Walimah, Suhita, Prabawa tertunduk lemas karena sesuatu seolah terkirim dalam hitungan detik saja setelah Jampang memberitahukan keadaan Malini yang tersiksa dan sekarat karena ulah ketiga orang itu.Tentu saja Chandrakanta tidak akan pernah rela jika calon istri kelimanya, wanita yang amat ia sayangi dan ia gandrungi, terluka atau lecet sedikitpun.Berulang kali ia mewanti-wanti agar tidak boleh seorangpun menyakitinya. Tapi seolah ingin bermain-main dengan murka. Baik Prabawa, Suhita dan Walimah seolah tak mengindahkan larangan itu.Salah siapa jika ketiganya saat ini tergantung di dinding seperti laba-laba yang menempel erat dengan jari jemari yang terbalik, leher yang setengah tercekik dan bola mata yang hampir membelalak keluar. Wajah ketiganya pun sudah berubah menjadi keunguan. Bibir pucatnya hanya lamat-lamat meminta maaf memanggil-manggil nama Chandrakanta dan Malini.Jampang bergidik ngeri, seolah menyaksikan drama ulang adegan ketika dirinya sekarat beberapa jam lalu. "Beg
***Perawat bertubuh mungil itu mengganti baju seragamnya. Mengenakan celana bahan dan kaos berwarna terang. Tak lupa mengenakan jaket berbahan dasar jeans yang tebal, mengenakan helm lalu berpamitan kepada beberapa orang teman sejawatnya yang juga berada di parkiran belakang rumah sakit Istimewa itu.Tak lama setelah menstarter motor tua yang didapat dari peninggalan ayahnya, ia menyusuri jalan dengan sebuah perasaan yang gamang."Beruntung ... sekali wanita itu!" ucapnya lirih. Entah siapa yang dibicarakannya.Tiga puluh menit kemudian. Perempuan berambut panjang lurus itu, tiba di sebuah rumah sederhana yang disewanya bersama seorang kakak perempuannya.Mematikan motor, membuka helm lalu membawa motor tua itu pada sebuah ruangan yang lusuh. Selusuh wajahnya. Kemenakan perempuannya mengulurkan tangan, meminta oleh-oleh. Namun, wanita muda itu seolah lupa."Maaf sayang, bibi lupa membeli oleh-oleh buat kamu. Biarkan bibi istirahat, ya. Tasya main saja dulu sama teman-teman. Nanti sor
***Rapal mantra kematian yang dilafazkan oleh Chandrakanta masih terasa menusuk-nusuk. Seperti duri-duri tajam yang melekat erat dari kulit menembus hingga tulang. Membuat ketiganya hampir saja kehilangan nyawa.Masih amat terasa, walau sedikit demi sedikit mulai berkurang. Dan tentu saja ada sebuah tanda yang membekas seolah menjadi pengingat, bahwa segala sesuatu yang dilontarkan oleh juragan misterius itu harus diindahkan."Apa kalian baik-baik saja?" tanya Suhita masih dalam posisi tertelungkup dengan wajah menempel erat pada lantai yang dingin."Ibu ... ibu ... ibu ... tolong aku ibu ...." ucap pria bungsu keluarga Suhita yang amat sangat disayangnya."Oh ... anak kesayangan ibu. Apakah kau baik-baik saja, Nak? "Tentu aku tidak baik-baik saja, Bu. Aku rasanya ingin mati!" teriak Prabawo tak kalah tersiksanya dari Suhita dan Prabawa.Walimah pun mendapati sekujur tubuhnya masih terasa panas seolah terpanggang dalam kobaran api yang sangat hebat."Ah, beginilah kalau kita bermain
***Kalimat-kalimat yang dilontarkan Chandrakanta di rumah sakit tadi membuat Moko memikirkan banyak hal. Termenung-menung ia dibuatnya. Bayangan wajah Malini pun tak henti menari-nari. Ada banyak penyesalan dan juga rasa bersalah."Apakah aku dulu kurang memperjuangkannya sehingga Malini menderita hingga detik ini? Mengapa aku menyerahkannya kepada Prabawa. Memang ia adikku. Tapi seharusnya tak kuserahkan Malini karena akulah yang amat sangat tahu Prabawa itu pria yang seperti apa."Saat itu mungkin sudah hampir malam. Moko tak langsung pulang ke rumah. Ia memutar-mutarkan mobil putihnya di beberapa tempat yang menorehkan sebuah kenangan tersendiri baginya dan Malini."Malini terlalu baik. Terlalu malang dan rasanya tidak pantas untuk diperlakukan seperti itu. Namun, entah mengapa setiap Prabawa dan ibu memperlakukannya dengan tidak baik, aku hanya bisa membuang muka. Bodohnya diri ini!" geram Moko dihisapnya cerutu dalam-dalam lalu dihempaskan.Telepon genggamnya berdering. Terdenga
