Terjerat Cinta Terlarang di Ruang Konsultasi

Terjerat Cinta Terlarang di Ruang Konsultasi

last updateLast Updated : 2025-12-28
By:  Koihana Reika Updated just now
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
Not enough ratings
13Chapters
51views
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
SCAN CODE TO READ ON APP

Elara Vionara Tjoa terjebak dalam pernikahan dingin, dihantui dua keguguran yang membuatnya disalahkan dan merasa tak layak dicintai. Demi menyelamatkan rumah tangganya, ia mengikuti konsultasi keintiman. Namun, pria yang seharusnya menjaga jarak justru menjadi satu-satunya yang memahami luka emosionalnya. Dari sana, ketertarikan terlarang pun tak terelakkan.

View More

Chapter 1

Bab 1. Gagal Lagi.

“Gagal lagi?”

Elara menghentikan langkahnya.

Kalimat itu terdengar datar. Hampir seperti pernyataan biasa.

Namun, justru karena itulah, rasanya menampar.

Elara sudah menduga kalimat itu akan datang, tapi tetap saja, mendengarnya di tempat seperti ini–di lorong rumah sakit, di depan orang lain–membuat rasa gagal itu terasa lebih nyata.

Seolah tubuhnya bukan miliknya lagi, melainkan milik semua orang.

Sedangkan sekarang kesalahan itu harus dia pertanggungjawabkan di depan orang banyak.

Di lorong itu, Elara merasa dirinya bukan pasien—melainkan terdakwa.

Elara baru saja keluar dari sana.

Tiga kata dari dokter masih tertinggal di kepalanya, menempel seperti gema yang tidak mau pergi.

“Maaf, hasilnya belum berhasil.’

Program bayi tabung itu—lagi-lagi—gagal.

Suntikan hormon yang harus tepat waktu. Jadwal kontrol yang tidak boleh terlewat. Tubuhnya yang dipaksa patuh selama berbulan-bulan. Semua kembali berakhir di titik yang sama.

Tidak ada hasil.

Elara ingin membalas.

Bukan dengan marah. Hanya dengan satu kalimat: Aku juga manusia.

Namun, tenggorokannya terlalu kering untuk mengeluarkan apa pun.

“Elara?” Shinta mengangkat alis. “Kamu dengar saya?”

Elara memaksa bibirnya membentuk senyum kecil. Tidak berhasil.

“Ma… bisa kita bicara nanti? Aku masih—”

“Masih butuh waktu?” potong Shinta.

Nada suaranya tetap tenang. “Waktu tidak akan membuat rahimmu tiba-tiba berfungsi.”

Beberapa orang di lorong menoleh. Ada yang cepat-cepat mengalihkan pandangan, ada pula yang jelas-jelas mendengar tapi memilih berpura-pura tidak.

Pipi Elara terasa panas. Kakinya seperti tertancap di lantai.

“Mama…” suaranya nyaris tidak keluar. “Aku—”

“Setidaknya jadilah menantu yang sedikit berguna,” lanjut Shinta, tanpa meninggikan suara. “Tiga tahun menikah, Elara. Tiga tahun.”

Dia berhenti sebentar, lalu menambahkan, “Tidak ada satu pun hasilnya.”

Sunyi menggantung di antara mereka.

Elara menggenggam map hasil pemeriksaan lebih erat. Kertas di dalamnya sedikit bergetar.

Dia tidak tahu mana yang lebih menyakitkan—kata-kata Shinta, atau kenyataan bahwa sebagian kecil dari dirinya merasa pantas menerima semua itu.

“Aku sudah berusaha, Ma,” ucapnya pelan. “Aku benar-benar berusaha.”

Shinta mendecak singkat. “Kalau itu yang kamu sebut berusaha, saya tidak ingin membayangkan bagaimana kalau kamu menyerah.”

Saat itulah Elara melihat Adrian keluar dari arah lift.

Langkahnya panjang dan mantap. Bahunya tegap. Wajahnya seperti biasa—tenang, rapi, sulit ditebak.

Kemeja biru langit dengan lengan digulung sampai siku, bersih tanpa satu lipatan pun yang salah.

Penampilan yang selalu membuat orang lain langsung percaya padanya.

Andai kenyataannya juga begitu.

Adrian berhenti di samping ibunya. “Bagaimana?” tanyanya singkat.

Shinta tidak memberi Elara kesempatan menjawab. “Gagal lagi.”

Adrian menarik napas pelan.

Pandangannya turun ke map di tangan Elara. Hanya sebentar.

“Sudah dikonfirmasi dokter?” tanyanya.

“Sudah,” jawab Elara.

Dia berusaha menjaga suaranya tetap stabil.

Adrian mengangguk sekali.

Dia mengusap leher belakangnya, lalu merapikan lipatan kecil di lengan kemejanya—kebiasaan lama yang selalu muncul ketika ia tidak ingin terlalu lama berada di percakapan semacam ini.

“Mama cuma khawatir,” katanya.

Hanya itu.

Kalimat itu terdengar netral, tapi bagi Elara, itu sama sekali bukan pembelaan.

Lebih seperti garis batas—yang mengatakan bahwa rasa sakitnya bukan lagi menjadi prioritas.

