"Sial!" umpat Carlton saat melihat layar ponselnya.
"Kenapa?" tanya Adelia, dia diam-diam menatap Carlton karena penasaran.
"Tunggu di sini! Aku mau menjawabnya dulu!"
Carlton bergegas bangun dan berjalan keluar.
Adelia menatap kepergian Carlton dengan rasa penasaran.
"Kenapa dia terlihat kesal sekali? Apakah orang menelepon dia itu ...." Adelia menggelengkan kepalanya.
"Tidak perlu dipikirkan lagi! Itu juga bukan urusan aku, ya kan?" ucap Adelia, dia berusaha bersikap tak peduli.
"Lebih baik aku pergi ke dapur untuk mencari sesuatu yang bisa aku masak, ya kan?" ucap Adelia, dia bergegas bangun meninggalkan ruang tamu itu.
***
Sementara Carlton.
Dia yang sudah sedikit menjauh dari rumah Adelia pun, segera menekan tombol 'ok' lalu menjawabnya.
"Halo, kakek!" jawab Carlton dengan nada malas.
"Halo, Carl! Kamu di mana? Kakek sudah sampai di depan kamar kamu tapi resepsionis mengataka
"Lu-Lusi?" ucap Adelia dengan tangan gemetar, membuat ponselnya hampir terjatuh.Tapi, dia langsung tersadar dan berhasil menangkap ponselnya yang hampir jatuh itu."Mau apa lagi dia meneleponku? Apakah dia belum puas sudah menghancurkan hubungan aku dan Alvin? Di-dia ...." tak terasa, air mata pun jatuh membasahi pipinya.Adelia merasakan perasaan sesak yang teramat dalam, ketika mengingat apa yang telah dia dengar saat itu."Lusi! Aku tidak menyangka kalau kamu bisa sejahat ini padaku, padahal aku ...."Air mata Adelia semakin deras dan dadanya semakin terasa sesak, sehingga belum sempat dia menjawab panggilan telepon itu, Adelia merasa sudah tak sanggup."Jahat! Ternyata kamu sangat jahat! Padahal aku sudah menganggap seperti saudara aku sendiri! Bahkan aku percaya kalau kamu adalah satu-satunya sahabat yang paling terbaik di dunia ini. Tapi ... Kamu malah menusuk aku dari belakang! Hiks ... Hiks ...."Adelia terus menangis untuk menumpahk
"Apa ini?" tanya Adelia."Buka saja! Baca dengan benar!" perintah Carlton.Membuat Adelia semakin penasaran."Emmm ... Baiklah!" jawabnya, yang langsung membukanya.Carlton terus menatap Adelia dengan senyuman yang mencurigakan.Membuat Adelia semakin ingin tahu, isi dari berkas yang ada di dalamnya."Sudah aku keluarkan! Aku mau membacanya," ucap Adelia dengan beberapa kertas yang ada ditangannya.Carlton mengangguk."Cepat baca!" jawabnya.Adelia pun membacanya dan matanya langsung membulat tak percaya."Eh! I-ini ...."Adelia menatap tajam ke arah Carlton."Ayo baca semuanya! Jangan lupa, bubuhi tanda tangan kamu setelahnya!" jawab Carlton dengan santainya, dia memberikan pulpen kepada Adelia."Jangan lupa tanda tangan! Ingat, harus tanda tangan jika ingin menyelamatkan kakak kamu itu!" ucapnya.Adelia terdiam sejenak menatap pulpen di tangannya."Ka-kamu!"
[Sayang, berikan nomor rekening kamu!]Adelia langsung tersenyum karena dia tahu, itu dari Carlton."Tahu darimana dia nomor ponselku?" ucapnya.Adelia langsung mengetik untuk membalasnya.[Ya!][ 8936xxxxx itu nomor rekening aku, Carlton!]Pesan itu pun terkirim dan Adelia melanjutkan kembali pekerjaannya membereskan semua piring bekas makan Carlton.Sementara itu, uang pun sudah masuk dan Adelia melihat notifikasi pesan masuknya."Ini ...."Mata Adelia membelalakkan matanya saat melihat nominal uang yang masuk."Carlton! Kamu gila!" teriaknya secara refleks.Sampai membuat Adrian yang sedang istirahat pun terkejut mendengar suara teriakan Adelia."Sial! Kenapa bocah itu berteriak sekeras itu!" umpat Adrian."Adel, jangan teriak-teriak! Kamu sengaja ya, mau membunuhku, hah!" teriak Adrian.Adelia segera menutup mulutnya."Ma-af kak! Aku
Tok ' tok' tok'Jeffran dan Carlton menghentikan perbincangan mereka."Siapa yang datang?" gumam Carlton."Carl! Ada yang datang," ucap Jeffran."Ya, aku tahu!" jawab Carlton, dia pun segera berteriak."Masuklah!" Krekkk!Pintu pun terbuka."Permisi, maaf sudah mengganggu waktunya," ucap seorang wanita dengan riasan yang tebal dan pakaiannya cukup terbuka.Melihat itu, Carlton mengernyitkan dahi."Siapa kamu? Kenapa bisa ada di sini?" tanyanya dengan tegas.Wanita itu tersenyum canggung dan segera berjalan masuk tanpa dipersilahkan sama sekali."Emmm ... Maaf! Saya ke sini atas pesan dari ... Papa saya untuk menemui mas Carlton." wanita itu tersenyum malu-malu dan suaranya sengaja di buat lemah lembut.Membuat Carlton semakin jijik saat melihatnya."Papa? Siapa papa kamu? Kenapa kamu bisa masuk ke Perusahaan saya tanpa seizin saya, hah?!" bentak Carlton.Wanita itu segera menundukkan kepalanya."Sa-saya! Saya tidak tahu! Pokoknya papa saya yang membawa saya ke sini," jawabnya dengan
