Melihat raut wajah Cassandra, membuat Marco merasa semakin penasaran. Lelaki itu merebut lembaran kertas itu dari tangannya dan melihatnya sendiri.
“Tes urine bla bla bla negatif,” lirih Marco. Tak ada hal lain yang ingin diketahuinya lagi. Ia melipat kembali lembaran kertas di tangannya.Tepat saat itu, Cassandra merasakan cairan keluar dari bagian intimnya. Spontan ia menatap lelaki di hadapannya dengan mata membulat.“Sudah, Om. Tamunya sudah datang,” lirihnya dengan malu-malu.Marco bernapas lega. Setidaknya semua hal buruk yang hinggap dalam pikirannya tidak pernah terjadi.Lelaki itu tersenyum lega. Dicubitnya pipi keponakannya itu dengan gemas. Semua rasa ketakutan selama beberapa hari ini, lenyap dalam seketika.“Mulai sekarang, kamu harus menandai dengan benar kalendermu,” saran Marco. “Kamu sudah besar. Harus bisa merawat dan menjaga diri sendiri.”Cassandra mencebik kesal. “Kenapa? Om takut kalau bayi i“Menjauhlah, jika ada perempuan di dekat Om.” Tiba-tiba saja Marco seperti mendengar suara Cassandra. Ia membuka matanya. Betapa terkejutnya dia, ketika melihat Cassandra berada di hadapannya.“Tidak!” Tanpa sadar, Marco menepis tubuh Micha yang terlihat seperti keponakannya, hingga gadis itu terguling di sebelahnya. Micha menatapnya dengan heran. Baru kali ini ia mendapatkan perlakuan kasar dari seorang pria. “Om, ada apa? Apa ada yang salah?” tanya Micha masih keheranan. Padahal ia merasa sangat yakin bahwa pria yang menjadi kencannya ini sudah berhasil ia taklukkan. Tinggal sedikit lagi, dan semua urusannya beres. Marco memijat keningnya yang terasa berdenyut. "Maaf … maaf. Sepertinya aku kurang fit hari ini. Perjalanan jauh dan urusan pekerjaan membuatku benar-benar kelelahan,” akunya. Micha tersenyum. Ia menyentuh perut berotot lelaki di sampingnya, mencoba untuk merayunya kembali."Kalau Om kelelahan, Micha bisa pijat Om dulu," tawarnya dengan kerlingan yang menggoda. "Jang
Marco mengerjapkan matanya. Ia benar-benar tak bisa mempercayai apa yang dilihatnya. Gadis itu sedang berbaring di ranjangnya. Wajahnya pucat tanpa polesan make up sedikitpun. “Jadi … kamu beneran di rumah?” tanyanya tak percaya.“Dih! Memangnya aku mau kemana pagi-pagi gini?” sahut gadis itu tak mau kalah. “Ah … Sandra tahu deh. Om Marco pingin Sandra temani, ya, di sana.”Marco menghela napas lega. Mungkin konsentrasinya benar-benar sudah kacau. Mungkin perasaannya sudah menguasai akal sehatnya sehingga ia bisa salah mengenali orang. “Kamu … baik-baik saja, kan, di sana?” tanya Marco dengan perasaan canggung. Ia merasa bersalah karena telah berpikiran buruk pada keponakannya itu. “Tidak.”“Apa perutmu masih sakit?” tanya Marco. Ia melihat wajah pucat keponakannya dengan cemas. “Bukan, perutku sudah membaik. Tapi aku masih merasa tidak baik-baik saja, Om,” sahutnya.“
Marco menghampiri keduanya. Wajahnya memerah karena marah. “Cassandra! Apa yang kamu lakukan!”Semua mata kini menatap mereka. Sebuah adegan yang benar-benar memalukan dan mencoreng nama baik perusahaan. Marco meraih tangan keponakannya dan menggenggamnya dengan kuat. Genggaman itu terasa sangat menyakitkan bagi Cassandra. Gadis itu berusaha melepaskan genggaman tangan pamannya. “Maaf atas ketidaknyamanan ini, silahkan menikmati fasilitas sebelum acara utama dimulai,” ucap Marco sembari membungkukkan badannya pada semua tamu yang menatap mereka.Marco menarik tangan Cassandra dan membawanya menjauh dari keramaian. Tak dihiraukannya Zissy yang masih kebingungan tak tahu harus berbuat apa pada gaun putihnya yang kini bernoda merah. “Apa-apaan ini?” tanya Marco setelah merasa cukup aman untuk berbicara berdua. “Kenapa tiba-tiba kamu menjadi liar, Cassandra?”Cassandra meletakkan kedua tangannya bersedekap di depan dada. Ia sama sekali tidak merasa bersalah atas kejadian itu. “Om Mar
Marco mulai menggila. Ia menarik turun, melepas kain renda berwarna hitam yang menutup bagian intim wanitanya. Namun baru saja ia bersiap untuk menikmati wanitanya, suara deringan terdengar di ponselnya. Sejenak Marco melirik benda pipih itu. Terlihat nama kakaknya mengambang di layarnya. Marco mengerutkan keningnya. Tidak biasanya Irfan menghubunginya di tengah malam seperti ini. Tanpa menunggu lama, ia menerima panggilan itu. “Marco! Apa kamu bersama Cassandra? Apa kamu menyewakan sebuah kamar dan membiarkan dia menginap di sana? Kenapa dia tidak ada di rumah?” Irfan melontarkan banyak pertanyaan sekaligus. Pertanyaan-pertanyaan yang membuat Marco mendadak panik.“Jadi … dia tidak pulang?” tanya Marco. Ia segera menutup resleting celananya dan merapikan kemejanya. “Kakak jangan khawatir. Aku akan mencarinya sampai ketemu sekarang.”Zissy hanya bisa menatap punggung Marco yang lenyap di balik pintu. Tangannya menge
