Young Adult / Gagal Move On! / BAB 5 : Salah Kirim

Share

BAB 5 : Salah Kirim

Author: donatlumer
last update Last Updated: 2023-02-21 22:35:17

“Ka, Tara kok gak pernah main ke sini lagi?” tanya Kiera iseng. Sehabis menidurkan Arlan, ia dan Raka duduk di depan TV sembari menunggu Bian pulang.

“Males. Tara kalau diajak ke sini kebawelannya setara sama mami,” sahutnya yang masih fokus pada ponsel.

“Cewek kalau nggak bawel pasti lagi sariawan!”

“Teori darimanaaa mamiku sayang? Kaila kalem-kalem aja, tuh.”

Kiera mendengkus pelan. “Pacar baru kamu nggak asyik. Nggak bisa diajak ngobrol. Takut mami sleding kali, ya, ginjalnya.”

Raka terbahak. “Nggak gitu juga. Kaila masih malu-malu, Mi. Lagian baru sekali kan Raka ajak dia ke rumah.”

Atensi Kiera beralih sepenuhnya dari majalah di tangannya pada anak sulungnya. “Tapi mami beneran mau Tara main lagi, Ka. Udah lama nggak bikin kue bareng.”

“Taranya sibuk. Raka lihat dia makin aktif ikut olimpiade gitu, bolak-balik ruang guru. Kayaknya yang sekarang ikutan matematika, deh,” jelasnya.

Siang tadi, ia tidak sengaja mendengar pembicaraan Tara dengan bu Nia—guru matematika mereka di ruang guru saat menyimpan tumpukan buku tugas sosiologi di meja bu Desi yang kebetulan letaknya bersebelahan. Perempuan itu tampak fokus mencatatan soal-soal pembahasan yang bu Nia sebutkan di notes kecil yang sering ia bawa di tasnya. Notes yang dulu sering membuat mereka bertengkar karena Raka yang kelewat kepo ingin tahu isinya. Mungkin takut Raka mengambil jawaban soal-soalnya.

“Bagus! Tara makin pinter, nggak kayak kamu, pemalasan!”

“Lho, kok jadi Raka, sih, Mi?” Raka menatap ibunya tak terima.

“Kamu makin tambah umur makin malas belajar. Boro-boro peringkat satu, masuk sepuluh besar aja nggak! Bikin malu Winata!” serunya.

Sebagai cucu pemilik sekolah, yang mana keluarganya memiliki bibit unggul, Raka merasa dirinya memang terbelakang mengenai prestasi. Ia lebih suka olahraga dan mengatur srategi menyerang lawan di lapangan daripada membaca tumpukan buku pelajaran atau menghitung rumus matematika. Tapi siapa yang peduli? Tiap anak punya kemampuan masing-masing dan itu tidak masalah. Kakeknya selalu bilang, “Nggak apa-apa nggak dapat juara di kelas, asal jangan sampai nggak naik kelas.” Jadi, ia bisa santai-santai saja.

Tapi yang namanya ibu, pasti tidak akan membiarkan anaknya menjadi bodoh selamanya. Saat Raka masih berpacaran dengan Tara dulu, perempuan itu bukan hanya jadi patner membuat kue di rumah ini tapi juga guru lesnya secara cuma-cuma. Beruntunglah Tara sudah terbebas darinya.

“Mami merasa kehilangan Tara karena nggak ada temen bikin kue atau karena malu lihat nilai Raka, nih?”

“Dua-duanya! Kamu semenjak putus sama Tara jadi malas belajar,” gerutunya.

Gimana gue bisa santai-santai aja kalau Tara jadi sekretaris di kelas yang kerjaannya bantuin guru masukin nilai? Belum lagi dia jadi mata-mata mami.

Beruntunglah mereka sudah putus.

“Kamu mau mami daftarin les?” tawar Kiera.

