Share

BAB 5 : Salah Kirim

“Ka, Tara kok gak pernah main ke sini lagi?” tanya Kiera iseng. Sehabis menidurkan Arlan, ia dan Raka duduk di depan TV sembari menunggu Bian pulang.

“Males. Tara kalau diajak ke sini kebawelannya setara sama mami,” sahutnya yang masih fokus pada ponsel.

“Cewek kalau nggak bawel pasti lagi sariawan!”

“Teori darimanaaa mamiku sayang? Kaila kalem-kalem aja, tuh.”

Kiera mendengkus pelan. “Pacar baru kamu nggak asyik. Nggak bisa diajak ngobrol. Takut mami sleding kali, ya, ginjalnya.”

Raka terbahak. “Nggak gitu juga. Kaila masih malu-malu, Mi. Lagian baru sekali kan Raka ajak dia ke rumah.”

Atensi Kiera beralih sepenuhnya dari majalah di tangannya pada anak sulungnya. “Tapi mami beneran mau Tara main lagi, Ka. Udah lama nggak bikin kue bareng.”

“Taranya sibuk. Raka lihat dia makin aktif ikut olimpiade gitu, bolak-balik ruang guru. Kayaknya yang sekarang ikutan matematika, deh,” jelasnya.

Siang tadi, ia tidak sengaja mendengar pembicaraan Tara dengan bu Nia—guru matematika mereka di ruang guru saat menyimpan tumpukan buku tugas sosiologi di meja bu Desi yang kebetulan letaknya bersebelahan. Perempuan itu tampak fokus mencatatan soal-soal pembahasan yang bu Nia sebutkan di notes kecil yang sering ia bawa di tasnya. Notes yang dulu sering membuat mereka bertengkar karena Raka yang kelewat kepo ingin tahu isinya. Mungkin takut Raka mengambil jawaban soal-soalnya.

“Bagus! Tara makin pinter, nggak kayak kamu, pemalasan!”

“Lho, kok jadi Raka, sih, Mi?” Raka menatap ibunya tak terima.

“Kamu makin tambah umur makin malas belajar. Boro-boro peringkat satu, masuk sepuluh besar aja nggak! Bikin malu Winata!” serunya.

Sebagai cucu pemilik sekolah, yang mana keluarganya memiliki bibit unggul, Raka merasa dirinya memang terbelakang mengenai prestasi. Ia lebih suka olahraga dan mengatur srategi menyerang lawan di lapangan daripada membaca tumpukan buku pelajaran atau menghitung rumus matematika. Tapi siapa yang peduli? Tiap anak punya kemampuan masing-masing dan itu tidak masalah. Kakeknya selalu bilang, “Nggak apa-apa nggak dapat juara di kelas, asal jangan sampai nggak naik kelas.” Jadi, ia bisa santai-santai saja.

Tapi yang namanya ibu, pasti tidak akan membiarkan anaknya menjadi bodoh selamanya. Saat Raka masih berpacaran dengan Tara dulu, perempuan itu bukan hanya jadi patner membuat kue di rumah ini tapi juga guru lesnya secara cuma-cuma. Beruntunglah Tara sudah terbebas darinya.

“Mami merasa kehilangan Tara karena nggak ada temen bikin kue atau karena malu lihat nilai Raka, nih?”

“Dua-duanya! Kamu semenjak putus sama Tara jadi malas belajar,” gerutunya.

Gimana gue bisa santai-santai aja kalau Tara jadi sekretaris di kelas yang kerjaannya bantuin guru masukin nilai? Belum lagi dia jadi mata-mata mami.

Beruntunglah mereka sudah putus.

“Kamu mau mami daftarin les?” tawar Kiera.

Kontan saja Raka menggeleng. “Makasih atas perhatiannya, Mi, mending uangnya kita kasih ke yang lebih membutuhkan,” tolaknya.

Kiera memukul lengan anaknya menggunakan majalah di tangannya. “Kamu juga butuh ilmu!”

Raka menghindari serangan Kiera. “Iya, Mi, iya, nanti Raka belajar. Ampun.”

“Mami serius, lho, ya! Kamu harus bawa Tara secepatnya!”

“Kalau nggak?”                                  

“Mami marah sama kamu.”

[]

Tara fokus pada bukunya, berusaha memecahkan soal induksi matematika yang diberikan Bu Nia minggu lalu. Sudah dua jam Tara duduk di kursi itu dan ia baru mengerjakan dua puluh lima dari empat puluh soal. Berkali-kali ia mencoba fokus namun notifikasi dari Twitter membuat Tara melirik ponselnya. 

Udah lama gak buka Twitter, pikirnya.

Ternyata Kaila mulai mengikutinya. Karena penasaran Tara membuka profil milik @Kai_lala, tweet terakhirnya masih dua puluh menit yang lalu, sebuah quotes yang diakhiri mention ke Twitter milik @AzrakaTasena, yang dibalas; “Iya, Sayang”.

Tara menghela napas, ia menyentuh ikon  followback. Lalu kembali ke linimasa, membaca tweet teman-temannya—termasuk Raka yang kerap kali saling berbalas mention dengan Kaila. Mereka tak segan mengumbar kemesraan hingga teman-teman Raka pun ikut berkomentar. Ia beralih pada notifikasi dan membalas beberapa mention yang masuk.

“Dek,” Eva tiba-tiba membuka pintu kamar Tara, lalu masuk dengan membawa paperbag Richeese kemudian menyimpannya di sebelah tumpukan bukunya di atas meja belajar. “Nih, om Arsen bawain Richeese, cepat makan jangan sampai telat.”

