Share

BAB 4 : Satu Kelas

Hari pertama masuk sekolah tahun ajaran baru adalah hal yang dinanti para siswa Adipura. Mereka akan bertemu dedek-dedek gemes baru puber yang masih berseragam sekolah asal karena masih dalam masa orientasi, lengkap dengan atribut yang sudah ditetapkan oleh pihak sekolah dan pengurus OSIS. Termasuk Karina, teman sejoli Tara itu memaksanya ikut berdesak-desakan di kantin agar bisa melihat dedek gemes jogan, alias jomlo ganteng.

Keduanya beruntung sudah mendapat tempat duduk di tengah ramainya kantin. Tara sangat khusyuk menikmati mie goreng pedas dan segelas es teh manisnya, berbanding terbalik dengan Karina yang justru tak melirik nasi gorengnya sama sekali sejak mang Ujang mengantarnya ke meja mereka. Perempuan berkucir kuda itu sibuk menyapukan pandangan ke seisi kantin. “Arah pukul dua, Tar,” bisiknya.

Sontak saja Tara mengikuti intruksi Karina, yang sialnya di arah pukul dua itu juga ada Raka dan Kaila yang sedang tertawa di tengah ramainya kantin.

“Cakep banget, ya? Tapi kayaknya sih udah punya gandengan. Menurut lo, gimana?” ujar Karina sembari melirik temannya.

Setelah sabtu malam lalu mereka berpisah di pintu pagar rumah Tara dengan ia yang serius mengatakan kalau Raka harus menjaga perasaan pacarnya, lelaki itu tidak lagi mengiriminya pesan singkat sekadar modus salah kirim atau dapat broadcast dari grup keluarga.

Tara masih ingat dengan jelas, saat dua bulan lalu di hari jadi mereka yang ke tujuh bulan, Raka memutuskan hubungan mereka dengan alasan sudah tidak memiliki rasa. Ia tersenyum tipis, padahal sebelumnya mereka tidak memiliki masalah apapun. Atau mungkin hanya dirinya yang merasa hubungan mereka baik-baik saja? Lelaki memang seperti itu, ya, membuat perempuan seolah-olah berada di posisi spesial, lalu mengatakan ‘selesai’ tanpa rasa bersalah.

Well, gue benci, nih, kalau udah dikacangin begini. Lo merhatiin cowok yang gue maksud, atau merhatiin Raka sama Kaila yang lagi haha-hihi kayak di sinetron India?”

Tara mengentakan sendoknya, membuat suara besi dan mangkuk beradu, mengundang beberapa pasang mata menatap ke arah mereka. “Brondong lo oke. Gue rasa udah ada gandengan. Dari mukanya aja udah kelihatan bajingan. Cari yang lain aja.”

Karina berusaha keras agar tidak menyemburkan tawanya. Ia mengangkat sebelah alisnya. “See? Lo lagi analisis Raka?”

“Ngaco lo.” Tara menatap Karina dengan malas. “Cowok yang bawa jus jambu ‘kan? Yang lagi jalan ke arah kita?”

“Gue kira lo lagi merhatiin Raka.”

Sekilas. “Gak penting banget.”

“Emang mereka tuh jadian kapan, sih, Tar?” tanya Karina kepo. Ia akhirnya mulai mengabaikan adik kelas berseragam SMP itu dan menikmati nasi gorengnya.

“Tanya aja sama yang bersangkutan,” sahutnya.

“Emang lo gak tahu?”            

Kini, Tara menatap temannya dengan heran. Lagi pula...

“Serius lo gak tahu?” tanya-nya lagi sembari memegang lengan Tara.

Lagi pula, “Buat apa juga, sih, gue tahu? Gak penting banget.” Tara balik bertanya. Ia melepas cekalan Karina dan meneguk es teh manisnya dengan santai.

“Justru itu! Kalau ternyata mereka jadian pas Raka masih jadi pacar lo, artinya dia selingkuh, Tar! Selingkuh!”

Tara kembali memerhatikan Raka dan Kaila yang keluar dari kantin dengan mangkuk bakso dan minuman dingin di atas nampan. Kemudian, ia tersenyum tipis. “Itu urusan dia, sih.”

Pengendalian diri yang baik.

Karina menggeram marah. Tara selalu bisa bersikap tenang padahal diam-diam perempuan itu bergelut dengan isi pikirannya. “Seriously, Tar?”

“Itu cuma praduga aja, kan?” Tara menatap Karina dengan dahi berkerut. “Ya udahlah, Na. Toh, kami udah putus.”

“Dia tuh, sok kegantengan tahu, gak?! Dia pikir dia siapa? Selebgram?!”

[]

Kaila menghela napas berat, menatap mading dengan malas setelah mengetahui bahwa ia tidak sekelas dengan Raka, melainkan dengan Tara dan Karina. Ia berjalan lesu ke arah pacarnya yang berdiri menyandarkan tubuhnya di tiang koridor, agak jauh dengan mading di mana Kaila berdiri.

“Gimana, sayang? Kok cemberut gitu?”