Kontan saja Raka menggeleng. “Makasih atas perhatiannya, Mi, mending uangnya kita kasih ke yang lebih membutuhkan,” tolaknya.

Kiera memukul lengan anaknya menggunakan majalah di tangannya. “Kamu juga butuh ilmu!”

Raka menghindari serangan Kiera. “Iya, Mi, iya, nanti Raka belajar. Ampun.”

“Mami serius, lho, ya! Kamu harus bawa Tara secepatnya!”

“Kalau nggak?”                                  

“Mami marah sama kamu.”

[]

Tara fokus pada bukunya, berusaha memecahkan soal induksi matematika yang diberikan Bu Nia minggu lalu. Sudah dua jam Tara duduk di kursi itu dan ia baru mengerjakan dua puluh lima dari empat puluh soal. Berkali-kali ia mencoba fokus namun notifikasi dari Twitter membuat Tara melirik ponselnya. 

Udah lama gak buka Twitter, pikirnya.

Ternyata Kaila mulai mengikutinya. Karena penasaran Tara membuka profil milik @Kai_lala, tweet terakhirnya masih dua puluh menit yang lalu, sebuah quotes yang diakhiri mention ke Twitter milik @AzrakaTasena, yang dibalas; “Iya, Sayang”.

Tara menghela napas, ia menyentuh ikon  followback. Lalu kembali ke linimasa, membaca tweet teman-temannya—termasuk Raka yang kerap kali saling berbalas mention dengan Kaila. Mereka tak segan mengumbar kemesraan hingga teman-teman Raka pun ikut berkomentar. Ia beralih pada notifikasi dan membalas beberapa mention yang masuk.

“Dek,” Eva tiba-tiba membuka pintu kamar Tara, lalu masuk dengan membawa paperbag Richeese kemudian menyimpannya di sebelah tumpukan bukunya di atas meja belajar. “Nih, om Arsen bawain Richeese, cepat makan jangan sampai telat.”

Tara hanya menoleh sekilas, kemudian kembali memainkan ponselnya. “Makasih buat om Arsen.”

“Iya.” Eva mengelus puncak kepala Tara sebelum keluar dari kamar.

Tara hanya melirik plastik tadi lalu kembali mengerjakan soal.

Ponselnya lagi-lagi menyala, membuat Tara mengerangkan kesal. Susah sekali untuk konsisten pada tugasnya. Pop up chat muncul dari layar, Raka penyebabnya.

Raka : Jgn telat makan.

Tara menaikan sebelah alisnya. Sebelum ia membalas, Raka sudah mengirimkan pesan lagi.

Raka : Salkir, sori.

Tara memutar matanya malas.

Tara : Iy.

Raka : Tapi kalo lo emg blm makan, cpet makan, gue liat d TV obat lambung jadi mahal.

Tara : Sip.

Raka : Mana makasihnya?

Tara : ?

Raka : Krna gue udh ngingetin lo makan.

Tara : Trims.

Raka : Better, drpd tq.

Tara : Receh lo.

Raka : Makasih:))

Kemudian Tara membuka papperbag makanan tadi dan mulai memakannya. Bukan karena ia menuruti perintah Raka, namun ia baru ingat kalau punya penyakit lambung. Iya, terima kasih juga pada Raka yang mengingatkannya mengenai harga obat lambung. Ia mulai menggigit fire wings-nya dan menyuapi nasinya bergantian sembari bertukar pesan dengan Karina lewat W******p.

Karina : Lo se-followan sma Kaila?

Karina : Muncul di beranda.

Tara : Dia follow duluan.

Karina : Sengaja itu, biar lo liat tweet dia buat Raka tiap hari.

Tara : Gpdl.

Karina : Mute aja, Tar tweet-nya.

Tara : G perlu.

Karina : Ksel gue ama tu cewe lama².

Tara : Nnti jga putus.

Karina : Nah bner, yg pamer mh beda, WKWK.

Tara : Ghibah mulu lo.