Elara menunggu. Mungkin ada kalimat lanjutan. Penjelasan. Atau setidaknya, pembelaan kecil.

Namun, Adrian sudah menunduk menatap ponselnya.

Jempolnya bergerak cepat di layar.

“Kamu tidak mau bilang apa-apa?” tanya Shinta, nada suaranya mengeras tipis. “Kalian menghabiskan banyak uang untuk ini.”

“Prosedur medis memang ada kemungkinan gagal,” jawab Adrian tanpa menoleh. “Kita tahu itu sejak awal.”

“Tapi sampai kapan?” Shinta melangkah sedikit lebih dekat. “Kamu anak laki-laki satu-satunya, Adrian. Kamu harus memikirkan masa depan keluarga. Nama Huang tidak boleh berhenti di kamu.”

Elara merasa kepalanya berputar. Kata-kata itu tidak diarahkan langsung padanya, tapi semuanya jatuh tepat ke tubuhnya.

“Aku tahu, Ma,” jawab Adrian.

“Kalau tahu, kenapa kamu tidak memastikan istri kamu bisa menjalankan fungsinya dengan baik?”

Elara menutup mata sesaat. Dada terasa sesak. Tapi dia tetap berdiri di tempatnya.

“Ma… tolong jangan bicara seperti itu,” katanya lirih.

Shinta menatapnya. “Apa saya salah?”

Elara tidak bisa menjawab, karena ada suara kecil di dalam kepalanya yang berkata pelan tapi jelas: Mungkin memang kamu yang salah.

“Sudah,” Adrian mengusap pangkal hidungnya. “Kita bicarakan nanti. Tidak perlu bikin suasana makin buruk di sini.”

Elara tidak yakin apakah itu kalimat penenang atau sindiran.

“Baik,” ujar Shinta singkat. “Tapi ini tidak selesai hanya karena kita pulang.”

“Aku tahu,” jawab Elara.

Dulu, saat keguguran pertama.

Kamar mereka masih berbau cat baru. Elara menangis pelan di bawah selimut, sementara Adrian duduk di tepi ranjang.

Dia memeluknya singkat. Lima menit. Lalu berdiri.

“Besok aku harus presentasi. Aku perlu tidur.”

Keguguran kedua lebih sunyi.

Adrian lebih sering menatap layar ponsel daripada wajahnya.

Ketika dokter berkata bahwa stres dan kurangnya kedekatan juga berpengaruh, Adrian mengangguk.

Hanya mengangguk.

Malam itu, dia tertidur dengan laptop masih terbuka.

Sejak malam itu, Elara berhenti berharap pada pelukan.

Dia belajar menyimpan tangis sendiri, dan menyebutnya dewasa.

Hubungan mereka setelahnya tidak pernah benar-benar putus, tapi juga tidak utuh.

Lebih seperti rutinitas.

Cepat. Sepi. Tanpa percakapan.

Tidak ada sentuhan yang membuat Elara merasa diinginkan.

“Elara.”

Suara Adrian menariknya kembali ke lorong rumah sakit.

“Kita pulang.”

Shinta sudah berjalan lebih dulu. Tumit sepatunya terdengar teratur di lantai.

Adrian menyusul, langkahnya cepat, seolah ingin segera keluar dari tempat yang menyimpan terlalu banyak emosi.

Elara berjalan paling belakang.

Di luar, angin sore menyentuh wajahnya. Rumah sakit tampak ramai. Orang-orang berlalu-lalang, tapi semuanya terasa jauh.

Di parkiran, Adrian berdiri di samping mobil sambil menatap ponselnya. Cahaya layar memantul di wajahnya.

Shinta menelepon seseorang. Suaranya pelan, tapi Elara masih bisa menangkap kata gagal di sela-selanya.

Begitu masuk mobil, pintu tertutup. Sunyi.

Adrian mengetik sesuatu panjang di ponselnya.

Dia tidak menoleh ketika berkata, “Nanti malam kita bicara.”

“Ya,” jawab Elara.

Mobil melaju. Pohon-pohon di pinggir jalan lewat satu per satu.

Di kaca jendela, pantulan wajah Elara terlihat samar.

Mata sembab. Bibir kaku. Kepala penuh rasa bersalah yang bahkan tidak tahu harus diarahkan ke siapa.

Kalau begini… berapa lama lagi aku bisa bertahan?

Ponselnya bergetar di pangkuan.

Satu pesan masuk dari Mira.

“Ra, aku dengar kamu dari dokter tadi. Kamu nggak sendirian, ya.

Kalau kamu masih mau berjuang, aku tahu satu tempat. Konsultan keintiman.

Sepupuku dulu ikut dan berhasil. Kalau kamu mau, aku bisa bantu daftarin.”

Elara menatap layar itu lama.

Konsultan keintiman.

Dia menarik napas pelan.

Entah ini langkah yang tepat—atau justru tanda bahwa pernikahannya sudah berada di titik yang tidak pernah dia bayangkan sebelumnya.

Mobil terus melaju.

Untuk pertama kalinya, Elara tidak yakin ke mana arah pulangnya.

Expand
Next Chapter
Download

Latest chapter

More Chapters

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

No Comments
13 Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status