***Memang belum terlalu banyak memori yang Chandrakanta torehkan bersama Malini. Ia sebenarnya enggan untuk meninggalkan calon istri ke limanya itu. Namun, ketika istri pertamanya memberitahu bahwa Soraya sudah pulih dan menanyakan di mana keberadaan dirinya, ia harus segera pulang ke kediaman istri keempatnya."Pulanglah, Mas, nanti Malini biar saya dan Rania yang menjaganya."Chandrakanta tak menjawab. Diam untuk beberapa detik berpikir. Apakah ia harus tinggal bersama Malini atau datang berkunjung ke kediaman Soraya."Sudah lama Mas tak menjenguk Soraya. Kasihan dia," terang Yuvati lagi."Baiklah aku akan ke sana setelah kau tiba di sini. Tapi berjanjilah untuk menjaga Malini dengan baik!""Jangan khawatir Mas, saya akan menjaga dia dengan baik seperti saya menjaga Mas. Tiga puluh menit lagi akan sampai di sana. Saya harus mampir sejenak memeriksa perkebunan," ucap Yuvati seraya menutup sambungan telepon.Warna wajah Malini yang sudah mulai berubah. Tak pucat dan tak sayu lagi. Me
...Soraya duduk dengan anggun dengan rok lebar berwarna putih dan atasan dengan kra sabrina yang dihiasi bordiran bunga. Selalu mengembangkan senyum melihat kedatangan Chandrakanta. Beatrix membawakan Baki berisi dua buah teh chamomile. Teh yang sudah lama tak Chandrakanta minum ketika tengah berkunjung ke kediaman Soraya."Terima kasih, Beatrix," ucap Soraya tersenyum memandang Beatrix penuh arti."Mas pasti lelah sekali," ucap Soraya lalu menyongsong cangkir keramik berukir tinta emas di beberapa sisi.Menyeruput teh chamomile dengan penuh kenikmatan. Bulu mata lentik pirangnya terlihat membuka dan mengatup ketika mata birunya tak lepas memandangi Chandrakanta."Oh ayolah sayang, aku takkan pergi kemana-mana. Bisakah kau lepaskan pandangan matamu yang indah itu," ucap Chandrakanta. Soraya terkekeh sudah lama ia tidak merasakan kehangatan suaminya.Chandrakanta menghargai Soraya yang sudah berubah. Mungkin karena memang keinginan hatinya atau karena memang Rapal Mantra linglung ya
...Tubuh mulus Soraya melengkung bagai busur indah nan menawan. Chandrakanta tersenyum. Begitu tampan dalam pandangan mata isteri keempatnya itu. Soraya sedang mempersembahkan sepasang dada yang menantang indah untuk Chandrakanta. Tubuh wanita itu bergetar dan mengerang hebat ketika Chandrakanta bermain-main di atas sesuatu yang berwarna merah muda.Berulang kali seperti itu. Menghisap, mengulum, memberi gigitan kecil. Soraya tak tahan dan tak henti mendesah dan menarik rambut pria yang ada di hadapannya."Apa itu nikmat?" bisik Chandrakanta berusaha untuk untuk menggoda.Soraya tak sempat menjawab. Sensasi yang diberikan membuat ia kehilangan nafas. Tubuhnya masih melengkung. Mungkinkah sedang menikmati sebuah perasaan yang tiada tara. Makin terlihat tak sabar. Kejantanan yang tegak dan kokoh itu mulai di main-mainkan lagi. Ganti Chandrakanta yang mengerang memejamkan mata membuat Soraya merasa senang.Ketika tonggak perkasa itu mulai bergetar tak hanya pemiliknya saja yang bersi
...Chandrakanta terbangun dari tidur nyenyaknya saat tiba-tiba saja ponsel yang ia matikan menyala. Ada banyak panggilan tak terjawab dan juga beberapa pesan masuk.Dengan mata yang masih mengantuk dan tubuh yang lelah, Chandrakanta meraih benda itu, lalu mengernyitkan dahi saat membaca pesan dari Rania dan Yuvati.[Mas kamu sedang apa? Kamu berjanji untuk pulang. Saya dan Rania menunggu Mas di sini! Malini keadaannya kritis saat ini.]Chandrakanta meremas telepon genggamnya. Melirik pada jam dinding di sudut ruangan yang sudah menunjukkan pukul dua malam. Merasa bersalah tentu saja. Tak tahu bagaimana ia akan menghadapi kemarahan Yuvati dan Rania karena sudah meninggalkan Malini. Padahal ia sudah berjanji untuk pulang selepas isya.Chandrakanta menarik nafas panjang sambil memandang wanita berambut pirang yang tengah tertidur tanpa sehelai benang pun di sebelahnya. Gara-gara sesuatu yang dimasukkan Soraya ke dalam teh chamomile, membuat Chandrakanta larut dalam gairah yang tak ter