"Eh! Ini ...."Jeffran menatap beberapa saat, lalu melirik ke arah Carlton."Ka-kamu sudah menikah?" tanyanya dengan tatapan tak percaya.Carlton menganggukkan kepalanya."Ya, sudah! Tapi baru secara negara saja. Nanti setelah selesai, kami akan menikah secara keyakinan," jawabnya dengan santai.GLEK!Jeffran menelan ludah berkali-kali, dia masih tidak percaya dengan ucapan cucunya itu."Carl! Jangan bercanda kamu! Bagaimana bisa kamu menikah seperti itu? Setidaknya kamu harus ...."Carlton tersenyum."Harus ada acara lamaran, pesta pernikahan yang mewah dan mengumumkan pada seluruh dunia, kalau aku sudah menikah, ya kan?" jawabnya.Jeffran mengangguk setuju."Ya seperti itu! Bukan seperti ini yang tiba-tiba sudah memiliki buku pernikahan dan menunda upacara pernikahan lainnya. Carlton! Jangan mempermalukan keluarga kita!" Bentak Jeffran, dia kesal pada cucunya itu."Ckck ... Aku pun in
PRANG!"Arghhh!"Wanita muda sedang mengamuk dan semua barang yang ada di dalam kamarnya hancur berantakan akibat ulah darinya."Nona, tenangkan diri anda! Anda ....""Diam! Kalian tidak diizinkan bicara di sini!" Sela wanita itu yang kembali menghancurkan sisa barang yang ada di kamarnya.Membuat dua orang pelayan wanita yang berdiri di depan pintu tak berani membuka mulutnya, mereka takut dengan majikannya itu.Sehingga keduanya hanya bisa diam menonton kegilaan sang majikan yang sedang melampiaskan amarahnya."Carlton! Kenapa kamu tidak bisa aku dapatkan? Kenapa?! Apa kurangnya aku? APA?!" dia terus berteriak melampiaskan semua amarahnya, saat mengingat apa yang terjadi kemarin malam."Sial! Kamu benar-benar sulit untuk di dapatkan! Bahkan bisa-bisanya aku tidak bisa masuk ke kamar kamu!" teriaknya dan wanita itu segera duduk lemas, ketika sudah tak ada lagi benda yang
Keesokan paginya.Semilir angin pagi dengan cuaca yang sedikit mendung pun, memasuki celah jendela kamar Adelia yang saat ini, masih memejamkan matanya."Adelia, kamu harus M-A-T-I! Kamu tidak pantas dengan dia! Karena dia itu milikku! Hanya milikku!" ucap seorang wanita yang sedang memegang sebuah pisau dan tatapan penuh kegilaan membuat Adelia ketakutan."Ja-jangan! Jangan mendekat! Jangan ....""Ahhh!" Adelia segera membuka matanya dan dia pun langsung duduk dengan detak jantung yang sangat cepat."Hah! Hah!" Adelia terus mengatur nafasnya dan keringat dingin membasahi dahinya."Ya Tuhan! Untung saja hanya mimpi, bukan kenyataan," ucap Adelia sambil menghapus keringat di dahinya."Untung saja hanya mimpi, kalau itu nyata ... A-aku tidak tahu harus bagaimana? Tapi siapa wanita itu? Kenapa wanita itu bisa masuk ke mimpiku sedangkan aku tak mengenal dia!" Adelia terus memikirkan wanita yang ada di dalam mimpinya."Siapa dia? Kenapa dia marah padaku dan kenapa dia ingin membunuh aku? P
"Ka-kamu! Kenapa kamu bisa ada di sini?" Adelia terkejut saat melihat sosok Carlton berdiri di depan pintu."Kenapa terkejut? Memangnya aku tidak boleh menemui istriku sendiri, hah?!" jawabnya dengan santai.Secepatnya, Adelia menutup mulut Carlton dengan telapak tangannya."Diam! Jangan bicara sembarangan! Na-nanti kakakku mendengarnya!"Carlton segera memindahkan telapak tangan Adelia yang menutupi mulutnya."Ya! Bagaimana keadaan kakak kamu? Dia sudah jauh lebih baik kah? Atau mau dibawa ke rumah sakit?" tanyanya sambil menatap ke dalam rumah.Adelia terdiam sejenak."Emm ... Tidak usah! Kakak aku sering seperti ini dan dia selalu menolak untuk di bawa ke rumah sakit, ya! Walaupun ini paling parah, tapi aku ...." belum selesai Adelia bicara, dia mendengar suara dering ponselnya yang membuat dia segera mengalihkan fokusnya."Tunggu sebentar!"Carlton mengangguk."Ya, aku menunggu tapi jangan terlalu lama,"