“Kita gak sekelas. Aku malah sekelas sama Tara dan Karina. Bisa ditukar aja nggak, sih?" rengeknya.

“Serius? Kok bisa gitu, ya.” Tidak pernah terpikir sebelumnya oleh Raka kalau Kaila berpotensi satu kelas dengan Tara dan Karina di kelas unggulan. Ya, tadi pagi Raka sempat mendengar pembicaraan kedua perempuan itu, mereka menetap di XI IPS 1.

“Gak tahu, deh.” Kaila mengangkat bahu malas.

“Ya udah, ke kelas, yuk. Lagi pula kelas kita cuma terhalang tiga kelas kok.” Raka merangkul bahu Kaila menaiki anak tangga untuk sampai di koridor kelas sebelas.

“Gak mau sekelas sama mereka, Kaaa.”

“Masing-masing aja, Kai. Mereka juga gak mungkin jahatin kamu, kan?”

“Ya... nggak, sih.” Tapi tetap saja kan, rasanya aneh.

Beruntungnya di kelas XI IPS 1 ini Tara sudah mengenal sebagian besar siswanya, lebih mudah untuk bergabung. Terlebih lagi ia kembali satu kelas dengan Karina. Mereka memutuskan untuk duduk di barisan pojok kiri kedua, dekat dengan pintu. Tipikal murid yang cari aman.

Suasana kelas yang belum kondusif karena guru pun sibuk membantu acara masa orientasi di hari pertama, kelas pun jadi gaduh sibuk dengan berbagai macam kegiatan, Tara mengajak Karina untuk keluar sebentar sebelum bel masuk. Namun, di luar kelas ternyata mereka menemukan Raka dan Kaila yang sedang berbincang.

“Aku ke kelas, ya. Nanti istirahat langsung aja ke kantin,” ujar Raka lalu mencubit pipi Kaila.

“Oke, Sayang.” Kaila berusaha tersenyum.

“Jangan cemberut gitu, dong.”

Kaila melebarkan senyumnya hingga matanya menyipit.

“Nah, gitu, dong. Bye!” serunya sembari melangkah ke kelasnya.

Tara yang melihat itu menghentikan langkahnya. Dulu, kalau Raka mencubit pipinya seperti itu ia akan memarahi lelaki itu lalu bilang, “Apa, sih? Cubit aja pipi lo sendiri!”

Kaila tak bisa menyembunyikan rasa kagetnya saat menemukan Tara dan Karina berdiri di belakangnya.

“Hai, IPS 1 juga, ya?” sapa Tara seolah tak melihat kejadian tadi.

“Um... iya. Gue masuk duluan, ya,” ucap Kaila yang diberi anggukan kecil oleh Tara.

Karina mengernyit jijik. “Coba aja kalau dia pamer kemesraan di depan lo, gue bakal jadiin dia ayam geprek.”

Tara tertawa mendengarnya. “Kok serem, ya.”

[]

“Gue udah mencium bau-bau gak enak, nih,” ujar Tian pada Jaffar, karena Raka sibuk dengan ponselnya, sementara Nando mengantri di stand bakso.

“Apalagi? Awas aja, ya, gak penting.” Jaffar malas menanggapi Tian, ia sedang lapar saat ini.

Tian menjentikkan jarinya. “Raka lagi dilanda hujan.”

Mendengar namanya disebut, Raka menoleh. “Apaan?”

“Tuh, kan, si anjing mah gak jelas.” Jaffar mengibaskan tangannya di udara.

Raka tak mengacuhkan. “Lagi laper jadi tolol ni anak.”

“Ka, Tara satu kelas sama Kaila, ya?” tanya Nando yang baru saja bergabung dengan ketiganya sembari membawa nampan berisi bakso dan es teh.

Mendengar itu, Jaffar yang langsung meneguk esnya tersedak. “Serius lo, Ka?”

Raka pura-pura tak mendengar, ia sibuk mengaduk mangkok baksonya.

“Ini yang gue maksud! Raka sedang dilanda hujan, hujan kegalauan. Gimana mau modusin Kaila ke kelasnya kalau ternyata ada Tara yang selalu ada," ujar Tian yang ada benarnya.

Emang bangsat mulutnya si Tian, umpat Raka.

“Cuek aja, sih, gue tahu betul kalau Tara gak bakal macem-macem.” Perkataan Jaffar sedikit membuat Raka sedikit lega.

“Tapi temennya!” seru Nando. “Lo tahu sendiri ‘kan, macem-macem sama Tara sama aja minta ditendang pake jurus taekwondo andalan Karina.”

Jaffar menggeleng cepat. “Gak usah dengerin mereka, gak ada hubungannya sama Karina. Lancarkan modus lo!” katanya dengan dukungan penuh.

Sebenarnya Raka juga memikirkan hal itu. Ia merasa tidak enak pada Tara jika sering bertemu Kaila di depan kelas perempuan itu, ia masih menghargai hubungan mereka yang baru beberapa bulan lalu berakhir.

[].

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status