Tara hanya menoleh sekilas, kemudian kembali memainkan ponselnya. “Makasih buat om Arsen.”

“Iya.” Eva mengelus puncak kepala Tara sebelum keluar dari kamar.

Tara hanya melirik plastik tadi lalu kembali mengerjakan soal.

Ponselnya lagi-lagi menyala, membuat Tara mengerangkan kesal. Susah sekali untuk konsisten pada tugasnya. Pop up chat muncul dari layar, Raka penyebabnya.

Raka : Jgn telat makan.

Tara menaikan sebelah alisnya. Sebelum ia membalas, Raka sudah mengirimkan pesan lagi.

Raka : Salkir, sori.

Tara memutar matanya malas.

Tara : Iy.

Raka : Tapi kalo lo emg blm makan, cpet makan, gue liat d TV obat lambung jadi mahal.

Tara : Sip.

Raka : Mana makasihnya?

Tara : ?

Raka : Krna gue udh ngingetin lo makan.

Tara : Trims.

Raka : Better, drpd tq.

Tara : Receh lo.

Raka : Makasih:))

Kemudian Tara membuka papperbag makanan tadi dan mulai memakannya. Bukan karena ia menuruti perintah Raka, namun ia baru ingat kalau punya penyakit lambung. Iya, terima kasih juga pada Raka yang mengingatkannya mengenai harga obat lambung. Ia mulai menggigit fire wings-nya dan menyuapi nasinya bergantian sembari bertukar pesan dengan Karina lewat W******p.

Karina : Lo se-followan sma Kaila?

Karina : Muncul di beranda.

Tara : Dia follow duluan.

Karina : Sengaja itu, biar lo liat tweet dia buat Raka tiap hari.

Tara : Gpdl.

Karina : Mute aja, Tar tweet-nya.

Tara : G perlu.

Karina : Ksel gue ama tu cewe lama².

Tara : Nnti jga putus.

Karina : Nah bner, yg pamer mh beda, WKWK.

Tara : Ghibah mulu lo.

Karina : Kepancing, Bu.

Tara menggeleng pelan. Dari awal Karina memang mendukung sepenuhnya ia move on dari lelaki itu. Karina seperti alergi pada Raka sejak mereka putus. Terlebih saat Tara memberitahu bahwa Raka sudah punya pacar baru si anak sebelah. Perempuan itu bahkan tak sungkan menatap sinis jika mereka bertemu. Katanya, “Gue bakal ada di paling depan saat dia deketin lo lagi.” Padahal, Tara juga belum tentu mau-mau saja didekati kembali oleh lelaki itu.

“Lo tuh kadang lemah masalah beginian, Tar. Kayak... terlalu gak enakan. Selalu berpositif thinking. Padahal judesin aja lagi orang macem dia! Udah gak punya urusan ngapain coba minta anter beliin kado buat pacarnya? Gak punya malu dia!” serunya saat Tara bercerita mengenai minggu lalu sebelum mereka masuk sekolah. 

“Selemah itu gue? Itu kan karena dia maksa, Na, pas ke rumah mbak Sarah, sekalian katanya. Dari pada gue gak dianter balik,” kilahnya.

“Atau jangan-jangan lo masih suka sama dia?” Karina memicingkan matanya curiga.

“Gila kali lo, ya!” Tara memalingkan wajahnya ke sembarang arah. Tentu saja tidak mungkin.

Notifikasi Twitter dapat Tara lihat dari notifikasi bar, ada DM masuk dari Kaila.

@Kai_lala : Thank u, Tar.

Ia memilih tidak membalas. Mulai merapikan sampah makanannya dan membuangnya ke dapur. Ia melihat Dio yang duduk di meja makan sembari memainkan gelas yang airnya sisa setengah.

“Belum tidur?” tanya-nya.

Dio menoleh sekilas. “Lo lihat gak mata gue merem?”

Mendapat jawaban sarkastik itu membuat Tara menoyor pelipis adiknya. “Sopan lo begitu?”

“Iya, Adek,” sahutnya menyebalkan.

Tara memilih tak meyahut, setelah mencuci tangannya ia bersiap kembali ke kamar untuk merapikan bukunya.

“Tar?” panggil Dio.

“Apa? Butuh lo sama gue?” tanya-nya.

Terdengar dengkusan kasar dari lelaki itu. “Soal kepindahan gue ke Makassar, gue serius nggak mau,” katanya. “Gue juga nggak nyuruh lo gantiin gue. Kita nggak harus hidup terpisah dan nurutin kemauan papa kan? Selama ini juga dia fine-fine aja nggak ketemu kita bertahun-tahun.”

Tara menghela napas kasar. Dio benar. Selama ini yang berjuang bersama mereka hanya ibu. Kiriman uang dari sang ayah memang lebih dari cukup untuk mereka, namun, tentu tidak dengan seluruh kebutuhan rumah. Di telepon yang ayahnya tanyakan hanya seputar ‘gimana sekolah?’ atau ‘apa yang membuat kalian semangat belajar akan papa bantu’. Ia tahu Dio sangat tak acuh pada sang ayah, lebih memilih diam dan menyimak, lalu menurut jika diberi perintah.

“Kenapa lo nggak mau pindah ke Makassar?” pada akhirnya Tara menanyakan hal itu.

“Kenapa harus pindah?”

Perempuan itu memilih duduk di seberang Dio dengan kernyitan jelas di dahinya. “Lo nggak mau tinggal sama papa?”

“Buat apa susah-susah tinggal sama orang yang bahkan nggak kita kenal dan harus beradaptasi di lingkungan yang jauh berbeda dari tempat kita saat ini?”

[].

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status