Karina : Kepancing, Bu.

Tara menggeleng pelan. Dari awal Karina memang mendukung sepenuhnya ia move on dari lelaki itu. Karina seperti alergi pada Raka sejak mereka putus. Terlebih saat Tara memberitahu bahwa Raka sudah punya pacar baru si anak sebelah. Perempuan itu bahkan tak sungkan menatap sinis jika mereka bertemu. Katanya, “Gue bakal ada di paling depan saat dia deketin lo lagi.” Padahal, Tara juga belum tentu mau-mau saja didekati kembali oleh lelaki itu.

“Lo tuh kadang lemah masalah beginian, Tar. Kayak... terlalu gak enakan. Selalu berpositif thinking. Padahal judesin aja lagi orang macem dia! Udah gak punya urusan ngapain coba minta anter beliin kado buat pacarnya? Gak punya malu dia!” serunya saat Tara bercerita mengenai minggu lalu sebelum mereka masuk sekolah. 

“Selemah itu gue? Itu kan karena dia maksa, Na, pas ke rumah mbak Sarah, sekalian katanya. Dari pada gue gak dianter balik,” kilahnya.

“Atau jangan-jangan lo masih suka sama dia?” Karina memicingkan matanya curiga.

“Gila kali lo, ya!” Tara memalingkan wajahnya ke sembarang arah. Tentu saja tidak mungkin.

Notifikasi Twitter dapat Tara lihat dari notifikasi bar, ada DM masuk dari Kaila.

@Kai_lala : Thank u, Tar.

Ia memilih tidak membalas. Mulai merapikan sampah makanannya dan membuangnya ke dapur. Ia melihat Dio yang duduk di meja makan sembari memainkan gelas yang airnya sisa setengah.

“Belum tidur?” tanya-nya.

Dio menoleh sekilas. “Lo lihat gak mata gue merem?”

Mendapat jawaban sarkastik itu membuat Tara menoyor pelipis adiknya. “Sopan lo begitu?”

“Iya, Adek,” sahutnya menyebalkan.

Tara memilih tak meyahut, setelah mencuci tangannya ia bersiap kembali ke kamar untuk merapikan bukunya.

“Tar?” panggil Dio.

“Apa? Butuh lo sama gue?” tanya-nya.

Terdengar dengkusan kasar dari lelaki itu. “Soal kepindahan gue ke Makassar, gue serius nggak mau,” katanya. “Gue juga nggak nyuruh lo gantiin gue. Kita nggak harus hidup terpisah dan nurutin kemauan papa kan? Selama ini juga dia fine-fine aja nggak ketemu kita bertahun-tahun.”

Tara menghela napas kasar. Dio benar. Selama ini yang berjuang bersama mereka hanya ibu. Kiriman uang dari sang ayah memang lebih dari cukup untuk mereka, namun, tentu tidak dengan seluruh kebutuhan rumah. Di telepon yang ayahnya tanyakan hanya seputar ‘gimana sekolah?’ atau ‘apa yang membuat kalian semangat belajar akan papa bantu’. Ia tahu Dio sangat tak acuh pada sang ayah, lebih memilih diam dan menyimak, lalu menurut jika diberi perintah.

“Kenapa lo nggak mau pindah ke Makassar?” pada akhirnya Tara menanyakan hal itu.

“Kenapa harus pindah?”

Perempuan itu memilih duduk di seberang Dio dengan kernyitan jelas di dahinya. “Lo nggak mau tinggal sama papa?”

“Buat apa susah-susah tinggal sama orang yang bahkan nggak kita kenal dan harus beradaptasi di lingkungan yang jauh berbeda dari tempat kita saat ini?”

[].