“Rex, harder!” perintah Reana pada suaminya. Lelaki itu mempercepat gerakan maju mundurnya mengikuti suara napas istrinya yang semakin cepat. Ia memacu, mengejar kenikmatan yang ingin direguknya bersama-sama.Reana meremas bed cover berdesain LV itu kuat-kuat. Punggungnya melengkung dengan estetik. Kepala mendongak dengan mata terpejam penuh kepuasan. “Ini gila! Ini benar-benar gila!” teriak Marco. Lagi-lagi lelaki itu mendobrak pintu kamar Rexy.Melihat aktifitas suami istri yang sedang di kacaunya, spontan Marco berbalik dengan cepat. Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal saking canggungnya.Reana menarik selimut untuk menutupi tubuhnya dan langsung masuk ke dalam kamar mandi. “Sial! Rex, kita harus benar-benar memecat Markonah sekarang!” geram Reana yang merasa terusik oleh kedatangan Marco. Rexy memakai kembali pakaiannya dengan cepat. Ia yakin, Marco sedang membutuhkan pendapatnya sebagai teman. Sesuatu yang b
“Kira-kira apa ya, kode masuknya?” Cassandra mencoba menekan nomer sesuai tanggal lahir Marco. Ia mendecak kesal saat mengetahui bahwa angka itu juga tidak disesuai. Kesempatan terakhir. “Hmm … mungkin nggak, sih, Om Marco pake tanggal lahirku?” tebaknya. “Udahlah, aku coba saja. Siapa tahu benar.”Sedikit keraguan, tapi Cassandra tetap memasukkan enam digit angka kelahirannya. Dan gadis itu bersorak kegirangan ketika warna hijau berkedip pada lampu indikatornya.Hati Cassandra berbunga-bunga. Tentu saja karena ia merasa pamannya tidak benar-benar ingin melupakannya. Lelaki itu memakai tanggal kelahirannya menjadi kode masuk apartemennya adalah sebuah bukti kalau ia selalu mengingatnya. Satu hal yang sekarang diyakininya, bahwa cinta yang dirasakannya saat ini tidak bertepuk sebelah tangan, seperti yang ada di pikirannya semula.Cassandra menatap sekeliling ruangan apartemen itu. Lumayan rapi jika diukur sebagai tempat tinggal
Marco mengangkat tubuh mungil gadisnya ke atas meja dapur. Dikebaskannya semua yang ada di atas meja dengan satu lengannya yang bebas. Lelaki itu memeluk tubuhnya dengan erat, sementara Cassandra melingkarkan sepasang kakinya ke pinggang pamannya. Marco seperti kesetanan. Hasratnya tak mampu lagi diredamnya. Kepalanya terasa sakit, tak mampu lagi menahan keinginannya untuk merasakan untuk yang kedua kalinya sorga dunianya. Batangnya mengeras dengan sempurna, membuat celana yang dipakainya terasa begitu sesak. Cassandra meraih gesper sabuknya. Ditariknya cepat sabuk yang melingkar di pinggangnya untuk membebaskan sesuatu yang tersembunyi di balik celana itu. Marco menghela napas. Ia berusaha kembali menguasai dirinya. Tapi Cassandra seakan tak ingin memberinya kesempatan untuk itu. Cassandra melingkarkan sabuk itu di lehernya dan menariknya hingga kembali mendekat dengannya. Dengan rakus ia mengecup Marco sementara kedua tangannya mul
“Maksud Kakak?” Marco menatap Irfan dengan rasa terkejut. Ia masih tak bisa mempercayai ucapan kakaknya. Belasan tahun lamanya, lelaki di hadapannya itu menyimpan sebuah rahasia besar yang tak pernah diketahuinya. Irfan mengibaskan tangannya. “Ah … sudahlah. Lupakan ucapanku barusan,” sahutnya, mengelak dari pertanyaan Marco. “Marco, bantu aku mencari dia. Cassandra harus segera kita temukan!” “Tapi Kak, kemana kita harus mencarinya?” Irfan mengarahkan jari telunjuknya ke kepalanya. “Pikirkan itu, seandainya kamu adalah dia … kemana kamu akan pergi?” Irfan menatap arloji di pergelangan tangannya. “Aku harus segera ke bandara. Aku tidak ingin ketinggalan pesawatku.” Dengan cuek, lelaki setengah baya itu pergi dari ruang kerja Marco. Ia tak peduli dengan berbagai pertanyaan yang masih memenuhi pikiran adik kandungnya itu. Marco mengantarkan kepergian kakaknya dengan tatapan matanya. Ia masih tak percaya dengan apa yang didengarnya. “Mana mungkin Cassandra bukan putri Kak Irfan?”