...Malini memiliki niatan untuk pergi ke toko Nyonya Ong. Sebuah toko pakaian yang menjual pakaian-pakaian Cheongsam dan kain sutera dengan kualitas yang baik.Jelang Tahun Baru Cina biasanya orang-orang akan menyiapkan beberapa pakaian khas itu karena relasi dan beberapa saudara yang merayakannya.Memeriksa tudung saji besar di ruang makan. Beberapa makanan berat kesukaan anak-anak dan suaminya sudah tertata rapi di atas meja. Sementara sarapan pagi mulai dari singkong, roti, susu hangat dan teh jahe rempah juga tersaji di sisi meja lainnya.Anak-anaknya tentu belum terbiasa untuk memakan makanan yang bisa dibilang mewah. Berbeda dengan Leon yang memang setiap pagi ingin disiapkan sarapan roti bakar atau roti oles selai dengan susu hangat.Kanaya dan Suma lebih suka kolak singkong, singkong rebus ataupun singkong goreng dengan teh tawar hangat. Sebuah kebiasaan semenjak dulu ketika mereka masih pada masa-masa sulit."Mbak, nanti kalau Mas Chandrakanta dan Nyonya Soraya pulang tol
..Pria dengan rambut pendek dan tipis ala tentara itu duduk di tepian ranjang. Menghalangi nafas sebentar untuk kemudian berjalan pelan menuju dapur dan membuat kopi durian.Tak butuh waktu lama secangkir kopi durian nikmat rasanya di atas meja. Asapnya masih mengepul. Menyesapnya dengan perasaan yang tak bisa dijelaskan. Ia sepertinya masih nampak bahagia mengenang pergumulannya dengan seorang wanita yang dicintainya kemarin malam.Telepon genggam berdering. Si pria mengangkatnya walau ada rasa enggan yang tercetak jelas di wajah tampannya.[Iya ... ada apa?]Wanita dari seberang sana mengeluarkan suara yang begitu rapat, cepat dan panjang. Membuat telinga si pria berdenging dan mengembuskan nafas kasar.[Bisa tidak bicaranya pelan-pelan? Mas baru saja bangun.][Ada Malini, Mas. Di sini Ibu sedang ....]Ucapnya tak selesai karena otak pria itu langsung bekerja dengan cepat dan sempurna ketika mendengar nama Malini. Ya ... Malini adalah sebuah mantra baginya.Bergegas si pria mandi.
.."Mas Moko! Apa yang lakukan? Lepaskan Mas!""Kamu harum sekali Malini sayang. Ayo ... Jangan kemana-mana. Jangan berlari dari dekapan Mas," ucap pria itu masih memeluk Malini erat. Diciuminya rambut Malini yang halus."Lepaskan, Mas. Mas benar-benar menjijikkan.""Mas mencintaimu, Malini. Apa kamu tahu itu?""Saya ndak suka Mas yang seperti ini. Dan mengapa Mas bisa menggunakan parfum yang sama dengan Mas Chandrakanta?" tanya Malini dengan suara yang bergetar."Mas ada di sini. Jangan takut. Mari sini. Tetaplah berada dalam pelukan. Mas Mas janji tidak akan terjadi apapun," ucap Moko dengan binar mata yang tak bisa dijelaskan.Biasanya Malini merasa nyaman berada di sebelah kakak iparnya karena merasa terlindungi. Tapi berbeda kali ini, ia merasa terancam. Moko bagai sebuah bahaya dan Malini adalah mangsanya."Mengapa Mas bisa ada di sini? Pergilah! Saya tidak ada urusannya dengan, Mas ucap Malini lalu mencoba untuk pergi. Tangan Moko direntangkan sedemikian rupa menghalangi wani
..."Harus melihat jejak itu dengan tulus. Bagaimana aku harus menemukan jejak itu?" tanya Chandrakanta."Ya ... Tuhan apa yang harus aku lakukan? Bantulah aku!" pinta Chandrakanta sambil menekan tombol whisper agar air hujan yang turun tidak begitu menghalangi pandangannya."Benda apa yang nampak berkilauan itu?" Chandrakanta melihat sesuatu berkilau di tengah-tengah jalanan yang tersiram air hujan. Bagaikan pelangi yang berada dalam campuran minyak."Mungkinkah itu jejak yang ditinggalkan mobil Malini?" "Tidak ada salahnya aku mencoba mengikuti jejak-jejak itu!" Siapa tahu bisa membawaku kepada Malini. Dikendarainya mobil dengan perlahan. Membawanya pada jalanan beraspal besar meninggalkan area pasar. Lalu masuk ke sebuah daerah yang jalannya lebih kecil."Sepertinya aku tahu daerah ini. Apa mungkin Malini sedang berada di villa Praya? Tapi mungkin saja. Mungkin dia ada di sana. Praya menghadiahkan villa itu untuk pernikahan kami. Malini sudah memegang kuncinya. Bukan tak mungk