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Gagal Move On!    Extra Chapter 2

    Raka Tasena : Tar :(Tara Givanka : Ya?Raka Tasena : Kangen sama lo.Tara Givanka : Gak usah lebay. Lo baru aja nganter gue pulang tiga hari lalu.Raka Tasena : Hhh.Tara Givanka : Ketawa?Raka Tasena : Menghela napas pasrah.[]Raka Tasena : Tar, Tar, masa tadi ada senior jurusan gue nanya sebenernya gue jomlo apa nggak.Tara Givanka : Hm, trs?Raka Tasena : Gue bilang jomlo, soalnya belom bisa ngajak balikan mantan gue.Tara Givanka : Azraka...Raka Tasena : Gue bener kan?[]Raka Tasena : Tar, i can't sleep :(Tara Givanka : Kenapa?Raka Tasena : Kepikiran sesuatu.Tara Givanka : Hal yang penting?Raka Tasena : Maybe.Raka Tasena : Gue cuma mikir random aja, sih.Tara Givanka : Di Melbourne udah tengah malam, Ka. Besok Lo harus masuk pagi.Raka Tasena : Mau video call.Tara Givanka : Boleh."Tar, i miss Indonesia.""Lagi ada yang nyebelin, ya?""Ya, gitu, deh. Males. Gue juga akhir-akhir ini begadang terus bikin maket. Udah kebiasaan gak tidur kali, ya?""Minum susu coba.""Mau pu

  • Gagal Move On!    Extra Chapter 1

    [Sambel Ijo]Raka Tasena : Mau ke nikahan Sesha sama siapa?Septi_an : Sama lo. AH Jaffar : ^2 Raka Tasena : Serius, nyet.Septi_an : Emang mau sama siapa sih lo? Kita nih jomlo, ya! Jelas kita datang kek teletubis berempat!Arnando Kusuma : Gue sama Karina. AH Jaffar : LAH?! SUKSES, BRO??Arnando Kusuma : Y.Septi_an : Oh, selama ini capernya sama Karina. AH Jaffar : LO TAU GAK SIH, NI BOCAH GEMES BGT SAMA KARINA YANG POLOS T_TSepti_an : Gue akui nyali lo oke juga, Ndo. Septi_an : KARINA BROW, PAWANGNYA TARA.Arnando Kusuma : Gue nggak cupu kayak sebelah. Septi_an : Buka jasa free tag @Raka Tasena Raka Tasena : Gue mau ngajak Tara. AH Jaffar : HAHAHAHAHALU.Raka Tasena : Gue ketemu Tara. Septi_an : Afh iyh, fren? Raka Tasena : Gue serius.Arnando Kusuma : WAH.AH Jaffar : Jadi besok gue sama Tian jadi pasangan homo dulu? Septi_an : NAJIS.Septi_an : Frustasi boleh ya ditinggal Sesh

  • Gagal Move On!    Epilog : Taraka's Bakery

    Desember akhir memang selalu disuguhkan hujan yang membuat siapapun yang beraktivitas di luar ruang ingin cepat-cepat pulang. Duduk menghadap jendela ditemani mie rebus lengkap dengan telur di atasnya dan secangkir teh hangat. Itu pun yang ada di pikiran Tara.Baru pukul dua siang, tapi Tara sangat enggan berlama-lama di luar rumah. Ia memasuki kedai roti dengan tergesa untuk menghindari derasnya hujan yang sudah membuat bajunya setengah basah. Suara lonceng berbunyi bertepatan dengan aroma adonan roti, kopi, dan moka menusuk penciumannya.“Selamat siang, selamat datang di Taraka’s Bakery!” seru seorang pelayan di kasir.Tara tersenyum simpul. Di sini hanya ada dua remaja berseragam SMA yang sedang menikmati cake di dekat jendela, dan satu wanita tua yang sedang berdiri di kasir. Ia berjalan ke arah rak donat yang berjajar dengan banyak varian rasa yang menggugah selera, seolah siap untuk dibawa pulang.Tempat ini sangat strategis dari segi mana pun sehingga pengunjungnya akan berdat

  • Gagal Move On!    BAB 34 : Hampa

    Nando duduk selonjoran di sisi lapangan bersama Tian dan Jaffar setelah latihan dibubarkan. Mereka ada pertandingan bulu tangkis dalam waktu dekat, maka di saat yang lainnya sibuk di dalam kelas, mereka justru di lapangan mengasah skill—setelah mendapat surat dispensasi dari guru piket—karena pertandingan sudah di depan mata.Raka baru saja kembali dari kantin dengan membawa beberapa botol air mineral dan camilan di kantung plastik. Ia ikut bergabung dengan teman-temannya menikmati angin sepoi-sepoi di bawah pohon cokelat.Sebulan telah berlalu. Di saat yang lainnya beraktivitas seperti biasanya, Raka justru lebih sering sendirian. Ia tidak lagi diam-diam melirik kelas sebelas IPS satu saat melewatinya, datang ke sana dengan dalih menyapa Kaila padahal ekor mata meilirik satu meja yang biasanya diisi oleh Tara. Terdengar brengsek memang. Namun, hanya itu yang bisa ia lakukan untuk tahu keadaan Tara dulu.Beberapa kali Raka mencoba menghubungi Tara kembali namun hasilnya nihil. Akun Li

  • Gagal Move On!    BAB 33 : Kertas Biru Muda

    Pagi ini mereka sudah di bandara; Arsen, Eva, Kaila, Tara dan Dio. Setelah semalam makan malam bersama untuk terakhir kalinya, mereka menghabiskan malam yang panjang bersama di ruang TV dengan beberapa percakapan ringan. Tara akan merindukan hal itu.Eva menatap anak pertamanya dengan mata yang berkaca-kaca. Tidak menduga sebelumnya kalau hari ini akan tiba dengan cepat. “Hati-hati ya, Dek. Kalau udah landing langsung kabarin kita.”“Iya, Bu.” Tara mengangguk menahan perasaan sesak.“Jaga diri ya, Tar. Kalau ada sesuatu jangan sungkan hubungi kami,” ucap Arsen seraya megusap kepala anak tirinya.“Makasih, Pa.” Ia beralih menatap Kaila yang sudah menangis. “Kai,”Kaila langsung memeluknya. “Harus sering-sering pulang. Jangan marah kalau nanti gue sering telepon, jangan simpan semuanya sendirian.”Tara balas memeluk. “Nggak akan. Gue pasti selalu ngabarin.”Kemudian, Tara beralih pada adiknya yang lebih banyak diam. Dio tidak bisa ikut ke Makasssar karena besok ada try out untuk kelas s

  • Gagal Move On!    BAB 32 : Menjadi Berteman

    Pagi ini Tara dan Kaila berangkat sekolah bersama. Mereka melambaikan tangan pada Dio yang menatap keduanya dengan malas. Semalam mereka menyelesaikan lego yang dibeli Dio, dua lawan satu. Jelas saja Dio kalah. Dan hukumannya Dio terpaksa harus berangkat sekolah dengan rambut berantakan yang sudah ditata oleh Kaila.Mereka tertawa melihat wajah masam Dio. “Lo kok bisa kepikiran ke sana, Kai?” tanya Tara.“Selama ini kan gue lihat rambutnya rapih terus, Tar. Good boy banget anaknya. Perlu gue modif biar kelihatan lebih laki,” kekeh Kaila.Tara pikir Dio akan menolak dan marah, namun, lelaki itu tetap menurut meskipun rautnya tidak bisa berbohon kalau ia tidak nyaman dengan itu.Mereka berpapasan dengan Kanaya yang juga akan masuk ke kelas. “Hai, Tar!” sapanya.“Hai, Nay,” balasnya.Kanaya beralih menatap Kaila. “Udah sembuh, Kai?” Kaila mengangguk.“Nanti makan siang bareng kayak biasa, ya?” ajak Kanaya.Tara mengangguk.“Gue b

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status