...Pitaloka Hanya tinggal menunggu Mak Pikat menyelesaikan semedinya. Hari itu adalah hari terakhir di mana ia akan mendapatkan susuk pemikat yang akan ditanam pada beberapa titik di tubuhnya.Setelah memberi tanda Pitaloka masuk ke sebuah ruangan rahasia. Langkahnya membuat kayu tua berderit. Pintu dibuka. Mak Pikat tak tersenyum sedikitpun. Walau begitu tak mengurungkan niat Pitaloka untuk menyelesaikan ritual setelah melewati rangkaian panjang berhari-hari sebelumnya."Apa kau begitu tak sabar dan tergesa-gesa, Pitaloka?" tanya Mak pikat dengan suara yang sedikit berat.Pitaloka tersenyum malu. Ia duduk bersimpuh di depan Mak pikat sementara bibir mungilnya terus saja melafalkan sesuatu."Saya mohon, Mak, selesaikanlah ritual pemasangan susuk ini agar....""Agar apa Pitaloka?" Tanya Mak pikat suaranya menggema membuat burung-burung yang ada di sekitar gubuk itu beterbangan tak tentu arah."Aku sudah mengorbankan Paramita. Harusnya Mak paham apa yang menjadi timbal balik dari it
...Sepeninggal Pitaloka, Tasha membulatkan tekad untuk pergi ke rumah Mak Pikat-- tempat bibinya tinggal. Ia memasukkan beberapa potong pakaiannya dalam tas punggung merah muda yang selalu dikenakannya ketika sekolah. Menutup pintu lalu meletakkan kunci di bawah pot tanaman tempat biasa ibunya meletakkan kunci ketika pergi dari rumah.Tasha menunggu angkutan umum. Ia memang sudah terbiasa diajak ke rumah Mak Pikat, tapi memang biasanya pergi bersama ibunya. Baru kali ini anak perempuan itu pergi sendirian tanpa didampingi ibunya. Untungnya ia bisa tiba dengan selamat ke rumah Mak Pikat.Tasha naik ke tangga dengan kaki yang gemetar karena sejak pagi belum makan. Menangis memanggil nama Paramita.Prayogi dan Mak Pikat yang membukakan pintu terkejut ketika melihat anak kecil itu menangis mencari bibinya."Masuklah sayang ... jangan menangis. Bibimu ada di dalam," ucap Prayogi mengulurkan tangan untuk menuntun Tasha.Tasha memandangi Prayogi tak berkedip. Dipikirnya pria yang sudah me
***Chandrakanta membimbing Malini berjalan menuju ke mobil. Wanita itu hampir saja menabrak tiang pancang villa yang berukuran lumayan besar. Suaminya terkekeh dibuatnya."Apakah kamu benar-benar tidak bisa berjalan, sayang?" Chandrakanta menggoda. Malini tersipu malu-malu, mencubit lengan suaminya begitu manis lalu bergelayut di lehernya dan mendaratkan sebuah kecupan kecil."Apakah kita harus bermalam di villa ini lagi?" tanya Chandrakanta dengan tatapan yang tak kalah menggoda."Sebenarnya saya ingin. Tapi kasihan anak-anak.""Jika kamu mau menginap di sini satu malam saja. Kita akan pulang esok pagi-pagi sekali bagaimana ?""Tidakkah berdua saja di dalam villa besar ini sedikit menakutkan, Mas?""Ya, memang ada banyak hewan buas di luar sana. Tapi bukankah ada Maas yang menemanimu. Untuk apa kamu merasa takut?""Bagaimana dengan anak-anak?""Mas bisa minta tolong Yuvati untuk menemani anak-anak kita atau Mbok Giyem, biar sekalian diajak menginap ke rumah. Biar ramai. Lagi pula
***Chandrakanta menutup semua tirai lalu menyalakan tungku perapian membuat keadaan di sekitar kamar menjadi hangat. Malini meringsek masuk ke dalam selimut dan merasakan kalau tubuhnya sangat lelah. Ia menikmati pemandangan plsuaminya yang tengah berada di dekat perapian. "Mas ... Mas belum menjawab pertanyaan saya tadi."Malini kembali mengingatkan. Chandrakanta duduk di tepian ranjang sambil menghela nafas."Mas sebenarnya tidak begitu paham. Mas hanya diminta Yuvati untuk bertemu Soraya dan mengajaknya ke danau yang ada di belakang rumah.""Lalu ?""Ya ... Mas bertemu Soraya. Kami mengobrol sambil mendayung. Begitu saja ....""Hmm ....""Kamu cemburu?""Tidak, Mas. Hanya ....""Hanya apa?""Takut!""Takut?""Hu--ummm. Saya takut Ndak bisa akur sama Soraya. Soraya terlihat berbeda dari Mbak Yuvati ataupun Mbak Rania.""Kenapa kamu berpikiran seperti itu?""Ya ... Entahlah. Hati saya mengatakan seperti itu. Apalagi Leon bilang kalau mamanya tak menyukai saya ....""Jangan diambil